Relief 16, Kesenian Wayang Suluh

dengan air. Munculnya pejabat ini disertai penyebutan tenaga profesi yang berkenaan dengan pembuatan perahu yang disebut undahagi lańcang. Lebih lanjut Sedyawati 2012:358, sebelum zaman pemisahan dua kerajaan Panjalu dan Jenggala, terdapat dua jenjang hierarki kewilayahan, yaitu ibu kota di pusat dan langsung desa- desa whanua, thāni di bawahnya. Pada zaman Kadiri tekah dikembangkan tiga jenjang administrasi kewilayahan, yaitu thāni desa di tingkat terbawah, kemudian koordinasi sejumlah desa wisaya dengan pusat bersama yang disebut dalem thāni, dan di pusat Negara bhūmi terdapat ibukota nāgara, rājya.

b. Relief 10, Tokoh Bhagawanta Bhari yang sedang Membangun Dhawuhan

atau Tanggul Sungai Harinjing Gambar 54: Tokoh Bhagawanta Bhari yang sedang Membangun Dhawuhan atau Tanggul Sungai Harinjing Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015 Pada relief 10 digambarkan tokoh Bhagawanta sedang membangun tanggul sungai Karinjing. Ukuran relief 5 meter x 3 meter yang dibuat oleh Yunus Sunarto pada pertengahan tahun 2002. Pada relief tersebut, wimba manusia digambarkan utuh dari kepala sampai kaki untuk menujukkan gerak dan gesture tokoh. Sungai digambarkan dengan garis-garis pendek untuk menimbulkan kesan bias cahaya. Volume terlihat jelas dari lekukan baju tokoh Bhagawanta dan cambuk. Semua wimba digambarkan dengan skala yang lebih besar dari objek aslinya. Tokoh Bhagawanta terletak pada latar paling depan yang merupakan tokoh penting dalam cerita. Di lain hal, penempatan relief Bhagawanta Bhari ini mempunyai pesan seperti yang diungkapkan oleh Suroso dalam wawancaranya pada 6 Desember 2015, bahwasannya Bhagawanta Bhari adalah seorang bangsawan muda asal Desa Siman, Kecamatan Kepung yang memikirkan nasib rakyat Kediri. Dia mampu mengumpulkan masyarakat untuk kerja bakti membangun waduk Harinjing. Setelah waduk Harinjing jadi, ternyata mampu mengairi sawah-sawah di daerah Kediri Utara, khususnya Pagu sampai Brantas. Keberhasilannya terdengar oleh Raja Mataram Hindu yang bernama Rake Layang Dyah Tulodong, sehingga Bhagawanta Bhari diberi penghargaan. Bhagawanta Bhari dijemput dan dibawa ke Mataram Hindu, kemudian diberi penghargaan berupa tanah merdikan atau tanah bebas pajak di Kediri. Selain itu, Bhagagawanta Bhari juga diberi prasasti, yaitu Prasasti Harinjing pada 25 Maret 804, sehingga setiap tanggal 25 Maret diperingati hari jadi Kediri. Berkat keberhasilannya tersebut, Bhagawanta Bhari memperoleh gelar kehormatan yaitu “Wanuta Rama” yang berarti ayah yang terhormat atau kepala desa. Dari sumber www.kedirikab.go.id, bahwa hari jadi Kediri muncul pertama kali bersumber pada tiga buah prasasti Harinjing yaitu A, B, dan C. Prasasti Harinjing A dipilih karena, dinilai usianya lebih tua daripada Harinjing B dan C, yakni tertulis Harinjing A pada 25 Maret 804 M, Harinjing B pada 19 September 921 M, dan Harinjing C pada 7 Juni 1015 M diunduh pada 10 Desember 2015.

c. Relief 11, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh

Gambar 55: Mpu Sedah dan Mpu Panuluh sedang Bermusyawarah Sumber: Dokumentasi Wisnu Ajitama, 31 Maret 2015 Pada relief 11, berjudul Mpu Sedah dan Mpu Panuluh berukuran 3 meter x 5 meter yang dibuat oleh Yunus Sunarto pada pertengahan tahun 2002. penggambaran wimba manusia terlihat tampak belakang atau membelakangi pembaca. Wimba digambarkan secara naturalis serta tampak utuh dari kepala sampai kaki meskipun kaki terlhat bersila, agar terlihat gesture dari tokoh. Penempatan tokoh berada di tengah panel yang menandakan tokoh tersebut penting dalam cerita. Buku atau kitab sekaligus sebagai pemisah antara Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dalam musyawarah pembuatan kitab Bharatayuda. Bebatuan yang berada di sekelilingnya menjadi setting bahwa musyawarah berada di tempat sepi. Skala tokoh dibuat lebih besar dari objek aslinya yang menandakan bahwa tokoh tersebut penting dalam cerita. Volume terlihat jelas dari lekukakn baju yang dikenakan oleh tokoh.