Mereka mengetahui bahwa adanya real need yang mereka rasakan sebagai kesenjangan antara kesenjangan membuang sampah disungai dengan
membuang sampah ditempat sampah yang akan mengurangi jumlah sampah yang ada disungai. Komunitas menyadari mereka memerlukan tempat sampah
tetapi mereka tidak berdaya untuk mengelola sampah tersebut. 2. Kelompok yang kurang beruntung lainnya
Letak geografis komunitas berada di gang yang hanya bisa dilewati satu motor membuat mereka kurang beruntung. Sehingga komunitas ini jauh dari
jangkauan pengangkutan sampah. Kurang beruntungnya komunitas karena: a. Tempat persinggahan sampah yang berasal dari hilir dan hulu sungai
sehingga menepi dibawah kolong rumah mereka. Membuat daerah sekitar mereka kotor dengan sampah yang berada dibawah rumah mereka.
b. Belum mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah karena letak komunitas mereka yang harus masuk gang dan mereka berada di gang
kecil yang hanya bisa dilewati satu motor. Sehingga komunitas ini jauh dari jangkauan pengangkutan sampah.
6.3 Inisiatif Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan melakukan perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi
lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan peranserta dalam bidang kebersihan dan dapat memberikan
insentif ekonomi kepada masyarakat. Mengetahui ketidakberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah sehingga penulis melakukan focus discussion group
bersama-sama Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mengenai cara penanganan sampah berbasis masyarakat dengan memberikan pandangan dalam pengelolaan sampah
yang bernilai uang yaitu pengelolaan sampah dengan komposting dan kerajinan sampah. Komunitas menanggapi dengan antusias topik tersebut karena bernilai
uang mengingat banyak pengangguran dikomunitas ini. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan menantu ketua RT yaitu Bagus penanganan sampah ini
bernilai uang, akan membuka peluang kerja. Diskusi dilakukan di rumah ketua RT. Hasil diskusi yang dilakukan oleh Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mengemukakan
bahwa : • Perlunya pengurus pengelolaan sampah yang diberi gaji dan pengurus
yang professional. • Adanya penetapan lokasi tempat sampah sebagai tempat pengolahan
sampah. • Diadakannya komposting diseluruh Kampung Kamboja yang terdiri dari
tujuh RT. • Dimana setiap RT memiliki pengurus pengelola sampah. Hal ini dilakukan
untuk mengatasi jika RT ini yang mengelola sampah dengan komposting, masyarakat lain di Kampung Kamboja tidak membuang sampahnya di RT
disini.
• Kampung Kamboja merupakan perkampungan yang terdiri dari keluarga besar sehingga jika salah satu RT tidak mengadakan komposting akan
menimbulkan pertengkaran antara sesama saudara karena saudara tidak boleh membuang sampah di RT sini. Oleh karena itu seluruh Kampung
Kamboja harus ikut melaksanakan pengelolaan sampah.
• Pengadaan tempat sampah. • Ada sangsi kepada pengurus jika gagal melakukan tugasnya dalam
melakukan pengkomposan dari sampah. Kegagalan mengelola sampah akan menimbulkan sampah yang bertumpuk dan menghasilkan bau.
• Harus adanya komitmen bersama di masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dengan merembukkan secara bersama-sama warga
Kampung Kamboja. • Dalam pengelolaan sampah masyarakat hanya mengetahui dengan cara
membakar dan mengangkut sampah dari masyarakat ke TPA yang dilakukan oleh pemerintah.
• Memaparkan proposal pengelolaan sampah di masyarakat. • Ketua RT perlu melakukan musyawarah bersama masyarakat sehingga
menghasilkan kesepakatan. • Masyarakat perlu diajarkan cara membuat kompos dan membuat membuat
kerajinan dari sampah. Menurut Purba 2001 menyatakan terkait dengan kesinambungan lingkungan
sosial maka setidak-tidaknya terdapat enam komponen atau ruang lingkup lingkungan sosial yang perlu diperhatikan disinambungkan. Keenam komponen
tersebut ialah adanya pengelompokkan sosial social grouping, media sosial social media, pranata sosial social institution, pengendalian sosial social
control, penataan sosial social alignment, dan kebutuhan sosial social need.
