akhirnya bisa mengatasi…mau cari jalan apa lagi?bukan apa boleh buat?…tapi dari masalah yang bisa diatasi…berarti jalan ini jalan yang harus
disempurnakan syukur sampe nanti dipanggil Tuhan, semoga mati tetap menjadi imam ya seperti itu…akhirnya kalau berpikir mau mencari jalan lain, dulu sudah
pernah mengalami, kenapa ga dulu aja keluar ya to?kenapa kq sekian lama baru mau keluar…tetapi paling tidak sudah melewati bebarapa tahun ya harus kuat.
Menuru Romo krisis panggilan itu apa sih Romo? Krisis panggilan suatu hal yang biasa terjadi hal inikarena kita kurang
memelihara dengan tugasdan kewajiban yang harus dibuat, refleksi prbadi atau harian, perjumpaan dengan teman sharing dengan teman ini kadang-kadang
menjadi apa
ya kalau itu ga dipelihara krisis itu muncul…jadi kita ga kuat menjalankannya. Kalauuda imamat tahbisan itu harus yakinnn. Misalnya seperti
menikah sebelum itu kan ada perisapan sehingga akhirnya yakin memutuskan untuk menikah, jika di tengah jalan ada sesuatu dan tidak diteruskan berarti kan
dia tidak memelihara janji yang pernah diucapkan, sama seperti itu panggilan menjadi imam, maka sebenarnya kalau dipelihara dengan baik maka akan
selamat…kenapa kq bs jatuh karena ya tidak dipelihara gitu…jadi saya kira masalahnya kurang merawat kurang memelihara, nah memeliharanya dengan
macam-macam antaralain, misalnya punya teman untuk sharing, kumpul dengan
teman itu karena ada ditempat kami, kalau sendiri kan ga didukung…kalau merasa ga didukung nanti cari pelampiasan ke yang lain, ya nantinya
berpengaruh pada pelayanan, misa seadanya,cuma sekedar baca aja…ya semua pastor pasti mengalami hanya besar kecilnya krisis yang dialami…krisis imamat,
iman nya penyerahan kepada Tuhan yang menjadi kurang, gitu.
LAMPIRAN II :
PEMBAGIAN
NARASI
A. SUBYEK 1
1. Narasi Keseluruhan
RANGKUMAN Subyek diawal menceritakan pengalaman masa kecilnya.Subyek
adalah anak pertama dari 6 bersaudara.Subyek dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik, meskipun di daerah tempat tinggal
subyek, hanya keluarga subyek saja yang beragama Katolik.Sejak kecil oleh kedua orang tuanya subyek diajarkan bagaimana mengimani ajaran Katolik
itu. Hal ini yang juga membawa subyek untuk mau terlibat dalam pelayanan- pelayanan di gereja tempat ia tinggal. Pengalaman terlibat dalam pelayanan
menggereja, membuat subyek tertarik untuk menjadi seorang pastor, terlebih disaat itu, subyek merasakan bagaimana sulitnya mencari pastor untuk
melayani umat di lingkungan sekitar tempat tinggal subyek. Dalam hal pergaulan, subyek merupakan sosok remaja pada umumnya yang tumbuh dan
berkembang.Sebagai seorang laki-laki, subyek juga merasakan bagaimana dirinya tertarik dengan lawan jenis.Namun, perasaan-perasaan ini diolah
subyek dan subyek memiliki pemikiran bahwa tidak ada teman yang diistimewakan, semua temannya adalah istimewa. Selepas menyelesaikan
pendidikan SMA, subyek kembali teringat akan keiinginannya untuk menjadi seorang pastor, oleh karena itu, subyek meminta izin kepada orangtuannya
untuk mendaftar ke Seminari. Orang tua subyek pun mengizinkan dirinya untuk menempuh pendidikan di Seminari. Lalu subyek megikuti tes seleksi
dan diterima di Seminari Menengah Mertoyudan. Di Seminari Menengah, subyek masuk dalam tingkat Kelas Persiapan Atas. Pengalaman hidup di
Seminari Menengah dilalui subyek mengalir begitu saja, tidak ada yang menghambat panggilannya untuk menjadi seorang pastor. Satu tahun subyek
