A. SUBYEK 1
Ceritakan bagaimana masa kecil Romo? Saya  dilahirkan  21  Juli  1962,  sebagai  anak  pertama  dari  enam  bersaudara.
Bapak dan ibu berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Bapak, ibu tinggal dan bekerja sebagai  guru  SD  di  daerah  majenang,  cilacap,  Jawa  Barat  sejak  tahun  1955.
Sejak kecil orangtua saya mengajarkan iman katolik. Waktu SD saya satu-satunya siswa  yang  beragama  katolik,  namun  demikian  bapak  selalu  mengajarkan  doa
dan  menjadikan  hari  minggu  sebagai  hari  khusus  ke  gereja.  Setiap  pagi  saya diajarkan  untuk  doa  pagi,  kebiasaan  ini  mungkin  terbawa  oleh  bapak  yang
lulusan asrama guru di ambarawa. Lalu bagaimana kehidupan menggereja Romo saat itu?
Kehidupan menggereja saat itu memang sangat sulit. Paroki saya adalah paroki cilacap,  dan  saya  biasanya  gereja  di  stasi.  Misa  pun  tidak  setiap  minggu
diadakan  di  stasi.  Saya  juga  aktif  ikut  misdinar  dan  sering  ikut  pastor  ke  stasi- stasi.  Karena kebiasaan itu, saya memiliki  kebiasaan untuk doa Malaikat  Tuhan
jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore dan doa Rosario di sore hari juga. Ceritakan  bagaimana  Romo  awalnya  merasakan  panggilan  untuk  menjadi
Pastor? Kalau  dibilang  sejak  SD  tidak  ya,  hanya  saya  merasa  dan  kelihatannya  dasar-
dasar  panggilan  itu  sudah  ada  di  dalam  keluarga  yang  diberikan  kepada  saya sejak  kecil.  Dengan  diajarkan  untuk  rutin  berdoa  dan  aktif  mengikuti  kegiatan
gereja seperti misdinar. Kebiasan-kebiasan itu berjalan terus hingga saya duduk di SMP sampai SMA. Saya merasa terpanggil untuk menjadi pastor saat itu duduk
dibangku SMA, kalau  tidak salah kelas  1 SMA.  Dan saat itu muncul  SK menteri tahun 77. SK itu berbunyi kira-kira demikian , bagi para misionaris yang berasal
dari  luar  negara  Indonesia  diharapkan  untuk  meninggalkan  negara  Indonesia, namun jika tetap ingin tinggal di Indonesia, misionaris yang bersangkutan harus
mengurus  untuk  menjadi  Warga  Negara  Indonesia.  Karena  adanya  SK  tersebut, banyak  misionaris  yang  kembali  ke  negara  asalnya,  sedangkan  saat  itu  paroki
dan stasi-stasi di tempat saya dilayani oleh banyak misionaris yang berasal dari luar Indonesia. Otomatis dengan SK tersebut pelayanan di gereja dan stasi-stasi
di tempat saya menjadi tidak terpenuhi akibat banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya. Melihat keadaan ini, saya mulai bepikir dan merenungkan dalam
hati  “Stasi-stasi  di  tempat  saya  sudah  misa  hanya  sebulan  sekali,  lalu  para misionaris diminta untuk kembali ke negara asalnya, lalu bagaimana gereja dan
stasi-stasi  disini  dapat  dilayani?  Apa  yang  bisa  saya  lakukan  sebagai  warga
gereja?” saat itulah panggilan untuk menjadi pastor muncul. Apalagi saat itu ada minggu panggilan dan umat mendoakan agar pemuda gereja di tempat saya ada
yang  terpanggil  untuk  menjadi  pastor,  dengan  adanya  hal  itu  semakin  terasa panggilan saya untuk menjadi pastor. Keinginan ini pun saya sampaikan kepada
kedua orangtua saya.
Bagaimana reaksi orang tua Romo ketika mengetahui keinginan Romo itu?
Saat  itu  bapak  hanya  mengatakan  “ya  silakan  kalau  memang  itu  keinginanmu, bapak ibu mendukung dan mendoakanmu”.
Bagaimana masa remaja Romo?apakah saat itu juga pernah jatuh cinta? Ya  seperti  biasanya  seorang  remaja,  mengalami  ketertarikan  pada  lawan  jenis.
