KESIMPULAN SUBYEK 1 KESIMPULAN DAN SARAN

LAMPIRAN PENELITIAN LAMPIRAN I: NARASI SUBYEK

A. SUBYEK 1

Ceritakan bagaimana masa kecil Romo? Saya dilahirkan 21 Juli 1962, sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Bapak dan ibu berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Bapak, ibu tinggal dan bekerja sebagai guru SD di daerah majenang, cilacap, Jawa Barat sejak tahun 1955. Sejak kecil orangtua saya mengajarkan iman katolik. Waktu SD saya satu-satunya siswa yang beragama katolik, namun demikian bapak selalu mengajarkan doa dan menjadikan hari minggu sebagai hari khusus ke gereja. Setiap pagi saya diajarkan untuk doa pagi, kebiasaan ini mungkin terbawa oleh bapak yang lulusan asrama guru di ambarawa. Lalu bagaimana kehidupan menggereja Romo saat itu? Kehidupan menggereja saat itu memang sangat sulit. Paroki saya adalah paroki cilacap, dan saya biasanya gereja di stasi. Misa pun tidak setiap minggu diadakan di stasi. Saya juga aktif ikut misdinar dan sering ikut pastor ke stasi- stasi. Karena kebiasaan itu, saya memiliki kebiasaan untuk doa Malaikat Tuhan jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore dan doa Rosario di sore hari juga. Ceritakan bagaimana Romo awalnya merasakan panggilan untuk menjadi Pastor? Kalau dibilang sejak SD tidak ya, hanya saya merasa dan kelihatannya dasar- dasar panggilan itu sudah ada di dalam keluarga yang diberikan kepada saya sejak kecil. Dengan diajarkan untuk rutin berdoa dan aktif mengikuti kegiatan gereja seperti misdinar. Kebiasan-kebiasan itu berjalan terus hingga saya duduk di SMP sampai SMA. Saya merasa terpanggil untuk menjadi pastor saat itu duduk dibangku SMA, kalau tidak salah kelas 1 SMA. Dan saat itu muncul SK menteri tahun 77. SK itu berbunyi kira-kira demikian , bagi para misionaris yang berasal dari luar negara Indonesia diharapkan untuk meninggalkan negara Indonesia, namun jika tetap ingin tinggal di Indonesia, misionaris yang bersangkutan harus mengurus untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Karena adanya SK tersebut, banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya, sedangkan saat itu paroki dan stasi-stasi di tempat saya dilayani oleh banyak misionaris yang berasal dari luar Indonesia. Otomatis dengan SK tersebut pelayanan di gereja dan stasi-stasi di tempat saya menjadi tidak terpenuhi akibat banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya. Melihat keadaan ini, saya mulai bepikir dan merenungkan dalam hati “Stasi-stasi di tempat saya sudah misa hanya sebulan sekali, lalu para misionaris diminta untuk kembali ke negara asalnya, lalu bagaimana gereja dan stasi-stasi disini dapat dilayani? Apa yang bisa saya lakukan sebagai warga gereja?” saat itulah panggilan untuk menjadi pastor muncul. Apalagi saat itu ada minggu panggilan dan umat mendoakan agar pemuda gereja di tempat saya ada yang terpanggil untuk menjadi pastor, dengan adanya hal itu semakin terasa panggilan saya untuk menjadi pastor. Keinginan ini pun saya sampaikan kepada kedua orangtua saya. Bagaimana reaksi orang tua Romo ketika mengetahui keinginan Romo itu? Saat itu bapak hanya mengatakan “ya silakan kalau memang itu keinginanmu, bapak ibu mendukung dan mendoakanmu”. Bagaimana masa remaja Romo?apakah saat itu juga pernah jatuh cinta? Ya seperti biasanya seorang remaja, mengalami ketertarikan pada lawan jenis. Saya juga pernah merasakan hal itu, tertarik dengan teman lawan jenis. Ada perasaan ingin dekat dengan orang itu, namun saya tidak sampai untuk memiliki atau berpacaran. Saya ingin dekat dengan orang itu, tapi saya juga ingin dekat dengan teman-teman yang lain. Sehingga keinginan dekat dengan orang itu, saya bagikan juga dengan teman-teman yang lain. Kalau jalan-jalan ya bersama teman-teman. Kalau belajar kelompok ya bareng-bareng bersama teman-teman itu juga. Saya memang berusaha untuk tidak terfokus pada satu teman saja. Ceritakan bagaimana kisah Romo di Seminari Menengah?adakah pengalaman konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu? Setelah lulus dari bangku SMA, Saya memutuskan dan melanjutkan untuk masuk Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan tahun 1982-1983. Saya hanya satu tahun di Semianari Menengah karena saya masuk di KPA Kelas Persiapan Atas. Kehidupan di Seminari Menengah berjalan mengalir begitu saja, tidak ada yang membuat saya mengalami konflik atau krisis dalam hidup atau panggilan saya. Perjalanan satu tahun yang tidak terasa, hanya saja pada retret untuk menentukan pilihan ada perasaan bingung untuk memilih. Waktu itu saya ingin memilih apakah melanjutkan ke SJ Serikat Jesus atau OMI Oblat Maria Immaculata.Keinginan saya untuk menjadi Imam Misionaris baik OMI maupun SJ keduanya mendukung keinginan saya itu. Memang banyak teman saya yang memilih untuk masuk SJ, sebab dari Seminari banyak yang diarahkan kesitu. Tetapi figur OMI juga melekat dalam diri saya, karena di Paroki asal saya Pastor-pastornya dari OMI dan itu juga yang membuat saya terpanggil menjadi Pastor. Akhirnya saya pun diberikan