4. Masyarakat yang mempunyai budaya panas-panas tai ayam dalam pengelolaan sampah.
Boks 19. Bosan Terhadap Suatu Kegiatan
5. Adanya image masyarakat pinggiran sungai daerah yang rawan.
Boks 20. Image Masyarakat
6. Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan pengelolaan sampah adalah hina.
Boks 21. Pekerjaan Sampah adalah Hina
6.4 Pengembangan Kelembagaan Di Empat Ruang Stakeholder
Strategi pengembangan kelembagaan merupakan hal penting dalam pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan yang dimulai dengan
penguatan kelembagaan dan alokasi dana. Pemerintah, LSM dan pengusaha sampah juga dapat turut serta untuk membangun kelembagaan dalam mengelola
sampah tersebut.
Faktor penghambat adalah rasa cepat bosan terhadap suatu kegiatan. Hal ini menjadi penghambat karena tidak ada keinginan untuk hidup menjadi lebih baik. Penghambat ini
tidak dapat diatasi karena tidak ada pemimpin lokal yang mendorong masyarakat agar tetap konsisten dengan pengelolaan sampah.
Faktor penghambat adalah zaman dahulu tahun 80-an banyak terjadi penembakan misterius di bantaran sungai. Hal ini menjadi penghambat karena banyak penduduk yang
mati, pengangguran dan pekerjaan tidak tetap di penduduk bantaran sungai. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena para pemuda yang tidak mau kerja dibidang sampah yang
bernilai ekonomi.
Faktor penghambat adalah pandangan masyarakat pekerjaan pengelolaan sampah adalah hina. Hal ini menjadi penghambat karena masyarakat berada ditengah perkotaan sehingga
memiliki gaya kota dengan gengsi yang tinggi. Penghambat ini tidak dapat diatasi karena masyarakat tidak melihat peluang bisnis yang dapat dikembangkan dari sampah.
1. Tingkat masyarakat Tanggapan ketua RT dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat
dilakukan dengan cara mengajarkan masyarakat untuk membuat pupuk kompos secara individu yang harus dipraktekkan kepada ibu-ibu. Berdasarkan
hal tersebut maka penulis memanggil Pemenang I Perlombaan Green dan Clean tahun 2007 yaitu Bapak SF yang telah melakukan komposting dan
membuat kerajinan sampah di komplek rumahnya untuk mempraktekkan model pengkomposan yang dilakukan di RT-nya di depan ibu-ibu. Bapak SF
menceritakan pengalaman pembuatan pupuk kompos di RT-nya dengan cerita bahwa
“Saya beserta istri saya yang mengajak ibu-ibu dan bapak-bapak untuk mengolah sampah. Sampah tersebut dibuat pupuk kompos.
Tempat komposter tersebut diletakkan didepan rumah masing- masing”.
Sebelum acara dimulai kami mendiskusikan bagaimana pengelolaan sampah yang dilakukan di tingkat rumah tangga, ibu-ibu hanya mengetahui
pembakaran dan pembuangan sampah di sungai karena tidak memiliki tempat sampah. Ibu-ibu menyadari bahwa makna hidup sehat bagi mereka adalah
hidup dengan lingkungan yang bersih. Mereka hidup dibantaran sungai dengan arus sungai yang membawa sampah ke bawah kolong rumah
penduduk sehingga mereka tidak bisa memiliki lingkungan bersih. Setelah selesai diskusi tersebut, Bapak SF yang mempraktekkan pembuatan pupuk
kompos menggunakan aktivator. Pembuatan pupuk kompos dengan aktivator ini adalah sebagai berikut: sampah organik di cincang halus dan dimasukkan
kedalam alat komposter yang kemudian disirami aktivator tersebut. Setiap sampah yang masuk harus dicincang. Setelah itu alat komposter ditutup dan
lama-kelamaan sampah tersebut menjadi pupuk. Adapun hasil diskusi yang dilakukan oleh Ibu-Ibu adalah sebagai berikut:
• Perlunya obat aktivator untuk melakukan kompos skala rumah tangga.
• Perlunya waktu yang lama untuk melakukan cincang sampah tersebut.
• Banyak kesibukan di rumah sehingga tidak ada waktu untuk mencincang sampah organik.
Setelah itu Bapak SF membawa contoh hasil kerajinan tangan dari sampah. Bapak SF menceritakan pengalaman di komunitasnya proses pembuatan
kerajinan tangan tersebut kepada ibu-ibu yang mengemukakan bahwa: “Setiap ibu rumah tangga membawa bungkusan sampah dari
rumah masing-masing yang diberikan kepada istri saya. Kemudian istri saya membersihkan hasil sampah tersebut dan diantarkan
kepada tukang jahit yang berada di komplek rumah. Setiap ibu-ibu menggunting sampah plastik dengan rapi sehingga bungkusan
tersebut dapat dibuat kerajinan sampah.”
