II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan hasil kajian tentang pengelolaan bersama joint management pelayanan persampahan di wilayah perkotaan Pusat Kajian dan Diklat Aparatur,
2004 dengan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah pada umumnya, dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengangkutan Pengangkutan secara swadaya
Recycling
Gambar 2.1 Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah yang diolah Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah pada umumnya sampah
yang sudah tercampur dari rumah tanggasekolahpasar yang berada di TPS diangkut oleh Dinas Cipta Karya ke tempat pembuangan akhir sampah.
Sedangkan untuk pengangkutan sampah dari sumber sampah rumah tangga,sekolah,pasar ke TPS diangkut secara swadaya oleh masyarakat dan
pemulung memilah sampah di sumber sampah. TPS dan TPA. Sistem ini dianggap belum optimal karena keterbatasan daya angkut sampah yang
dimiliki oleh Dinas Cipta Karya atau PD Kebersihan. Masalah ini menyebabkan
Swadaya masyarakat
Pengelolan Sampah oleh Dinas Cipta Karya
Sampah tercampur dari rumah
tanggasekolahpasar TPSDepo
Sampah Tempat Pembuangan
Akhir Sampah
Pemulung
tidak semua sampah bisa terangkut habis. Kelemahan ini juga ditambah dengan lemahnya penerapan peraturan daerah serta disiplin masyarakat yang kurang
menunjang. Selain itu, sistem pengelolaan sampah ini menimbulkan persoalan yaitu:
a. Persepsi dan perilaku masyarakat yang masih salah tentang sampah. Persepsi tersebut antara lain: sampah adalah urusan pemerintah melalui Dinas
Pekerjaan Umum Cipta Karya atau PD Kebersihan; sampah dapat dibuang dimana saja, baik di jalan, di pasar, di sungai dan sebagainya; serta masyarakat
tidak mengetahui bahaya sampah plastik dan lain-lain Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004.
b. Banyaknya pembuangan sampah di luar TPS menunjukkan indikasi bahwa jumlah TPS yang tersedia di suatu wilayah kurang mencukupi Amin, 2000.
c. Pengangkutan sampah umumnya dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk pengangkut sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat
maupun dinas kebersihan. Masalah yang terjadi pada saat pengangkutan sampah adalah sampah dan cairan sampah berceceran sepanjang rute
pengangkutan, atau terhalangnya arus transportasi akibat truk pengangkut sampah yang digunakan oleh dinas kebersihan kota mengangkut sampah
Pusat Kajian dan Diklat Aparatur, 2004. d. Penanganan TPA yang tidak bijak menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan karena bau yang ditimbulkan dari sampah yang terdekomposisi, bau tersebut kemudian akan mengundang lalat yang dapat menyebabkan
berbagai penyakit menular. Selain hal tersebut tanah maupun air tanah dan air bawah tanah terkontaminasi oleh cairan lindi karena TPA tidak dilengkapi
dengan kolam pengolah lindi. Hal tersebut menyebabkan kesulitan bagi pengelolaan sampah untuk menyediakan lahan yang akan digunakan sebagai
TPA karena umumnya penduduk setempat akan menolak bila sekitar daerahnya akan digunakan sebagai TPA Arianto dan Darwin, 2002.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah tidak mendidik masyarakat untuk menjaga kebersihan agar
berperilaku santun terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perlunya sistem baru yang menggunakan potensi kelembagaan RT dipicu untuk aktif berperan dan juga
sekaligus mengawasi yaitu dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Kusumastuti Rezeki 2003 di TPS Rawa
Kerbau Jakarta Pusat bahwa proses yang dirancang dalam usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini berupa pemilahan dan pembuatan
kompos. Sampah lainnya yang bernilai komersial langsung dijual ke bandar. Peralatan dan mesin yang digunakan dalam kegiatan berupa belt conveyor untuk
membantu mempermudah pemilahan sampah dan alat pendukung lainnya: sapu lidi, cangkul, sekop, sarung tangan dan sepatu boot. Proses yang sederhana dan
penggunaan mesin yang seminimal mungkin akan lebih memudahkan pemeliharaannya dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Manfaat langsung pengolahan sampah terpadu skala kawasan terdiri atas penghasilan dari penjualan pupuk kompos dan pemanfaatan daur ulang sampah
komersial sebesar Rp. 203.228.400,00tahun. Manfaat tak langsung lingkungan adalah nilai kualitas lingkungan yang dihasilkan dengan adanya usaha tersebut
sebesar Rp. 53.160.000,00tahun. Biaya yang diperlukan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan perawatan sebesar Rp. 223.581.000,00tahun dan
biaya perlindungan lingkungan sebesar Rp. 2.500.000,00tahun. Usaha kegiatan yang akan dilakukan bersifat padat karya sehingga perkiraan penggunaan alat dan
biaya semaksimal mungkin mendekati harga yang dapat dijangkau oleh komunitas lokal. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murdeani 2005 di
Kelurahan Sukapura dan Kelurahan Sukagalih di Kota Bandung berkesimpulan bahwa:
a. Perilaku memilahtidak memilah sampah tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi
masyarakat. Tetapi perilaku memilahtidak memilah berhubungan dengan persepsi responden mengenai tingkat kesulitan memilah sampah;
b. Kesediaan responden untuk memilah berhubungan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, persepsi responden mengenai tingkat kesulitan memilah sampah.
Tetapi kesediaan responden untuk memilah tidak berhubungan dengan tingkat ekonomi dan kesejahteraan responden;
c. Adanya perubahan nyata pada pengetahuan mengenai persampahan setelah diberikan treatment berupa kampanye dengan penyebaran artikel.
