LAMPIRAN
PENELITIAN
LAMPIRAN I:
NARASI SUBYEK
A. SUBYEK 1
Ceritakan bagaimana masa kecil Romo? Saya  dilahirkan  21  Juli  1962,  sebagai  anak  pertama  dari  enam  bersaudara.
Bapak dan ibu berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Bapak, ibu tinggal dan bekerja sebagai  guru  SD  di  daerah  majenang,  cilacap,  Jawa  Barat  sejak  tahun  1955.
Sejak kecil orangtua saya mengajarkan iman katolik. Waktu SD saya satu-satunya siswa  yang  beragama  katolik,  namun  demikian  bapak  selalu  mengajarkan  doa
dan  menjadikan  hari  minggu  sebagai  hari  khusus  ke  gereja.  Setiap  pagi  saya diajarkan  untuk  doa  pagi,  kebiasaan  ini  mungkin  terbawa  oleh  bapak  yang
lulusan asrama guru di ambarawa. Lalu bagaimana kehidupan menggereja Romo saat itu?
Kehidupan menggereja saat itu memang sangat sulit. Paroki saya adalah paroki cilacap,  dan  saya  biasanya  gereja  di  stasi.  Misa  pun  tidak  setiap  minggu
diadakan  di  stasi.  Saya  juga  aktif  ikut  misdinar  dan  sering  ikut  pastor  ke  stasi- stasi.  Karena kebiasaan itu, saya memiliki  kebiasaan untuk doa Malaikat  Tuhan
jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore dan doa Rosario di sore hari juga. Ceritakan  bagaimana  Romo  awalnya  merasakan  panggilan  untuk  menjadi
Pastor? Kalau  dibilang  sejak  SD  tidak  ya,  hanya  saya  merasa  dan  kelihatannya  dasar-
dasar  panggilan  itu  sudah  ada  di  dalam  keluarga  yang  diberikan  kepada  saya sejak  kecil.  Dengan  diajarkan  untuk  rutin  berdoa  dan  aktif  mengikuti  kegiatan
gereja seperti misdinar. Kebiasan-kebiasan itu berjalan terus hingga saya duduk di SMP sampai SMA. Saya merasa terpanggil untuk menjadi pastor saat itu duduk
dibangku SMA, kalau  tidak salah kelas  1 SMA.  Dan saat itu muncul  SK menteri tahun 77. SK itu berbunyi kira-kira demikian , bagi para misionaris yang berasal
dari  luar  negara  Indonesia  diharapkan  untuk  meninggalkan  negara  Indonesia, namun jika tetap ingin tinggal di Indonesia, misionaris yang bersangkutan harus
mengurus  untuk  menjadi  Warga  Negara  Indonesia.  Karena  adanya  SK  tersebut, banyak  misionaris  yang  kembali  ke  negara  asalnya,  sedangkan  saat  itu  paroki
dan stasi-stasi di tempat saya dilayani oleh banyak misionaris yang berasal dari luar Indonesia. Otomatis dengan SK tersebut pelayanan di gereja dan stasi-stasi
di tempat saya menjadi tidak terpenuhi akibat banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya. Melihat keadaan ini, saya mulai bepikir dan merenungkan dalam
hati  “Stasi-stasi  di  tempat  saya  sudah  misa  hanya  sebulan  sekali,  lalu  para misionaris diminta untuk kembali ke negara asalnya, lalu bagaimana gereja dan
stasi-stasi  disini  dapat  dilayani?  Apa  yang  bisa  saya  lakukan  sebagai  warga
gereja?” saat itulah panggilan untuk menjadi pastor muncul. Apalagi saat itu ada minggu panggilan dan umat mendoakan agar pemuda gereja di tempat saya ada
yang  terpanggil  untuk  menjadi  pastor,  dengan  adanya  hal  itu  semakin  terasa panggilan saya untuk menjadi pastor. Keinginan ini pun saya sampaikan kepada
kedua orangtua saya.
Bagaimana reaksi orang tua Romo ketika mengetahui keinginan Romo itu?
Saat  itu  bapak  hanya  mengatakan  “ya  silakan  kalau  memang  itu  keinginanmu, bapak ibu mendukung dan mendoakanmu”.
Bagaimana masa remaja Romo?apakah saat itu juga pernah jatuh cinta? Ya  seperti  biasanya  seorang  remaja,  mengalami  ketertarikan  pada  lawan  jenis.
Saya  juga  pernah  merasakan  hal  itu,  tertarik  dengan  teman  lawan  jenis.  Ada perasaan ingin dekat dengan orang itu, namun saya tidak sampai untuk memiliki
atau  berpacaran.  Saya  ingin  dekat  dengan  orang  itu,  tapi  saya  juga  ingin  dekat dengan teman-teman yang lain. Sehingga keinginan dekat dengan orang itu, saya
bagikan  juga  dengan  teman-teman  yang  lain.  Kalau  jalan-jalan  ya  bersama teman-teman.  Kalau  belajar  kelompok  ya  bareng-bareng  bersama  teman-teman
itu juga. Saya memang berusaha untuk tidak terfokus pada satu teman saja. Ceritakan bagaimana kisah Romo di Seminari Menengah?adakah pengalaman
konflik saat itu, jika ada bisa diceritakan bagaimana terjadinya konflik itu? Setelah lulus dari bangku SMA, Saya memutuskan dan melanjutkan untuk masuk
Seminari  Menengah  Petrus  Canisius  Mertoyudan  tahun  1982-1983.  Saya  hanya satu tahun di Semianari Menengah karena saya masuk di KPA Kelas Persiapan
Atas. Kehidupan di Seminari Menengah berjalan mengalir begitu saja, tidak ada yang  membuat  saya  mengalami  konflik  atau  krisis  dalam  hidup  atau  panggilan
saya.  Perjalanan  satu  tahun  yang  tidak  terasa,  hanya  saja  pada  retret  untuk menentukan  pilihan  ada  perasaan  bingung  untuk  memilih.  Waktu  itu  saya  ingin
memilih  apakah  melanjutkan  ke  SJ  Serikat  Jesus  atau  OMI  Oblat  Maria Immaculata.Keinginan  saya  untuk  menjadi  Imam  Misionaris  baik  OMI  maupun
SJ  keduanya  mendukung  keinginan  saya  itu.  Memang  banyak  teman  saya  yang memilih  untuk  masuk  SJ,  sebab  dari  Seminari  banyak  yang  diarahkan  kesitu.
Tetapi  figur  OMI  juga  melekat  dalam  diri  saya,  karena  di  Paroki  asal  saya Pastor-pastornya dari OMI dan itu juga yang membuat saya terpanggil menjadi
Pastor.  Akhirnya  saya  pun  diberikan  kesempatan  memilih  dalam  suasana  retret. Dalam  retret  tersebut  akhirnya  saya  memantapkan  hati  untuk  masuk  dan
melanjutkan  ke  OMI,  karena  saya  telah  mengenal  OMI  mungkin  juga  semangat OMI sudah tertanam di dalam diri saya.
