Sikap Hidup Orang Jawa

dipergunakan adalah wayang krucil dan wayang suluh. Relief wayang krucil yang terdapat pada Monumen Simpang Lima Gumul Kediri tersebut mengangkat cerita Sri Aji Joyoboyo memberikan tugas kepada Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dalam penulisan kitab Bharatyudha. Sehingga kiranya perlu kajian bahasa rupa ini mengulas simbolik bentuk manusia yang ditransformasikan dalam bentuk wayang krucil dan wayang suluh dari sudut pandang pewayangan Jawa. Wayang dalam bahasa Jawa mempunyai beberapa arti. Poedjawijatna 1983: 118 menjelaskan bahwa wayang pada umumnya semacam boneka berupa manusia atau binatang; adakalanya bukan boneka melainkan hanya berupa gambar. Menurut Susanto 2012:436 wayang merupakan bentuk tiruan manusia atau hewan yang dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam sebuah pertunjukan drama tradisiaonal dan biasanya dimainkan oleh orang yang disebut dalang. Wayang mempunyai kaitan dengan seni rupa, hubungan yang terjalin adalah soal pembuatan wayang. Artinya dalam pembuatan wayang dibutuhkan teknik, bahan dan alat, konsep penggambaran tokoh maupun ergonomisnya saat wayang dimainkan. Susanto 2012:436 menjelaskan bahwa wayang dalam seni rupa berkaitan pada bagaimana keindahan bentuk tokoh itu diwujudkan. Sehingga yang muncul adalah penggolongan wayang berdasarkan bahan maupun ceritanya. Sebagai ilmu baru yang ditemukan oleh Tabrani, bahasa rupa mempunyai peranan penting dalam penafsiran simbol yang digambarkan oleh wimba dalam sebuah visual yang representatif dan dirancang untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya. Salah satu visual representatif yang terdapat pada panil relief Monumen Simpang Lima Gumul Kediri adalah manusia. Salah satu contoh panil relief tersebut adalah penggambaran manusia dalam cerita kesenian Tiban. Tiban yang artinya “minta hujan”, merupakan tradisi saling mencambuk menggunakan lidi enauaren dengan cara selamatan sebagai pendahulunya. Tradisi ini dilakukan saat kemarau panjang melanda. Bahkan dipercaya apabila darah menetes ke bumi akibat cambukan lidi enauaren ini akan mengundang hujan turun. Maka pantaslah diteliti arti dan struktur simbolik dari aktivitas manusia yang tergambarkan pada panil relief tersebut. Seperti yang diungkapkan Bakker 1983:95 bahwasanya simbolisme begitu umum meresapi hidup manusia, pastilah berakar pada hakekatnya sendiri. Secara filosofis dapat diselidiki pula dasar dan kedudukannya. Tetapi untuk mencapai pemahaman tentang simbol religius, harus diselidiki terlebih dahulu arti dan kedudukan simbol dalam pergaulan manusia dengan orang lain dan dengan dunia sekitarnya. Kenyataan simbolis menjadi masalah inti dalam rangka hidup religius. Namun segi religius dalam simbol-simbol menambahkan dimensi baru. Seperti halnya dalam simbolisasi manusia, soal pokok bukanlah hubungan antara perwujudan lahiriah dan kepercayaan batiniah, melainkan relasi antara komunikasi human-cosmis dan komunikasi religius, kedua-duanya lahir-batin Bakker, 1983:116-117.

F. Penelitaian yang Relevan