di Seminari Menengah dan subyek harus menentukan pilihan selanjutnya untuk memilih komunitas Imam apa. Disaat menentukan pilihan itu subyek
merasa bingung, mau memilih SJ atau OMI.Subyek memiliki pemikiran, kalau dia memilih SJ, banyak teman yang hendak kesana apalagi memang diarahkan
untuk masuk kesana. Sedangkan OMI, OMI sudah melekat dalam pengalaman hidup subyek sebelumnya ketika di rumah. Akhirnya subyek memilih OMI
sebagai pilihannya. Selepas dari Seminari Menengah, subyek meneruskan pendidikan di Seminari Tinggi OMI.Di Seminari Tinggi inilah subyek
merasakan tantangan dalam hidup pangilannya. Di awal tahun pendidikan di Seminari Tinggi, subyek mulai merasakan
keraguan akan keberadaannya memilih OMI. Keraguan ini terjadi karena subyek membandingkan kehidupan yang berbeda antara Seminari Menengah
dengan Seminari Tinggi.Ketika di Seminari Menengah, semua sudah terjadwal dan teratur, sedangkan di Seminari Tinggi semua sudah terjadwal namun
terkesan bebas.Hal inilah yang mempengaruhi diri subyek, sehingga subyek merasa hidup rohaninya menurun dan menjadi ragu apakah OMI memang
menjadi pilihannya.Kondisi ini dibawa subyek untuk disharingkan dengan pembimbing rohani yang kemudian direnungkan subyek. Pada akhirnya
subyek dapat melalui keraguan ini.Memasuki tahun ketiga di Seminari Tinggi, subyek merasakan tantangan hidup panggilannya semakin besar. Subyek ingin
keluar dari Seminari, hal ini didasari oleh keiinginan subyek untuk membantu kedua orangtuanya, manakala kedua adiknya sudah mulai masuk ke jenjang
perguruan tinggi. Subyek merasa sebagai anak pertama, harus ikut membantu dan bertanggungjawab kepada keluarganya, meskipun orangtua subyek tidak
pernah secara langsung menyampaikan kepada subyek bahwa ingin dibantu. Namun karena teringat akan keiinginannya menjadi seorang pastor dan
bimbingan dengan pembimbing rohani, akhirnya subyek memutuskan untuk meneruskan panggilannya menjadi pastor. Setelah ditahbiskan menjadi pastor,
awal kehidupan subyek sebagai pastor masih berjalan dengan baik, sampai suatu saat subyek mendapatkan vonis menderita kanker. Subyek menceritakan
awalnya hanya sariawan biasa, namun setelah diperiksa ternyata subyek menderita kanker. Subyek pun menjelaskan proses kemoterapi yang dijalani,
bagaimana pengaruh sakit yang dialami dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang Pastor dan menceritakan pula reaksi-reaksi emosional apa
yang dialaminya. Setelah menjalankan rangkaian proses pengobatan, subyek
kembali mengalamai sakit yang sama untuk kedua kalinya. Pengalaman sakit pertama membuat subyek menjadi pribadi yang lebih siap menerima sakit
untuk kedua kalinya, meskipun subyek juga menceritakan bagaimana sakit kedua mempengaruhi kehidupannya.
Pada akhirnya pengalaman-pengalaman yang dihadapi subyek ini, membuat subyek menjadi pribadi yang dewasa dan kuat dalam menjalankan
panggilannya sebagai seorang pastor. PEMBAGIAN CERITA
AWAL Subyek diawal menceritakan pengalaman masa kecilnya.Subyek adalah anak
pertama dari 6 bersaudara.Subyek dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik, meskipun di daerah tempat tinggal subyek,
hanya keluarga subyek saja yang beragama Katolik.Sejak kecil oleh kedua orang tuanya subyek diajarkan bagaimana mengimani ajaran Katolik itu. Hal
ini yang juga membawa subyek untuk mau terlibat dalam pelayanan- pelayanan di gereja tempat ia tinggal.
