Krisis Karya PENGALAMAN KRISIS SUBYEK 2 BM

lawan jenis terjalin biasa saja, namun relasi yang semakin dekat ternyata berpengaruh terhadap kehidupan pribadi sebagai seorang pastor. Kekuatan dasar dari konflik ini adalah kesetiaan. BM melihat kembali apa yang dialami melalui proses refleksi dan mengarahkan kembali pada identitas dirinya sebagai seorang pastor. Kesadaraan akan identitas dirinya sebagai pastor menguatkan kesetiaannya dalam menjaga panggilan imamat.

4. Kesimpulan

Ketiga narasi yang diceritakan menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif menunjukkan bahwa pengalaman krisis merupakan suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. Kesempatan untuk mempertahankan panggilan sebagai seorang pastor. Berdasarkan tahap psikososialnya ada tiga krisis yang dialami, yaitu percaya versus tidak percaya, rajin industri versus rasa kecil rendah diri, dan identitas versus kebingungan identitas. Kekuatan yang muncul dari tahap krisis psikososial ini adalah harapan, keahlian, dan kesetiaan. Krisis merupakan kesempatan untuk melihat kembali konflik yang dihadapi. Refleksi merupakan kesempatan untuk melihat kembali konflik yang dihadapi. Refleksi didukung kuat oleh motivasi dan pembelajaran pada pengalaman sebelumnya.

C. PENGALAMAN KRISIS SUBYEK 3 YS

Subyek ketiga dengan inisial YS adalah pastor projo yang selama menjadi pastor ditugaskan sebagai pastor paroki. YS anak kelima dari enam bersaudara. YS berasal dari keluarga katolik dan berasal dari sebuah desa di daerah Kulonprogo. Motivasi awal YS untuk menjadi pastor dikatakan tidak begitu jelas. YS hanya ditawarkan dan mencoba-coba untuk mencari informasi mengenai kehidupan pastor. Akhirnya YS mendaftar dan diterima di Seminari Menengah selepas lulus SMP. YS mengatakan bahwa kehidupan di Seminari Menengah dan Tinggi berjalan mengalir begitu saja. Tantangan yang terasa berkaitan dengan studi dirasakan ketika di Seminari Menengah maupun Seminari Tinggi. YS juga menambahkan ketika di Seminari Menengah, pernah merasa minder dengan teman-teman lainnya karena YS berasal dari desa sedangkan teman-temannya berasal dari kota. Tantangan pada masa formasi ini menjadikan YS memiliki keyakinan bahwa menjadi pastor adalah jalan panggilannya. Hasil data berupa narasi yang diperoleh dari YS, maka dapat ditemukan ada 4 pengalaman krisis yang dihadapi oleh YS. Pengalaman- pengalaman tersebut adalah pengalaman relasi dengan lawan jenis, pengalaman dengan mitra kerja paroki Dewan Paroki, pengalaman relasi dengan sesama rekan pastor dalam 1 Paroki, dan pengalaman relasi dengan pimpinan Uskup.

