Pengalaman kebutuhan relasi dengan lawan jenis

“Keluarga saya katolik semua, kami ber 6 6 bersaudara, eee sebenarnya waktu itu ber 7 tapi adik saya meninggal waktu saya di Seminari Menengah, jadi sekarang saya yang kelima.” Awal panggilannya diakui tidak begitu jelas, sebab subyek sejak awal belum berpikir untuk menjadi pastor, bahkan informasi mengenai seluk beluk pastor belum banyak didapatkan. Hanya karena tawaran dan pertanyaan dari seorang bruder yang juga kepala sekolah subyek, akhirnya subyek dipertemukan dengan pastor paroki. Pertemuan inilah subyek mendapatkan informasi mengenai seluk beluk menjadi pastor. “Awalnya tdk terlalu jelas, cuma pada waktu SMP saya kelas 2 SMP saya dipanggil Bruder Kepala sekolah, Bruder bertanya kamu pernah berpikir untuk masuk ke Seminari menjadi pastor ga? Ya lalu saya menjawab ga pernah, karena saya memang ga ada bayangan masuk ke Seminari, terus kelas 3 kembali Bruder bertanya kembali dan saya disuruh matur ke Romo Paroki, lalu saya dipertemukan dengan Romo Paroki dan distu saya bertanya apa itu Pastor? Bagaim ana mejadi Pastor?dsb, tidak terlalu jelas” Meskipun demikian subyek memang masih belum mengerti panggilannya, hanya saja subyek saat itu merasa senang jika tugas misdinar dan mengenakan jubah. “cuma pada waktu SMP itu saya jadi misdinar itu senang ya pake jubah jalan di gereja waktu itu,” Pada akhirnya subyek pun mencoba untuk mendaftarkan diri dan diterima di Seminari Mertoyudan. Subyek memang merasa motivasi awal untuk menjadi seorang pastor biasa saja, dan mencoba untuk mensyukuri jika memang panggilan itu ada dalam dirinya. “ya begitu akhirnya saya daftar dan diterima saya masuk ya sudah saya masuk lama- kelamaan mengolah panggilan itu…ya saya hanya merasa kalau dipanggil ya bersyukur lah, awalnya begitu aja” Subyek masuk sebagai seorang seminaris sebutan untuk para siswa di Seminari Menengah.Kehidupan sebagai seorang seminaris dirasakan subyek memiliki tantangan.Sekian banyak tantangan yang dihadapi, subyek menceritakan dua tantangan terbesar yang dialaminya ketika di Seminari Menengah.Tantangan yang dihadapi subyek adalah tentang studi danasal atau latar belakang kehidupan subyek. Subyek menceritakan bagaimana dirinya mengalami kesulitan dalam hal studi, akan tetapi nilai yang rata-rata tersebut selalu menjadi usaha subyek untuk terus berusaha. Sedangkan latar belakang kehidupan subyek diceritakan bahwa ada perasaan minder, karena subyek yang berasal dari desa bertemu dengan teman-teman yang dari kota. Subyek merasa ada perbedaan fasilitas yang diberikan keluarga masing-masing, meskipun dalam kehidupan di asrama semuanya sama. Hal inilah yang membuat subyek merasa minder dengan teman-teman seminaris yang berasal dari kota. Tantangan yang dialami subyek di Seminari Menengah ini tidak menyurutkan panggilan subyek untuk tetap melanjutkan studinya ke Seminari Tinggi. “Selesai tahun 1958 dari situ ikut tes masuk ke Seminari Mertoyudan dan masuk kesana tahun 58. Disana lulusan SMP mengikuti pelajaran persaman dengan mereka yang dari SD, karena waktu itu masih ada anak Seminari yang dari SD. Lalu saya jadi satu kelas dengan teman-teman yang dari SD tadi, disana masih 4 tahun, distu juga masuk persamaan SMA” “Seminari Menengah, perjuangan yang kami alami sebagian besar adalah masalah studi, masalah lainnya tidak begitu terasa, memang masalah studi yang terl ihat sangat berat, sehingga ada “fak faktor” yang memang terasa