Saya  juga  pernah  merasakan  hal  itu,  tertarik  dengan  teman  lawan  jenis.  Ada perasaan ingin dekat dengan orang itu, namun saya tidak sampai untuk memiliki
atau  berpacaran.  Saya  ingin  dekat  dengan  orang  itu,  tapi  saya  juga  ingin  dekat dengan teman-teman yang lain. Sehingga keinginan dekat dengan orang itu, saya
bagikan  juga  dengan  teman-teman  yang  lain.  Kalau  jalan-jalan  ya  bersama teman-teman.  Kalau  belajar  kelompok  ya  bareng-bareng  bersama  teman-teman
itu juga. Saya memang berusaha untuk tidak terfokus pada satu teman saja. Ceritakan bagaimana kisah Romo di Seminari Menengah?adakah pengalaman
konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu? Setelah lulus dari bangku SMA, Saya memutuskan dan melanjutkan untuk masuk
Seminari  Menengah  Petrus  Canisius  Mertoyudan  tahun  1982-1983.  Saya  hanya satu tahun di Semianari Menengah karena saya masuk di KPA Kelas Persiapan
Atas. Kehidupan di Seminari Menengah berjalan mengalir begitu saja, tidak ada yang  membuat  saya  mengalami  konflik  atau  krisis  dalam  hidup  atau  panggilan
saya.  Perjalanan  satu  tahun  yang  tidak  terasa,  hanya  saja  pada  retret  untuk menentukan  pilihan  ada  perasaan  bingung  untuk  memilih.  Waktu  itu  saya  ingin
memilih  apakah  melanjutkan  ke  SJ  Serikat  Jesus  atau  OMI  Oblat  Maria Immaculata.Keinginan  saya  untuk  menjadi  Imam  Misionaris  baik  OMI  maupun
SJ  keduanya  mendukung  keinginan  saya  itu.  Memang  banyak  teman  saya  yang memilih  untuk  masuk  SJ,  sebab  dari  Seminari  banyak  yang  diarahkan  kesitu.
Tetapi  figur  OMI  juga  melekat  dalam  diri  saya,  karena  di  Paroki  asal  saya Pastor-pastornya dari OMI dan itu juga yang membuat saya terpanggil menjadi
Pastor.  Akhirnya  saya  pun  diberikan  kesempatan  memilih  dalam  suasana  retret. Dalam  retret  tersebut  akhirnya  saya  memantapkan  hati  untuk  masuk  dan
melanjutkan  ke  OMI,  karena  saya  telah  mengenal  OMI  mungkin  juga  semangat OMI sudah tertanam di dalam diri saya.
Ceritakan
bagaimana kisah
Romo di
Seminari Tinggi
hingga ditahbiskan?adakah  pengalaman  konflik  saat  itu,  jika  ada  bisa  diceritakan
bagaimana terjadinya konflik itu? Tahun  1983  saya  di  Seminari  Tinggi  kongregasi  OMI  dan  melanjutkan
pendidikan di Seminari Tinggi-Fakultas Teologi Weda Bakti, Jogjakarta. Selama masa  formasi  ini  tantangan  mulai  terasa.  Memang  pernah  sebelum  nofis,  jadi
masuk  di  awal  belum  memiliki  pengalaman  untuk  hidup  di  masa  formasi,  saya mulai  merasa  ragu-
ragu.  Saya  merasakan  “kok  hidup  rohani  rasanya  turun  ya dari  seminari  menengah?”  Saya  melihat  kehidupan  di  Seminari  menengah  dan
disini  Seminari  Tinggi  berbeda.  Kalau  di  Seminari  menengah  semua  di  atur secara tertib dan disiplin, sedangkan disini tidak, misalnya pulang harus minggu
malam, tapi ada yang pulang senin pagi tapi tidak ditegur. Hal ini terjadi karena
pendekatan Romo Rektor yang berbeda, beliau berprinsip “ya kalau ada teman-
teman  yang  melanggar  nggak  pernah  ditegur  barangsiapa  yang  melanggar silahkan  datang  ngomong  gitu  dan  mengakui  kesalahan”.    Lalu  melihat
kehidupan keteraturan yang berbeda itu membuat saya ragu- ragu, “apakah saya
tida k  salah  pilih?”  Keragu-raguan  ini  akhirnya  saya  bawa  ke  pembimbing
rohani.  Pembimbing  rohani  saat  itu  mengatakan  “kalau  kamu  memang  ada ketidakpuasaan  atau  kekecewaan    dan  tetap  tidak  ingin  disitu  ya  berarti
panggilanmu bukan disitu”. Hal ini membawa saya pada permenungan dan dari permenungan itu saya mulai berpikir membawa saya pada kesadaran ini “OMI
ini hanya salah satu dari OMI dan jika saya memilih OMI terus berpikir seperti ini  berarti  hanya  emosionalku  saja,  belum  tentu  semua  OMI  seperti  yang  aku
ras
akan”. Selain itu, masalah ini saya bawa juga dalam doa, dan doa ini juga memunculkan  niat  bahwa  “kalau  mau  memperbaharui  kehidupan  bersama,
jangan  menuntut  orang  lain  tetapi  mulailah  dari  diri  sendiri,  mulailah  merubah dari dirimu sendiri” waktu itulah saya mulai berubah dari dalam diri sendiri.