kesempatan memilih dalam suasana retret. Dalam retret tersebut akhirnya saya memantapkan hati untuk masuk dan melanjutkan ke OMI, karena saya telah mengenal OMI mungkin juga semangat OMI sudah tertanam di dalam diri saya. Ceritakan bagaimana kisah Romo di Seminari Tinggi hingga ditahbiskan?adakah pengalaman konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu? Tahun 1983 saya di Seminari Tinggi kongregasi OMI dan melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi-Fakultas Teologi Weda Bakti, Jogjakarta. Selama masa formasi ini tantangan mulai terasa. Memang pernah sebelum nofis, jadi masuk di awal belum memiliki pengalaman untuk hidup di masa formasi, saya mulai merasa ragu- ragu. Saya merasakan “kok hidup rohani rasanya turun ya dari seminari menengah?” Saya melihat kehidupan di Seminari menengah dan disini Seminari Tinggi berbeda. Kalau di Seminari menengah semua di atur secara tertib dan disiplin, sedangkan disini tidak, misalnya pulang harus minggu malam, tapi ada yang pulang senin pagi tapi tidak ditegur. Hal ini terjadi karena pendekatan Romo Rektor yang berbeda, beliau berprinsip “ya kalau ada teman- teman yang melanggar nggak pernah ditegur barangsiapa yang melanggar silahkan datang ngomong gitu dan mengakui kesalahan”. Lalu melihat kehidupan keteraturan yang berbeda itu membuat saya ragu- ragu, “apakah saya tida k salah pilih?” Keragu-raguan ini akhirnya saya bawa ke pembimbing rohani. Pembimbing rohani saat itu mengatakan “kalau kamu memang ada ketidakpuasaan atau kekecewaan dan tetap tidak ingin disitu ya berarti panggilanmu bukan disitu”. Hal ini membawa saya pada permenungan dan dari permenungan itu saya mulai berpikir membawa saya pada kesadaran ini “OMI ini hanya salah satu dari OMI dan jika saya memilih OMI terus berpikir seperti ini berarti hanya emosionalku saja, belum tentu semua OMI seperti yang aku ras akan”. Selain itu, masalah ini saya bawa juga dalam doa, dan doa ini juga memunculkan niat bahwa “kalau mau memperbaharui kehidupan bersama, jangan menuntut orang lain tetapi mulailah dari diri sendiri, mulailah merubah dari dirimu sendiri” waktu itulah saya mulai berubah dari dalam diri sendiri. Lalu ketika selesai filsafat, tepatnya memasuki tahun ketiga, tantangan semakin terasa Saya sebagai anak pertama dari enam bersaudara - keluarga guru SD merasa tergugah untuk ikut meringankan beban orang tua ketika melihat adik- adik saya sudah ada dua orang memasuki Perguruan Tinggi. Sering kali muncul pikiran niat untuk keluar dan bekerja membantu orangtua. Memang kedua orangtua saya tidak pernah mengatakan bahwa mereka ingin dibantu oleh saya, hanya saja hal ini terus muncul dan saya rasakan dalam pikiran. Di dalam pikiran selalu muncul dan keingat rumah, bahkan di dalam doa pun pikiran itu muncul. Ya mungkin, karena saya melihat dan merasakan tidak sampai hati perjuangan orang tua seperti itu, ada perasaan prihatin sebagai anak pertama. Sebagai anak pertama saya merasa tidak bisa hanya tinggal diam seperti ini, tergugah hati saya sebagai anak pertama untuk wajib membantu orang tua. Pikiran tersebut coba kuolah dalam permenungan dan doa serta dibicarakan dengan Pembimbing Rohani. Setelah melewati pergulatan yang cukup, akhirnya saya sampai kepada kesadaran berupa pertanyaan refleksif “Apakah ada jaminan, kalau saya keluar pasti akan menyelesaikan masalah yang dihadapai orang tua? Atau malah peristiwa keluarnya saya dari Seminari malah akan menambah beban orang tua?” Proses pengolahan pertanyaan refleksif itu membawa saya kembali kemotivasi dasar dan pengalaman sebelumnya sewaktu saya ingin menjadi seorang Pastor, saya yang tinggal dalam satu stasi dan paroki yang jaraknya 80 km, lalu karena ada SK menteri 77 dimana misionaris diharuskan keluar dari Indonesia atau memilih untuk menjadi WNI, waktu itu saya rajin berdoa, ikut Romo ke stasi-stasi, bahkan waktu itu hanya ada 2 romo, tapi yang satu cuti, juga merasakan keadaan umat tidak ada misa, lalu ada umat yang mendoakan doa panggilan di misa pagi, sehingga ada yang menggetarkan hati saya untuk menjadi imam. Berdasarkan pengalaman juga saya berpikir “kalau tidak ada Romo lalu siapa yang akan melayani umat untuk misa?” Pernah mengalami kesulitan misa, pengalaman itulah yang menguatkan saya untuk menjadi imam. Dari motivasi itu juga yang mengarahkan kembali ke jalan atau tujuan saya menjadi imam, sehingga jika ada arah menyimpang dari tujuan itu, saya harus kembali ke tujuan itu. Menyelesaikan masalah terus kembali kearah tujuan awal. Selain itu, ada pembimbing rohani sehingga saya dapat mensharingkan pengalaman dan perhatian Seminari membantu kami para frater untuk tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga juga sangat menguatkan saya dalam menjalankan panggilan. Pernah suatu ketika, saya diberi uang dari orangtua, waktu itu sudah dibicarakan dengan Romo Rektor juga dan formator saya, dan mereka mengatakan “ya diterima saja itu pemberian dan perhatian dari orang tua. Lalu yang lain, waktu itu setiap sebulan sekali ada waktu kunjungan keluarga, waktu