SUBYEK 3 KESIMPULAN DAN SARAN

akhirnya bisa mengatasi…mau cari jalan apa lagi?bukan apa boleh buat?…tapi dari masalah yang bisa diatasi…berarti jalan ini jalan yang harus disempurnakan syukur sampe nanti dipanggil Tuhan, semoga mati tetap menjadi imam ya seperti itu…akhirnya kalau berpikir mau mencari jalan lain, dulu sudah pernah mengalami, kenapa ga dulu aja keluar ya to?kenapa kq sekian lama baru mau keluar…tetapi paling tidak sudah melewati bebarapa tahun ya harus kuat. Menuru Romo krisis panggilan itu apa sih Romo? Krisis panggilan suatu hal yang biasa terjadi hal inikarena kita kurang memelihara dengan tugasdan kewajiban yang harus dibuat, refleksi prbadi atau harian, perjumpaan dengan teman sharing dengan teman ini kadang-kadang menjadi apa ya kalau itu ga dipelihara krisis itu muncul…jadi kita ga kuat menjalankannya. Kalauuda imamat tahbisan itu harus yakinnn. Misalnya seperti menikah sebelum itu kan ada perisapan sehingga akhirnya yakin memutuskan untuk menikah, jika di tengah jalan ada sesuatu dan tidak diteruskan berarti kan dia tidak memelihara janji yang pernah diucapkan, sama seperti itu panggilan menjadi imam, maka sebenarnya kalau dipelihara dengan baik maka akan selamat…kenapa kq bs jatuh karena ya tidak dipelihara gitu…jadi saya kira masalahnya kurang merawat kurang memelihara, nah memeliharanya dengan macam-macam antaralain, misalnya punya teman untuk sharing, kumpul dengan teman itu karena ada ditempat kami, kalau sendiri kan ga didukung…kalau merasa ga didukung nanti cari pelampiasan ke yang lain, ya nantinya berpengaruh pada pelayanan, misa seadanya,cuma sekedar baca aja…ya semua pastor pasti mengalami hanya besar kecilnya krisis yang dialami…krisis imamat, iman nya penyerahan kepada Tuhan yang menjadi kurang, gitu. LAMPIRAN II : PEMBAGIAN NARASI

A. SUBYEK 1

1. Narasi Keseluruhan

RANGKUMAN Subyek diawal menceritakan pengalaman masa kecilnya.Subyek adalah anak pertama dari 6 bersaudara.Subyek dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik, meskipun di daerah tempat tinggal subyek, hanya keluarga subyek saja yang beragama Katolik.Sejak kecil oleh kedua orang tuanya subyek diajarkan bagaimana mengimani ajaran Katolik itu. Hal ini yang juga membawa subyek untuk mau terlibat dalam pelayanan- pelayanan di gereja tempat ia tinggal. Pengalaman terlibat dalam pelayanan menggereja, membuat subyek tertarik untuk menjadi seorang pastor, terlebih disaat itu, subyek merasakan bagaimana sulitnya mencari pastor untuk melayani umat di lingkungan sekitar tempat tinggal subyek. Dalam hal pergaulan, subyek merupakan sosok remaja pada umumnya yang tumbuh dan berkembang.Sebagai seorang laki-laki, subyek juga merasakan bagaimana dirinya tertarik dengan lawan jenis.Namun, perasaan-perasaan ini diolah subyek dan subyek memiliki pemikiran bahwa tidak ada teman yang diistimewakan, semua temannya adalah istimewa. Selepas menyelesaikan pendidikan SMA, subyek kembali teringat akan keiinginannya untuk menjadi seorang pastor, oleh karena itu, subyek meminta izin kepada orangtuannya untuk mendaftar ke Seminari. Orang tua subyek pun mengizinkan dirinya untuk menempuh pendidikan di Seminari. Lalu subyek megikuti tes seleksi dan diterima di Seminari Menengah Mertoyudan. Di Seminari Menengah, subyek masuk dalam tingkat Kelas Persiapan Atas. Pengalaman hidup di Seminari Menengah dilalui subyek mengalir begitu saja, tidak ada yang menghambat panggilannya untuk menjadi seorang pastor. Satu tahun subyek di Seminari Menengah dan subyek harus menentukan pilihan selanjutnya untuk memilih komunitas Imam apa. Disaat menentukan pilihan itu subyek merasa bingung, mau memilih SJ atau OMI.Subyek memiliki pemikiran, kalau dia memilih SJ, banyak teman yang hendak kesana apalagi memang diarahkan untuk masuk kesana. Sedangkan OMI, OMI sudah melekat dalam pengalaman hidup