Pada latar kedua, terdapat empat orang yang memainkan alat musik Jemblung. Pesannya, empat orang tersebut adalah pemain musik Jemblung. Dimulai dari kiri ke
kanan, di sudut kiri orang tersebut memainkan alat musik kenong. Berikutnya di sebelah kirinya, orang tersebut memainkan alat musik kendang. Di sebelah kirinya
terdapat orang yang memainkan alat musik saron. Pemain musik yang berada pada sudut kanan adalah pemain alat musik gong. Pesannya, alat musik yang dimainkan
ada empat alat musik yaitu kenong, kendang, saron dan gong. Latar ketiga berupa tanah lapang atau halaman yang luas yang ditunjukkan dengan kosongnya dekorasi
yang menghiasi panel tersebut. Pesannya, kesenian Jemblung dilaksanakan di tempat terbuka atau lahan yang luas.
Dalam penyampaiannya, kesenian Jemblung mempunyai tutur bahasa daerah Jawa ngoko yaitu dengan menggunakan dialog bahasa sehari-hari. Campuran antara
bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa agar mudah dipahami oleh masyarakat sehingga terjadi aksi timbal balik antara pemain dan penonton Suroso, wawancara
pada 6 Desember 2015. Sugito menambahkan, jemblung mempunyai keunikan dalam pembawaan
keseniannya. Sampai saat ini jemblung merupakan satu-satunya kesenian yang masih murni sebagai seni tutur di tengah-tengah isu modernitas kesenian wawancara pada
10 Desember 2015. Selain itu Sugito menjelaskan bahwasannya tari-tarian yang ada pada kesenian jemblung merupakan teknik pengalihan yang digunakan sebagai
antisipasi kejenuhan bagi penonton. Dikarenakan pertunjukkan jemblung sangat panjang dan lama wawancara 10 Desember 2015.
Sebagian besar pemain kesenian jemblung adalah laki-laki, sebab pada saat itu pengaruh Islam sangatlah kuat yang mengatur batasan-batasan wanita dalam sebuah
pertunjukan. Sehingga apabila pada pertunjukkan seni jemblung dibutuhkan peran wanita maka wanita tersebut diperankan oleh-laki-laki dan cerita yang dibawakan
adalah cerita-cerita 1001 malam.
f. Relief 8, Kesenian Ludruk
Gambar 50: Kesenian Ludruk yang Tumbuh di Kediri Sebagai Salah Satu Identitas Jawa Timur
Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015
Relief 8 yang berjudul Kesenian Ludruk yang tumbuh di Kediri sebagai salah satu identitas Jawa Timur, menggambarkan salah satu adegan dari cerita lakon yang
dimainkan oleh para pemain Ludruk. Ukuran relief ini 5 meter x 3 meter yang dibuat pada pertengahan tahun 2002. Dalam relief terlihat semua wimba digambarkan secara
utuh dari kepala sampai kaki dan pada bagian atas dan bawah masih menyisakan ruang. Penggambaran utuh tersebut untuk memperlihatkan gesture dari atau posisi
gerak dari semua wimba. Pada latar depan, pemain Ludruk digambarkan lebih besar dari tokoh lain yang berada pada latar kedua yaitu yang berada di belakangnya.
Pemain yang berada pada latar depan adalah tokoh penting dalam cerita, sedangkan pemain yang berada pada latar belakang merupakan pemain pendukung. Volume
terlihat dari lekukan kain dan baju pemain ludruk. Semua wimba digambarkan secara naturalis dan dengan cara khas tampak karakteristiknya.
Di lain hal, penempatan relief ludruk pada Monumen Simpang Lima Gumul Kediri ini mempunyai pesan kepada masyarakat seperti yang diungkapakan oleh
Suroso dalam wawancaranya pada 6 Desember 2015, bahwasanya: Kesenian ludruk adalah pertunjukkan teater tradisi yang memberikan
pencerahan kepada masyarakat melalui syair-syair sejak zaman Belanda sampai Jepang. Syair-syair yang digunakan berupa pantun yang dapat
menyentuh mental masyarakat. Pantun tersebut berisi ajakan perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang. Salah satu syair yang terkenal adalah
“pagupon omah doro, melok Nippon tambah sengsoro” yang dilantunkan oleh Cak Dul Asim. Namun demikian, syair Cak Dul Asim dianggap
memprovokasi oleh penjajah Jepang sehingga ia diculik dan dibunuh.
Menurut Sugito, Ludruk merupakan sandiwara atau pengumuman yang disandikan.
Pengumuman yang disandikan dalam permainan ludruk berisi propaganda, kampanye gelap yang didesain untuk mengumpulkan warga dan agitasi.
Teknik pemunculan ludruk diawali dengan musik-musik yang mengundang warga berdatangan. Setelah warga berkumpul barulah kidung-kidung yang
berisi agitasi dilantunkan. Setelah kidung berakhir barulah drama ceritanya dimulai. Tari-tarian pada ketoprak merupakan bentuk pengalihan waktu agar
penonton tidak jenuh dengan pertunjukkan wawancara pada 10 Desember 2015.
Sebagian besar pemain kesenian ludruk adalah laki-laki, dikarenakan pada
saat itu pengaruh Islam sangatlah kuat yang mengatur batasan-batasan wanita dalam sebuah pertunjukan. Sehingga apabila pada pertunjukkan seni jemblung dibutuhkan
peran wanita maka wanita tersebut diperankan oleh-laki-laki. Sugito menambahkan, wanita boleh bermain ketoprak hanya pada saat sandiwara radio wawancara 10
Desember 2015.