itu uang saku Rp.5000 tidak cukup untuk pulang pergi ke rumah di cilacap, jadi saya tidak menggunakan waktu itu, sempat saya dipanggil ditanyakan kenapa tidak pulang? apakah ada masalah dengan keluarga? Akhirnya saya ceritakan bahwa “uang saku saya tidak cukup untuk pulang, kalau disini seminari mau menambahkan ya saya akan pulang”, akhirnya ya saya pulang, tapi dengan mengumpulkan uang saku terlebih dahulu, sehingga berapa bulan sekali saya baru bisa pulang, tapi kadang sini seminari juga menambahkan untuk ongkos pulang juga. Sedangkan dari keluarga sendiri, memang tidak ada tradisi rutin hanya kadang-kadang ketemu saja, malah kalau ada surat datang biasanya ada masalah, namun kedua orangtua tidak pernah menceritakan masalah yang sedang dihadapi, karena mereka takut mengganggu proses saya di seminari. Pernah waktu itu nenek saya meninggal, tetapi orang tua saya tidak memberikan kabar kepada saya, kebetulan saya memang dekat dengan nenek, namun karena alasan orang tua yang tidak mau mengganggu proses saya disini seminari orang tua saya tidak memberikan kabar kepada saya, baru beberapa minggu kemudian saya tahu kabar itu. Berkat pencerahan dan proses pengalaman saya tersebut, saya menjalani masa formasi lebih mantap. Bahkan saya ditahbiskan Imam satu tahun lebih dahulu dari teman seangkatanku. Ceritakan bagaimana kisah Romo ketika sudah menjadi Pastor?adakah pengalaman konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu? Saya ditahbiskan 24 Juli 1991. Menjelang usia tahbisan ke 1 saya terkena kanker Kelenjar Getah Bening Lymphoma Maglinam Non Hogkin stadium II. Waktu itu saya merasa biasa aja dan dapat menjalankan misa seperti biasanya, lalu ada gejala bibir pecah, terus saya ceritakan ke romo di paroki. Lalu romo menyuruh saya untuk periksa ke dokter. Dari dokter tersebut saya diminta untuk periksa ke semarang Elisabeth. Saat itu saya berkata kepada suster yang merawat “wah saya masih ada acara suster” Tapi ya bagaimana lagi akhirnya setelah acara itu saya ke semarang dengan surat pengantar dokter langsung bertemu dengan dokter ahli bedah. Lalu dokter mengatakan “benjolan ini ada 3 kemunginan, pertama karena bakteri atau kelenjar, kedua karena virus, dan yang terakhir karena ada sel-sel kankernya. Untuk itu diambil sampel jaringan dan saya dioprasi. Hasilnya adalah diagnosa yang ketiga itu, tetapi mengingat keadaan saya saat itu, saya masih belum merasa sakit. Waktu itu romo paroki itu datang terus bertemu dengan direktur Rumah Sakit, memberitahukan efek dari gejala penyakit tersebut, lalu saya pulang ke paroki ya sesampainya disana saya biasa melakukan aktivitas seperti biasanya mimpin misa. Terdorong oleh masa bulan madu dan idealisme, bahkan saya b erniat “ Saya ditahbiskan imam, maka kalau saya mati tetap sebagai i mam”. Maka saya ingin mempersembahkan waktu hidup saya sebaik mungkin dalam pelayanan imamat. Namun setelah kemoterapi kedua saya merasakan sakitnya. Orang-orang mulai tidak mengenali karena rambut rontok terus botak. Bisa ceritakan pengalaman Romo ketika menjalani kemoterapi? Ketika memasuki kemoterapi ke 2 – dari rangkaian 6 kali kemoterapi- saya mulai merasakan bahwa saya sakit. Rambut kepala rontok sampai tak dikenali oleh teman-teman; Lutut terasa lemah, kalau berdiri hanya bisa bertahan 10 menit dan berjalan 200 meter; mulut luka- sariawan berkepanjangan dan sulit untuk makan; setelah menerima kemoterapi hingga sampai 1 minggu, muntah-muntah sampai kram perut dan sulit tidur hingga 3.30 pagi. Ketika kemoterapi biasanya merasa tersiksa karena maunya muntah perut tidak terisi sampai keluar getah kuning, makan muntah, yang penting makan terus makan meskipun muntah, saat itu, saya dititipkan di stasi, malam tidak bisa tidur hampir seminggu, kalau sudah seperti itu saya hanya mendengarkan lagu, ada luka dibibir kalau makan sakit sampai keluar air mata. Ya waktu itu ada ibu-ibu bagian rumah tangga itu yang memperhatikan makan dan mengatur pola makan saya. Mau makan sulit itu sampe 6 periode bahkan saya mengalmi trauma pada penyembuhan keempat begitu masuk Rumah Sakit, bau alkohol, bau Rumah Sakit itu membuat saya mual muntah, ketika keluar dari Rumah Sakit ketika mencium sop berbau kaldu itu ya saya mual lagi, bau bakso saja saya mual, butuh waktu lama untuk bisa makan sop berkaldu lagi. Tapi saya paksa untuk makan, ada kehendak untuk sembuh. Kalau kemoterapi itu darah merah dan darah putih drop, kalau porsi ukuran darahnya rendah ya tidak bisa kemoterapi, kalau dalam keadaan drop dipaksakan dokter tidak berani, karena hal itu sama saja dengan membunuh pasien, lalu tahu akan hal seperti itu, saya berusaha untuk menaikan standar ukuran darah untuk kemoterapi. Ya itu semangat dari dalam saya untuk sembuh kuat. Bagaimana dengan reaksi emosional Romo? Secara emosional saya pun labil, bila bertemu orang atau teman dekat atau dikunjungi orang, menangis dengan sendirinya dan bila menceritakan pengalaman sakit juga menangis. Dalam situasi yang demikian, saya merasa bahwa saya sungguh-sungguh tak berdaya dan