Ceritakan
bagaimana kisah
Romo di
Seminari Tinggi
hingga ditahbiskan?adakah  pengalaman  konflik  saat  itu,  jika  ada  bisa  diceritakan
bagaimana terjadinya konflik itu? Tahun  1983  saya  di  Seminari  Tinggi  kongregasi  OMI  dan  melanjutkan
pendidikan di Seminari Tinggi-Fakultas Teologi Weda Bakti, Jogjakarta. Selama masa  formasi  ini  tantangan  mulai  terasa.  Memang  pernah  sebelum  nofis,  jadi
masuk  di  awal  belum  memiliki  pengalaman  untuk  hidup  di  masa  formasi,  saya mulai  merasa  ragu-
ragu.  Saya  merasakan  “kok  hidup  rohani  rasanya  turun  ya dari  seminari  menengah?”  Saya  melihat  kehidupan  di  Seminari  menengah  dan
disini  Seminari  Tinggi  berbeda.  Kalau  di  Seminari  menengah  semua  di  atur secara tertib dan disiplin, sedangkan disini tidak, misalnya pulang harus minggu
malam, tapi ada yang pulang senin pagi tapi tidak ditegur. Hal ini terjadi karena
pendekatan Romo Rektor yang berbeda, beliau berprinsip “ya kalau ada teman-
teman  yang  melanggar  nggak  pernah  ditegur  barangsiapa  yang  melanggar silahkan  datang  ngomong  gitu  dan  mengakui  kesalahan”.    Lalu  melihat
kehidupan keteraturan yang berbeda itu membuat saya ragu- ragu, “apakah saya
tida k  salah  pilih?”  Keragu-raguan  ini  akhirnya  saya  bawa  ke  pembimbing
rohani.  Pembimbing  rohani  saat  itu  mengatakan  “kalau  kamu  memang  ada ketidakpuasaan  atau  kekecewaan    dan  tetap  tidak  ingin  disitu  ya  berarti
panggilanmu bukan disitu”. Hal ini membawa saya pada permenungan dan dari permenungan itu saya mulai berpikir membawa saya pada kesadaran ini “OMI
ini hanya salah satu dari OMI dan jika saya memilih OMI terus berpikir seperti ini  berarti  hanya  emosionalku  saja,  belum  tentu  semua  OMI  seperti  yang  aku
ras
akan”. Selain itu, masalah ini saya bawa juga dalam doa, dan doa ini juga memunculkan  niat  bahwa  “kalau  mau  memperbaharui  kehidupan  bersama,
jangan  menuntut  orang  lain  tetapi  mulailah  dari  diri  sendiri,  mulailah  merubah dari dirimu sendiri” waktu itulah saya mulai berubah dari dalam diri sendiri.
Lalu  ketika  selesai  filsafat,  tepatnya  memasuki  tahun  ketiga,  tantangan  semakin terasa  Saya  sebagai  anak  pertama  dari  enam  bersaudara  -  keluarga  guru  SD
merasa  tergugah  untuk  ikut  meringankan  beban  orang  tua  ketika  melihat  adik- adik saya sudah ada dua orang memasuki Perguruan Tinggi.  Sering kali muncul
pikiran  niat  untuk  keluar  dan  bekerja  membantu  orangtua.  Memang  kedua orangtua saya tidak pernah mengatakan bahwa mereka ingin dibantu oleh saya,
hanya  saja  hal  ini  terus  muncul  dan  saya  rasakan  dalam  pikiran.  Di  dalam pikiran  selalu  muncul  dan  keingat  rumah,  bahkan  di  dalam  doa  pun  pikiran  itu
muncul.  Ya  mungkin,  karena  saya  melihat  dan  merasakan  tidak  sampai  hati perjuangan  orang  tua  seperti  itu,  ada  perasaan  prihatin  sebagai  anak  pertama.
Sebagai  anak  pertama  saya  merasa  tidak  bisa  hanya  tinggal  diam  seperti  ini, tergugah  hati  saya  sebagai  anak  pertama  untuk  wajib  membantu  orang  tua.
Pikiran  tersebut  coba  kuolah  dalam  permenungan  dan  doa  serta  dibicarakan dengan  Pembimbing  Rohani.  Setelah  melewati  pergulatan  yang  cukup,  akhirnya
saya  sampai  kepada  kesadaran  berupa  pertanyaan  refleksif  “Apakah  ada jaminan,  kalau  saya  keluar    pasti  akan  menyelesaikan  masalah  yang  dihadapai
orang  tua?  Atau  malah  peristiwa  keluarnya  saya  dari  Seminari  malah  akan
menambah  beban  orang  tua?”  Proses  pengolahan  pertanyaan  refleksif  itu membawa  saya  kembali  kemotivasi  dasar  dan  pengalaman  sebelumnya  sewaktu
saya ingin menjadi seorang Pastor, saya yang tinggal dalam satu stasi dan paroki yang  jaraknya  80  km,  lalu  karena  ada  SK  menteri  77  dimana    misionaris
diharuskan  keluar  dari  Indonesia  atau  memilih  untuk  menjadi  WNI,  waktu  itu saya rajin berdoa, ikut Romo ke stasi-stasi, bahkan waktu itu hanya ada 2 romo,
tapi yang satu cuti,  juga merasakan keadaan umat tidak ada misa, lalu ada umat yang  mendoakan  doa  panggilan  di  misa  pagi,  sehingga  ada  yang  menggetarkan
hati  saya  untuk  menjadi  imam.  Berdasarkan  pengalaman  juga  saya  berpikir
“kalau tidak ada Romo lalu siapa yang akan melayani umat untuk misa?” Pernah mengalami  kesulitan  misa,  pengalaman  itulah  yang  menguatkan  saya  untuk
menjadi  imam.  Dari  motivasi  itu  juga  yang  mengarahkan  kembali  ke  jalan  atau tujuan  saya  menjadi  imam,  sehingga  jika  ada  arah  menyimpang  dari  tujuan  itu,
saya  harus  kembali  ke  tujuan  itu.  Menyelesaikan  masalah  terus  kembali  kearah
tujuan  awal.  Selain  itu,  ada  pembimbing  rohani  sehingga  saya  dapat mensharingkan pengalaman dan perhatian Seminari membantu kami para frater
untuk  tetap  menjaga  hubungan  baik  dengan  keluarga  juga  sangat  menguatkan saya  dalam  menjalankan  panggilan.  Pernah  suatu  ketika,  saya  diberi  uang  dari
orangtua,  waktu  itu  sudah  dibicarakan  dengan  Romo  Rektor  juga  dan  formator
saya,  dan  mereka  mengatakan  “ya  diterima  saja  itu  pemberian  dan  perhatian dari  orang  tua.  Lalu  yang  lain,  waktu  itu  setiap  sebulan  sekali  ada  waktu
kunjungan keluarga, waktu itu uang saku Rp.5000 tidak cukup untuk pulang pergi ke  rumah  di  cilacap,  jadi  saya  tidak  menggunakan  waktu  itu,  sempat  saya
dipanggil  ditanyakan  kenapa  tidak  pulang?  apakah  ada  masalah  dengan
keluarga?  Akhirnya  saya  ceritakan  bahwa  “uang  saku  saya  tidak  cukup  untuk pulang,  kalau  disini  seminari  mau  menambahkan  ya  saya  akan  pulang”,
akhirnya ya saya pulang, tapi dengan mengumpulkan uang saku terlebih dahulu, sehingga berapa bulan sekali saya baru bisa pulang, tapi kadang sini seminari
juga menambahkan untuk ongkos pulang juga. Sedangkan dari keluarga sendiri, memang  tidak  ada  tradisi  rutin  hanya  kadang-kadang  ketemu  saja,  malah  kalau
ada  surat  datang  biasanya  ada  masalah,  namun  kedua  orangtua  tidak  pernah menceritakan  masalah  yang  sedang  dihadapi,  karena  mereka  takut  mengganggu
proses saya di seminari. Pernah waktu itu nenek saya meninggal, tetapi orang tua saya tidak memberikan kabar kepada saya, kebetulan saya memang dekat dengan
nenek, namun karena alasan orang tua yang tidak mau mengganggu proses saya disini  seminari  orang  tua  saya  tidak  memberikan  kabar  kepada  saya,  baru
beberapa  minggu  kemudian  saya  tahu  kabar  itu.  Berkat  pencerahan  dan  proses pengalaman  saya  tersebut,    saya  menjalani  masa  formasi  lebih  mantap.  Bahkan
saya ditahbiskan Imam satu tahun lebih dahulu dari teman seangkatanku. Ceritakan  bagaimana  kisah  Romo  ketika  sudah  menjadi  Pastor?adakah
pengalaman  konflik  saat  itu,  jika  ada  bisa  diceritakan  bagaimana  terjadinya konflik itu?