“Saya dilahirkan 21 Juli 1962, sebagai anak pertama dari enam bersaudara.Bapak dan ibu berasal dari Klaten, Jawa Tengah.Bapak, ibu
tinggal dan bekerja sebagai guru SD di daerah majenang, cilacap, Jawa Barat sejak tahun 1955.Sejak kecil orangtua saya mengajarkan iman katolik.
Waktu SD saya satu-satunya siswa yang beragama katolik, namun demikian bapak selalu mengajarkan doa dan menjadikan hari minggu sebagai hari
khusus ke gereja. Setiap pagi saya diajarkan untuk doa pagi, kebiasaan ini
mungkin terbawa oleh bapak yang lulusan asrama guru di ambarawa.” Pengalaman terlibat dalam pelayanan menggereja, membuat subyek tertarik
untuk menjadi seorang pastor, terlebih disaat itu, subyek merasakan bagaimana sulitnya mencari pastor untuk melayani umat di lingkungan sekitar
tempat tinggal subyek. “Kehidupan menggereja saat itu memang sangat sulit.Paroki saya adalah
paroki cilacap, dan saya biasanya gereja di stasi.Misa pun tidak setiap minggu diadakan di stasi. Saya juga aktif ikut misdinar dan sering ikut pastor
ke stasi-stasi. Karena kebiasaan itu, saya memiliki kebiasaan untuk doa
Malaikat Tuhan jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore dan doa Rosario di sore hari juga.”
“Kalau dibilang sejak SD tidak ya, hanya saya merasa dan kelihatannya dasar-dasar panggilan itu sudah ada di dalam keluarga yang diberikan
kepada saya sejak kecil.Dengan diajarkan untuk rutin berdoa dan aktif mengikuti kegiatan gereja seperti misdinar.Kebiasan-kebiasan itu berjalan
terus hingga saya duduk di SMP sampai SMA. Saya merasa terpanggil untuk menjadi Pastor saat itu duduk dibangku SMA, kalau tidak salah kelas 1 SMA.
Dan saat itu muncul SK menteri tahun 77. SK itu berbunyi kira-kira demikian , bagi para misionaris yang berasal dari luar negara Indonesia diharapkan
untuk meninggalkan negara Indonesia, namun jika tetap ingin tinggal di Indonesia, misionaris yang bersangkutan harus mengurus untuk menjadi
Warga Negara Indonesia. Karena adanya SK tersebut, banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya, sedangkan saat itu paroki dan stasi-stasi di
tempat saya dilayani oleh banyak misionaris yang berasal dari luar Indonesia.Otomatis dengan SK tersebut pelayanan di gereja dan stasi-stasi di
tempat saya menjadi tidak terpenuhi akibat banyak misionaris yang kembali ke negara asalnya.Melihat keadaan ini, saya mulai bepikir dan merenungkan
dalam hati “Stasi-stasi di tempat saya sudah misa hanya sebulan sekali, lalu para misionaris diminta untuk kembali ke negara asalnya, lalu bagaimana
gereja dan stasi-stasi disini dapat dilayani? Apa yang bisa saya lakukan
sebagai warga gereja?” saat itulah panggilan untuk menjadi Pastor muncul. Apalagi saat itu ada minggu panggilan dan umat mendoakan agar pemuda
gereja di tempat saya ada yang terpanggil untuk menjadi Pastor, dengan adanya hal
itu semakin terasa panggilan saya untuk menjadi
Pastor.Keinginan ini pun saya sampaikan kep ada kedua orangtua saya.”
Dalam hal pergaulan, subyek merupakan sosok remaja pada umumnya yang tumbuh dan berkembang.Sebagai seorang laki-laki, subyek juga merasakan
bagaimana dirinya tertarik dengan lawan jenis.Namun, perasaan-perasaan ini diolah subyek dan subyek memiliki pemikiran bahwa tidak ada teman yang
diistimewakan, semua temannya adalah istimewa. “Ya seperti biasanya seorang remaja, mengalami ketertarikan pada lawan
jenis.Saya juga pernah merasakan hal itu, tertarik dengan teman lawan jenis.Ada perasaan ingin dekat dengan orang itu, namun saya tidak sampai
untuk memiliki atau berpacaran. Saya ingin dekat dengan orang itu, tapi saya juga ingin dekat dengan teman-teman yang lain. Sehingga keinginan dekat
dengan orang itu, saya bagikan juga dengan teman-teman yang lain. Kalau jalan-jalan ya bersama teman-teman.Kalau belajar kelompok ya bareng-
bareng bersama teman-teman itu juga.Saya memang berusaha untuk tidak
terfokus pada satu teman saja.”
