Pengalaman relasi dengan institusi Seminari Tinggi
mencium sop berbau kaldu itu ya saya mual lagi, bau bakso saja saya mual, butuh waktu lama untuk bisa makan sop berkaldu lagi
”. Hal ini juga mempengaruhi kondisi emosi dan pribadi subyek.
“Secara emosional saya pun labil, bila bertemu orang atau teman dekat atau dikunjungi orang, menangis dengan sendirinya dan bila menceritakan
pengalaman sakit juga menangis. Dalam situasi yang demikian, saya merasa bahwa saya sungguh-sungguh tak berdaya dan tergantung dari
belas kasih orang lai
n”.
“Secara kejiwaan saya pun lemah membutuhkan figur seorang ibu yang merawat, memperhatikan dan mendengarkan. Saya senantiasa merindukan
kehadiran orang yang dengan setia hadir menemani dan mendengarkan saya, merawat dan memperhatikan saya serta memenuhi kebutuhan
psikologis saya. Kadang-kadang ingin diperhatikan dengan dikirimi makanan, dengan menceritakan atau mengungkapkan kesedihan,
mengirimkan snack, jus, jadi seperti membutuhkan teman yang mampu mengerti, memperhatikan, merawat ya lalu seperti semacan seorang laki-
laki yang membutuhkan peranan seorang ibu yang melindungi merawat.Jadi di pastoran saya sendiri ada perasaaan kurang, sepi, dan
membutuhkan orang yang bisa mendengarkan cerita.” Selain itu, karena sakit ini subyek juga merasakan adanya hambatan yang
terjadi dalam tugas pelayanannya sebagai seorang pastor. “Maka misa ke Stasi saya diantar dan waktu memimpin misa, saya hanya
membuka dengan tanda salib dan pengantar kemudian duduk. Prodiakon melanjutkan sampai doa umat. Saya mulai lagi ketika persembahan dan
saat komuni, saya duduk kembali. Akhirnya doa sesudah komunita dan berkat perutusan
”. “Bahkan saya belum boleh beraktifitas ke stasi, tapi saya tetap ke stasi lalu
dokter berpesan “Romo jaga kesehatan baik-baik jangan dekat-dekat dengan o
rang sakit dulu sebab daya tahan Romo masih belum kuat”. Tapi setelah saya di stasi ada umat yang sakit sudah 2 hari umat yang sakit itu
tidak makan, tidak berani disuntik juga dan umat disana meminta memberkati air untuk yang sakit, lalu saya meminta air matang diberi
garam dan didoakan. Tapi ada ketakutan kalau saya dekati takut tertular dan saya bisa mati, ada pergulatan itu, lalu akhirnya muncul keyakinan
oke apapun yang terjadi saya siap menerima, dengan kesadaran apa yang terjadi besok biarlah terjadi, akhirnya saya dekati orang yang sakit itu dan
beberapa hari kemudian orang itu sembuh
”. Namun, subyek masih memiliki niat dan semangat untuk berjuang yang
membantunya menjalankan pengalaman sakit ini dengan baik. Selain itu,
dukungan orang-orang sekitar juga memberikan tambahan semangat bagi subyek.
“Tapi saya paksa untuk makan, ada kehendak untuk sembuh. Kalau kemoterapi itu darah merah dan darah putih drop, kalau porsi ukuran
darahnya rendah ya tidak bisa kemoterapi, kalau dalam keadaan drop dipaksakan dokter tidak berani, karena hal itu sama saja dengan
membunuh pasien, lalu tahu akan hal seperti itu, saya berusaha untuk menaikan standar ukuran darah untuk kemoterapi. Ya itu semangat dari
dalam saya untuk sembuh kuat
”. “Lalu juga ketika keadaan sakit ada perasaan bahwa saya tidak berguna,
tapi toh bukannya umat lari tapi justru perhatian dengan membawa makanan, lalu dari situ saya berpikir bahwa Tuhan tidak pernah pergi,
saya tidak ditolak, tidak dijauhkan, ya kembali lagi pada idealisme saya diawal hidup mati tetap jadi imam
”. Setelah subyek mengalami sakit kanker yang pertama, pada tahun 1998
subyek mengalami sakit kanker untuk kedua kalinya. Namun sebelum subyek mengalami sakit kanker untuk yang kedua kalinya, subyek
mendapatkan kesempatan mempersiapkan diri menghadapi sakit tersebut melalui pengolahan rohani retret.
“Saya terkena kanker 2 kali, di tahun 1992 dan tahun 1998. Sebelum terkena kanker kedua tahun 1998, saya ikut kursus pengolahan rohani,
semacan persiapan menerima kanker kedua ”.
Subyek menceritakan bagaimana proses pengolahan rohani yang dilakukannya sehingga subyek merasa lebih siap menghadapi sakit kanker
untuk yang kedua kalinya. “Karena waktu itu retret agung saya diberi kesempatan untuk
membayangkan bagaiman jika saya dalam beberapa waktu ke depan mati. Saya saat itu bisa membayangkan keadaan saya dalam keadaan hampir
mati dan merasakan situasi tersebut, saya merasakan menderita sendiri, takut, bahkan memohon-mohon untuk diberi kesempatan untuk
membereskan segala sesuatu yang belum beres, hingga akhirnya saya merasa dan muncul sikap penyerahan tentang apapun yang terjadi besok
saya siap. Retret ini juga membawa saya pada permenungan bahwa kasih
Alllah yang tanpa syarat.Saya berpikir “oya disaat saya menderita ada umat yang datang memperhatikan, jadi dalam keadaan sakit pun
pengolahan hidup rohani masih, jadi pengalaman sakit itu tidak merasa ditinggalkan Allah, orang-orang yang setia merawat itu masih
”.
Ketika di rumah sakit pun subyek juga mencoba memaknai pengalaman sakitnya ini dengan sebuah perumpamaan.
“Saat di Rumah Sakit itu saya juga merenungkan keadaan saya ibarat seperti matahari, kalau pagi indah siang panas sore indah lagi malam
bahkan tidak ada, kadang hidup itu indah panas bahkan hilang hampir 12 jam, adakalanya indah adakalanya sepi, ya memang seperti itu pengolahan
kehidupan. Kasih Allah tidak berhenti pada figur orang, namun itu bisa dirasakan ketika mendengarkan lagu dan merenung
”. AKHIR
Subyek mampu menghadapi pengalaman ini, dan tetap setia serta semakin
mantap pada panggilannya menjadi seorang pastor.