Saya ditahbiskan 24 Juli 1991. Menjelang usia tahbisan ke 1 saya terkena kanker Kelenjar Getah Bening Lymphoma Maglinam Non Hogkin stadium II. Waktu itu
saya  merasa  biasa  aja  dan  dapat  menjalankan  misa  seperti  biasanya,  lalu  ada gejala bibir pecah, terus saya ceritakan ke romo di paroki. Lalu romo menyuruh
saya untuk periksa ke dokter. Dari dokter tersebut saya diminta untuk periksa ke
semarang  Elisabeth.  Saat  itu  saya  berkata  kepada  suster  yang  merawat  “wah saya masih ada acara
suster” Tapi ya bagaimana lagi akhirnya setelah acara itu saya  ke  semarang  dengan  surat  pengantar  dokter  langsung  bertemu  dengan
dokter  ahli  bedah.  Lalu  dokter  mengatakan  “benjolan  ini  ada  3  kemunginan, pertama  karena  bakteri  atau  kelenjar,  kedua  karena  virus,  dan  yang  terakhir
karena  ada  sel-sel  kankernya.  Untuk  itu  diambil  sampel  jaringan  dan  saya dioprasi.  Hasilnya  adalah  diagnosa  yang    ketiga  itu,  tetapi  mengingat  keadaan
saya saat itu, saya masih belum merasa sakit. Waktu itu romo paroki itu datang terus  bertemu  dengan  direktur  Rumah  Sakit,  memberitahukan  efek  dari  gejala
penyakit tersebut, lalu saya pulang  ke paroki  ya sesampainya disana saya biasa melakukan  aktivitas  seperti  biasanya  mimpin  misa.  Terdorong  oleh  masa  bulan
madu dan idealisme, bahkan saya b
erniat “ Saya ditahbiskan imam, maka kalau
saya mati tetap sebagai i mam”. Maka saya ingin mempersembahkan waktu hidup
saya sebaik mungkin dalam pelayanan imamat. Namun setelah kemoterapi kedua saya  merasakan  sakitnya.  Orang-orang  mulai  tidak  mengenali  karena  rambut
rontok terus botak. Bisa ceritakan pengalaman Romo ketika menjalani kemoterapi?
Ketika memasuki kemoterapi ke 2
– dari rangkaian  6 kali kemoterapi- saya mulai merasakan  bahwa  saya  sakit.  Rambut  kepala  rontok  sampai  tak  dikenali  oleh
teman-teman; Lutut terasa lemah, kalau berdiri hanya bisa bertahan 10 menit dan berjalan 200 meter; mulut luka- sariawan berkepanjangan dan sulit untuk makan;
setelah  menerima  kemoterapi  hingga  sampai  1  minggu,  muntah-muntah  sampai kram perut dan sulit tidur hingga 3.30 pagi. Ketika kemoterapi biasanya merasa
tersiksa  karena  maunya  muntah  perut  tidak  terisi  sampai  keluar  getah  kuning, makan muntah, yang penting makan terus makan meskipun muntah, saat itu, saya
dititipkan di  stasi,  malam tidak bisa  tidur  hampir  seminggu,  kalau  sudah  seperti itu  saya  hanya  mendengarkan  lagu,  ada  luka  dibibir  kalau  makan  sakit  sampai
keluar  air  mata.  Ya  waktu  itu  ada  ibu-ibu  bagian  rumah  tangga  itu  yang memperhatikan  makan  dan  mengatur  pola  makan  saya.  Mau  makan  sulit  itu
sampe  6  periode  bahkan  saya  mengalmi  trauma  pada  penyembuhan  keempat begitu masuk Rumah Sakit, bau alkohol, bau Rumah Sakit itu membuat saya mual
muntah, ketika keluar dari Rumah Sakit ketika mencium sop berbau kaldu itu ya saya  mual  lagi,  bau  bakso  saja  saya  mual,  butuh  waktu  lama  untuk  bisa  makan
sop  berkaldu  lagi.  Tapi  saya  paksa  untuk  makan,  ada  kehendak  untuk  sembuh. Kalau  kemoterapi  itu  darah  merah  dan  darah  putih  drop,  kalau  porsi  ukuran
darahnya  rendah  ya  tidak  bisa  kemoterapi,  kalau  dalam  keadaan  drop dipaksakan  dokter  tidak  berani,  karena  hal  itu  sama  saja  dengan  membunuh
pasien,  lalu  tahu  akan  hal  seperti  itu,  saya  berusaha  untuk  menaikan  standar ukuran darah untuk kemoterapi. Ya itu semangat dari dalam saya untuk sembuh
kuat. Bagaimana dengan reaksi emosional Romo?