subyek sebelumnya ketika di rumah. Akhirnya subyek memilih OMI sebagai pilihannya. Selepas dari Seminari Menengah, subyek meneruskan pendidikan di Seminari Tinggi OMI.Di Seminari Tinggi inilah subyek merasakan tantangan dalam hidup pangilannya. Di awal tahun pendidikan di Seminari Tinggi, subyek mulai merasakan keraguan akan keberadaannya memilih OMI. Keraguan ini terjadi karena subyek membandingkan kehidupan yang berbeda antara Seminari Menengah dengan Seminari Tinggi.Ketika di Seminari Menengah, semua sudah terjadwal dan teratur, sedangkan di Seminari Tinggi semua sudah terjadwal namun terkesan bebas.Hal inilah yang mempengaruhi diri subyek, sehingga subyek merasa hidup rohaninya menurun dan menjadi ragu apakah OMI memang menjadi pilihannya.Kondisi ini dibawa subyek untuk disharingkan dengan pembimbing rohani yang kemudian direnungkan subyek. Pada akhirnya subyek dapat melalui keraguan ini.Memasuki tahun ketiga di Seminari Tinggi, subyek merasakan tantangan hidup panggilannya semakin besar. Subyek ingin keluar dari Seminari, hal ini didasari oleh keiinginan subyek untuk membantu kedua orangtuanya, manakala kedua adiknya sudah mulai masuk ke jenjang perguruan tinggi. Subyek merasa sebagai anak pertama, harus ikut membantu dan bertanggungjawab kepada keluarganya, meskipun orangtua subyek tidak pernah secara langsung menyampaikan kepada subyek bahwa ingin dibantu. Namun karena teringat akan keiinginannya menjadi seorang pastor dan bimbingan dengan pembimbing rohani, akhirnya subyek memutuskan untuk meneruskan panggilannya menjadi pastor. Setelah ditahbiskan menjadi pastor, awal kehidupan subyek sebagai pastor masih berjalan dengan baik, sampai suatu saat subyek mendapatkan vonis menderita kanker. Subyek menceritakan awalnya hanya sariawan biasa, namun setelah diperiksa ternyata subyek menderita kanker. Subyek pun menjelaskan proses kemoterapi yang dijalani, bagaimana pengaruh sakit yang dialami dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang Pastor dan menceritakan pula reaksi-reaksi emosional apa yang dialaminya. Setelah menjalankan rangkaian proses pengobatan, subyek kembali mengalamai sakit yang sama untuk kedua kalinya. Pengalaman sakit pertama membuat subyek menjadi pribadi yang lebih siap menerima sakit untuk kedua kalinya, meskipun subyek juga menceritakan bagaimana sakit kedua mempengaruhi kehidupannya. Pada akhirnya pengalaman-pengalaman yang dihadapi subyek ini, membuat subyek menjadi pribadi yang dewasa dan kuat dalam menjalankan panggilannya sebagai seorang pastor. PEMBAGIAN CERITA AWAL Subyek diawal menceritakan pengalaman masa kecilnya.Subyek adalah anak pertama dari 6 bersaudara.Subyek dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik, meskipun di daerah tempat tinggal subyek, hanya keluarga subyek saja yang beragama Katolik.Sejak kecil oleh kedua orang tuanya subyek diajarkan bagaimana mengimani ajaran Katolik itu. Hal ini yang juga membawa subyek untuk mau terlibat dalam pelayanan- pelayanan di gereja tempat ia tinggal. “Saya dilahirkan 21 Juli 1962, sebagai anak pertama dari enam bersaudara.Bapak dan ibu berasal dari Klaten, Jawa Tengah.Bapak, ibu tinggal dan bekerja sebagai guru SD di daerah majenang, cilacap, Jawa Barat sejak tahun 1955.Sejak kecil orangtua saya mengajarkan iman katolik. Waktu SD saya satu-satunya siswa yang beragama katolik, namun demikian bapak selalu mengajarkan doa dan menjadikan hari minggu sebagai hari khusus ke gereja. Setiap pagi saya diajarkan untuk doa pagi, kebiasaan ini mungkin terbawa oleh bapak yang lulusan asrama guru di ambarawa.” Pengalaman terlibat dalam pelayanan menggereja, membuat subyek tertarik untuk menjadi seorang pastor, terlebih disaat itu, subyek merasakan bagaimana sulitnya mencari pastor untuk melayani umat di lingkungan sekitar tempat tinggal subyek. “Kehidupan