Berdasarkan hasil FGD diatas kriteria penanganan sampah yang berbasis masyarakat menurut masyarakat dibandingkan dengan pendapat Purba 2001
maka ditambahkan oleh penulis menurut masyarakat dalam pengelolaan penanganan sampah berbasis di komunitas perlunya kesepakatan pemimpin untuk
melakukan pengelolaan sampah. Menurut penulis komponen pokok lingkungan sosial yang terpenting adanya kepemimpinan dari tokoh agamatokoh adattokoh
masyarakatketua RWRTmasyarakat yang dapat mempengaruhi masyarakat lainnya sehingga dapat bersinergi dengan komponen lain dari pengelolaan
lingkungan sosial. Sehingga penulis menyimpulkan adanya tujuh item yang harus berkesinambungan dalam pengelolaan lingkungan sosial di komunitas yaitu :
1. Pengelompokkan sosial Masyarakat menyatakan perlunya pengurus pengelola sampah.
2. Media sosial Adanya pemaparan proposal penanganan sampah di masyarakat.
3. Pratana sosial Harus adanya komitmen bersama di masyarakat untuk melakukan pemilahan
sampah dengan merembukkan secara bersama-sama warga. 4. Penataan sosial
Ada sangsi kepada pengurus pengelola sampah jika melalaikan tugasnya dalam membuat pupuk kompos dari sampah sehingga membuat sampah
bertumpuk dan menghasilkan bau. 5. Pengendalian sosial
Diadakannya komposting diseluruh Kampung Kamboja yang terdiri dari tujuh RT. Dimana setiap RT memiliki pengurus pengelolaan sampah. Hal ini
dilakukan agar RT yang tidak melakukan komposting tidak membuang sampah di RT yang telah melakukan komposting dengan pemilahan sampah.
Komunitas RT 02 RW 07 sebagai plan project pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Kampung Kamboja.
6. Kebutuhan sosial Adanya pelatihan komposting dan kerajinan sampah yang dituangkan dalam
proposal pengelolaan sampah agar dapat dilakukan di RT 02 RW 07.
7. Kepemimpinan Perlunya ketua RT melakukan musyawarah bersama untuk mencapai
kesepakatan dalam pembentuk kelompok sampah dan mekanisme pengelolaan sampah tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian penulis memperkuat bahwa konsep diatas sesuai dengan pernyataan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan sosial dengan
menambahkan satu item kepemimpinan dalam pengelolaan lingkungan sosial. Berdasarkan hasil diskusi diatas menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui
cara membangun partisipasi dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Keberhasilan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan partisipasi
masyarakat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk memberdayakan diri sendiri, serta mengelola lingkungan secara mandiri. Di dalam komunitas terdapat faktor
penghambat dan pendorong untuk penanganan sampah di Kampung Kamboja. Faktor pendorong agar menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk membentuk
kelompok dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Perlombaan Green and Clean yaitu kerjasama AP Post Pontianak dengan Pemerintah Kota Pontianak. Bagi yang memenangkan Perlombaan Green dan
Clean akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah dan akan dipublikasikan secara besar-besaran di media massa. Program ini akan
memotivasi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan penghijauan di lingkungan rumah penduduk. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara dengan ketua RT yang mengatakan bahwa : “Jika ada perlombaan tersebut diberitahukan kepada kami
persyaratan untuk memenangkan perlombaan tersebut mungkin masyarakat disini akan termotivasi untuk melakukan pengelolaan
sampah berbasis masyarakat”.
Boks 4. Perlombaan Green and Clean
Faktor pendorong adalah Perlombaan Green and Clean yaitu bagi yang memenangkan Perlombaan Green dan Clean maka daerah tersebut akan mendapatkan penghargaan dari
pemerintah dan akan dipublikasikan secara besar-besaran di media massa.Hal ini dapat menjadi potensi adalah ada pemimpin yang mempunyai unsur kepentingan untuk menjadi
orang terpublikasi
di koran-koran dan tenar di Kota Pontianak.
