b. Relief 13, Keanekaragaman Adat Budaya di Kabupaten Kediri
Gambar 59: Keanekaragaman Adat Budaya di Kabupaten Kediri
Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015
Panel relief 13, terlihat sangat padat dikarenakan semua wimba digambarkan saling bertumpukkan. Pembaca dapat membaca dari arah mana saja, dikarenakan
semua wimba digambarkan dengan skala yang sama besar. Wimba yang paling penting dalam cerita ini adalah arak-arakan manusia yang berada di tengah panel,
menandakan sedang adanya kirab budaya. Wimba manusia digambarkan namapak karakteristiknya, yaitu terlihat dari baju yang dikenakan dan atribut yang dibawa
berupa payung dan kitab-kitab. Biasanya arak-arakan dilakukan pada saat bulan suro yang diadakan di gunung Kelud untuk upacara suroan. Hal tersebut dapat dilihat pada
sudut kiri atas yang digambarkan adanya gunung Kelud dalam panel. Volume dapat terlihat jelas dari lekukan daun-daun dan garis tebal-tipis pada wimba yang lain.
Di lain hal, upacara-upacara adat di Kediri sampai saat ini masih dilaksanakan. Sebagai contoh adalah upacara larung di Gunung Kelud. Suroso
menceritakan, bahwa Kerajaan itu bernama Bantarangin, yang dipimpin oleh Joko Lodro yang
bergelar Mahesa Sura. Beliau mempunyai adik yang bernama Singo Lodro bergelar Jata Sura Lembu Sura. Mahesa Sura menyuruh Jata Sura untuk
melamarkan Ratu dari Kerajaan Dahanapura. Melihat kecantikan Ratu Dewi Kilisuci, Jata Sura jatuh cinta kepada Dewi Kilisuci dan ingin
mempersuntingnya. Mengetahui hal itu, muncul niat Jata Sura untuk membunuh Mahesa Sura agar bisa menikahi Dewi Kili Suci. Setelah
membunuh Mahesa Sura, Jata Sura melamar Dewi Kilisuci, namun Dewi Kilisuci memberikan syarat agar dibuatkan sumur di Gunung Kelud sampai
air keluar darinya dan diselesaikan sebelum fajar menyingsing. Dewi Kilisuci membuat siasat dengan Patih Pujanggeleng, para prajurit telah siap membawa
tombak kelor yang telah disiapkan di dekat sumur. Kemudian Patih Pujanggeleng melemparkan boneka tiruan yang menyerupai Dewi Kilisuci.
Jata Surapun langsung melompat ke dalam sumur, ketika Jata Sura masuk ke dalam sumur, tombak dan batu dilemparkan ke dalam sumur hingga akhirnya
Jata Sura mati wawancara pada 6 Desember 2015.
Sampai saat ini sesumbar Jata Sura masih diingat oleh warga Kediri, Suroso menambahkan, Yoh wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-
kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar bakal dadi latar, Tulungagung bakal dadi kedhung”. Kalimat tersebut mempunyai arti “Hai orang Kediri suatu saat akan
mendapatkan pembalasanku yang berlipat-lipat, yaitu Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan menjadi rata, Tulungagung akan menjadi telaga”.
Berawal dari ancaman atau sumpah serapah yang dikatakan oleh Jata Sura atau Lembu Sura itulah, masyarakat di sekitar Gunung Kelud membuat tradisi tolak
balak larung sesaji Gunung Kelud. Menurut Suroso, acara larung sesaji ini dilakukan setiap bulan Sura dan setiap desa memiliki prosesi yang berbeda-beda. Biasanya
setiap desa membawa sesaji, kenduri atau selamatan dan lain-lain wawancara 6 Desember 2015.
4. Kekayaan Alam Kediri
Gambar 60: Gemah Ripah Loh Jinawi, Kesuburan Bumi Kediri Bidang Pertanian dan Pengolahan Tanah
Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015