tertarik dan perlahan-lahan belajar agama lalu dibaptis. Setelah menjadi seorang Katolik, BM tidak langsung termotivasi untuk menjadi pastor. BM
menceritakan bahwa motivasi panggilannya menjadi pastor dapat dikatakan dangkal. Bahkan dengan kondisi fisik yang tidak mendukung, BM
mengatakan banyak kendala untuk masuk Seminari. Akhirnya dengan usaha yang dilakukan, BM pun diterima di Seminari Menengah. Kehidupan di
Seminari Menengah dilalui dua tahun, sebenarnya BM dapat menempuh pendidikan hanya satu tahun. Namun BM memilih dua tahun dengan alasan
ingin lebih mempersiapkan diri sebelum masuk Seminari Tinggi. Kehidupan di Seminari Tinggi ternyata tidak sejalan dengan keinginan BM. BM
memiliki harapan, namun harapan itu tidak ditemukan. Hingga akhirnya BM sempat mengundurkan diri dan hidup di luar Seminari. Kehidupan di luar
ternyata tidak melupakan keinginannya untuk menjadi pastor, oleh karena itu BM kembali ke Seminari Tinggi dan meneruskan panggilannya menjadi
pastor. Berdasarkan data wawancara, BM mengungkapkan 3 narasi
pengalaman krisis. Krisis yang dialami BM adalah pengalaman relasi dengan keluarga berkaitan dengan pola asuh dan status dalam keluarga, pengalaman
dalam karya atau tugas sebagai pastor, dan pengalaman relasi dengan lawan jenis.
1. Krisis Relasi dengan Keluarga Status dan Pola Asuh
BM memiliki perbedaan narasi dari YI dan YS. BM mengungkapkan lebih banyak narasi mengenai latar belakang keluarga,
mulai dari status hingga pola asuh yang diterimanya. BM adalah anak tunggal, sejak lahir kedua orangtua sudah bercerai.
“ketika saya masih di dalam kandungan bapak-ibu saya cerai…” Ayah BM pun menikah beberapa kali kawin-cerai, sehingga BM
memiliki beberapa ibu tiri. “…saya mengalami beberapa ibu tiri, paling ga 4 ibu tiri, dari ini tidak
punya anak sela in saya…”
Status anak tunggal menurut Drs. Agus Sujanto, dkk dalam Psikologi
Kepribadian merupakan tumpuan harapan kedua orangtuanya. Anak tunggal memiliki perlakuan istimewa, namun juga mendapat tuntutan dari
kedua orangtuanya. Namun dalam narasi, BM tidak menceritakan bagaimana pengalaman mengenai harapan dan perlakuan istimewa yang
diberikan oleh kedua orangtuanya. Hal ini dikarenakan sejak kecil BM diasuh oleh neneknya.
“….kemudian saya diambil bapak saya, diasuh oleh nenek saya.” Pola asuh yang diberikan oleh sang nenek dirasakan BM terlalu
mengekang, banyak larangan yang diberikan kepada BM. BM merasa hal ini terjadi karena status sosial keluarganya termasuk golongan priyayi
yang tidak memperbolehkan bergaul dengan sembarang orang. Namun BM tidak terpengaruh dengan larangan itu, BM pun bergaul dengan siapa
saja. Kondisi BM yang mengalami pergantian ibu tiri, membuat BM
bias akan sosok ibu. Bahkan BM mengalami perlakuan tidak
menyenangkan dari ayahnya, ketika BM mengatakan bahwa ibunya adalah ibu tiri.
“Dulu memang ketika misalnya nanya siapa yang bilang kalo ibumu itu ibu tiri?saya ga mau jawab woooo itu saya ditempeleng, sampai saya
dikencingi apa itu mulut saya, disuruh ngaku, tapi saya ga ngaku waktu itu, 3 SD wktu itu, sehingga saya keluarga itu ga,
keluarga itu ga” Akibatnya BM mengalamai masa-masa sulit, yang dikatakan BM
sebagai hilangnya rasa mesra dengan orang tua. BM merasa bahwa dirinya tidak memiliki rasa mesra dengan orang tua. Hal inilah yang
mengganggu subyek selama masa formasi di Seminari Tinggi. Subyek berusaha untuk menunda masa pendidikannya karena merasa tidak pantas
untuk menjadi Pastor jika tidak ada rasa mesra dengan orangtuanya. Bahkan jauh sebelum masuk Seminari subyek pada masa kecilnya pernah
memiliki niat untuk membunuh ibu tirinya. “…Saya sejak SR ya Sekolah Rakyat sudah pernah mau membunuh ibu
saya, ibu tiri saya…” “…sehingga saya harusnya tidak boleh ikut topper tahun orientasi
pastoral itu” “saya berjuang untuk menunda tapi ternyata tidak bisa…”
“…saya gelisah tapi saya bertahan ya sampai sekarang…” “…tapi karena mesra itu ukurannya mesra ya afektif ya, saya tidak
ada.sampai sekarang…” Namun keinginan BM menjadi Pastor cukup kuat, sehingga dibantu
dengan bimbingan para Pastor, BM mencoba secara perlahan untuk merenungkan dan mulai berdamai dengan masa lalunya. Meskipun diakui
BM secara afeksi perasaan mesra dengan orang tua itu tidak ada.
“…saya masih tidak bisa mesra dengan orang tua,tapi saya belajar untuk mencintai orang tua karena saya
ingin menjadi imam…” “…lalu Rm.Mangun mengatakan cinta itu tidak melulu dengan orang
tua,kalau tidak tau orang tuanya lalu dicariin itu wayang…ya ga mesti
begitu ..ya saya selalu mendapa tkan bimbingan itu saya mencoba…ya
begitu” Konflik BM dalam hubungannya dengan keluarga, merupakan hasil
dari pengalaman hubungan BM dengan keluarga di masa lalu. BM yang merasa tidak memiliki kemesraan dengan kedua orangtuanya, menjadi
beban pikiran ketika BM yakin untuk menjadi seorang Pastor. Sehingga sumber konflik yang dialami BM adalah tidak adanya hubungan mesra
dengan orang tua. Hubungan yang kurang mesra ini mengganggu perasaan dan pikiran BM terlebih ada anggapan bahwa bagaimana bisa menjadi
pastor jika hubungan dengan orang tua tidak mesra. Konflik ini dapat dibantu dengan bimbingan dari pastor senior, dimana BM mencoba
membagi pengalamannya. BM pun merasa dikuatkan dan belajar terus untuk berdamai dengan masa lalu.
Narasi BM mengenai status dan pola asuh menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif adalah narasi yang menggambarkan kehidupan
sebagai suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. Pola asuh dan status BM yang memiliki orangtua tiri menjadikan
dirinya tidak memiliki kedekatan emosional. Kondisi ini berdampak pada perjalanan BM dalam panggilannya sebagai pastor. Awalnya BM merasa
tidak pantas untuk menjadi pastor karena merasa dirinya tidak memiliki kedekatan dengan keluarga, akan tetapi dukungan pastor pembimbing BM