2. Adanya kemauan masyarakat untuk melakukan perubahan sikap dalam
membuang sampah jika diikuti oleh seluruh masyarakat. Boks 5. Rasa Kebersamaan
3. Adanya kemauan masyarakat untuk mematuhi ketua RT jika ada arahan dari
ketua RT untuk melakukan suatu kegiatan. Boks 6. Kepatuhan kepada Ketua RT
4. Adanya area tanah yang dapat digunakan untuk meletakkan mesin komposting.
Boks 7. Memiliki Tanah Kosong
5. Adanya seorang ibu rumah tangga yang bersedia mengelola sampah dan memiliki rasa ingin tahu tentang masalah dan manfaat dari sampah seperti
lamanya sampah plastik yang tidak dapat terurai yang di buat kipling dari kumpulan koran-koran tentang masalah sampah dan tanaman hias.
Faktor pendorong adalah adanya rasa kebersamaan dari masyarakat karena merupakan daerah yang memiliki kekerabatan. Hal yang menjadi motivasi adalah adanya real need
untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sampah yang sudah mengganggu aktivitas mandi masyarakat. Potensi yang dapat dikembangkan adalah adanya komitmen bersama
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah.
Faktor pendorong adalah kepatuhan terhadap keputusan yang diambil oleh Ketua RT. Hal ini dapat digunakan untuk menggerakkan masyarakat untuk pengelolaan sampah berbasis
masyarakat. Dengan adanya penghormatan terhadap Ketua RT sebagai wakil atas keputusan bersama masyarakat. Hal ini tergantung pada kemauan Ketua RT untuk
mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan pengumpulan dana dari masyarakat karena masyarakat percaya pengambilan dari Ketua RT.
Faktor pendorong adalah tersedianya areal tanah yang dapat dipergunakan untuk pengelolaan sampah. Tanah tersebut dapat digunakan karena pemilik tanah tersebut Ibu
Fa yang menggunakan areal tanah tersebut untuk tanaman bunganya. Dengan dilakukannya komposting dirumahnya akan mendukung hobinya menanam tanaman hias.
Selain itu Ibu Fa yang peduli terhadap permasalahan sampah. Hal ini dapat berjalan jika adanya bantuan hibah dari luar negeri maupun dalam negeri untuk pembangunan gedung
komposting dan pembelian peralatan komposting.
Boks 8. Ibu Peduli Sampah
6. Masyarakat sudah merasa terganggu pada saat mandi dan mencuci dengan
keberadaan sampah dipinggiran sungai. Boks 9. Harga Minyak Tanah Mahal
7. Adanya pengajian, kelompok pemuda Generasi Melayu Kampung Kamboja, posyandu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan
pengelolaan sampah.
Boks 10. Ikatan Kekerabatan
8. Adanya program pemerintah yang ingin memperoleh Adipura sehingga pemerintah perhatian kepada komposting.
Boks 11. Piagam Adipura
Faktor pendorong adalah Ibu yang peduli sampah. Ibu tersebut dapat digunakan sebagai orang yang menjadi pelopor pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ibu tersebut dapat
dijadikan sebagai ketua kelompok pengelola sampah.
Faktor pendorong adalah sampah yang bertumpuk dipinggiran sungai dan sampah yang mengalir ditepi sungai tempat masyarakat mandi dan mencuci. Hal ini dapat menjadi
motivasi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah karena masyarakat merasa terganggu dengan sampah yang mengganggu aktivitas kegiatan mandi dan mencuci.
Syarat menjadi potensi adalah tumbuhnya real need masyarakat menjadi felt need yang dilakukan melalui proses pembelajaran orang dewasa.
Faktor pendorong adalah organisasi yang terbentuk merupakan integrasi yaitu adanya ikatan kekerabatan dan suku. Adanya ikatan kekerabatan ini menumbuhkan rasa
kebersamaan di kalangan ibu-ibu dan pemuda untuk melakukan kegiatan bersama. Hal ini dapat menjadi syarat menjadi potensi karena adanya seorang tokoh disalah satu organisasi
tersebut yang bersedia untuk menggerakkan anggota lainnya.
Faktor pendorong adalah adanya piagam adipura dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Kota Pontianak termotivasi ingin memperoleh adipura tersebut. Hal ini dapat menjadi syarat
potensi karena pemerintah peduli terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat
9. Adanya seorang yang menang Perlombaan Green and Clean yang diadakan oleh surat kabar AP Post dan Pemerintah Kota Pontianak sebagai pemicu
masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Boks 12. Teladan Ketua RT
10. Adanya Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Kalimantan Barat bersedia menganggarkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di
pinggiran sungai jika ada yang mengajukan program sebelum awal tahun kedepan.