Beberapa hari kemudian penulis membelikan aktivator dan alat penyemprot yang diserahkan kepada ketua RT agar dibagikan aktivator tersebut untuk ibu-
ibu yang ingin membuat pupuk kompos dari sampah. Berdasarkan hasil diskusi beberapa ibu-ibu yang berminat membuat pupuk kompos tersebut dan
ada beberapa ibu-ibu yang tidak berkenan untuk membuat pupuk kompos di rumah masing-masing karena mengurus anak-anak dan repot untuk
melakukan pencincangan sampah tersebut. Melihat situasi tersebut, penulis mencari pemimpin dalam organisasi yang
baru untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan sampah yaitu Ibu Fa karena semua komunitas sudah mengetahui
kinerja Ibu Fa selama bertahun-tahun melakukan pemungutan sampah disekitar rumahnya untuk dibakar. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara
dengan ibu MN mengatakan bahwa saya akan mengikuti pemilahan sampah jika seluruh masyarakat melakukan hal yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat bersedia melakukan pemilahan sampah jika ada kesepakatan ibu-ibu untuk memilah sampah di rumahnya.
Menurut penulis alternative yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala diatas adalah melakukan kelompok pengelola sampah dengan syarat
masyarakat yang melakukan pemilahan sampah dan kelompok ibu-ibu pengelola sampah yang melakukan pengkomposan dalam skala besar untuk
menampung sampah yang tidak diolah oleh masyarakat. Pengkomposan dilakukan dengan bahan aktivator yaitu promi yang cara penggunaannya lebih
mudah dalam skala besar tanpa dilakukan pencacahan agar menghasilkan pupuk kompos. Berdasarkan hal tersebut penulis menawarkan kepada Ibu Fa
sebagai ketua kelompok pengelola sampah dan menggunakan lahan rumahnya untuk melakukan pengkomposan. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Fa
mengatakan bahwa “Hal ini dapat saya lakukan tapi harus dibantu oleh ibu yang lain
karena saya kurang banyak memiliki waktu karena mengurus suami yang sedang sakit. Dibelakang rumah saya dapat digunakan
untuk pengkomposan.”
Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan jika masyarakat diajak bersama-sama menyadari
bahwa adanya permasalahan sampah yang harus dikelola secara bersama. Pembuatan pupuk kompos ini harus dilakukan juga dengan pembelian alat
pencacah karena hasil pengkomposan sampah menggunakan promi tidak halus sehingga perlu alat pencacah agar dapat dijual kepada masyarakat.
Kemudian penulis melakukan diskusi kepada pemuda GMKK tentang pengelolaan sampah ditingkat komunitas. Hasil diskusi mengatakan bahwa
pengelolaan sampah yang menggunakan komposting dan alat pencacah baru mereka ketahui. Penanganan sampah yang dapat mereka lakukan sekarang
hanya sebatas menanam enceng gondok agar dibawah rumah ini tidak dipenuhi dengan sampah. Enceng gondok bisa menahan sampah masuk
kebawah kolong rumah. Mereka akan mendukung pelaksanaan komposting tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara ketua GMKK mengatakan bahwa adanya sifat panas-panas tai ayam yang antusias pada awalnya saja dan akhirnya tidak
akan antusias lagi sehingga sulit untuk menggerakan pemuda agar berkelanjutan dalam membuat pupuk kompos tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa pergerakan yang dilakukan oleh pemuda hanya sebatas mendukung kegiatan pemilahan. Menurut pendapat salah satu pemuda GMKK
mengatakan bahwa pelaksanaan pengelolaan kompos tersebut mau dikerjakan pemuda jika penghasilan sebulan sekitar Rp.600.000,-. Hal ini menunjukkan
belum adanya jiwa wiraswasta untuk membuat pupuk tersebut dapat
dipasarkan dengan bantuan dana dari pemerintah dalam membuka peluang kerja baru.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RT mengatakan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap sampah adalah hina. Mereka tinggal
dikota masih banyak pekerjaan yang lain dan para pemuda juga gengsi dengan pekerjaan sebagai pengelola sampah. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat belum bisa melihat usaha sampah adalah prospek kedepan yang menjanjikan walaupun awalnya belum memperoleh hasil yang memuaskan.
Banyak pengusaha sampah yang kaya seperti pengusaha sampah di Bandung. Berkaitan dengan kerajinan sampah yang diperkenalkan kepada ibu-ibu. Ibu-
ibu masih ragu untuk melaksanakan kerajinan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu RT mengatakan bahwa
“Tidak ada yang mau beli barang tersebut karena kita berada di tengah kota yang mempunyai barang lebih bagus dari barang
buatan sampah. Hal ini sulit dilakukan.”