Lalu  ketika  selesai  filsafat,  tepatnya  memasuki  tahun  ketiga,  tantangan  semakin terasa  Saya  sebagai  anak  pertama  dari  enam  bersaudara  -  keluarga  guru  SD
merasa  tergugah  untuk  ikut  meringankan  beban  orang  tua  ketika  melihat  adik- adik saya sudah ada dua orang memasuki Perguruan Tinggi.  Sering kali muncul
pikiran  niat  untuk  keluar  dan  bekerja  membantu  orangtua.  Memang  kedua orangtua saya tidak pernah mengatakan bahwa mereka ingin dibantu oleh saya,
hanya  saja  hal  ini  terus  muncul  dan  saya  rasakan  dalam  pikiran.  Di  dalam pikiran  selalu  muncul  dan  keingat  rumah,  bahkan  di  dalam  doa  pun  pikiran  itu
muncul.  Ya  mungkin,  karena  saya  melihat  dan  merasakan  tidak  sampai  hati perjuangan  orang  tua  seperti  itu,  ada  perasaan  prihatin  sebagai  anak  pertama.
Sebagai  anak  pertama  saya  merasa  tidak  bisa  hanya  tinggal  diam  seperti  ini, tergugah  hati  saya  sebagai  anak  pertama  untuk  wajib  membantu  orang  tua.
Pikiran  tersebut  coba  kuolah  dalam  permenungan  dan  doa  serta  dibicarakan dengan  Pembimbing  Rohani.  Setelah  melewati  pergulatan  yang  cukup,  akhirnya
saya  sampai  kepada  kesadaran  berupa  pertanyaan  refleksif  “Apakah  ada jaminan,  kalau  saya  keluar    pasti  akan  menyelesaikan  masalah  yang  dihadapai
orang  tua?  Atau  malah  peristiwa  keluarnya  saya  dari  Seminari  malah  akan
menambah  beban  orang  tua?”  Proses  pengolahan  pertanyaan  refleksif  itu membawa  saya  kembali  kemotivasi  dasar  dan  pengalaman  sebelumnya  sewaktu
saya ingin menjadi seorang Pastor, saya yang tinggal dalam satu stasi dan paroki yang  jaraknya  80  km,  lalu  karena  ada  SK  menteri  77  dimana    misionaris
diharuskan  keluar  dari  Indonesia  atau  memilih  untuk  menjadi  WNI,  waktu  itu saya rajin berdoa, ikut Romo ke stasi-stasi, bahkan waktu itu hanya ada 2 romo,
tapi yang satu cuti,  juga merasakan keadaan umat tidak ada misa, lalu ada umat yang  mendoakan  doa  panggilan  di  misa  pagi,  sehingga  ada  yang  menggetarkan
hati  saya  untuk  menjadi  imam.  Berdasarkan  pengalaman  juga  saya  berpikir
“kalau tidak ada Romo lalu siapa yang akan melayani umat untuk misa?” Pernah mengalami  kesulitan  misa,  pengalaman  itulah  yang  menguatkan  saya  untuk
menjadi  imam.  Dari  motivasi  itu  juga  yang  mengarahkan  kembali  ke  jalan  atau tujuan  saya  menjadi  imam,  sehingga  jika  ada  arah  menyimpang  dari  tujuan  itu,
saya  harus  kembali  ke  tujuan  itu.  Menyelesaikan  masalah  terus  kembali  kearah
tujuan  awal.  Selain  itu,  ada  pembimbing  rohani  sehingga  saya  dapat mensharingkan pengalaman dan perhatian Seminari membantu kami para frater
untuk  tetap  menjaga  hubungan  baik  dengan  keluarga  juga  sangat  menguatkan saya  dalam  menjalankan  panggilan.  Pernah  suatu  ketika,  saya  diberi  uang  dari
orangtua,  waktu  itu  sudah  dibicarakan  dengan  Romo  Rektor  juga  dan  formator
saya,  dan  mereka  mengatakan  “ya  diterima  saja  itu  pemberian  dan  perhatian dari  orang  tua.  Lalu  yang  lain,  waktu  itu  setiap  sebulan  sekali  ada  waktu
kunjungan keluarga, waktu itu uang saku Rp.5000 tidak cukup untuk pulang pergi ke  rumah  di  cilacap,  jadi  saya  tidak  menggunakan  waktu  itu,  sempat  saya