Boks 13. Tersedianya Dana oleh Pemda
11. Adanya tenaga teknis yang melakukan penyuluhan tentang komposting di Kecamatan Pontianak Selatan dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak.
Boks 14. Ada Penyuluh Dari Dinas
12. Adanya program NUSSP yang memberikan bantuan dana dan pengalaman masyarakat untuk belajar menanggulangi masalah yang ada di lingkungan
mereka dengan dana swadaya masyarakat dan dari NUSSP berupa bentuk fisik dalam masalah sampah.
Faktor pendorong adalah adanya contoh seorang ketua RT yang dapat mendorong masyarakat mengelola sampah. Hal ini dapat menjadi contoh bagi ketua RT lainnya
bahwa Ketua RT dapat menjadi seorang pemimpin di komunitasnya. Hal ini menjadi potensi adalah ada Ketua RT yang terinspirasi dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki
pemenang Green and Clean.
Faktor pendorong adalah adanya program yang dapat dikembangkan oleh Pemda. Hal ini menjadi motivasi pegawai pemerintah karena dapat menambah kegiatanprogram di
instansinya. Agar pemda dapat membuat program pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan mengajukan proposal yang diajukan oleh masyarakat ke Dinas
Pengendalian Dampak Lingkungan.
Faktor pendorong adalah adanya jabatan fungsional di dinas urusan pangan. Untuk menambah angka kredit dalam jabatan fungsional maka petugas lapangan mau melakukan
penyuluhan dilapangan. Petugas dapat menjalankan tugasnya dengan syarat komunitas meminta tenaga penyuluhan untuk daerahnya.
Boks 15. Ada Dana NUSSP
Faktor penghambat penanganan sampah berbasis masyarakat yaitu: 1. Masyarakat merasa tidak berdaya terhadap keadaan lingkungan mereka
karena masalah sampah yang menyangkut berbagai kepentingan dan berbagai pihak.
Boks 16. Lingkungan Penuh Sampah
2. Masyarakat yang memiliki ketahanan tubuh untuk penyakit tertentu terhadap lingkungan yang kotor.
Boks 17. Kekebalan Tubuh Masyarakat
3. Belum terbentuknya komitmen dari pemerintah untuk pengelolaan sampah
dibantaran sungai.
Boks 18. Belum adanya peraturan
Faktor pendorong adalah tersedianya dana untuk pembelian alat komposting. Adanya dukungan dana karena untuk untuk mencapai MGDs. Hal ini dapat menjadi potensi jika
komunitas dapat membuat proposal usulan untuk meminta bantuan ke BKM.
Faktor penghambat adalah merasa tidak berdaya terhadap sampah yang penuh. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat mengetahui bahwa aliran Sungai Kapuas yang
mengalir dari hulu hingga kehilir sehingga sulit untuk pengelolaannya. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak dilakukan pemberdayaan masyarakat untuk menjaga
Sungai Kapuas dari hulu hingga hilir Sungai Kapuas.
Faktor penghambat adalah adanya kekebalan tubuh masyarakat terhadap pencemaran sungai yang digunakan untuk mandi dan cuci pakaian. Hal ini menjadi penghambat
karena masyarakat sudah bertahun-tahun mandi dan cuci pakaian di Sugai Kapuas. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak adanya penyadaran untuk mengubah pola
hidup yang bersih dan sehat.
Faktor penghambat adalah tidak ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk pengelolaan sampah dibantaran sungai. Hal ini menjadi penghambat karena tidak
tersedianya dana untuk pengelolaan sampah dipinggiran sungai dan belum tertanganinya permasalahan sampah diperkotaan. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena tidak
adanya pemimpin pemerintahan yang peduli terhadap pengelolaan sampah dibantaran sungai dan tidak adanya kolaborasi setiap stakeholder.
4. Masyarakat yang mempunyai budaya panas-panas tai ayam dalam pengelolaan sampah.
Boks 19. Bosan Terhadap Suatu Kegiatan
5. Adanya image masyarakat pinggiran sungai daerah yang rawan.
Boks 20. Image Masyarakat
6. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan pengelolaan sampah adalah hina.
Boks 21. Pekerjaan Sampah adalah Hina
6.4 Pengembangan Kelembagaan Di Empat Ruang Stakeholder