Krisis Relasi dengan Keluarga Peran sebagai Anak Pertama
“………..rambut rontok terus botak” “…….Lutut terasa lemah, kalau berdiri hanya bisa bertahan 10 menit dan
berjalan 200 meter; mulut luka- sariawan berkepanjangan dan sulit untuk makan; setelah menerima kemoterapi hingga sampai 1 minggu, muntah-
muntah sampai kram perut dan sulit tidur hingga 3.30 pagi. Ketika kemoterapi biasanya merasa tersiksa karena maunya muntah perut tidak
terisi sampai keluar getah kuning, makan muntah, yang penting makan terus makan meskipun muntah, saat itu, saya dititipkan di stasi, malam
tidak bisa tidur hampir seminggu, kalau sudah seperti itu saya hanya mendengarkan lagu, ada luka dibibir kalau makan sakit sampai keluar air
mata” YI merasa perubahan fisik yang dialaminya membuat dirinya mengalami
rasa kesepian, menginginkan sosok ibu untuk merawat, mudah menangis, merasa tidak berdaya, membutuhkan teman yang mengerti, memperhatikan,
dan merawat. “Secara emosional saya pun labil, bila bertemu orang atau teman dekat
atau dikunjungi orang, menangis dengan sendirinya dan bila menceritakan pengalaman sakit juga menangis. Dalam situasi yang demikian, saya
merasa bahwa saya sungguh-sungguh tak berdaya dan tergantung dari
belas kasih orang lain . “Lalu juga ketika keadaan sakit ada perasaan bahwa saya tidak berguna…”
“membutuhkan figur seorang ibu yang merawat, memperhatikan dan mendengarkan. Saya senantiasa merindukan kehadiran orang yang dengan
setia hadir menemani dan mendengarkan saya, merawat dan memperhatikan saya serta memenuhi kebutuhan psikologis saya. Kadang-
kadang ingin diperhatikan dengan dikirimi makanan, dengan menceritakan atau mengungkapkan kesedihan, mengirimkan snack, jus, jadi seperti
membutuhkan teman yang mampu mengerti, memperhatikan, merawat…” Perubahan fisik yang menyebabkan perubahan emosi pada YI dirasakan
pada awal mengalami sakit. Setelah melewati masa pengobatan YI mengikuti retret. Retret ini dirasakan sebagai persiapan menerima sakit
yang sama untuk kedua kalinya. Disinilah YI mencoba untuk merenungkan dan mendapat penguatan, sehingga subyek menjadi lebih siap menerima
sakit untuk kedua kalinya. Penyerahan diri subyek kepada Tuhan menjadi
salah satu hal yang tampak dalam masa permenungan ini. YI juga merasakan bahwa dukungan orang lain umat sangat berarti.
“Sebelum terkena kanker kedua tahun 1998, saya ikut kursus pengolahan rohani, semacan persiapan menerima kanker kedua”
“Retret ini juga membawa saya pada permenungan bahwa kasih Alllah yang tanpa syarat. Saya berpikir
“oya disaat saya menderita ada umat yang datang memperhatikan, jadi dalam keadaan sakit pun pengolahan hidup rohani masih, jadi pengalaman
sakit itu tidak merasa ditinggalkan Allah, orang-orang yang setia merawat
itu masih” “akhirnya saya merasa dan muncul sikap penyerahan tentang apapun yang
terjadi besok saya siap” “tapi toh bukannya umat lari tapi justru perhatian dengan membawa
makanan, lalu dari situ saya berpikir bahwa Tuhan tidak pernah pergi, saya tidak ditolak, tidak dijauhkan…”
Ketika melihat ketiga narasi pengalaman subyek yang berkaitan dengan
pengalaman krisis dirinya sebagai seorang Pastor, subyek merasa bahwa pengalaman krisis merupakan pengalaman yang biasa terjadi pada semua
orang termasuk para Pastor. “Dengan krisis, hal biasa yang terjadi dalam hidup, tinggal bagaimana cara
menghadapinya, ada yang bisa meskipun harus bersusah-payah terlebih dahulu.”
Subyek juga memandang bahwa krisis yang dialaminya sangat dibantu oleh kesetiaannya dalam berdoa dan berefleksi. Doa dan refleksi memampukan
subyek berpikir jernih untuk menentukan pilihan dari permasalahan yang dihadapi.
“Pergulatan saya yang bermuara pada kesadaran tersebut amat terbantu kesetiaan saya dalam hidup doa dan refleksi”
“Saya mulai menyadari ketergantungan psikologis saya” “Maka diawali dengan kesadaran akan adanya ketergantungan psikologis
itu, saya mulai berjuang untuk keluar dari kelekatan psikologis yang saya alami”
Dukungan orang lain, seperti pembimbing rohani atau rekan Pastor senior juga membantu YI dalam menghadapi krisis yang dialami.
Narasi YI mengenai pengalaman menderita sakit menggambarkan narasi progresif. Narasi progresif adalah narasi yang menggambarkan
kehidupan sebagai suatu rangkaian tantangan yang mengandung kesempatan untuk maju. Sakit kanker yang dialami YI merupakan
kesempatan untuk maju dengan merefleksikan peristiwa yang dialaminya sehingga YI tetap bertahan dan berkarya sebagai pastor.
Konflik dalam narasi ini masuk dalam krisis psikososial integritas versus keputusasaan. Pada awalnya YI merasa kurang dapat menerima
diri sendiri dan hidupnya dalam menghadapi sakit yang dialaminya. Hal ini membuat YI merasa kesepian dan tidak berdaya. Kebiasaan YI
berefleksi menjadikan dirinya dapat melihat hikmah dari sakit yang dialami melalui proses refleksi. Selain itu, pengalaman sakit sebelumnya
menjadikan YI lebih siap dalam menghadapi sakit untuk kedua kalinya. Hal ini merupakan kekuatan dasar dari konflik pada tahap krisis
psikososial yaitu kebijaksanaan.