dipanggil  ditanyakan  kenapa  tidak  pulang?  apakah  ada  masalah  dengan
keluarga?  Akhirnya  saya  ceritakan  bahwa  “uang  saku  saya  tidak  cukup  untuk pulang,  kalau  disini  seminari  mau  menambahkan  ya  saya  akan  pulang”,
akhirnya ya saya pulang, tapi dengan mengumpulkan uang saku terlebih dahulu, sehingga berapa bulan sekali saya baru bisa pulang, tapi kadang sini seminari
juga menambahkan untuk ongkos pulang juga. Sedangkan dari keluarga sendiri, memang  tidak  ada  tradisi  rutin  hanya  kadang-kadang  ketemu  saja,  malah  kalau
ada  surat  datang  biasanya  ada  masalah,  namun  kedua  orangtua  tidak  pernah menceritakan  masalah  yang  sedang  dihadapi,  karena  mereka  takut  mengganggu
proses saya di seminari. Pernah waktu itu nenek saya meninggal, tetapi orang tua saya tidak memberikan kabar kepada saya, kebetulan saya memang dekat dengan
nenek, namun karena alasan orang tua yang tidak mau mengganggu proses saya disini  seminari  orang  tua  saya  tidak  memberikan  kabar  kepada  saya,  baru
beberapa  minggu  kemudian  saya  tahu  kabar  itu.  Berkat  pencerahan  dan  proses pengalaman  saya  tersebut,    saya  menjalani  masa  formasi  lebih  mantap.  Bahkan
saya ditahbiskan Imam satu tahun lebih dahulu dari teman seangkatanku. Ceritakan  bagaimana  kisah  Romo  ketika  sudah  menjadi  Pastor?adakah
pengalaman  konflik  saat  itu,  jika  ada  bisa  diceritakan  bagaimana  terjadinya konflik itu?
Saya ditahbiskan 24 Juli 1991. Menjelang usia tahbisan ke 1 saya terkena kanker Kelenjar Getah Bening Lymphoma Maglinam Non Hogkin stadium II. Waktu itu
saya  merasa  biasa  aja  dan  dapat  menjalankan  misa  seperti  biasanya,  lalu  ada gejala bibir pecah, terus saya ceritakan ke romo di paroki. Lalu romo menyuruh
saya untuk periksa ke dokter. Dari dokter tersebut saya diminta untuk periksa ke
semarang  Elisabeth.  Saat  itu  saya  berkata  kepada  suster  yang  merawat  “wah saya masih ada acara
suster” Tapi ya bagaimana lagi akhirnya setelah acara itu saya  ke  semarang  dengan  surat  pengantar  dokter  langsung  bertemu  dengan
dokter  ahli  bedah.  Lalu  dokter  mengatakan  “benjolan  ini  ada  3  kemunginan, pertama  karena  bakteri  atau  kelenjar,  kedua  karena  virus,  dan  yang  terakhir
karena  ada  sel-sel  kankernya.  Untuk  itu  diambil  sampel  jaringan  dan  saya dioprasi.  Hasilnya  adalah  diagnosa  yang    ketiga  itu,  tetapi  mengingat  keadaan
saya saat itu, saya masih belum merasa sakit. Waktu itu romo paroki itu datang terus  bertemu  dengan  direktur  Rumah  Sakit,  memberitahukan  efek  dari  gejala
penyakit tersebut, lalu saya pulang  ke paroki  ya sesampainya disana saya biasa melakukan  aktivitas  seperti  biasanya  mimpin  misa.  Terdorong  oleh  masa  bulan
madu dan idealisme, bahkan saya b
erniat “ Saya ditahbiskan imam, maka kalau
saya mati tetap sebagai i mam”. Maka saya ingin mempersembahkan waktu hidup
saya sebaik mungkin dalam pelayanan imamat. Namun setelah kemoterapi kedua saya  merasakan  sakitnya.  Orang-orang  mulai  tidak  mengenali  karena  rambut
rontok terus botak. Bisa ceritakan pengalaman Romo ketika menjalani kemoterapi?