tergantung dari belas kasih orang lain . Maka misa ke Stasi saya diantar dan waktu memimpin misa, saya hanya membuka dengan tanda salib dan pengantar kemudian duduk. Prodiakon melanjutkan sampai doa umat. Saya mulai lagi ketika persembahan dan saat komuni, saya duduk kembali. Akhirnya doa sesudah komunita dan berkat perutusan. Lalu juga ketika keadaan sakit ada perasaan bahwa saya tidak berguna, tapi toh bukannya umat lari tapi justru perhatian dengan membawa makanan, lalu dari situ saya berpikir bahwa Tuhan tidak pernah pergi, saya tidak ditolak, tidak dijauhkan, ya kembali lagi pada idealisme saya diawal hidup mati tetap jadi imam. Bahkan saya belum boleh beraktifitas ke stasi, tapi saya tetap ke stasi lalu dokter berpesan “romo jaga kesehatan baik-baik jangan dekat-dekat dengan orang sakit dulu sebab daya tahan r omo masih belum kuat”. Tapi setelah saya di stasi ada umat yang sakit sudah 2 hari umat yang sakit itu tidak makan, tidak berani disuntik juga dan umat disana meminta memberkati air untuk yang sakit, lalu saya meminta air matang diberi garam dan didoakan. Tapi ada ketakutan kalau saya dekati takut tertular dan saya bisa mati, ada pergulatan itu, lalu akhirnya muncul keyakinan oke apapun yang terjadi saya siap menerima, dengan kesadaran apa yang terjadi besok biarlah terjadi, akhirnya saya dekati orang yang sakit itu dan beberapa hari kemudian orang itu sembuh. Secara kejiwaan saya pun lemah membutuhkan figur seorang ibu yang merawat, memperhatikan dan mendengarkan. Saya senantiasa merindukan kehadiran orang yang dengan setia hadir menemani dan mendengarkan saya, merawat dan memperhatikan saya serta memenuhi kebutuhan psikologis saya. Kadang-kadang ingin diperhatikan dengan dikirimi makanan, dengan menceritakan atau mengungkapkan kesedihan, mengirimkan snack, jus, jadi seperti membutuhkan teman yang mampu mengerti, memperhatikan, merawat ya lalu seperti semacan seorang laki-laki yang membutuhkan peranan seorang ibu yang melindungi merawat. Jadi di pastoran saya sendiri ada perasaaan kurang, sepi, dan membutuhkan orang yang bisa mendengarkan cerita. Saya terkena kanker 2 kali, di tahun 1992 dan tahun 1998. Sebelum terkena kanker kedua tahun 1998, saya ikut kursus pengolahan rohani, semacan persiapan menerima kanker kedua. Karena waktu itu retret agung saya diberi kesempatan untuk membayangkan bagaiman jika saya dalam beberapa waktu ke depan mati. Saya saat itu bisa membayangkan keadaan saya dalam keadaan hampir mati dan merasakan situasi tersebut, saya merasakan menderita sendiri, takut, bahkan memohon-mohon untuk diberi kesempatan untuk membereskan segala sesuatu yang belum beres, hingga akhirnya saya merasa dan muncul sikap penyerahan tentang apapun yang terjadi besok saya siap. Retret ini juga membawa saya pada permenungan bahwa kasih Alllah yang tanpa syarat. Saya berpikir “oya disaat saya menderita ada umat yang datang memperhatikan, jadi dalam keadaan sakit pun pengolahan hidup rohani masih, jadi pengalaman sakit itu tidak merasa ditinggalkan Allah, orang-orang yang setia merawat itu masih. Saat di Rumah Sakit itu saya juga merenungkan keadaan saya ibarat seperti matahari, kalau pagi indah siang panas sore indah lagi malam bahkan tidak ada, kadang hidup itu indah panas bahkan hilang hampir 12 jam, adakalanya indah adakalanya sepi, ya memang seperti itu pengolahan kehidupan. Kasih Allah tidak berhenti pada figur orang, namun itu bisa dirasakan ketika mendengarkan lagu dan merenung. Bagaimana pengaruh peristiwa ini terhadap panggilan hidup Romo sebagai seorang Pastor? Saya kira pengalaman sakit ini tidak membawa saya sampai pada keinginan untuk keluar dari imamat, karena orang-orang di sekitar saya menghargai saya dan mendukung saya dalam kondisi apapapun. Namun, karena sakit ini, saya pernah ingin menolak perintah penugasan yang diberikan kepada saya. Saya berpikir saat itu “saya yang dalam keadaan sakit bahkan hampir sembuh kok harus diberikan tugas yang berat?” ada penolakan, ada perasaan tidak mampu menerima tugas dalam kondisi sakit. Namun kembali saya sharingkan dengan romo dan teman-teman saya, akhirnya saya merasa dikuatkan dan mau serta siap untuk menerima tugas yang diberikan meskipun dalam keadaaan sakit sekali pun. Dengan krisis, hal biasa yang terjadi dalam hidup, tinggal bagaimana cara menghadapinya, ada yang bisa meskipun harus bersusah-payah terlebih dahulu. Bagaimana caranya Romo menyelesaikan konflik dalam peristiwa ini? Seiring dengan proses kesembuhan saya dan pulihnya kemandirian saya, Saya mulai menyadari ketergantungan psikologis saya. Pergulatan saya yang bermuara pada kesadaran tersebut amat terbantu kesetiaan saya dalam hidup doa dan refleksi. Maka diawali dengan kesadaran akan adanya ketergantungan psikologis itu, saya mulai berjuang untuk keluar dari kelekatan psikologis yang saya alami. Peranan rekan imam senior- rekan komunitas - yang mau mendengarkan dan pengalaman pribadi- sewaktu SMA bagaimana mengatasi kelekatan- sungguh membantu saya keluar dari ketergantungan psikologis tersebut.