Berikut ini adalah perbandingan antara pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan pengelolaan sampah dengan sistem pemerintah berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh utami 2008 dan Firnandi 2002 sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbandingan Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah dan Pengelolaan
Sampah Berbasis Masyarakat
No Aspek-Aspek
Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah berbasis
masyarakat dengan komposter rumah
Pengelolaan sampah berbasis
masyarakat dengan
membuat kompos
komunal Pengelolaan
sampah oleh pemerinah
1. Efektif
Reduksi jumlah sampah
57,1 dari total jumlah sampah
70 dari jumlah sampah
10 – 15 dari jumlah sampah
di TPA
2. Efisiensi
a. Teknologi peralat
- Biaya 1.000.000
- Perlu banyak komposter
individu - Biaya 10
juta - Perlu 1
instalasi pengomposan
komunal - Biaya 1
milyar - Perlu banyak
angkutan sampah
b. Waktu pengembangan
Lama 10 tahun Relative singkat
3-12 bulan Perhari
c. Pelaksanaan sistem
pengelolaan Pasang surut tidak
konsisten Konsisten
Konsisten 3.
Ekologis - Pencemaran
akibat pengelolaan
sampah dapat dihindari
- Adanya keterpaduan
antara recycling, reuse dan replant
Pencemaran akibat
pengelolaan sampah dapat
dihindari Pencemaran
akibat pengelolaan
sampah
4. Ekonomis
a. Pembiayaan Tercukupi oleh
retribusi sampah Tercukupi oleh
retribusi sampah Tidak tercukupi
oleh retribusi sampah
5. Sosial Budaya
a. Partisipasi pelaku
Partisipasi kolaboratif antar
pelaku sesuai kapasitanya dalam
setiap proses pengelolaan
sampah Tidak dibangun
partisipasi pelaku lainnya
sesuai kapasitasnya
Tidak menumbuhkan
partisipasi
b. Peran pemimpin lokal
Pendampingan oleh inisiator, block
leaders dan pemimpin lokal
yang kuat Pendampingan
yang kuat dari inisiator
Pelaksana pengangkutan
sampah
c. Pemanfaatan hasil pengelolaan
sampah Dinikmati oleh
seluruh pelaku terkait
Hanya dinikmati tukang sampah
dan pengelola kelompok
pengelola sampah
Hanya dinikmati masyarakat yang
dapat dilalui oleh angkutan
sampah
6. Kelembagaan
Peranan dan kemitraan
kelembagaan optimal mendukung
program pengelolaan
sampah Peranan
lembaga tidak optimal
Peranan lembaga tidak
optimal
7. Kebijakan
- Ada dukungan pemerintah
daerah - Partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan
sampah belum diatur dalam
perda - Tidak adanya
dukungan dari pemerintah
pasca konflik dengan dinas
cipta karya
- Partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan
sampah belum diatur dalam
perda Pengelolaan
sampah dengan sistem
pengumpulanpe wadahan,pemin
dahanpengangk utan,pemusnaha
npenggurugan
Sumber: Utami 2008 dan Firnandi 2002 diolah
Sedangkan berdasarkan laporan evaluasi program ADIPURA tahun 2007 dalam Tonny 2007 secara umum masyarakat di seluruh kategori kota Metrpolitan,
Besar, Sedang dan Kecil memandang ADIPURA sebagai program yang kental dengan kepentingan pemerintah dan tidak mempertimbangkan bagaimana agar
masyarakat lebih berpartisipasi terhadap upaya peningkatan kebersihan dan
keteduhan kota. Padahal, tanpa adanya partisipasi masyarakat, apapun kebijakan yang diputuskan pemerintah tidak akan dapat diimplementasikan dengan baik.
Seharusnya, masalah peningkatan kebersihan dan keteduhan kota bukan untuk kepentingan memperoleh Anugerah ADIPURA, tetapi justru untuk kepentingan
masyarakat. Sehingga, yang paling penting adalah bagaimana membudayakan gerakan kebersihan itu sendiri. Bagaimana pemerintah kota bisa menerjemahkan
Program ADIPURA hingga ke keseharian masyarakat akar rumput. pelaksanaan Program ADIPURA juga lebih terkesan dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan
aparatur pemerintah. upaya membangkitkan peranserta masyarakat telah didukung dengan regulasi pemerintah, seperti Perda tentang Kebersihan. Akan tetapi,
regulasi tersebut kurang maksimal implementasinya karena tidak menerapkan reward and penalty. Peranan pemerintah lokal dan pusat sebagai “motor
penggerak” yang dominan dibandingkan peran masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Masyarakat menilai “keberhasilan” tersebut
merupakan “penilaian sesaat” untuk kepentingan pemerintah lokal dan pusat. Sampai sejauh ini masyarakat memandang bahwa peran masyarakat lebih
disebabkan karena ada gerakan yang memobilisasi warga masyarakat oleh proyek pemerintah daripada kesadaran dari dalam masyarakat dan cenderung bersifat
temporer. Adapun tantangan dan hambatan pengembangan pengelolaan sampah berbasis
masyarakat adalah : a. Inkonsisten kelompok pengelola sampah dalam menghadapi masalah
pengelolaan sampah di lingkup kerjanya. b. Perlunya tenaga teknis atau pendamping untuk membuat pola pengelolaan
sampah berbasis masyarakat yang sangat tergantung dengan karakteristik masyarakat.
c. Tergantung kepada kesadaran masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah pada tingkat rumah tangga yang akhirnya menjadi kebiasaan
masyarakat.
d. Perlu waktu yang lama untuk membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat karena menyangkut perubahan perilaku masyarakat untuk
memilah sampah.
2.2 Penanganan Sampah Berbasis Masyarakat