menggereja saat itu memang sangat sulit.Paroki saya adalah paroki cilacap, dan saya biasanya gereja di stasi.Misa pun tidak setiap minggu diadakan di stasi. Saya juga aktif ikut misdinar dan sering ikut pastor ke stasi-stasi. Karena kebiasaan itu, saya memiliki kebiasaan untuk doa Malaikat Tuhan jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore dan doa Rosario di sore hari juga.” “Kalau dibilang sejak SD tidak ya, hanya saya merasa dan kelihatannya dasar-dasar panggilan itu sudah ada di dalam keluarga yang diberikan kepada saya sejak kecil.Dengan diajarkan untuk rutin berdoa dan aktif mengikuti kegiatan gereja seperti misdinar.Kebiasan-kebiasan itu berjalan terus hingga saya duduk di SMP sampai SMA. Saya merasa terpanggil untuk menjadi Pastor saat itu duduk dibangku SMA, kalau tidak salah kelas 1 SMA. Dan saat itu muncul SK menteri tahun 77. SK itu berbunyi kira-kira demikian , bagi para misionaris yang berasal dari luar negara Indonesia diharapkan untuk meninggalkan negara Indonesia, namun jika tetap ingin tinggal di Indonesia, misionaris yang bersangkutan harus mengurus untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Karena adanya SK tersebut, banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya, sedangkan saat itu paroki dan stasi-stasi di tempat saya dilayani oleh banyak misionaris yang berasal dari luar Indonesia.Otomatis dengan SK tersebut pelayanan di gereja dan stasi-stasi di tempat saya menjadi tidak terpenuhi akibat banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya.Melihat keadaan ini, saya mulai bepikir dan merenungkan dalam hati “Stasi-stasi di tempat saya sudah misa hanya sebulan sekali, lalu para misionaris diminta untuk kembali ke negara asalnya, lalu bagaimana gereja dan stasi-stasi disini dapat dilayani? Apa yang bisa saya lakukan sebagai warga gereja?” saat itulah panggilan untuk menjadi Pastor muncul. Apalagi saat itu ada minggu panggilan dan umat mendoakan agar pemuda gereja di tempat saya ada yang terpanggil untuk menjadi Pastor, dengan adanya hal itu semakin terasa panggilan saya untuk menjadi Pastor.Keinginan ini pun saya sampaikan kep ada kedua orangtua saya.” Dalam hal pergaulan, subyek merupakan sosok remaja pada umumnya yang tumbuh dan berkembang.Sebagai seorang laki-laki, subyek juga merasakan bagaimana dirinya tertarik dengan lawan jenis.Namun, perasaan-perasaan ini diolah subyek dan subyek memiliki pemikiran bahwa tidak ada teman yang diistimewakan, semua temannya adalah istimewa. “Ya seperti biasanya seorang remaja, mengalami ketertarikan pada lawan jenis.Saya juga pernah merasakan hal itu, tertarik dengan teman lawan jenis.Ada perasaan ingin dekat dengan orang itu, namun saya tidak sampai untuk memiliki atau berpacaran. Saya ingin dekat dengan orang itu, tapi saya juga ingin dekat dengan teman-teman yang lain. Sehingga keinginan dekat dengan orang itu, saya bagikan juga dengan teman-teman yang lain. Kalau jalan-jalan ya bersama teman-teman.Kalau belajar kelompok ya bareng- bareng bersama teman-teman itu juga.Saya memang berusaha untuk tidak terfokus pada satu teman saja.” Selepas menyelesaikan pendidikan SMA, subyek kembali teringat akan keiinginannya untuk menjadi seorang pastor, oleh karena itu, subyek meminta izin kepada orangtuannya untuk mendaftar ke Semianri. Orang tua subyek pun mengizinkan dirinya untuk menempuh pendidikan di Seminari. Lalu subyek megikuti tes seleksi dan diterima di Seminari Menengah Mertoyudan. Saat itu bapak hanya mengatakan “ya silakan kalau memang itu keinginanmu, bapak ibu mendukung dan mendoakanmu”. Di Seminari Menengah, subyek masuk dalam tingkat Kelas Persiapan Atas. Pengalaman hidup di Seminari Menengah dilalui subyek mengalir begitu saja, tidak ada yang menghambat panggilannya untuk menjadi seorang pastor. Satu tahun subyek di Seminari Menengah dan subyek harus menentukan pilihan selanjutnya untuk memilih komunitas Imam apa. Disaat menentukan pilihan itu subyek merasa bingung, mau memilih SJ atau OMI.Subyek memiliki pemikiran, kalau dia memilih SJ, banyak teman yang hendak kesana apalagi memang diarahkan untuk masuk kesana. Sedangkan OMI, OMI sudah melekat dalam pengalaman hidup subyek sebelumnya ketika di rumah. Akhirnya subyek memilih OMI sebagai pilihannya.Selepas dari Seminari Menengah, subyek meneruskan pendidikan di Seminari Tinggi OMI.Di Seminari Tinggi inilah subyek merasakan tantangan dalam hidup pangilannya. “Setelah lulus dari bangku SMA, Saya memutuskan dan melanjutkan untuk masuk Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan tahun 1982-1983. Saya hanya satu tahun di Semianari Menengah karena saya masuk di KPA Kelas Persiapan Atas.Kehidupan di Seminari Menengah berjalan mengalir begitu saja, tidak ada yang membuat saya mengalami konflik atau krisis dalam hidup atau panggilan saya.Perjalanan satu tahun yang tidak terasa, hanya saja pada retret untuk menentukan pilihan ada perasaan bingung untuk memilih. Waktu itu saya ingin memilih apakah melanjutkan ke SJ Serikat Jesus atau OMI Oblat Maria Immaculata.Keinginan saya untuk menjadi Imam Misionaris baik OMI maupun SJ keduanya mendukung keinginan saya itu. Memang banyak teman saya yang memilih untuk masuk SJ, sebab dari Seminari banyak yang diarahkan kesitu. Tetapi figur OMI juga melekat dalam diri saya, karena di Paroki asal saya Pastor-pastornya dari OMI dan itu juga yang membuat saya terpanggil menjadi Pastor. Akhirnya saya pun diberikan kesempatan memilih dalam suasana retret. Dalam retret tersebut akhirnya saya memantapkan hati untuk masuk dan melanjutkan ke OMI, karena saya telah mengenal OMI mungkin juga semangat OMI sudah tertanam di dalam diri saya .” TENGAH Di awal tahun pendidikan di Seminari Tinggi, subyek mulai merasakan keraguan akan keberadaannya memilih OMI. Keraguan ini terjadi karena subyek membandingkan kehidupan yang berbeda antara Seminari Menengah dengan Seminari Tinggi.Ketika di Seminari Menengah, semua sudah terjadwal dan teratur, sedangkan di Seminari Tinggi semua sudah terjadwal namun terkesan bebas. Hal inilah yang mempengaruhi diri subyek, sehingga subyek merasa hidup rohaninya menurun dan menjadi ragu apakah OMI memang menjadi pilihannya.Kondisi ini dibawa subyek untuk disharingkan dengan pembimbing rohani yang kemudian direnungkan subyek.Pada akhirnya subyek dapat melalui keraguan ini.Memasuki tahun ketiga di Seminari Tinggi, subyek merasakan tantangan hidup panggilannya semakin besar. Subyek ingin keluar dari Seminari, hal ini didasari oleh keiinginan subyek untuk membantu kedua orangtuanya, manakala kedua adiknya sudah mulai masuk ke jenjang perguruan tinggi. Subyek merasa sebagai anak pertama, harus ikut membantu dan bertanggungjawab kepada keluarganya, meskipun orangtua subyek tidak pernah secara langsung menyampaikan kepada subyek bahwa ingin dibantu. Namun karena teringat akan keiinginannya menjadi seorang pastor dan bimbingan dengan pembimbing rohani, akhirnya subyek memutuskan untuk meneruskan panggilannya menjadi pastor. Setelah ditahbiskan menjadi pastor, awal kehidupan subyek sebagai pastor masih berjalan dengan baik, sampai suatu saat subyek mendapatkan vonis menderita kanker. Subyek menceritakan awalnya hanya sariawan biasa, namun setelah diperiksa ternyata subyek menderita kanker. Subyek pun menjelaskan proses kemoterapi yang dijalani, bagaimana pengaruh sakit yang dialami dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang pastor dan menceritakan pula reaksi-reaksi emosional apa yang dialaminya. Setelah menjalankan rangkaian proses pengobatan, subyek kembali mengalamai sakit yang sama untuk kedua kalinya. Pengalaman sakit pertama membuat subyek menjadi pribadi yang lebih siap menerima sakit