B. SUBYEK 2

Selamat pagi romo Selamat pagi Oke tadi sudah menanyakan kabar Hehehe…yaa Langsung saja romo, saya ingin kenal, siapa r omo….ini Hehehehe… Monggo romo Kalau biografi ini ya.. Ya Eenngg saya lahir di dusun Berbah Kalasan ke selatan Oya Masuk kabupaten sleman, 30 januari 1951,eeee ketika saya masih di dalam kandungan bapak-ibu saya cerai,bukan dari keluarga katolik saya. Oo bukan dari keluarga katolik Bukan, nama saya kalau orang jawa ga normal situasi kondisinya lalu apa ya diberi nama yang aneh juga lalu nama saya sudarwanti gitu, terussss lalu diganti sudarwanto, artinya anak yang ditegakan seperti itu, lalu umur setahunan bisa jalan katanya dulu saya sakit panas terus disuntik eee lalu malah ga bisa jalan, kemudian saya diambil bapak saya, diasuh oleh nenek saya. Ibu saya dari desa tapi anak penewu waktu itu, lalu bapak saya ini di pojok benteng itu ya, masih keturunan ningrat, lalu saya diambil bapak saya, kemudian umur 5 tahun saya bisa jalan, lalu memang nama diganti, kalo di jawa kan…..lalu nama saya menjadi bambang sutrisno hingga sekarang, sehingga maksudnya menjadi anak yang dicintai mendapat kasih sayang yang lebih. Ya lalu saya menjadi anak tunggal, jadi bapak saya itu kawin cerai, jadi saya mengalami beberapa ibu tiri, paling ga 4 ibu tiri, dari ini tidak punya anak selain saya. Ya begini saya dibesarkan dikeluarga yang yaaa tidak harmonislah. Saya mengalami hidup konflik ya sejak kecil. Saya sejak SR ya Sekolah Rakyat sudah pernah mau membunuh ibu saya, ibu tiri saya..hehehe,ya ketahuan bapak saya saya dipukuli. Lalu ada tetangga saya memberikan sesuatu dan dia mengatakan ini dari ibu saya, ibu saya adalah tetangga saya, saya baru bertemu ibu saya itu setelah 17 tahun lamanya. Kalau legenda jawa itu, ibu tiri waaaa ibu tiri itu bisa nggodok waaaa . dengan nenek terlalu disayang, sehingga kalau saya main dengan anak umum itu dimarah, ya nenek ga mau, ya apa ya karena bangsawan itu ya ga boleh main dg anak kampung, tapi ya saya tetap nyemplung got, mandi dsungai dan pasti kena marah. Jadi saya sebetulnya mengalami itu, jadi saya SR itu Sekolah Rakyat mengalami itu ya, saya sudah disingkirkan dikaliurang, waktu itu saya sekolah itu di yogya naik bis didampingi psikiater saya masih ingat itu, saya mesti dipisah dari yang lain, lalu saya dititipkan ke orang lain.karena bapak saya pejabat jadi saya dititipkan orang lain sehingga saya SMP itu, ketika bapak saya menikah dengan ibu saya yang terakhir, lalu tanya ke saya apakah saya bapak boleh menikah lagi, lalu saya berkata boleh,lalu begitu menikah langsung ada 2 rumah, lalu saya bilang bapak mau tinggal dimana?kalau mau tinggal diambarukmo, saya tinggal di kemetiran, kalau bapak dikemetiran saya diambarukmo, pokoknya ga jadi satu gitu lo, lalu nenek saya dibawa jadi satu keluarga disana, sehingga saya sendiri. Lalu ya jadi anaknya tetangga, ya ini ini ee latarbelakang saya. Memang lalu bapak dan ibu saya yang terakhir itu akhirnya membangun keluarga katolik. Ya saya dulu semakin benci, kok jadi katolik padahal di agama saya yg lain saat itu sedang aktif. Lalu ada Rm.suto sering datang mengunjungi saya juga, lalu saya bilang kepada Romo. Saya tidak akan menjadi Kristen lo Romo. Lalu Romo mengatakan begini, ya ga pa2 kamu ikut agama apa saja, pokoknya ikut Tuhan itu bahagia. Lalu jawaban itu membuat saya terkejut, sebab di ajaran agama saya dulu, yang berbuat baik akan mendapatkan pahala surga, sedangkan yang buruk masuk neraka, neraka itu kan ngeri-ngeri, padahal saya tidak bisa tanpa keburukan. Kalau tidur itu mimpinya takut masuk neraka,maka saya bingung kenapa Rm mengatakan demikian. Lalu diam2 saya mengikuti pelajaran agama katolik, saat itu bapak saya ngajar agama juga. Ya ngikut2 gitu ya lama2 saya SMA dibaptis. Hampir 17 thun saya saat itu dipermandikan ya anatara kelas 1 atau kls 2 SMA. Jadi itu disini kekatolikan saya sudah gede, peljaran agama saya lama. Ya duluya pokonya dapet kumpulan2gitu. Karena saya cacat ya, saya cacat sejak kecil, kaki saya pincang, karena dulu waktu saya sakit tidak bisa jalan dokter bilang obat yang diberikan itu apa ya kadaluarsa sehingga membuat pertumbuhan kaki ga ga sehat. Lalu dulu dengan orang umum itu saya malu aaaa apa ya terlalu dibedakan ya, misalnya mau main pingpong,dibilang nanti ini untuk yang ga cacat dulu, mau bantu ngusung meja dibilang jangan nanti jatuh. Tapi waktu ikut kumpul2an itu waktu pelajaran agama itu, saya ikut, jadi ada pelaajaran agama dimana saya ikut. Ya dulu waktu itu saya hanya takut 2 hal satu tidak dihargai kepincangan saya itu, kedua kalau ditanya ibumu siapa to sebetulnya yg mana?ibumu itu yang mana? Dua hal ini yang cukup mewarnai saya, maka didalam dikomunitas katolik itu, di lingkungan saya merasa welcome, karena hal itu tidak pernah disoalkan. Klo itu kan mesti ditetangga selalu ditanya ibumu yg mana to?ibumu siapa?lalu itu kan semakin membuat saya malu, saya takut kalao jalan nanti diejek-ejek lalu diejek kayak musik gamelan eeeee tek tak tek