Relief 11, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh

e. Relief 14, Pembacaan Lontar

Gambar 57: Pembacaan Lontar Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015 Relief 14, berukuran 5 meter x 3 meter yang dibuat pada pertengahan tahun 2002. Sri Aji Jayabaya digambarkan tampak pada latar depan dan dengan skala yang lebih besar dari wimba lainnya, penggambaran tesebut sebagai tanda bahwa tokoh Jayabaya sangat penting dalam cerita demikian juga tokoh yang berada di belakangnya adalah sebagai penguat adegan pembacaan lontar yang dilakukan oleh Jayabaya. Jayabaya terlihat dengan mengenakan kalung dan mahkotanya. Pembacaan lontar berada di dalam istana kerajaan Kadiri, ini terlihat jelas pada tiang yang digambarkan dengan mewah penuh ukiran yang dibalut dengan korden. Panel relief 14, merupakan adegan Jayabaya membaca lontar yang telah diselesaikan oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tentang pembuatan kitab Bharatayuda. Sudut pengambilan gambar berada pada rata-rata mata. Proporsi pada relief ini, khususnya tokoh Sri Aji Jayabaya terlihat jelas ukuran tangan dan ukuran badan yang jauh dari proporsional anatomi tubuh. Akibatnya tangan Sri Aji Jayabaya terlihat lebih kurus, tidak sesuai dengan tubuhnya yang terlihat atletis. Garis-garis lengkung statis dan garis lurus statis membuat kesan relief ini diambil seperti dipotret, tidak ada unsur gerak didalamnya. Di lain hal, relief ini menurut Suroso dalam wawancaranya pada 6 Desember 2015 menceritakan pembacaan lontar atau sebuah prasasti yang berisi pemberian tanah merdikan Kediri kepada Bhagawanta Bhari yang dibacakan oleh Sri Aji Jayabaya. Pembacaan lontar diadakan setiap tanggal 25 Maret yang merupakan peringatan pemberian tanah merdikan Kediri dari raja Mataram Hindu kepada Bhagawanta Bhari sebagai hadiah atas dedikasinya sebagai pemuda yang mampu menggerakkan masyarakatnya untuk bekerja keras. Sebagai buktinya adalah adanya waduk Harinjing. Sehingga setiap 25 Maret diperingati hari jadi Kediri. Sampai saat ini lontar yang asli berada di Jakarta yang dulunya masih tersimpan di Leiden Belanda.

3. Keberagaman Agama dan Budaya Kediri

a. Relief 4, Toleransi Antar Umat Beragama

Gambar 58: Toleransi Antar Umat Beragama di Kabupaten Kediri Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015 Pada relief 4, berukuran 5 meter x 3 meter yang dibuat pada pertengahan tahun 2002. Masing-masing pemeluk agama digambarkan tampak karakteristiknya yaitu ditunjukkan dengan pakaian yang dikenakan dan kitab yang dibawa oleh semua pemeluk agama. Penggambaran rumah ibadah menimbulkan kesan melayang di atas tokoh pemeluk agama yang menandakan rumah ibadah mereka masing-masing. Penyusunan komposisi seperti pane relief 4 menimbulkan kesan bahwa pembaca seolah-olah akan mengidentifikasi sendiri pemeluk agama dan rumah ibadah dari para pemeluk agama tersebut. Misalnya yang beragama Islam dalam relief dengan rumah ibadahnya yaitu masjid. Semua wimba digambarkan secara naturalis sehingga pesan akan cepat ditangkap oleh pembaca. Menurut Suroso, penempatan relief kerukunan umat beragama di Kediri merupakan sebuah bentuk pelaksanaan sila Pancasila yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa wawancara pada 6 Desember 2015. Berdasarkan amandemen Undang- Undang Dasar 1945, agama yang diakui oleh Pemerintah berjumlah enam agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghutchu. Berdasarkan dua pernyataan tersebut, pada relief 4, tidak tervisualkan pemeluk agama Konghutchu, namun hanya lima pemeluk agama yang divisualkan, yaitu agama Islam, Katolik, Budha, Hindu, dan Protestan. Pada awal pemerintahan Orde baru, tepatnya pada 23-27 Agustus 1967 telah diadakan Kongres ke-VI di mana Soeharto selaku Presiden Republik Indonesia pada waktu itu memberikan sambutan tertulis mengatakan bahwa “Agama Konghutchu mendapat tempat yang layak dalam negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila ini”.