Secara  emosional  saya  pun  labil,  bila  bertemu  orang  atau  teman  dekat  atau dikunjungi  orang,  menangis  dengan  sendirinya  dan  bila  menceritakan
pengalaman  sakit    juga  menangis.  Dalam  situasi  yang  demikian,  saya  merasa bahwa saya sungguh-sungguh tak berdaya dan  tergantung dari belas kasih orang
lain  .  Maka  misa  ke  Stasi  saya  diantar  dan  waktu  memimpin  misa,    saya  hanya membuka  dengan  tanda  salib  dan  pengantar  kemudian  duduk.  Prodiakon
melanjutkan  sampai  doa  umat.  Saya  mulai  lagi  ketika  persembahan    dan    saat komuni,  saya    duduk  kembali.    Akhirnya  doa  sesudah  komunita  dan  berkat
perutusan.  Lalu  juga  ketika  keadaan  sakit  ada  perasaan  bahwa  saya  tidak berguna,  tapi  toh  bukannya  umat  lari  tapi  justru  perhatian  dengan  membawa
makanan, lalu dari situ saya berpikir bahwa Tuhan tidak pernah pergi, saya tidak ditolak, tidak dijauhkan, ya kembali  lagi pada idealisme saya diawal  hidup mati
tetap jadi imam. Bahkan saya belum boleh beraktifitas ke stasi, tapi saya tetap ke
stasi  lalu  dokter  berpesan  “romo  jaga  kesehatan  baik-baik  jangan  dekat-dekat dengan orang sakit dulu sebab daya tahan r
omo masih belum kuat”. Tapi setelah saya di stasi ada umat yang sakit sudah 2 hari umat yang sakit itu tidak makan,
tidak  berani  disuntik  juga  dan  umat  disana  meminta  memberkati  air  untuk  yang sakit,  lalu  saya  meminta  air  matang  diberi  garam  dan  didoakan.  Tapi  ada
ketakutan kalau saya dekati takut tertular dan saya bisa mati, ada pergulatan itu, lalu  akhirnya  muncul  keyakinan  oke  apapun  yang  terjadi  saya  siap  menerima,
dengan  kesadaran  apa  yang  terjadi  besok  biarlah  terjadi,  akhirnya  saya  dekati orang yang sakit itu dan beberapa hari kemudian orang itu sembuh.
Secara kejiwaan saya pun lemah  membutuhkan figur  seorang ibu yang merawat, memperhatikan  dan  mendengarkan.  Saya  senantiasa  merindukan  kehadiran
orang yang dengan setia hadir  menemani dan mendengarkan saya, merawat dan memperhatikan saya serta memenuhi kebutuhan psikologis saya. Kadang-kadang
ingin  diperhatikan  dengan  dikirimi  makanan,  dengan  menceritakan  atau mengungkapkan  kesedihan,  mengirimkan  snack,  jus,  jadi  seperti  membutuhkan
teman  yang  mampu  mengerti,  memperhatikan,  merawat  ya  lalu  seperti  semacan seorang  laki-laki  yang  membutuhkan  peranan  seorang  ibu  yang  melindungi
merawat.  Jadi  di  pastoran  saya  sendiri  ada  perasaaan  kurang,  sepi,  dan membutuhkan orang yang bisa mendengarkan cerita.
Saya  terkena  kanker  2  kali,  di  tahun  1992  dan  tahun  1998.  Sebelum  terkena kanker  kedua  tahun  1998,  saya  ikut  kursus  pengolahan  rohani,  semacan
persiapan  menerima  kanker  kedua.  Karena  waktu  itu  retret  agung  saya  diberi kesempatan untuk membayangkan bagaiman jika saya dalam beberapa waktu ke
depan  mati.  Saya  saat  itu  bisa  membayangkan  keadaan  saya  dalam  keadaan hampir  mati  dan  merasakan  situasi  tersebut,  saya  merasakan  menderita  sendiri,
takut,  bahkan  memohon-mohon  untuk  diberi  kesempatan  untuk  membereskan segala sesuatu yang belum beres, hingga akhirnya saya merasa dan muncul sikap
penyerahan  tentang  apapun  yang  terjadi  besok  saya  siap.  Retret  ini  juga membawa  saya  pada  permenungan  bahwa  kasih  Alllah  yang  tanpa  syarat.  Saya
berpikir “oya disaat saya menderita ada umat yang datang memperhatikan, jadi dalam keadaan sakit pun pengolahan hidup rohani masih, jadi pengalaman sakit
itu  tidak  merasa  ditinggalkan  Allah,  orang-orang  yang  setia  merawat  itu  masih. Saat  di  Rumah  Sakit  itu  saya  juga  merenungkan  keadaan  saya  ibarat  seperti
matahari, kalau pagi indah siang panas sore indah lagi malam bahkan tidak ada, kadang  hidup  itu  indah  panas  bahkan  hilang  hampir  12  jam,  adakalanya  indah
adakalanya sepi, ya memang seperti itu pengolahan kehidupan. Kasih Allah tidak berhenti  pada  figur  orang,  namun  itu  bisa  dirasakan  ketika  mendengarkan  lagu
dan merenung. Bagaimana  pengaruh  peristiwa  ini  terhadap  panggilan  hidup  Romo  sebagai
seorang Pastor? Saya  kira  pengalaman  sakit  ini  tidak  membawa  saya  sampai  pada  keinginan
untuk  keluar  dari  imamat,  karena  orang-orang  di  sekitar  saya  menghargai  saya dan  mendukung  saya  dalam  kondisi  apapapun.  Namun,  karena  sakit  ini,  saya
pernah  ingin  menolak  perintah  penugasan  yang  diberikan  kepada  saya.  Saya
berpikir  saat  itu  “saya  yang  dalam  keadaan  sakit  bahkan  hampir  sembuh  kok harus diberikan tugas yang berat?” ada penolakan, ada perasaan tidak mampu
menerima  tugas  dalam  kondisi  sakit.  Namun  kembali  saya  sharingkan  dengan romo dan teman-teman saya, akhirnya saya merasa dikuatkan dan mau serta siap
untuk menerima tugas yang diberikan meskipun dalam keadaaan sakit sekali pun. Dengan  krisis,  hal  biasa  yang  terjadi  dalam  hidup,  tinggal  bagaimana  cara
menghadapinya, ada yang bisa meskipun harus bersusah-payah terlebih dahulu. Bagaimana caranya Romo menyelesaikan konflik dalam peristiwa ini?
Seiring  dengan  proses  kesembuhan  saya  dan  pulihnya  kemandirian  saya,    Saya mulai  menyadari  ketergantungan  psikologis  saya.  Pergulatan  saya  yang
bermuara  pada  kesadaran  tersebut  amat  terbantu  kesetiaan  saya  dalam  hidup doa  dan  refleksi.  Maka  diawali  dengan  kesadaran  akan  adanya  ketergantungan
psikologis  itu,  saya mulai  berjuang untuk keluar  dari kelekatan  psikologis  yang saya  alami.  Peranan  rekan  imam  senior-  rekan  komunitas  -  yang  mau
mendengarkan    dan  pengalaman  pribadi-  sewaktu  SMA  bagaimana  mengatasi kelekatan-  sungguh  membantu  saya  keluar  dari  ketergantungan  psikologis
tersebut.
B. SUBYEK 2
Selamat pagi romo Selamat pagi
Oke tadi sudah menanyakan kabar Hehehe…yaa
Langsung saja romo, saya ingin kenal, siapa r omo….ini
Hehehehe… Monggo romo
Kalau biografi ini ya.. Ya
Eenngg saya lahir di dusun Berbah Kalasan ke selatan Oya
Masuk  kabupaten  sleman,  30  januari  1951,eeee  ketika  saya  masih  di  dalam kandungan bapak-ibu saya cerai,bukan dari keluarga katolik saya.