Ketika memasuki kemoterapi ke 2
– dari rangkaian  6 kali kemoterapi- saya mulai merasakan  bahwa  saya  sakit.  Rambut  kepala  rontok  sampai  tak  dikenali  oleh
teman-teman; Lutut terasa lemah, kalau berdiri hanya bisa bertahan 10 menit dan berjalan 200 meter; mulut luka- sariawan berkepanjangan dan sulit untuk makan;
setelah  menerima  kemoterapi  hingga  sampai  1  minggu,  muntah-muntah  sampai kram perut dan sulit tidur hingga 3.30 pagi. Ketika kemoterapi biasanya merasa
tersiksa  karena  maunya  muntah  perut  tidak  terisi  sampai  keluar  getah  kuning, makan muntah, yang penting makan terus makan meskipun muntah, saat itu, saya
dititipkan di  stasi,  malam tidak bisa  tidur  hampir  seminggu,  kalau  sudah  seperti itu  saya  hanya  mendengarkan  lagu,  ada  luka  dibibir  kalau  makan  sakit  sampai
keluar  air  mata.  Ya  waktu  itu  ada  ibu-ibu  bagian  rumah  tangga  itu  yang memperhatikan  makan  dan  mengatur  pola  makan  saya.  Mau  makan  sulit  itu
sampe  6  periode  bahkan  saya  mengalmi  trauma  pada  penyembuhan  keempat begitu masuk Rumah Sakit, bau alkohol, bau Rumah Sakit itu membuat saya mual
muntah, ketika keluar dari Rumah Sakit ketika mencium sop berbau kaldu itu ya saya  mual  lagi,  bau  bakso  saja  saya  mual,  butuh  waktu  lama  untuk  bisa  makan
sop  berkaldu  lagi.  Tapi  saya  paksa  untuk  makan,  ada  kehendak  untuk  sembuh. Kalau  kemoterapi  itu  darah  merah  dan  darah  putih  drop,  kalau  porsi  ukuran
darahnya  rendah  ya  tidak  bisa  kemoterapi,  kalau  dalam  keadaan  drop dipaksakan  dokter  tidak  berani,  karena  hal  itu  sama  saja  dengan  membunuh
pasien,  lalu  tahu  akan  hal  seperti  itu,  saya  berusaha  untuk  menaikan  standar ukuran darah untuk kemoterapi. Ya itu semangat dari dalam saya untuk sembuh
kuat. Bagaimana dengan reaksi emosional Romo?
Secara  emosional  saya  pun  labil,  bila  bertemu  orang  atau  teman  dekat  atau dikunjungi  orang,  menangis  dengan  sendirinya  dan  bila  menceritakan
pengalaman  sakit    juga  menangis.  Dalam  situasi  yang  demikian,  saya  merasa bahwa saya sungguh-sungguh tak berdaya dan  tergantung dari belas kasih orang
lain  .  Maka  misa  ke  Stasi  saya  diantar  dan  waktu  memimpin  misa,    saya  hanya membuka  dengan  tanda  salib  dan  pengantar  kemudian  duduk.  Prodiakon
melanjutkan  sampai  doa  umat.  Saya  mulai  lagi  ketika  persembahan    dan    saat komuni,  saya    duduk  kembali.    Akhirnya  doa  sesudah  komunita  dan  berkat
perutusan.  Lalu  juga  ketika  keadaan  sakit  ada  perasaan  bahwa  saya  tidak berguna,  tapi  toh  bukannya  umat  lari  tapi  justru  perhatian  dengan  membawa
makanan, lalu dari situ saya berpikir bahwa Tuhan tidak pernah pergi, saya tidak ditolak, tidak dijauhkan, ya kembali  lagi pada idealisme saya diawal  hidup mati
tetap jadi imam. Bahkan saya belum boleh beraktifitas ke stasi, tapi saya tetap ke
stasi  lalu  dokter  berpesan  “romo  jaga  kesehatan  baik-baik  jangan  dekat-dekat dengan orang sakit dulu sebab daya tahan r
omo masih belum kuat”. Tapi setelah saya di stasi ada umat yang sakit sudah 2 hari umat yang sakit itu tidak makan,
tidak  berani  disuntik  juga  dan  umat  disana  meminta  memberkati  air  untuk  yang sakit,  lalu  saya  meminta  air  matang  diberi  garam  dan  didoakan.  Tapi  ada
ketakutan kalau saya dekati takut tertular dan saya bisa mati, ada pergulatan itu, lalu  akhirnya  muncul  keyakinan  oke  apapun  yang  terjadi  saya  siap  menerima,
dengan  kesadaran  apa  yang  terjadi  besok  biarlah  terjadi,  akhirnya  saya  dekati orang yang sakit itu dan beberapa hari kemudian orang itu sembuh.