ya itu dua hal itu. Tapi ya untungnya saya bukan orang yang introvert, saya kasar saya mungkin karena saya anak tunggal, begitu diluar ada rebut ya saya kelahi, apalagi jaman dulu jaman partai saya kebetulan ikut PNI marheans ya lalu ikut beladiri ya pokoknya saya kasar dulu, nghajar apa kalah ga jadi soal yang penting berani. Ini yang bentuk saya, saya bukan orang yang halus, santun, ya itu. Namun dalam gereja saya tidak kelahi2 seperti itu, mungkin ya itu tidak pernah disoalkan, sebetulnya sudah banyak orang yang tau lo ibu saya yang mana itu orang sudah tau, tapi di lingk. Itu tidak pernah, bahkan kaki pincang saya itu. Pokoknya kumpul saya dapat peran nanyi, dekte teks, jaman dulu ga ada alat itu jadi harus didekte teks lagunya, lalu saya jadi seksi dekte karena suara saya keras, suatu ketika justru saya tugas digereja, waktu itu belum baptis itu. Ya saya lakukan meski belum baptis Jaman dulu kan belum ada macem2. akhirnya waktu itu ketua lingkungan apa itu nanya saya dirumah, kamu ga mau tuk membaca digereja?akhirnya saya jujur, saya malu nanti dari bangku harus maju. Ya itu kalo jadi pemabaca atau lektor itu kan maju nanti kalo diliatin orang kaki saya, saya malu, ya akhirnya ketua lingkungan memahami, tapi yang baca tetap kamu ya, suaramu keras, kan baca tidak pake kaki. Akhirnya saya baca, waktu itu yang misa Kardinal Darmojowono alm ya ini yang akhirnya kemudian menjadikan saya mau menjadi imam nanti. Klo inget Kardinal lah yang dulunya ngasih dispensasi saya masuk seminari, waktu itu ya saya sudah ditolak. Pas ada pemberkatan gedung puskat kota baru itu, ada uskup datang, saya main drama komedi waktu itu. Kemudian saya dipanggil dan ditanya kamu katanya mau jadi imam yak? Tidak boleh kq saya bilang waktu itu.lalu Kardinal hanya bertanya kamu bisa bersepeda? Teman saya yang biasa nyor2 njawab wooo dia biasa ngebut itu dibunderan di bulaksumur, waktu itu ya saya lek2an SMP saja saya nekat itu nyetir mobil. Jadi saya TK 2 tahun, SR di Bopkri tapi ya kerap dihukum lalu ya ga sekolah 2 bulan lalu dipindah ke negeri, SMP sebenarnya diterima di depan panti rapih itu, SMP N 1, tapi dulu itu to saya ga mau diantar maunya sendiri, akhirnya dicarikan sekolah dipinggiran sawah di kota gede, jaman dulu masih desa lewat sawah ya walaupun nanti pulang sekolah dolan ke malioboro juga, SMA di de brito. Ini ini ya latarbelakangnya. Romo kan mengalami merasakan ibu tiri yang tidak hanya satu, lalu apakah dari figur-figur yang banyak itu ada yang mempengaruhi kehidupan Romo selanjutnya? Saya…saya tidak merasa, saya itu hanya orang seneng dolan, tidak krasan di rumah, yang mempengaruhi ya lebih ke lingkungan, jadi maka apa ya saya setelah masuk jadi imam, ada omongan kl keluarganya tidak oke, nanti jadi imam tidak oke, itu lalu ada psikospiritualitas. Itu waktu itu saya berontak ada yang keluarganya tidak oke, tapi ka nada keluarga lain yang disini yang tidak apa ya, tidak nucleus family, extended bahkan tidak extended, tetangga itu keluarga, ini yang saat ini saya temukan itu, ya meski saat ini saya juga memperjuangkan keluarga, tapi saya sendiri lebih dibentuk oleh tetangga, saya itu baikan dengan kiri-kanan dengan anak2. Ya dulu malah pernah ada tetangga ya yang anak2nya ga boleh bgaul dengan saya, karena ya saya anak yang ga baik, tapi kan ya ada teman2 yang dekat dan saya tidak pernah sendirian di rumah itu, itu yang keluarganya juga tiri2 lalu ada tetangga di ambarukmo yang dekat yang lalu menganggap saya sebagai keluarganya sendiri. Dan bapak saya setelah bapak saya menjadi katolik ga pernah kasar kepada saya. Dulu memang ketika misalnya nanya siapa yang bilang kalo ibumu itu ibu tiri?saya ga mau jawab woooo itu saya ditempeleng, sampai saya dikencingi apa itu mulut saya, disuruh ngaku, tapi saya ga ngaku waktu itu, 3 SD wktu itu, sehingga saya keluarga itu ga, jkeluarga itu ga. Lalu saya pelan2 oke dengan keluarga itu, pelan2 itu juga karena saya masuk seminari. Kan wkt itu ada hari wajib tidur di rumah, di rumah orang tua maksudnya, di seminari itu di instruksi, supaya tinggal di rumah, ya sudah saya trauma dengan rumah saat itu, ya itu baru pelan2. Dulu ya masa kecil saya, dekat dengan siapa ya dengan tetangga ada yang ga suka ada yang sayang sekali. Sehingga waktu masih SMA itu ngliat ibu2 bapak2 rajin gereja pagi, wah rajin ya, bukan itu2 gara gara dia maksudnya saya yang mbangunin mereka untuk gereja pagi, lalu mereka nanti bantu saya nanak nasi, lalu pergi gereja, brangkat ke debrito, pulang beli lauk, ya seperti it uterus. Itu yang saya rasakan dulu katolik itu minoritas, jadi seperti satu saudara gitu, meski ada keluarga2 katolik yang tidak suka dengan saya, karena saya tidak santun, berani dengan orang tua2, sampai ada yang ga boleh anaknya bergaul dengan saya krena khawatir, tapi dulu ya diambarukmo itu saya sering antar anak2 ke sekolah, baru saya yang berangkat kesekolah, ya saya anggap seperti adik saya sendiri. Jadi saya baikan dengan keluarga itu, katakan ya berkat bimbingan gereja