Oo bukan dari keluarga katolik Bukan,  nama  saya  kalau  orang  jawa  ga  normal  situasi  kondisinya  lalu  apa  ya
diberi nama yang aneh juga lalu nama saya sudarwanti gitu, terussss lalu diganti sudarwanto,  artinya  anak  yang  ditegakan  seperti  itu,  lalu  umur  setahunan  bisa
jalan katanya dulu  saya  sakit  panas  terus disuntik eee lalu malah ga bisa jalan, kemudian  saya  diambil  bapak  saya,  diasuh  oleh  nenek  saya.  Ibu  saya  dari  desa
tapi  anak  penewu  waktu  itu,  lalu  bapak  saya  ini  di  pojok  benteng  itu  ya,  masih keturunan  ningrat,  lalu  saya  diambil  bapak  saya,  kemudian  umur  5  tahun  saya
bisa  jalan,  lalu  memang  nama  diganti,  kalo  di  jawa  kan…..lalu  nama  saya menjadi  bambang  sutrisno  hingga  sekarang,  sehingga  maksudnya  menjadi  anak
yang  dicintai  mendapat  kasih  sayang  yang  lebih.  Ya  lalu  saya  menjadi  anak tunggal, jadi bapak saya itu kawin cerai, jadi saya mengalami beberapa ibu tiri,
paling  ga  4  ibu  tiri,  dari  ini  tidak  punya  anak  selain  saya.  Ya  begini  saya dibesarkan  dikeluarga  yang  yaaa  tidak  harmonislah.  Saya  mengalami  hidup
konflik  ya  sejak  kecil.  Saya  sejak  SR  ya  Sekolah  Rakyat  sudah  pernah  mau membunuh ibu saya, ibu tiri saya..hehehe,ya ketahuan bapak saya saya dipukuli.
Lalu  ada  tetangga  saya  memberikan  sesuatu  dan  dia  mengatakan  ini  dari  ibu saya,  ibu  saya  adalah  tetangga  saya,  saya  baru  bertemu  ibu  saya  itu  setelah  17
tahun  lamanya. Kalau  legenda jawa itu, ibu  tiri waaaa ibu  tiri itu bisa  nggodok waaaa  .  dengan  nenek  terlalu  disayang,  sehingga  kalau  saya  main  dengan  anak
umum  itu  dimarah,  ya  nenek  ga  mau,  ya  apa  ya  karena  bangsawan  itu  ya  ga boleh main dg anak kampung, tapi ya saya tetap nyemplung got,  mandi  dsungai
dan  pasti  kena  marah.  Jadi  saya  sebetulnya  mengalami  itu,  jadi  saya  SR  itu Sekolah Rakyat mengalami itu ya, saya sudah disingkirkan dikaliurang, waktu itu
saya sekolah itu di yogya naik bis didampingi psikiater saya masih ingat itu, saya mesti dipisah dari yang lain, lalu saya dititipkan ke orang lain.karena bapak saya
pejabat jadi saya dititipkan orang lain sehingga saya SMP itu, ketika bapak saya menikah dengan ibu saya yang terakhir, lalu tanya ke saya apakah saya bapak
boleh menikah lagi, lalu saya berkata boleh,lalu begitu menikah langsung ada 2 rumah,  lalu  saya  bilang  bapak  mau  tinggal  dimana?kalau  mau  tinggal
diambarukmo,  saya  tinggal  di  kemetiran,  kalau  bapak  dikemetiran  saya
diambarukmo,  pokoknya  ga  jadi  satu  gitu  lo,  lalu  nenek  saya  dibawa  jadi  satu keluarga disana, sehingga saya sendiri. Lalu ya jadi anaknya tetangga, ya ini ini
ee  latarbelakang  saya.  Memang  lalu  bapak  dan  ibu  saya  yang  terakhir  itu akhirnya  membangun  keluarga  katolik.  Ya  saya  dulu  semakin  benci,  kok  jadi
katolik  padahal  di  agama  saya  yg  lain  saat  itu  sedang  aktif.  Lalu  ada  Rm.suto sering datang mengunjungi saya juga, lalu saya bilang kepada Romo. Saya tidak
akan  menjadi  Kristen  lo  Romo.  Lalu  Romo  mengatakan  begini,  ya  ga  pa2  kamu ikut  agama  apa  saja,  pokoknya  ikut  Tuhan  itu  bahagia.  Lalu  jawaban  itu
membuat saya terkejut, sebab di ajaran agama saya dulu, yang berbuat baik akan mendapatkan pahala surga, sedangkan yang buruk masuk neraka, neraka itu kan
ngeri-ngeri,  padahal  saya tidak bisa tanpa  keburukan. Kalau  tidur itu mimpinya takut  masuk  neraka,maka  saya  bingung  kenapa  Rm  mengatakan  demikian.  Lalu
diam2 saya mengikuti pelajaran agama katolik, saat itu bapak saya ngajar agama juga. Ya ngikut2 gitu ya lama2 saya SMA dibaptis. Hampir 17 thun saya saat itu
dipermandikan ya anatara kelas 1 atau kls 2 SMA. Jadi itu disini kekatolikan saya sudah gede, peljaran agama saya lama. Ya duluya pokonya dapet kumpulan2gitu.