Tersedia sumberdaya untuk membuat kerajinan sampah di masyarakat dan tukang jahit sehingga dengan adanya jaminan pemasaran barang tersebut akan
meningkatkan pendapatan tukang jahit dan semangat masyarakat untuk pengelolaan sampah. Untuk masalah dana komunitas dapat dilakukan
pengumpulan iuran dari komunitas. Hal ini berdasarkan hasil wawancara kepada ketua RT bahwa
“Masyarakat sudah terbiasa memberikan sumbangan untuk kegiatan Kampung Kamboja seperti pesta meriam pada saat Idul
Fitri, penarikkan uang keikursertaan masyarakat untuk memeriahkan acara tersebut dapat dilakukan dengan melakukan
pemungutan sumbangan dari warga sebesar Rp.10.000,-. Adanya partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan uang tersebut dapat
dilakukan untuk kegiatan pengadaan kelompok penanganan sampah berbasis masyarakat untuk membeli alat pencacah yang
sederhana.”
Menurut pendapat ketua GMKK menyatakan adanya kebijakan ketua RT untuk melakukan pungutan iuran untuk pengelolaan sampah maka masyarakat
di kampung ini akan bergerak untuk mengumpulkan uang tersebut. Jika ketua
RT memahami perlunya penanganan sampah berbasis masyarakat dan bersedia untuk memberikan kebijakan penarikan iuran atas kegiatan tersebut,
maka pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini dapat berjalan. 2. Tingkat Pemerintah Daerah
Pada tingkat pemerintah daerah penulis membuka akses masyarakat untuk dapat melakukan pengaduan atau permohonan pengelolaan sampah pada
pemerintah. Selain itu penulis juga mendiskusikan pengelolaan sampah untuk daerah dipinggiran Sungai Kapuas yaitu sebagai berikut:
a. Untuk menyadari masyarakat bahwa pemda peduli terhadap masyarakat dipinggiran sungai penulis menghadap Kepala Kantor Pengendalian
Dampak Lingkungan untuk mendiskusikan program yang dapat dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 tersebut. Hasil diskusi mengatakan bahwa
adanya kegiatan penyuluhan yang dikoodinator oleh Kapeldalda gabungan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Dinas Kesehatan
untuk masalah sampah. Penyuluhan tersebut dilakukan 24 kali setiap tahun pada 24 kelurahan. Penulis meminta kepada kepala kantor agar
penyuluhan di Kelurahan Benua Melayu Laut dilaksanakan di komunitas RT 02 RW 07. Kepala kantor bersedia mengadakan penyuluhan di daerah
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala seksi pengendalian dampak lingkungan mengatakan bahwa
“Adanya ketentuan pembelian peralatan dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum sedangkan kantor tidak bisa melakukan
pembelian peralatan. Anggaran yang diajukan di tolak oleh DPRD. Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum melaksanakan pembangunan
WC umum tidak melibatkan kami untuk melihat dari pengendalian lingkungannya. Semua berjalan sendiri-sendiri.”
Hal ini menunjukkan belum adanya tujuan yang jelas tentang siapa melakukan apa dan ego sektoral yang menganggap bahwa program
dinas adalah milik dinas tanpa adanya koordinasi antara sesama dinaskantorbadankecamatankelurahan.
b. Untuk mendapatkan bantuan pendampingan dari Dinas Urusan Pangan yang memiliki tenaga fungsional sebagai penyuluh dalam pembuatan
kompos cair dan pupuk kompos di wilayah Kelurahan Benua Melayu Laut. Penulis menghadap kepala bagian tata umum untuk meminta tenaga
penyuluh melakukan pendampingan di komunitas agar dapat membuat pupuk kompos yang berkualitas. Kepala Bagian Dinas Urusan Pangan dan
tenaga penyuluh bersedia melakukan pendampingan pembuatan pupuk kompos tersebut jika masyarakat mempunyai kemauan untuk belajar
membuat pupuk kompos. Petugas penyuluh dapat di sms oleh masyarakat untuk mendapatkan pelatihan pembuatan pupuk kompos di rumah mereka.