ya. Saya pun tahbisan itu tertunda-tunda, saya itu yang minta untuk ditunda. Lalu saya jujur katakan apakah seorang yang tidak punya cinta bisa jadi imam?ya saya tidak mencintai ibu saya, ya itu tu rasa mesra itu tidak ada, rasa mesra dengan orangtua itu tidak ada, untung pembimbing saya bilang ga, latar belakangmu kan lain tidak bisa dituntut untuk seperti itu, apa yang pernah kamu lakukan? Ya saya nulis surat, lalu pulang tapi itu basa-basi semua. Tapi apa itu kamu lakukan? Ya saya lakukan. Itu sudah baik, cinta itu tidak harus mesra. Lalu ya akhirnya saya jadi berani untuk menjadi imam. Perasaan takut akan 2 hal, bagaimana proses romo untuk menghadapi 2 ktakutan ini? Saya tidak tahu kapan2nya itu ya. Tapi saya hanya tahu setelah saya ikut Yesus. Ya prosesnya itukan alamiah. Kebetulan saya punya kebiasaan hening, sebagai anak yang dibesarkan dengan iklim kejawen ya. Hening, nang ning nung neng 24:25 Itu bawah sadar diajarkan meneng diam ada saat diam nanti ada saat hening, artinya jernih bisa mengingat segalanya, sadar apa yang dirasakan lalu nanti nung genaung tau, lalu setelah itu nang ngenang artinya itu mampu bertindak yang oke gt ini bawah sadar saya dibesarkan itu. Lalu ketika saya jadi katolik ya dulu ga tau apa2 , saya baca kitab suci, ya ini saya baca kitab suci, kebetulan saya itu dulu gat au apa2 jadi ya baca aja, nah entah saya selalu terkesan pada sikap yesus kepada yang buruk-buruk, pada yang dosa2, itu tidak disingkirin kan, di dalam injil itu sikap yesus yang simpati pada yang berdosa, ada yang zinah ketahuan tapi itu kan ga dihukum itu, nah itu saya terkesan, lebih2 nanti ketika ceritanya itu tentang orang lumpuh, ya saya senang dengan kisahnya, saya itu baca kitab suci itu senang. Nah ini yang mewarnai ya nanti ternyata dalam ajaran gereja juga seperti itu tidak sadis terhadap yang seperti itu berdosa dan yg buruk2 itu yang akhirnya membuat saya pelan2menerima orang tua saya, menerima bapak saya, ibu yang sadis2 itu, ya perihal mengampuni itu kan 70 kali 7 kali gt to. Itu yang membentuk saya itu, lalu pada tahun 1977 ada pertemuan nasional pemuda cacat seluruh Indonesia, lalu saya ikut mewakili itu dalam panel diskusi, lalu malam hari itu kami berkumpul dan ada yang menanyakan sepertinya saya tidak mempermasalahkan kondisi fisik saya, saya katakan bahwa dulu saya sama awalnya takut tidak laku kerja, takut ga laku kawin iya to, sama sama, semenjak ikut Yesus, entah proses gimana saya tidak tahu, saya tidak bisa menelusuri sejak kapan itu, tapi ya berjalan begitu saja, kebaikan dan keburukan itu muncul tidak disadari, kalau orang baik itu sadar itu bukan orang baik, kalau orang itu buruk sadaar itu bukan orang buruk, ya saya tidak mempersoalkan kondsi saya, ya itu jika dilihat dari kerangka berpikir neng ning nung nang tadi itu, neng diam, ning hening, nung tau, nang menang, hening itu pusat dari segalanya, jika hening bisa doa lalu bisa kontak dengan Allah, lalu bisa menerima, lalu bisa mencinta. Ya lalu kalau banyak orang mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga tidak harmonis lalu bisa berubah, padahal saya itu kalau tidak sependapat dengan orang dulu bisa langsung ngejar, tapi ya itu seperti sampah yang didaur ulang bisa menjadi pupuk, keburukan saya bisa didaurulang menjadi keindahan, sehingga banyak orang mengatakan saya bisa, padahal saya buruk loh hehehehe, ya itu baik buruk dilihat adakah landasan kasihnya atau bukan, lalu ada penyerahan diri kepada menunjuk keatas yah itu rumusan saya sekarang, kalau dulu saya tidak merasa. Baik Romo, lalu awal Romo tertarik untuk menjadi pastor dan akhirnya memutuskan untuk masuk Seminari seperti apa Romo? Ya..ada yang mengatakan motivasi panggilan saya dangkal sekali. Ya mungkin seorang anak yang dibesarkan dengan keluarga seperti ini lalu dalam sini punya apa ya seks maniak dalam tanda kutip dipikiran hanya ada perempuan saja itu sudah saya katakan sejak smp moto wedokan, ya saya senang, lalu teman perempuan saya banyak ya dulu saya pincang gitu, saat SMA 33:55 Segala itu ada saudara sepupu saya ngejek saya, itu tahun 1968 itu saya kelas 2 SMA itu saya diejek pasti besok istrimu juga banyak, nanti seperti bapakmu yang punya istri banyak, ya seperti itulah, lalu saya bilang, saya katolik kalo punya istri ya hanya satu, waa itu lalu ditertawakan gitu, lalu saya bilang saya tidak punya istripun berani, saya berani menjadi Romo, lalu dia menanggapi serius Tidak Mungkin kalau kamu bisa, lalu saya Bisa..waa lalu dia taruhan sama saya, kalau saya masuk seminari gajinya dua bulan untuk saya, kalau saya tidak masuk kamar yang dia tempatin dia ambil, saat itu rumah dan tanah sudah diwariskan ke saya oleh nenenk saya, kalau jaman dulu bisa kalau sekarang kan gaya, karena dulu meskipun masih ada bisa langsung diberikan semua ke cucunya, dulu nenek saya takut nanti ada yang minta ini, mininta itu, jadi itu semua diberikan kepada saya, lalu akhirnya saya daftarkan diri pokoknya nekat, Romo paroki sudah oke, begtu pula Romo