Karena  saya  cacat  ya,  saya  cacat  sejak  kecil,  kaki  saya  pincang,  karena  dulu waktu  saya  sakit  tidak  bisa  jalan  dokter  bilang  obat  yang  diberikan  itu  apa  ya
kadaluarsa  sehingga  membuat pertumbuhan  kaki ga ga sehat. Lalu  dulu dengan orang umum itu saya malu aaaa apa ya terlalu dibedakan ya, misalnya mau main
pingpong,dibilang  nanti  ini  untuk  yang  ga  cacat  dulu,  mau  bantu  ngusung  meja dibilang  jangan  nanti  jatuh.  Tapi  waktu  ikut  kumpul2an  itu  waktu  pelajaran
agama itu, saya ikut, jadi ada pelaajaran agama dimana saya ikut. Ya dulu waktu itu saya hanya takut 2 hal satu tidak dihargai kepincangan saya itu, kedua kalau
ditanya  ibumu  siapa  to  sebetulnya  yg  mana?ibumu  itu  yang  mana?  Dua  hal  ini yang cukup mewarnai saya, maka didalam dikomunitas katolik itu, di lingkungan
saya  merasa  welcome,  karena  hal  itu  tidak  pernah  disoalkan.  Klo  itu  kan  mesti ditetangga  selalu  ditanya  ibumu  yg  mana  to?ibumu  siapa?lalu  itu  kan  semakin
membuat  saya  malu,  saya  takut  kalao  jalan  nanti  diejek-ejek  lalu  diejek  kayak musik gamelan eeeee tek tak tek ya itu dua hal itu. Tapi ya untungnya saya bukan
orang yang introvert, saya kasar saya mungkin karena saya anak tunggal, begitu diluar ada rebut ya saya kelahi, apalagi jaman dulu jaman partai saya kebetulan
ikut PNI marheans ya lalu ikut beladiri ya pokoknya saya kasar dulu, nghajar apa kalah  ga jadi soal yang penting berani. Ini yang bentuk saya, saya bukan orang
yang  halus,  santun,  ya  itu.  Namun  dalam  gereja  saya  tidak  kelahi2  seperti  itu, mungkin ya itu tidak pernah disoalkan, sebetulnya sudah banyak orang yang tau
lo ibu saya yang mana itu orang sudah tau, tapi di lingk. Itu tidak pernah, bahkan kaki  pincang  saya  itu.  Pokoknya  kumpul  saya  dapat  peran  nanyi,  dekte  teks,
jaman  dulu  ga  ada  alat  itu  jadi  harus  didekte  teks  lagunya,  lalu  saya  jadi  seksi dekte karena suara saya keras, suatu ketika justru saya tugas digereja, waktu itu
belum baptis itu. Ya saya lakukan meski belum baptis Jaman dulu kan belum ada macem2. akhirnya waktu itu ketua lingkungan apa itu nanya saya dirumah, kamu
ga mau tuk membaca digereja?akhirnya saya jujur, saya malu nanti dari bangku harus maju. Ya itu kalo jadi pemabaca atau lektor itu kan maju nanti kalo diliatin
orang kaki saya, saya malu, ya akhirnya ketua lingkungan memahami, tapi yang baca  tetap  kamu  ya,  suaramu  keras,  kan  baca  tidak  pake  kaki.  Akhirnya  saya
baca,  waktu  itu  yang  misa  Kardinal  Darmojowono  alm  ya  ini  yang  akhirnya kemudian menjadikan saya mau menjadi imam nanti. Klo inget Kardinal lah yang
dulunya ngasih dispensasi saya masuk seminari, waktu itu ya saya sudah ditolak. Pas ada pemberkatan gedung puskat kota baru itu, ada uskup datang, saya main
drama  komedi  waktu  itu.  Kemudian  saya  dipanggil  dan  ditanya  kamu  katanya mau  jadi  imam  yak?  Tidak  boleh  kq  saya  bilang  waktu  itu.lalu  Kardinal  hanya
bertanya kamu bisa  bersepeda? Teman saya yang biasa nyor2  njawab wooo dia biasa  ngebut  itu  dibunderan  di  bulaksumur,  waktu  itu  ya  saya  lek2an  SMP  saja
saya  nekat  itu  nyetir  mobil.  Jadi  saya  TK  2  tahun,  SR  di  Bopkri  tapi  ya  kerap dihukum  lalu  ya  ga  sekolah  2  bulan  lalu  dipindah  ke  negeri,  SMP  sebenarnya
diterima di depan panti rapih itu, SMP N 1, tapi dulu itu to saya ga mau diantar maunya  sendiri,  akhirnya  dicarikan  sekolah  dipinggiran  sawah  di  kota  gede,
jaman dulu masih desa lewat sawah ya walaupun nanti pulang sekolah dolan ke malioboro juga, SMA di de brito. Ini ini ya latarbelakangnya.
Romo kan mengalami merasakan ibu tiri yang tidak hanya satu, lalu apakah dari figur-figur  yang  banyak  itu  ada  yang  mempengaruhi  kehidupan  Romo
selanjutnya?
Saya…saya  tidak  merasa,  saya  itu  hanya  orang  seneng  dolan,  tidak  krasan  di rumah,  yang  mempengaruhi  ya  lebih  ke  lingkungan,  jadi  maka  apa  ya  saya
setelah masuk jadi imam, ada omongan kl keluarganya tidak oke, nanti jadi imam tidak  oke,  itu  lalu  ada  psikospiritualitas.  Itu  waktu  itu  saya  berontak  ada  yang
keluarganya tidak oke, tapi ka nada keluarga lain yang disini yang tidak apa ya, tidak  nucleus  family,  extended  bahkan  tidak  extended,  tetangga  itu  keluarga,  ini
yang  saat  ini  saya  temukan  itu,  ya  meski  saat  ini  saya  juga  memperjuangkan keluarga, tapi saya sendiri lebih dibentuk oleh tetangga, saya itu baikan dengan
kiri-kanan dengan anak2. Ya dulu malah pernah ada tetangga ya yang anak2nya ga boleh bgaul dengan saya, karena ya saya anak yang ga baik, tapi kan ya ada
teman2  yang  dekat  dan  saya  tidak  pernah  sendirian  di  rumah  itu,  itu  yang keluarganya  juga  tiri2  lalu  ada  tetangga  di  ambarukmo  yang  dekat  yang  lalu
menganggap  saya  sebagai  keluarganya  sendiri.  Dan  bapak  saya  setelah  bapak saya menjadi katolik ga pernah kasar kepada saya. Dulu memang ketika misalnya
nanya  siapa  yang  bilang  kalo  ibumu  itu  ibu  tiri?saya  ga  mau  jawab  woooo  itu saya ditempeleng, sampai saya dikencingi apa itu mulut saya, disuruh ngaku, tapi
saya ga ngaku waktu itu, 3 SD wktu itu, sehingga saya keluarga itu ga, jkeluarga itu  ga.  Lalu  saya  pelan2  oke  dengan  keluarga  itu,  pelan2  itu  juga  karena  saya
masuk seminari. Kan wkt itu ada hari wajib tidur di rumah, di rumah orang tua maksudnya, di  seminari itu di  instruksi,  supaya tinggal di  rumah, ya sudah saya
trauma dengan rumah saat itu, ya itu baru pelan2. Dulu ya masa kecil saya, dekat dengan  siapa  ya  dengan  tetangga  ada  yang  ga  suka  ada  yang  sayang  sekali.
Sehingga  waktu  masih  SMA  itu  ngliat  ibu2  bapak2  rajin  gereja  pagi,  wah  rajin ya,  bukan  itu2  gara  gara  dia  maksudnya  saya  yang  mbangunin  mereka  untuk
gereja pagi, lalu mereka nanti bantu saya nanak nasi, lalu pergi gereja, brangkat ke  debrito,  pulang  beli  lauk,  ya  seperti  it  uterus.  Itu  yang  saya  rasakan  dulu
katolik itu minoritas, jadi seperti satu saudara gitu, meski ada keluarga2 katolik yang  tidak  suka  dengan  saya,  karena  saya  tidak  santun,  berani  dengan  orang
tua2,  sampai  ada  yang  ga  boleh  anaknya  bergaul  dengan  saya  krena  khawatir,
tapi dulu ya diambarukmo itu saya sering antar anak2 ke sekolah, baru saya yang berangkat kesekolah, ya saya anggap seperti adik saya sendiri. Jadi saya baikan
dengan keluarga itu, katakan ya berkat  bimbingan  gereja  ya. Saya pun tahbisan itu  tertunda-tunda,  saya  itu  yang  minta  untuk  ditunda.  Lalu  saya  jujur  katakan
apakah  seorang  yang  tidak  punya  cinta  bisa  jadi  imam?ya  saya  tidak  mencintai ibu saya, ya itu tu rasa mesra itu tidak ada, rasa mesra dengan orangtua itu tidak
ada,  untung  pembimbing  saya  bilang  ga,  latar  belakangmu  kan  lain  tidak  bisa dituntut  untuk  seperti  itu,  apa  yang  pernah  kamu  lakukan?  Ya  saya  nulis  surat,
lalu  pulang  tapi  itu  basa-basi  semua.  Tapi  apa  itu  kamu  lakukan?  Ya  saya lakukan. Itu sudah  baik, cinta itu tidak harus  mesra.  Lalu  ya akhirnya saya jadi
berani untuk menjadi imam. Perasaan takut akan 2 hal, bagaimana proses romo untuk menghadapi 2 ktakutan
ini? Saya tidak tahu kapan2nya itu ya. Tapi saya hanya tahu setelah saya ikut Yesus.