berat, harus ada perjuangan lah istilahnya begitu, dalam pergaulan memang juga sedikit terasa, dalam pergaulan itu ada, saya kan anak ndeso dengan teman-teman yang dari kota, istilah minder itu ada, jadi mereka yang dari ndeso ada perbedaan-perbedaan fasilitas yang diberikan dari keluarga, meskipun tidak mencolok, meskipun kita sama, asrama sama, makan sama semua sama tapi tetap ada yang mencolok perbedaannya, ya karena dari asal nya itu ya. Ya saya kira perjuangannya yang mencolok adalah studi dan asal.” Di Seminari Tinggi, tantangan yang dirasakan subyek juga tidak banyak berbeda ketika di Semniari menengah. Masalah studi tetap dirasakan subyek, sebagai suatu tantangan yang menjadi usaha subyek untuk dapat diperbaiki. “Kemudian masuk ke Seminari Tinggi hampir sama masalah studi butuh perjuangan, ya nilai saya dapat dikatakan tidak terlalu jelek tapi juga tidak terlalu bagus, ya butuh perjuangan tapi yang namanya her atau remidial saya tida k pernah mengalami meskipun nilai tidak baik, saya harus berubah.” Selain itu, relasi subyek dengan teman-teman sepanggilan dan adanya salah satu keluarga yang menggoda untuk mengajak subyek keluar dari panggilannya juga mewarnai perjalanan di Seminari Tinggi. “Tapi ada juga keluarga yang menggoda, ada salah satu anggota keluarga yang mengoda saya untuk tidak menjadi imam, saya tidak tau itu serius atau hanya lemparan untuk saya agar berpikir, tapi itu yang membuat saya berpikir terus melanjutkan atau keluar. Tapi juga karena teman, ada juga teman yang mengajak “yo metu wae yo dari pada disini,ngapain disini?” Subyek pun memiliki cara sendiri untuk menanggapi situasi ini. “tapi kalau keluar itu kan harus bertanggung jawab, meninggalkan panggilan itu kan h arus bertanggung jawab.” “Ya mengatasinya kalau di keluarga saya mempertimbangkan, saya bertanya siapa yang mengusulkan itu saya liat alasanya apa, sama teman juga gitu kita bicarakan alasan keluar apa? kita bicara akhirnya ga ketemu suatu alasan yang bisa dipertanggungjawabkan ya akhirnya karena rasa bosan, suasana yang begitu- begitu aja sepi ga ada tantangan ya gitu aja” “Ya gitu….sama saya liat kalau saya masih bisa terus dengan studi saya ya saya terus, memang ada yang karena masalah studi harus ada yang berhenti, ada yang karena masalah keluarga karena dia harus membantu keluarganya dan harus berhenti juga ada, terus ada yg kerja dulu keluar terus kembali lagi juga ada…ya kembali ada ga yang bisa dipertanggungjawabkan dari alasan keluar dari Seminari itu? Biasanya ada pertimbangan dari teman dan pembimbing rohani, iu sangat mempenagaruhi terlebih pembimbing rohani, selain untuk itu juga untuk mengaku dosa, jadi harus ada pembimbing rohani.” Subyek juga menceritakan bagaimana panggilannya pernah terhambat karena subyek mengalami sakit radang paru-paru.Namun hal ini, dapat disikapi subyek dengan kemampuan dirinya, dukungan teman dan bimbingan dari pembimbing rohani. “lalu lainnya ada, jadi waktu itu saya dipertengahan di Seminari Tinggi pada tahun orientasi ditempatkan pada pabrik 10 bulan, kami ber 2 orientasi tidak di paroki tapi di suatu lembaga untuk belajar tentang suatu kemasyarakatan nah temanku itu dibidang pertanian, sedangkan saya dibidang buruh, karena buruh saya harus kerja jumat sabtu, bekerja di pabrik seperti buruh itu, temanku bekerja di sawah, nah eeee rupanya saya ga tahan distu karena t4 kerja saya lembab saya tidak tahan distu dan menyerang paru-paru..diakhir