di sma juga, tapi setelah di Seminari ada Romo bilang kowe ra iso,lalu saya tanya kenapa?beliau bilang kowe ra iso, kowe pincang…oooo ya udah saya tidak gimana, ya uda yang jelas saya sudah berjuang, ya ga boleh kata gereja begitu..ya itu lalu suatu ketika Uskup menyuruh saya datang kekeuskupan lalu berkata kamu harus ikut ujian, nanti kalau kamu lulus kamu masuk, tapi harus lulus dulu, ya lalu saya ujian di mertoyudan, nilai saya dulu buruk semua, ya saya sebenarnya sekolah itu ga serius, hanya masuk budaya saja, nilai bahasa saja tidak bagus, lalu ketika masuk mertoyudan bahasa inggris dapet 3 plus, ya tapi kemampuan belajar dinilai tinggi ya IQ juga diatas rata2, lalu ada tes psikologi itu, nilai kepemimpinannya bagus, dilihat dari situ saya diterima, ya itu lalu saya masuk, bukan dengan semangat tinggi, tidak diterima ya sudah, diterima ya masuk begitu aja, ya mulanya hanya seperti itu, hanya karena taruhan, ya kakak saya itu tau bahwa bapak saya itu tidak akan kasih ijin, karena anaknya hanya satu, tapi itu diluar dari sepengetahuan bapak saya, saya buat itu surat pernyataan bahwa saya menyebutkan nama umur sanggup membiayai pendiidikan diseminari kesehatan dsb itu, ya itu lalu bapak saya liat itu, ini apa?tanda tangan pak, loh dibicarakan dulu, tanda tangan aja pak, kalau bapak ga mau tanda tangan, saya tanda tangan sendiri, aku hapal, karena sejak masa smp, ada urusan sekolahan saya minta orang lain tulis, lalu saya yang tanda tangan, lalu bapak saya bilang kalau hanya punya anak 1, dulu saya jawabnya buruk itu, yang goblok buat anak bapak to yo masak resikonya saya yang harus tanggung, bapak ibu gawe ra ngukur2 ndisik, garuk2 kepala aja bisa kq, buat anak banyak masak ga bisa, malah saya yang harus ikut nanggung, bapak saya ya diam dan tanda tangan aja, hingga saya tidak tau bahwa bapak saya tidak pernah ikhlas, baru saya tau setelah saya tahbisan diakon tahun 1981- 1980 okt baru bapak saya setuju, saya diberitahu tante saya. Ya ini dulu motivasi saya begini DAV: ya tidak terlihat seperti yang lainnya, ya begitu bukan seperti mewartakan kabar apa gt Lalu ketika sudah diterima dan masuk ke seminari menengah apakah ada pergulatan lainnya? Ga kerasa…ga kerasa…ya diasrama itukan…ya saya biasa liar gitu kan,biasa, ya kalau diasrama itukan harus ikut acara jam sekian, lalu ada apa, lalu jam berapa harus tidur siang, susah saya, lalu kalau apa itu, eee remi ketahuan itu dosa, ya saya selalu kena hukuman yang saya tidak tahu menau kalau itu salah, ya remi sanatai jam 9 malam dikelas itu, kan waktu itu ada jam rekreasi sendiri, tapi saya sama teman2 remi dikelaas, jaman dulu ada masih ada pembagian gitu diasrama, yang gede, lalu madya, lalu yang kecil, gt di mertoyudan, kan ga boleh kl ke bagian yang lain, nah saya sering dulu ke bagian anak2yang kecil2, karena dulu saya sering mendampingi anak2kecil dirumah, nah ituuu dosa, lalu jalan itu sentuhan gitu ada aturan regula status namanya, gandengan itu ga boleh, karena ditakutkan aakan adanya persahabatan yang intim gitu ya, tapi ya saya ga mikir itu, saya jalan2 gandengan itu yaa dosa, ya itu akhirnya saya mendapatkan hukuman yang tidak jelas, lalu kalau menipu itu ya pernah gt, kalau ada undangan pesta dirumah teman, ijinnya pulang, padahal ga ada pesta, lalu ketika waktunya harus kembali, ternyata kembalinya ga bareng2 dan akhirnya ketahuan, ya di mertoyudan sebagai seorang remaja ya konfliknya sepertiitu, hal2 yang menurut saya biasa liar ya bebas lalu hidup dengan system 44:27 Hanya saja saya suka merasa apa ya, merasa sedih kalau ada teman yang keluar mengundurkan diri dari seminari. Padahal saya liat mereka yang keluar itu pinter2, rajin, tekun, sopan ya dibandingkan dengan saya. Makanya ketika ada yang keluar saya lalu lari ke kapel. Doa dan bertanya kenapa teman saya yg seperti itu bias keluar, sys ring melakukan pelanggaran tetapi teman saya yang baik seperti itu kenapa keluar? Suatu saat pernah saya tanyakan hal ini kepada salah satu staff, dan staff itu mengtakan bahwa saya memiliki ketaatan. Tapi saya tetap tidak mengerti Waktu di seminari mertoyudan berarti Romo KPA? Waktu itu BCA belum ada KPA kl yang dari SMA, kl yg dari SMP itu BCP, di BCA itu 2 th, tapi dulu kl yang nilainya oke oke itu bs 1 th, sy bs 1 th, tp saat itu saya merasa belum siap yak arena rohani saya belum siap, jd saya minta wktu itu ikut yang biasa2 saja. Ceritakan Romo ketika di seminari tinggi hingga Romo ditahbiskan? Saya mulai ditingkat satu wktu itu,masuk ya gitu…ya saya memang saya tidak suka dengan suasana disiplin ya begitu misalnya jam malam begitu,saya kan apa ya ga pernah puas begitu, tidak pernah puas dengan bimbingan, kuliah ya kuliah begitu saja,rohani ya renungan meditasi sendiri,semua ada jamnya, sehingga suatu saat saya punya kelompok, kelompok kecil bertiga orang, klo uda malam itu lampu mati, dulu belum ada listrik PLN jd cahaya menggunakan lilin, kami ambil lilin di kapel, lalu pergi kebawah meja lalu kami tutupi dengan kain dan cahaya lilin