Krisis Relasi dengan Keluarga Status dan Pola Asuh
                                                                                oleh  Pastor  lain.  BM  memiliki  prinsip  ide  yang  sederhana  tapi  mudah dijalankan, sedangkan prinsip itu ada beberapa Pastor yang tidak suka.
“lalu  ketika  saya  merancang  sesuatu,nanti  dikatain  kok  cuman  begitu saya  kan  terbentuk  praktis,selalu  ada  ide  yg  lain  cuma  ikut2  nanti  pas
jadi kok cuma begitu,yang lain hanya berpikir konsepnya tapi tidak bisa dijalankan saya yan
g praktis2aja dan bisa dijalankan..” Dalam  kondisi  ini  BM  hanya  berpikir  bahwa  apa  yang  dilakukan
merupakan  bentuk  tanggung  jawab  kepada  Uskup  sebagai  pimpinannya, sehingga BM hanya patuh pada Uskup. BM juga lebih memfokuskan diri
untuk pelayanan pada umat. “saya hanya ikut Uskup dan melayani umat…”
BM pun menyadari dan mensyukuri apa yang ada dalam dirinya. Bahkan dalam  sebuah  permenungan  BM  memandang  sebuah  konflik  itu  sebagai
derita  dan  frustasi.  Ketika  menghadapi  konflik,  BM  berusaha  untuk hening  dan  merenung  melihat  apa  yang  dialaminya,  apakah  derita  atau
frustasi. “…semakin mendalami bahwa small is beautyfull hehehehe…”
“Lalu saya berpikir merenung itu, saya lalu melihat apakah masalah ini frustasi atau derita.Kalau penderitaan ini salib,itu yang dari karya, kalau
frustasi itu hanya perasaan beban bukan karena karya.” Pada narasi pengalaman krisis BM berkaitan dengan karya, Sumber
konflik  yang  dialami  BM  adalah  kelainan  fisik  yang  dialami  sejak  kecil. Kelaianan  fisik  mempengaruhi  perjalanan  panggilannya.  Bahkan  dalam
menjalankan  tugasnya  sebagai  pastor.  Namun  BM  sejak  kecil  memiliki pengalaman  dan  terbiasa  dengan  kondisi  fisik  yang  berbeda,  BM  pun
mampu  melewati  permasalahan  tersebut  dengan  cara  bersyukur  dan
dikuatkan  oleh  dukungan  dari  orang-orang  di  sekitarnya.  Pengalaman hidup  yang  bebas  dan  simple  mempengaruhi  cara  pandang  hidup  BM
ketika  mendapatkan  tugas  pastoral.  Namun  hal  ini  juga  tidak  mudah diterima  oleh  rekan-rekan  sesama  Pastor.  Sumber  konfliknya  adalah
perbedaan  pendapat  atau  cara  pandang.  BM  dalam  menghadapi  konflik mengadopsi  budaya  dalam  pewayangan  neng,  ning,  nung.  Dalam  taraf
spiritual-rasional  kemampuan  manusiawi  BM  dalam  mengerti,  melihat, konflik  yang  dialami  menjadikan  kemampuan  untuk  bertanggung  jawab
atas perilaku yang dibuatnya. Narasi  BM  mengenai  karya  menggambarkan  narasi  progresif.
Narasi  progresif  adalah  narasi  yang  menggambarkan  kehidupan  sebagai suatu  rangkaian  tantangan  yang  mengandung  kesempatan  untuk  maju.
Perbedaan  pendapat  dan  kondisi  fisik  BM  menjadi  kesempatan  dirinya untuk  tetap  berkarya.  BM  merefleksikan  peristiwa  yang  dialaminya  dan
menjadikan  kesempatan  ini  untuk  menguatkan  panggilannya  sebagai pastor.
Konflik  dalam  narasi  ini  masuk  dalam  krisis  psikososial  rajin industri versus rasa kecil rendah diri. BM memiliki kemampuan untuk
mempertahankan  daya  kekuatan  yang  terarah  hingga  tujuan  tercapai  atau hingga  tugas  selesai.  Hal  ini  membuat  BM  merasa  bahwa  perbedaan
pendapat dan kondisi fisik yang berbeda bukan menjadi penghalang dalam berkarya. Kekuatan dasar pada tahap ini adalah keahlian. Kondisi tersebut
menjadikan BM  yang memiliki  keahlian dalam karyanya tetap dipercaya.
Refleksi dan pemahaman kondisi yang dilakukan BM menjadi pendukung dalam menghadapi konflik ini.