Secara kejiwaan saya pun lemah  membutuhkan figur  seorang ibu yang merawat, memperhatikan  dan  mendengarkan.  Saya  senantiasa  merindukan  kehadiran
orang yang dengan setia hadir  menemani dan mendengarkan saya, merawat dan memperhatikan saya serta memenuhi kebutuhan psikologis saya. Kadang-kadang
ingin  diperhatikan  dengan  dikirimi  makanan,  dengan  menceritakan  atau mengungkapkan  kesedihan,  mengirimkan  snack,  jus,  jadi  seperti  membutuhkan
teman  yang  mampu  mengerti,  memperhatikan,  merawat  ya  lalu  seperti  semacan seorang  laki-laki  yang  membutuhkan  peranan  seorang  ibu  yang  melindungi
merawat.  Jadi  di  pastoran  saya  sendiri  ada  perasaaan  kurang,  sepi,  dan membutuhkan orang yang bisa mendengarkan cerita.
Saya  terkena  kanker  2  kali,  di  tahun  1992  dan  tahun  1998.  Sebelum  terkena kanker  kedua  tahun  1998,  saya  ikut  kursus  pengolahan  rohani,  semacan
persiapan  menerima  kanker  kedua.  Karena  waktu  itu  retret  agung  saya  diberi kesempatan untuk membayangkan bagaiman jika saya dalam beberapa waktu ke
depan  mati.  Saya  saat  itu  bisa  membayangkan  keadaan  saya  dalam  keadaan hampir  mati  dan  merasakan  situasi  tersebut,  saya  merasakan  menderita  sendiri,
takut,  bahkan  memohon-mohon  untuk  diberi  kesempatan  untuk  membereskan segala sesuatu yang belum beres, hingga akhirnya saya merasa dan muncul sikap
penyerahan  tentang  apapun  yang  terjadi  besok  saya  siap.  Retret  ini  juga membawa  saya  pada  permenungan  bahwa  kasih  Alllah  yang  tanpa  syarat.  Saya
berpikir “oya disaat saya menderita ada umat yang datang memperhatikan, jadi dalam keadaan sakit pun pengolahan hidup rohani masih, jadi pengalaman sakit
itu  tidak  merasa  ditinggalkan  Allah,  orang-orang  yang  setia  merawat  itu  masih. Saat  di  Rumah  Sakit  itu  saya  juga  merenungkan  keadaan  saya  ibarat  seperti
matahari, kalau pagi indah siang panas sore indah lagi malam bahkan tidak ada, kadang  hidup  itu  indah  panas  bahkan  hilang  hampir  12  jam,  adakalanya  indah
adakalanya sepi, ya memang seperti itu pengolahan kehidupan. Kasih Allah tidak berhenti  pada  figur  orang,  namun  itu  bisa  dirasakan  ketika  mendengarkan  lagu
dan merenung. Bagaimana  pengaruh  peristiwa  ini  terhadap  panggilan  hidup  Romo  sebagai
seorang Pastor? Saya  kira  pengalaman  sakit  ini  tidak  membawa  saya  sampai  pada  keinginan
untuk  keluar  dari  imamat,  karena  orang-orang  di  sekitar  saya  menghargai  saya dan  mendukung  saya  dalam  kondisi  apapapun.  Namun,  karena  sakit  ini,  saya
pernah  ingin  menolak  perintah  penugasan  yang  diberikan  kepada  saya.  Saya
berpikir  saat  itu  “saya  yang  dalam  keadaan  sakit  bahkan  hampir  sembuh  kok harus diberikan tugas yang berat?” ada penolakan, ada perasaan tidak mampu
menerima  tugas  dalam  kondisi  sakit.  Namun  kembali  saya  sharingkan  dengan romo dan teman-teman saya, akhirnya saya merasa dikuatkan dan mau serta siap