LATAR BELAKANG PENELITI METODE PENELITIAN

orientasinya dalam upayanya mendalami dunia empiris dengan menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan analisis data Sarantakos dalam Poerwandari, 1998. Konsep validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas komunikatif yang dilakukan dengan mengkonfirmasikan kembali data dan melakukan koreksi terhadap data yang dianggap tidak sesuai dengan pengalaman dan maksud subyek Strauss Corbin dalam Poerwandari, 2005. Peneliti menggunakan validitas ini, sebab melalui validitas ini akan didapatkan data yang terpercaya sesuai dengan apa yang dirasakan oleh subyek penelitian melalui verifikasi dan koreksi terhadap data yang ditulis peneliti.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PENGALAMAN KRISIS SUBYEK 1 YI

Subyek satu dengan inisial YI adalah pastor tarekat. YS merupakan anak pertama dari enam bersaudara. YI dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga Katolik. Kedua orang tua YI berasal dari Klaten, akan tetapi tinggal di daerah Majenang, Cilacap. Sebagai keluarga Katolik, YI sejak kecil mendapatkan pendidikan agama Katolik dari kedua orangtuanya. Maka dalam kehidupan menggereja YI terlibat aktif dalam pelayanan menjadi misdinar. Sebagai remaja, YI tumbuh seperti remaja pada umumnya, salah satunya adalah ketertarikan dengan lawan jenis. Akan tetapi, rasa tertarik itu tidak diungkapkan YI untuk menjalin sebuah hubungan. Pengalaman hidup menggerja YI yang cukup sulit, dimana saat itu para pastor yang melayani parokinya harus pulang ke negara asal masing- masing, sehingga pelayanan gereja menjadi terhambat. Kondisi ini kemudian menjadi motivasi awal YI yang tergerak hatinya untuk menjadi pastor. Setelah menyelesaikan SMA, YI meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk mendaftar ke Seminari. YI pun diterima dan masuk ke Seminari Menengah. Selama satu tahun YI merasakan pendidikan di Seminari Menengah dan kemudian melanjutkan studinya ke Seminari Tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dalam data berupa narasi YI, ada tiga pengalaman krisis yang dialami. Dua pengalaman krisis terjadi ketika YI 34 menempuh pendidikan formasi di Seminari Tinggi. Satu pengalaman krisis terjadi setelah YI ditahbiskan menjadi pastor. Pengalaman krisis yang dialami YI selama masa formasi berkaitan dengan relasi YI dengan keluarga dan relasi YI dengan institusi Seminari Tinggi. Relasi YI dengan keluarga berkaitan dengan status YI sebagai anak pertama. Sedangkan pengalaman krisis setelah subyek ditahbiskan berkaitan dengan pengalaman sakit.

1. Krisis Relasi dengan Keluarga Peran sebagai Anak Pertama

Narasi YI menceritakan bagaimana posisi dirinya sebagai anak pertama sulung dari 6 bersaudara mempengaruhi pemikirannya. Drs. Agus Sujanto, dkk dalam Psikologi kepribadian 2006 mengungkapkan bahwa anggapan umum yang kurang tepat ialah anak sulung tentu membawa beban terberat diantara saudara-saudaranya. Pendapat semacam itu timbul sehingga terkesan bahwa anak sulung nantinya akan memiliki tanggung jawab terhadap adik-adiknya setelah kedua orangtua tidak ada. “Ya mungkin, karena saya melihat dan merasakan tidak sampai hati perjuangan orang tua seperti itu, ada perasaan prihatin sebagai anak pertama. Sebagai anak pertama saya merasa tidak bisa hanya tinggal diam seperti ini, tergugah hati saya sebagai anak pertama untuk wajib membantu orang tua” Hal ini yang mempengaruhi pemikiran YI untuk keluar dari panggilannya menjadi Pastor. “Saya sebagai anak pertama dari enam bersaudara - keluarga guru SD merasa tergugah untuk ikut meringankan beban orang tua ketika melihat adik-adik saya sudah ada dua orang memasuki Perguruan Tinggi. Sering kali muncul pikiran niat untuk keluar dan bekerja membantu orangtua” Kondisi demikian memberikan dampak emosi kecemasan pada YI, sehingga memunculkan keinginan untuk menggundurkan diri sebagai calon