Ya  prosesnya  itukan  alamiah.  Kebetulan  saya  punya  kebiasaan  hening,  sebagai anak  yang  dibesarkan  dengan  iklim  kejawen  ya.  Hening,  nang  ning  nung  neng
24:25 Itu  bawah  sadar  diajarkan  meneng  diam  ada  saat  diam  nanti  ada  saat  hening,
artinya  jernih  bisa  mengingat  segalanya,  sadar  apa  yang  dirasakan  lalu  nanti nung  genaung  tau,  lalu  setelah  itu  nang  ngenang  artinya  itu  mampu  bertindak
yang oke gt ini bawah sadar saya dibesarkan itu. Lalu ketika saya jadi katolik ya dulu  ga  tau  apa2  ,  saya  baca  kitab  suci,  ya  ini  saya  baca  kitab  suci,  kebetulan
saya itu dulu gat au apa2 jadi ya baca aja, nah entah saya selalu terkesan pada sikap yesus kepada yang buruk-buruk, pada yang dosa2, itu tidak disingkirin kan,
di  dalam  injil  itu  sikap  yesus  yang  simpati  pada  yang  berdosa,  ada  yang  zinah ketahuan  tapi  itu  kan  ga  dihukum  itu,  nah  itu  saya  terkesan,  lebih2  nanti  ketika
ceritanya  itu  tentang  orang  lumpuh,  ya  saya  senang  dengan  kisahnya,  saya  itu baca  kitab  suci  itu  senang.  Nah  ini  yang  mewarnai  ya  nanti  ternyata  dalam
ajaran gereja juga seperti itu tidak sadis terhadap yang seperti itu berdosa dan yg  buruk2  itu  yang  akhirnya  membuat  saya  pelan2menerima  orang  tua  saya,
menerima bapak saya, ibu yang sadis2 itu, ya perihal mengampuni itu kan 70 kali 7  kali  gt  to.  Itu  yang  membentuk  saya  itu,  lalu  pada  tahun  1977  ada  pertemuan
nasional pemuda cacat seluruh Indonesia, lalu saya ikut mewakili itu dalam panel diskusi,  lalu  malam  hari  itu  kami  berkumpul  dan  ada  yang  menanyakan
sepertinya saya tidak mempermasalahkan kondisi fisik saya, saya katakan bahwa dulu saya sama awalnya takut tidak laku kerja, takut ga laku kawin iya to, sama
sama, semenjak ikut Yesus, entah proses gimana saya tidak tahu, saya tidak bisa menelusuri sejak kapan itu, tapi ya berjalan begitu saja, kebaikan dan keburukan
itu muncul tidak disadari, kalau orang baik itu sadar itu bukan orang baik, kalau orang  itu  buruk  sadaar  itu  bukan  orang  buruk,  ya  saya  tidak  mempersoalkan
kondsi saya, ya itu jika dilihat dari kerangka berpikir  neng ning  nung nang tadi itu,  neng  diam,  ning  hening,  nung  tau,  nang  menang,  hening  itu  pusat  dari
segalanya,  jika  hening  bisa  doa  lalu  bisa  kontak  dengan  Allah,  lalu  bisa menerima,  lalu  bisa  mencinta.  Ya  lalu  kalau  banyak  orang  mengatakan  bahwa
saya  berasal  dari  keluarga  tidak  harmonis  lalu  bisa  berubah,  padahal  saya  itu kalau  tidak  sependapat  dengan  orang  dulu  bisa  langsung  ngejar,  tapi  ya  itu
seperti  sampah  yang  didaur  ulang  bisa  menjadi  pupuk,  keburukan  saya  bisa didaurulang  menjadi  keindahan,  sehingga  banyak  orang  mengatakan  saya  bisa,
padahal  saya  buruk  loh  hehehehe,  ya  itu  baik  buruk  dilihat  adakah  landasan kasihnya atau bukan, lalu ada penyerahan diri kepada menunjuk keatas yah itu
rumusan saya sekarang, kalau dulu saya tidak merasa. Baik  Romo,  lalu  awal  Romo  tertarik  untuk  menjadi  pastor  dan  akhirnya
memutuskan untuk masuk Seminari seperti apa Romo? Ya..ada  yang  mengatakan  motivasi  panggilan  saya  dangkal  sekali.  Ya  mungkin
seorang anak yang dibesarkan dengan keluarga seperti ini lalu dalam sini punya apa  ya  seks  maniak  dalam  tanda  kutip  dipikiran  hanya  ada  perempuan  saja  itu
sudah  saya  katakan  sejak  smp  moto  wedokan,  ya  saya  senang,  lalu  teman perempuan saya banyak ya dulu saya pincang gitu, saat SMA 33:55
Segala itu ada saudara sepupu saya ngejek saya, itu tahun 1968 itu saya kelas 2 SMA itu saya diejek pasti besok istrimu juga banyak, nanti seperti bapakmu yang
punya  istri  banyak,  ya  seperti  itulah,  lalu  saya  bilang,  saya  katolik  kalo  punya istri  ya  hanya  satu,  waa  itu  lalu  ditertawakan  gitu,  lalu  saya  bilang  saya  tidak
punya  istripun  berani,  saya  berani  menjadi  Romo,  lalu  dia  menanggapi  serius Tidak Mungkin kalau kamu bisa, lalu saya Bisa..waa lalu dia taruhan sama saya,
kalau saya masuk seminari gajinya dua bulan untuk saya, kalau saya tidak masuk kamar yang dia  tempatin dia  ambil,  saat  itu rumah dan tanah  sudah  diwariskan
ke  saya  oleh  nenenk  saya,  kalau  jaman  dulu  bisa  kalau  sekarang  kan  gaya, karena dulu meskipun masih ada bisa langsung diberikan semua ke cucunya, dulu
nenek saya takut nanti ada yang minta  ini, mininta  itu, jadi itu semua diberikan kepada  saya,  lalu  akhirnya  saya  daftarkan  diri  pokoknya  nekat,  Romo  paroki
sudah  oke,  begtu  pula  Romo  di  sma  juga,  tapi  setelah  di  Seminari  ada  Romo bilang  kowe  ra  iso,lalu  saya  tanya  kenapa?beliau  bilang  kowe  ra  iso,  kowe
pincang…oooo  ya  udah  saya  tidak  gimana,  ya  uda  yang  jelas  saya  sudah berjuang, ya ga boleh kata gereja begitu..ya itu lalu suatu ketika Uskup menyuruh
saya  datang  kekeuskupan  lalu  berkata  kamu  harus  ikut  ujian,  nanti  kalau  kamu lulus kamu masuk, tapi harus lulus dulu, ya lalu saya ujian di mertoyudan, nilai
saya  dulu  buruk  semua,  ya  saya  sebenarnya  sekolah  itu  ga  serius,  hanya masuk budaya saja, nilai bahasa saja tidak bagus, lalu ketika masuk mertoyudan bahasa
inggris dapet 3 plus, ya tapi kemampuan belajar dinilai tinggi ya  IQ juga diatas rata2,  lalu  ada  tes  psikologi  itu,  nilai  kepemimpinannya  bagus,  dilihat  dari  situ
saya  diterima,  ya  itu  lalu  saya  masuk,  bukan  dengan  semangat  tinggi,  tidak diterima  ya  sudah,  diterima  ya  masuk  begitu  aja,  ya  mulanya  hanya  seperti  itu,
hanya  karena  taruhan,  ya  kakak  saya  itu  tau  bahwa  bapak  saya  itu  tidak  akan kasih  ijin,  karena anaknya hanya satu,  tapi itu diluar  dari sepengetahuan  bapak
saya,  saya  buat  itu  surat  pernyataan  bahwa  saya    menyebutkan  nama  umur sanggup  membiayai  pendiidikan  diseminari  kesehatan  dsb  itu,  ya  itu  lalu  bapak
saya  liat  itu,  ini  apa?tanda  tangan  pak,  loh  dibicarakan  dulu,  tanda  tangan  aja pak,  kalau  bapak  ga  mau  tanda  tangan,  saya  tanda  tangan  sendiri,  aku  hapal,
karena  sejak  masa  smp,  ada  urusan  sekolahan  saya  minta  orang  lain  tulis,  lalu saya yang tanda tangan, lalu bapak saya bilang kalau hanya punya anak 1, dulu
saya  jawabnya  buruk  itu,  yang  goblok  buat  anak  bapak  to  yo  masak  resikonya saya yang harus tanggung, bapak ibu gawe ra ngukur2 ndisik, garuk2 kepala aja
bisa kq, buat anak banyak masak ga bisa, malah saya yang harus ikut nanggung, bapak  saya  ya  diam  dan  tanda  tangan  aja,  hingga  saya  tidak  tau  bahwa  bapak
saya tidak pernah ikhlas, baru saya tau setelah saya tahbisan diakon tahun 1981- 1980 okt baru bapak saya setuju, saya diberitahu tante saya. Ya ini dulu motivasi
saya begini DAV:  ya tidak terlihat  seperti yang lainnya, ya begitu bukan seperti mewartakan kabar apa gt
Lalu  ketika  sudah  diterima  dan  masuk  ke  seminari  menengah  apakah  ada pergulatan lainnya?
Ga kerasa…ga kerasa…ya diasrama itukan…ya saya biasa liar gitu kan,biasa, ya kalau diasrama itukan harus ikut acara jam sekian, lalu ada apa, lalu jam berapa
harus tidur siang, susah saya, lalu kalau apa itu, eee remi ketahuan itu dosa, ya saya  selalu  kena  hukuman  yang  saya  tidak  tahu  menau  kalau  itu  salah,  ya  remi
sanatai jam 9 malam dikelas itu, kan waktu itu ada jam rekreasi sendiri, tapi saya sama teman2 remi dikelaas, jaman dulu ada masih ada pembagian gitu diasrama,
yang  gede,  lalu  madya,  lalu  yang  kecil,  gt  di  mertoyudan,  kan  ga  boleh  kl  ke bagian yang lain, nah saya sering dulu ke bagian anak2yang kecil2, karena dulu
saya  sering  mendampingi  anak2kecil  dirumah,  nah  ituuu  dosa,  lalu  jalan  itu sentuhan gitu ada aturan regula status namanya, gandengan itu ga boleh, karena
ditakutkan aakan adanya persahabatan yang intim gitu ya, tapi ya saya ga mikir itu,  saya  jalan2  gandengan  itu  yaa  dosa,  ya  itu  akhirnya  saya  mendapatkan
hukuman  yang  tidak  jelas,  lalu  kalau  menipu  itu  ya  pernah  gt,  kalau  ada undangan pesta dirumah teman, ijinnya pulang, padahal ga ada pesta, lalu ketika
waktunya harus kembali, ternyata kembalinya ga bareng2 dan akhirnya ketahuan, ya  di  mertoyudan  sebagai  seorang  remaja  ya  konfliknya  sepertiitu,  hal2  yang
menurut  saya  biasa  liar  ya  bebas  lalu  hidup  dengan  system  44:27  Hanya  saja saya  suka  merasa  apa  ya,  merasa  sedih  kalau  ada  teman  yang  keluar
mengundurkan  diri  dari  seminari.  Padahal  saya  liat  mereka  yang  keluar  itu pinter2,  rajin,  tekun,  sopan  ya  dibandingkan  dengan  saya.  Makanya  ketika  ada
yang  keluar  saya  lalu  lari  ke  kapel.  Doa  dan  bertanya  kenapa  teman  saya  yg seperti  itu  bias  keluar,  sys  ring  melakukan  pelanggaran  tetapi  teman  saya  yang
baik seperti itu  kenapa keluar? Suatu  saat pernah saya tanyakan hal ini  kepada salah satu staff, dan staff itu mengtakan bahwa saya memiliki ketaatan. Tapi saya
tetap tidak mengerti Waktu di seminari mertoyudan berarti Romo KPA?
Waktu  itu  BCA  belum  ada  KPA  kl  yang  dari  SMA,  kl  yg  dari  SMP  itu  BCP,  di BCA itu 2 th, tapi dulu kl yang nilainya oke oke itu bs 1 th, sy bs 1 th, tp saat itu
saya merasa belum siap yak arena rohani saya belum siap, jd saya minta wktu itu ikut yang biasa2 saja.
Ceritakan Romo ketika di seminari tinggi hingga Romo ditahbiskan? Saya mulai
ditingkat satu wktu itu,masuk ya gitu…ya saya memang saya tidak suka dengan suasana disiplin ya begitu misalnya jam malam begitu,saya kan apa ya ga pernah
puas  begitu,  tidak  pernah  puas  dengan  bimbingan,  kuliah  ya  kuliah  begitu saja,rohani ya renungan meditasi sendiri,semua ada jamnya, sehingga suatu saat
saya  punya  kelompok,  kelompok  kecil  bertiga  orang,  klo  uda  malam  itu  lampu mati, dulu belum ada listrik PLN jd cahaya menggunakan lilin, kami ambil lilin di
kapel,  lalu  pergi  kebawah  meja  lalu  kami  tutupi  dengan  kain  dan  cahaya  lilin