3. Krisis Relasi dengan Lawan Jenis
Pengalaman krisis BM berikutnya adalah pengalaman relasi dengan lawan jenis. Sebagai seorang Pastor relasi dengan lawan jenis atau wanita
merupakan  tantangan  dalam  hidup  panggilan.  Narasi  BM  menceritakan bagaimana  pengalaman  relasi  dengan  lawan  jenis  menjadi  pengalaman
krisis.  BM  mengungkapkan  bahwa  relasi  yang  dekat  dan  tidak  disadari menjadi sebuah awal.
“…Awalnya  mulai  diajak  jajan,  lalu  ditawarin,  mau  saya  bantu  pijetin Romo?,ya gitupelan sekali tidak sa
dar…”
Ketika relasi itu berjalan berjalan terus muncul ketergantungan dari pihak wanita,  disinilah  BM  merasa  dikuasai  oleh  situasi.  BM  merasa  si  wanita
ini menggganggu namun disatu sisi merasa kasihan. Dengan konsep derita dan  frustasi  BM  mengatakan  kondisi  ini  adalah  frustasi.  BM  pun
mengakui bahwa pengalaman ini terjadi tidak hanya sekali. “…nanti  kalausudah  gini  saya  mulai  dikuasai  satu  sisi  ga  sampai  hati
nah inilah frustasi …”
“Sampai kalau dipastoran itu ada yang tunggu saya, saya sengaja untuk ga  pulang  kepastoran  dulu  baru  sampai  dia  pulang,ternyata  belum
pulan g…”
“…itu konflik tidak hanya sekali tapi lebih…” BM  dalam  mengatasi  konflik  ini  mencoba  mengambil  sikap  meneng
neng  atau  diam  dan  tidak  menyalahkan  pihak  lain,  wening  ning sehingga  pikiran  jernih  untuk  menentukan  langkah,  mengambil  langkah
dan  dunung  nung  tepat  mengambil  tindakan.  Sehingga  BM  memiliki kesadaran dan menjaga diri lebih baik.
“ya itu neng  ning nung….” “…lama kelamaan sadar saya harus bisa menjaga diri…”
“ya setelah apa itu mulai ambil jarak dari karya lebih banyak hening sebetulnya imamat ke 23 mulai peka ada kekebalan sekssologi”
Pada  pengalaman  relasi  BM  dengan  lawan  jenis  Ketertarikan  BM dengan lawan jenis adalah hal wajar. Kebutuhan relasi dengan lawan jenis
merupakan  kemampuan  yang  lahir  dari  kebutuhan  manusia  sebagai makhluk  sosial.  Sumber  konfliknya  adalah  status  BM  sebagai  pastor
membuat  kebutuhan  relasi  dengan  laawan  jenis  harus  dibatasi. Kedewasaan  serta  pola  pikir  BM  dalam  menghadapi  konflik  konsep
neng,  ning,  nung  menjadikan  BM  mampu  berpikir  dan  merenungkan serta  memperkuat  panggilannya  sebagai  seorang  Pastor.  Disini  terlihat
bagaimana budaya dan pengalaman masa lalu BM mempengaruhi konflik dalam pengalaman krisis BM berkaitan dengan relasi lawan jenis.
Narasi  BM  mengenai  relasi  dengan  lawan  jenis  menggambarkan narasi  progresif.  Narasi  progresif  adalah  narasi  yang  menggambarkan
kehidupan  sebagai  suatu  rangkaian  tantangan  yang  mengandung kesempatan  untuk  maju.  Pengalaman  relasi  dengan  lawan  jenis
menjadikan  pembelajaran  bagi  BM  serta  merefleksikan  peristiwa  yang dialaminya untuk menguatkan panggilannya sebagai pastor.
Konflik  dalam  narasi  ini  masuk  dalam  krisis  psikososial  identitas versus  kebingungan  identitas.  Awalnya  relasi  yang  dibangun  BM  dengan
lawan  jenis  terjalin  biasa  saja,  namun  relasi  yang  semakin  dekat  ternyata berpengaruh terhadap kehidupan pribadi sebagai seorang pastor. Kekuatan
dasar  dari  konflik  ini  adalah  kesetiaan.  BM  melihat  kembali  apa  yang dialami  melalui  proses  refleksi  dan  mengarahkan  kembali  pada  identitas
dirinya sebagai seorang pastor. Kesadaraan akan identitas dirinya sebagai pastor menguatkan kesetiaannya dalam menjaga panggilan imamat.