Relief 16 Analisis Bahasa Rupa Relief Monumen Simpang Lima Gumul Kediri
ini hanya dipentaskan satu tahun sekali di balai desa setempat punden. Beberapa kesenian khas Kediri lainnya seperti jemblung dan wayang suluh pun mengalami hal
yang serupa. Tidak hanya kesenian yang disebutkan di atas yang hampir mengalami
kepunahan, namun ada beberapa kesenian yang mengalami “disfungsional” dari
esensi sebuah seni pertunjukan. Kesenian tersebut adalah kesenian jaranan, kesenian rebana dan kesenian tiban. Pada hakikatnya, kesenian-kesenian tersebut merupakan
form following meaning bentuk yang mengikuti makna yang mana dari tindakan kesenian art work tersebut ditujukan kepada Yang Maha Kuasa dengan tujuan
mengharapkan rahmat dan sebagai penyampai syiar-syiar agama. Misalnya kesenian tiban yang berada di Desa Purwokerto, Kecamatan Ngadiluwih Kabupaten Kediri
kini menjadi ajang selebrasi yang kehilangan makna devosi kebaktian yang bukan lagi bersifat sakral namun menjadi sebuah hiburan semata. Perubahan tersebut
dikarenakan adanya beberapa faktor yakni, tingkat ekonomi masyarakat dan cara pandang masyarakat mengenai kebermaknaan kesenian tiban.
Dalam hal ini, ada kemungkinan bahwa kesenian khas Kediri menjadi sorotan utama pihak pemerintah Dinas Budaya dan Pariwisata Kediri untuk dikembangkan
menjadi objek wisata budaya Kediri guna sebagai bentuk antisipasi punahnya kesenian khas Kediri. Pada dasarnya tujuan tersebut sangat membantu terhadap
keberlangsungan hidup kesenian khas Kediri beserta para senimannya.
Di sisi lain, jumlah panel relief yang bertemakan kesenian pada Monumen Simpang Lima Gumul Kediri ini merupakan media penyampai pesan kepada
masyarakat Kediri, bahwa Kediri memiliki heritage yang sekarang keberadaannya berada diujung tanduk dan harus dilestarikan kembali sebagai wujud Kediri sebagai
kota budaya dan kesenian tradisi. Di lain hal, kesenian-kesenian yang ada di Kediri menjadi sebuah heritage yang bermuatan simbolik akan masa kejayaan Jayabaya
memerintah Panjalu. Dimana kesenian tumbuh dari budaya kalangan masyarakat abangan atau di luar kerajaan. Menurut Suroso, masyarakat Kadiri pada masa itu
sangat mengagungkan tradisi-tradisi adat seperti tiban maupun pewayangan. Kesenian tradisi itu tumbuh di luar keraton Kadiri wawancara pada 6 Desember
2015. Melihat potensi masyarakatnya, Jayabaya kemudian menuliskannya dalam bentuk sastra. Pada masa pemerintahan Jayabaya, Kediri terkenal dengan
kesustraannya seperti Kitab Bharatayuda dan Jangka Jayabaya. Namun, hampir semua kesenian Kediri mempunyai hubungan dengan sikap batil manusia, misalnya
kesenian tiban. Kesenian tiban hadir dikalangan masyarakat abangan pada masa sebelum Jayabaya memimpin. Musim kemarau panjang yang melanda daerah Kediri
membuat masyarakat mengadakan ritus tiban. Pada hakikatnya bukanlah musim kemarau panjang yang digunakan sebagai sign. Namun, sebab dari kemarau panjang
yang melanda Kediri pada saat itu masih dipertanyakan. Selain itu, kesenian yang tercantum pada Monumen Simpang Lima Gumul
Kediri hanya berjumlah delapan buah, sedangkan kesenian di Kediri lebih dari yang tercantum pada relief Monumen Simpang Lima Gumul Kediri. Suharyoso
mengatakan, kesenian Kediri yang berada di Monumen Simpang Lima Gumul Kediri jauh dari refrensi local wisdom dan local genius Kediri. Salah satu kesenian yang
jauh dari refrensi tersebut adalah kesenian rebana, kesenian yang berasal dari Timur Tengah dengan lagu-lagu Islami. Berbeda dengan kesenian kentrung, trek, dan
kempling yang justru kesenian asli Kediri wawancara 10 Desember 2015. Lain dari pada itu, relief-relief yang berada di Monumen Simpang Lima Gumul Kediri
berkemungkinan diangkat berdasarkan mitologi, sejarah, dan dongeng dan dijadikan sebagai simbol identitas wilayah Kediri.
Berikut adalah tabel masing-masing tema relief yang terdapat pada Monumen Simpang Lima Gumul Kediri: