Relief 12, Tokoh Perwira Menunggang Kuda Menggambarkan Kejayaan

Pada relief 4, berukuran 5 meter x 3 meter yang dibuat pada pertengahan tahun 2002. Masing-masing pemeluk agama digambarkan tampak karakteristiknya yaitu ditunjukkan dengan pakaian yang dikenakan dan kitab yang dibawa oleh semua pemeluk agama. Penggambaran rumah ibadah menimbulkan kesan melayang di atas tokoh pemeluk agama yang menandakan rumah ibadah mereka masing-masing. Penyusunan komposisi seperti pane relief 4 menimbulkan kesan bahwa pembaca seolah-olah akan mengidentifikasi sendiri pemeluk agama dan rumah ibadah dari para pemeluk agama tersebut. Misalnya yang beragama Islam dalam relief dengan rumah ibadahnya yaitu masjid. Semua wimba digambarkan secara naturalis sehingga pesan akan cepat ditangkap oleh pembaca. Menurut Suroso, penempatan relief kerukunan umat beragama di Kediri merupakan sebuah bentuk pelaksanaan sila Pancasila yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa wawancara pada 6 Desember 2015. Berdasarkan amandemen Undang- Undang Dasar 1945, agama yang diakui oleh Pemerintah berjumlah enam agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghutchu. Berdasarkan dua pernyataan tersebut, pada relief 4, tidak tervisualkan pemeluk agama Konghutchu, namun hanya lima pemeluk agama yang divisualkan, yaitu agama Islam, Katolik, Budha, Hindu, dan Protestan. Pada awal pemerintahan Orde baru, tepatnya pada 23-27 Agustus 1967 telah diadakan Kongres ke-VI di mana Soeharto selaku Presiden Republik Indonesia pada waktu itu memberikan sambutan tertulis mengatakan bahwa “Agama Konghutchu mendapat tempat yang layak dalam negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila ini”. Apabila menilik kembali pemeluk agama selain lima agama yang direliefkan pada Monumen Simpang Lima Gumul Kediri, di Kediri sendiri terdapat pusat keagamaan Konghutchu yang terletak di Klenteng Tjoe Hwie Kiong yang berada di Jl. Yos Sudarso No 148 Kediri. Bangunan ini dibangun pada tahun 1895 oleh orang- orang keturunan Tionghoa di Kediri. Dalam hal ini, pengakuan lima agama yang tercantum pada UUD 45 tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah Kediri, dikarenakan agama Konghutchu tidak terdapat pada relief Monumen Simpang Lima Gumul Kediri.

b. Relief 13, Keanekaragaman Adat Budaya di Kabupaten Kediri

Gambar 59: Keanekaragaman Adat Budaya di Kabupaten Kediri Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015 Panel relief 13, terlihat sangat padat dikarenakan semua wimba digambarkan saling bertumpukkan. Pembaca dapat membaca dari arah mana saja, dikarenakan semua wimba digambarkan dengan skala yang sama besar. Wimba yang paling penting dalam cerita ini adalah arak-arakan manusia yang berada di tengah panel, menandakan sedang adanya kirab budaya. Wimba manusia digambarkan namapak karakteristiknya, yaitu terlihat dari baju yang dikenakan dan atribut yang dibawa berupa payung dan kitab-kitab. Biasanya arak-arakan dilakukan pada saat bulan suro yang diadakan di gunung Kelud untuk upacara suroan. Hal tersebut dapat dilihat pada sudut kiri atas yang digambarkan adanya gunung Kelud dalam panel. Volume dapat terlihat jelas dari lekukan daun-daun dan garis tebal-tipis pada wimba yang lain.