Berdasarkan hal diatas penulis akan mengkaji modal sosial yang ada di masyarakat yang dapat digunakan untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
2.10 Strategi Pengembangan Kelembagaan
Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud apabila ada usaha membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku
terhadap kebersihansampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau kewajibannya, tetapi lebih didasarkan kepada nilai kebutuhan. Untuk mengubah
kebiasaan tersebut, maka diperlukan sosialisasi terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh, yaitu kalangan pemerintah, swasta, perguruan
tinggi dan masyarakat. Peranserta masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat baik individu maupun kelompok, yang merupakan bagian dari
penyelenggaraan pengelolaan sampah kota dan bersifat menunjang program pengelolaan sampah kota. Tujuan program peranserta masyarakat dalam
Kolopaking dan Tonny 2007 adalah: a. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adanya program
pengelolaan sampah. b. Memperoleh dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan program.
c. Meningkatkan kinerja keseluruhan sistem pengelolaan sampah kota. Keterlibatan peranserta masyarakat harus bersifat menyeluruh terhadap
serangkaian proses implementasi pengelolaan sampah dan juga bersifat terus menerus. Pergeseran paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dengan
Kolopaking dan Tonny, 2007: 1. Pengembangan masyarakat yang bersumber dari manusia.
2. Partisipasi. 3. Sistem pemerintahan yang baik publik; swasta.
Asumsi dasar pengembangan kemitraan antar kelembagaan ini adalah proses desentralisasi dan otonomi daerah yang diikuti dengan perubahan pola-pola peran
serta antara organisasi dan kelembagaan organizational and institutional coevolution dalam pembangunan di tingkat daerah kabupatenkota hingga
komunitas. Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah dan otonomi komunitas tanpa mengharuskan wewenang pemerintah pusat, pemberdayaan komunitas
perkomunitasan dipahami sebagai suatu hasil dari interaksi atau hubungan sebab- akibat antara “proses pembangunan yang bottom up” yang dalam kajian ini
diartikan sebagai pembangunan berbasis komunitas perkomunitasan rural community based development program dan “proses pembangunan yang top-
down” yang dalam kajian ini dipahami sebagai implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah lokal local government policies. Artinya, komunitas perkomunitasan
yang berdaya diindikasikan tidak hanya oleh tingkat pendapatan, tetapi lebih dari itu sampai sejauh mana dinamika warga komunitas hidup dengan bertumpu pada
kelembagaan di tingkat komunitas dan lokal yang berkelanjutan yang kemudian mampu memberikan dampak ganda pada aktivitas ekonomi dan usaha-usaha
produktif di tingkat komunitas perkomunitasan. Berikut ini adalah gambar kerangka kebijakan untuk pengembangan kelembagaan:
Insentif- Insentif Kelembagaan Institutional Incentive
TOP-DOWN
BOTTOM-UP
Kapasitas Kelembagaan Institutional Capacity
Catatan: dikembangkan dari Kolopaking dan Tonny 2007 Gambar 2.4 Kerangka Kebijakan untuk Pengembangan Kelembagaan dan
Kawasan Berbasis Masyarakat
Pemerintah • Aras makro kebijakan
• Infrastruktur • Fasilitasi program
Ruang dialogkomunikasi masyarakat dengan pemerintah
Masyarakat: • Aras mikro-aksi kolektif
• Program pemberdayaan dan partisipasi
2.11 Kerangka Pemikiran