c. Untuk mendapatkan dukungan penguatan masyarakat dalam pengelolaan sampah, penulis menghadap Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengatakan bahwa pengelolaan sampah yang berada di kota
belum dapat tertangani dengan anggaran yang ada apalagi untuk pengelolaan sampah yang berada di bantaran sungai. Adanya pandangan
dinas kedepan akan mengurangi jumlah TPS untuk memperindah kota dan memindahkan TPS yang berada dipinggir jalan menjadi ke gang agar kota
nampak lebih indah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang berada di bantaran sungai
belum mendapatkan perhatian dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan karena luasnya pelayanan yang harus diberikan oleh Dinas Kebersihan
dan Pertamanan sehingga tidak dapat semua tertangani. Penulis juga menghadap kepala seksi penyuluhan, kegiatan yang dilakukan sekarang
hanya sebagai penyuluhan yang dilakukan 24 kali dalam setahun sehingga setiap kelurahan hanya dilakukan satu kali penyuluhan yang merupakan
gabungan dari Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Dinas Kesehatan yang dapat dilakukan pada saat sore atau malam hari sesuai
dengan permintaan masyarakat melalui kelurahan. Hal ini menunjukkan bahwa menumbuhkan kesadaran di tingkat komunitas dengan penyuluhan
ini belum dapat dirasakan hasil dari penyuluhan tersebut karena untuk menumbuhkan kesadaran memerlukan waktu dan proses pembelajaran
dengan membutuhkan pendampingan. d. Untuk mendapatkan bantuan pelatihan pupuk kompos, penulis menghadap
kepala seksi pembangunan di Sekretariat Daerah Kota Pontianak Bagian Ekonomi Pembangunan untuk melihat eksis pemerintah terhadap
penanganan sampah. Mengingat nilai adipura Kota Pontianak adalah 63,60 dengan skala nilai sedang dengan nilai komponen pemantau
pemanfaatan sampahkomposting adalah 35,00 termasuk klasifikasi jelek, sehingga Pemda Kota Pontianak akan melakukan pelatihan komposting
dari 29 kelurahan dengan 145 peserta. Maka penulis meminta kepala seksi untuk mendaftarkan nama salah satu komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan
Benua Melayu Laut ikut pelatihan tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan karena pemilihan peserta yang ikut pelatihan merupakan rekomendasi
kelurahan. e. Untuk mendapatkan dukungan dari kelurahan agar program penanganan
sampah di daerah bantaran sungai dapat dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 Kelurahan Benua Melayu Laut sebagai project plan maka penulis
menghadap Kepala Lurah untuk diskusi tentang praktek pembuatan kompos yang pernah di komunitas tersebut. Dalam hal ini komunitas
memerlukan tindak lanjut untuk memotivasi dan mendorong masyarakat. Kepala kelurahan akan mendukung komunitas tersebut dalam pengelolaan
sampah tersebut. f. Untuk mendapatkan dukungan dalam pelatihan membuat kerajinan
sampah dari pemerintah, penulis menghadap kepala seksi pelatihan Propinsi Kalimantan Barat. Program pelatihan dari badan ini merupakan
program dari pemerintah pusat. Dia merekomendasikan penulis untuk mengajukan proposal di Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan
Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat yang mempunyai anggaran untuk pelatihan tersebut dengan mengajukan proposal melampirkan rincian
kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga dinas dapat menindaklanjuti program tersebut. Penulis diberikan contoh pembuatan program beserta
rinciannya. Menurut kepala seksi tersebut, proposal yang diajukan atas permintaan masyarakat akan ditindaklanjuti jika tidak tahun ini, akan
diajukan tahun depan. Mengingat Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan memberikan bantuan tong sampah kepada pemenang
Perlombaan Green and Clean bagi masyarakat yang membutuhkan. Pemda Propinsi memiliki anggaran untuk pengadaan pengelolaan sampah.
3. Tingkat Pengusaha Untuk membuka jaringan pasar terhadap penjualan sampah, penulis
mendatangi pimpinan perusahaan yaitu pengusaha sampah di Riung Bandung tentang pengelolaan sampah di Pontianak. Ternyata perusahaan ingin
mengembangkan usahanya di Kota Pontianak, kontribusi yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah memberikan pelatihan secara gratis kepada penduduk
di komunitas RT 02 RW 07 untuk memilah jenis plastik dan besi tua. 4. Tingkat LSM
Penulis mengunjungi LSM untuk mendiskusikan tentang pengelolaan sampah yang dilakukan di komunitas RT 02 RW 07 dalam hal pendampingan
dan pendanaan untuk pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil diskusi LSM memiliki tenaga untuk pemberdayaan di komunitas tersebut dan dana
untuk melaksanakan pemberdayaan tersebut. LSM memiliki tenaga pemuda cinta lingkungan yang dapat digerakkan untuk pengelolaan sampah di
bantaran sungai. Penulis yang diharapkan untuk membuat jenis program yang diperlukan untuk pemberdayaan masyarakat di bantaran sungai yang akan
didukung dengan tenaga dan pendanaan.
6.5 Ikhtisar