1. Krisis Relasi dengan Lawan Jenis

YS menceritakan pengalaman relasi dengan lawan jenis. Namun penyebab peristiwa ini tidak diceritakan secara jelas. YS mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami relasi dengan lawan jenis yang mengakibatkan kehidupan pribadinya terganggu. Kehidupan pribadi yang terganggu mempengaruhi karya pelayanan ke umat “…itu bs mengganggu kehidupan pribadi…” “…kalau kehidupan pribadi terganggu berarti bisa mengganggu ke karya kanini membuat doa jadi lemah, konsetrasi ga bisa, pelayanan umat jadi kurang karena harus memperhatikan orang itu,” Sumber konflik disini adalah kebutuhan untuk menjalin hubungan yang secara tidak disadari membuat ketergantungan pihak lawan jenis kepada YS. Sehingga relasi yang intim tidak disadari ternyata dapat mengganggu kehidupan pribadi dan karya pelayanan YS. Apalagi pengalaman-pengalaman ini terjadi tidak hanya sekali dan terjadi di setiap Paroki dimana YS bertugas. Narasi YS mengenai relasi dengan lawan jenis menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif adalah narasi yang menggambarkan kehidupan sebagai suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. Pengalaman relasi dengan lawan jenis menjadikan pembelajaran bagi YS serta merefleksikan peristiwa yang dialaminya untuk menguatkan panggilannya sebagai pastor. Konflik dalam narasi ini masuk dalam krisis psikososial identitas versus kebingungan identitas. Awalnya relasi yang dibangun YS dengan lawan jenis terjalin biasa saja, namun relasi yang semakin dekat ternyata berpengaruh terhadap kehidupan pribadi sebagai seorang pastor. Kekuatan dasar dari konflik ini adalah kesetiaan. YS melihat kembali apa yang dialami melalui proses refleksi dan mengarahkan kembali pada identitas dirinya sebagai seorang pastor. Kesadaraan akan identitas dirinya sebagai pastor menguatkan kesetiaannya dalam menjaga panggilan imamat. 2. Krisis Relasi dengan Mitra Paroki Dewan Paroki Pengalaman YS dalam tugas sebagai seorang Pastor yang selama ini ditempatkan di paroki, memiliki cerita tersendiri berkaitan dengan kerjasama dengan mitra paroki dalam hal dewan paroki. YS menceritakan tentang pengalamannya di sebuah paroki.Penyebab konflik itu adalah perbedaan pendapat dan masalah-masalah kebijakan, seperti kebijakan keuangan. “umumnya karena ide yang tidak cocok,” “…masalah kebijakan-kebijakan keuangan rawan itu dengan dewan, biasa masalah disitu bentrok disitu.” Ketika itu, dewan paroki mengambil tindakan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan. Hal ini membuat subyek merasa tersakiti. “karena pada waktu itu semua dewan paroki memgundurkan diri…” “…melalui surat tertulis mereka mengundurkan diri dan dengan dilengkapi alasan dan caci maki terhadap Romo, kemudian ditempelkan dipengumuman gereja dan disebarkan ke umat…” “…ini pengalaman paling pahit saya…” “….wah itu paling menyakitkan ini. Mundur dengan tulisan yang menyakitkan itu berat.” Agar subyek tidak terbebani oleh masalah yang dihadapi, subyek pun dipindahtugaskan ke lokasi yang cukup jauh. “…saya akhirnya pindah ke tempat yang jauh agar tidak membebani…” Interaksi YS dengan orang-orang dalam satu paroki dengan latar belakang yang berbeda-beda tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan. Perbedaan-perbedaan pendapat apalagi berkaitan dengan masalah yang sensitif dirasakan YS sebagai sumber konflik. Salah satu pengalaman dalam menghadapi konflik itu adalah menjauhkan YS dari sumber masalah, yaitu dengan memindah tugaskan YS ke tempat lain yang jauh dari tempat semula. Narasi YS mengenai relasi dengan mitra paroki menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif adalah narasi yang menggambarkan kehidupan sebagai suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. Perbedaan pendapat dan masalah kebijakan menjadi kesempatan bagi YS untuk tetap berkarya sebagai pastor paroki. Konflik dalam narasi ini masuk dalam krisis psikososial otonomi versus rasa malu, keraguan. YS memiliki kesempatan untuk menyatakan dan mengungkapkan diri, dan mengendalikan diri sendiri tanpa kehilangan harga diri. Kemampuan ini dapat membantu YS untuk menghadapi konflik yang dialami. Kekuatan dasar pada tahap ini adalah kemauan.

3. Krisis Relasi dengan Rekan Pastor dalam Satu Paroki

Pengalaman selanjutnya merupakan pengalaman relasi YI dengan sesama rekan pastor yang bertugas dalam satu paroki. YI mengatakan pengalaman ini terjadi di dua paroki yang pernah menjadi tempat tugasnya. Penyebab peristiwa itu tidak dijelaskan oleh YI. Dalam narasi YI menceritakan kondisis yang terjadi tiba-tiba tidak ada komunikasi antara subyek dengan rekan Pastor yang dimaksud. “dia cari cara sendiri, tidak berkomunikasi…” “misalnya satu contoh kita makan pagi, tiba-tiba dia ga ngomong tanpa kita tau sebab apa dia tidak ngomong, itu ga enak sama sekali makan bareng itu ga enak…” Subyek pun mengatakan, kondisi ini sangat tidak baik, bahkan umat mengetahui kondisi ini sehingga mempengaruhi karya pelayanan pada umat. “terus terang aja itu jelek untuk pelayanan umat karena umat itu tau Romo nya tidak klop umat tau merasa…” Pengalaman ini bagi subyek diselesaikan dengan berusaha sebisa mungkin menemukan kecocokan. “kl tidak cocok harus cocok dulu…” Rekan pastor merupakan agen yang dapat membantu untuk saling menguatkan panggilan. Namun tidak semua rekan pastor memiliki kecocokan. Pengalaman YS menceritakan bahwa perbedaan pendapat menjadi sumber konflik. Perbedaan pendapat ini mengganggu komunikasi antara YS dengan rekan pastor dalam satu paroki dan komunikasi pastor dengan umat. Sehingga pelayanan dan kehidupan di paroki juga mengalami gangguan. YS mengungkapkan perbedaan pendapat yang terjadi dapat diatasi dengan mencari kecocokan diantara rekan pastor. Paul Suparno, S.J dalam Rohani, th 2002 mengatakan perbedaan pendapat atau gagasan dapat dijembatani dengan keterbukaan untuk berbicara dan