Selepas menyelesaikan pendidikan SMA, subyek kembali teringat akan keiinginannya untuk menjadi seorang pastor, oleh karena itu, subyek meminta
izin kepada orangtuannya untuk mendaftar ke Semianri. Orang tua subyek pun mengizinkan dirinya untuk menempuh pendidikan di Seminari. Lalu subyek
megikuti tes seleksi dan diterima di Seminari Menengah Mertoyudan. Saat itu bapak hanya mengatakan “ya silakan kalau memang itu
keinginanmu, bapak ibu mendukung dan mendoakanmu”. Di Seminari Menengah, subyek masuk dalam tingkat Kelas Persiapan Atas.
Pengalaman hidup di Seminari Menengah dilalui subyek mengalir begitu saja, tidak ada yang menghambat panggilannya untuk menjadi seorang pastor. Satu
tahun subyek di Seminari Menengah dan subyek harus menentukan pilihan selanjutnya untuk memilih komunitas Imam apa. Disaat menentukan pilihan
itu subyek merasa bingung, mau memilih SJ atau OMI.Subyek memiliki pemikiran, kalau dia memilih SJ, banyak teman yang hendak kesana apalagi
memang diarahkan untuk masuk kesana. Sedangkan OMI, OMI sudah melekat dalam pengalaman hidup subyek sebelumnya ketika di rumah. Akhirnya
subyek memilih OMI sebagai pilihannya.Selepas dari Seminari Menengah, subyek meneruskan pendidikan di Seminari Tinggi OMI.Di Seminari Tinggi
inilah subyek merasakan tantangan dalam hidup pangilannya. “Setelah lulus dari bangku SMA, Saya memutuskan dan melanjutkan untuk
masuk Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan tahun 1982-1983. Saya hanya satu tahun di Semianari Menengah karena saya masuk di KPA
Kelas Persiapan Atas.Kehidupan di Seminari Menengah berjalan mengalir begitu saja, tidak ada yang membuat saya mengalami konflik atau krisis
dalam hidup atau panggilan saya.Perjalanan satu tahun yang tidak terasa, hanya saja pada retret untuk menentukan pilihan ada perasaan bingung untuk
memilih. Waktu itu saya ingin memilih apakah melanjutkan ke SJ Serikat Jesus atau OMI Oblat Maria Immaculata.Keinginan saya untuk menjadi
Imam Misionaris baik OMI maupun SJ keduanya mendukung keinginan saya itu. Memang banyak teman saya yang memilih untuk masuk SJ, sebab dari
Seminari banyak yang diarahkan kesitu. Tetapi figur OMI juga melekat dalam diri saya, karena di Paroki asal saya Pastor-pastornya dari OMI dan itu juga
yang membuat saya terpanggil menjadi Pastor. Akhirnya saya pun diberikan kesempatan memilih dalam suasana retret. Dalam retret tersebut akhirnya
saya memantapkan hati untuk masuk dan melanjutkan ke OMI, karena saya
telah mengenal OMI mungkin juga semangat OMI sudah tertanam di dalam diri saya
.” TENGAH
Di awal tahun pendidikan di Seminari Tinggi, subyek mulai merasakan
keraguan akan keberadaannya memilih OMI. Keraguan ini terjadi karena subyek membandingkan kehidupan yang berbeda antara Seminari Menengah
dengan Seminari Tinggi.Ketika di Seminari Menengah, semua sudah terjadwal dan teratur, sedangkan di Seminari Tinggi semua sudah terjadwal namun
terkesan bebas. Hal inilah yang mempengaruhi diri subyek, sehingga subyek merasa hidup rohaninya menurun dan menjadi ragu apakah OMI memang
menjadi pilihannya.Kondisi ini dibawa subyek untuk disharingkan dengan pembimbing rohani yang kemudian direnungkan subyek.Pada akhirnya
subyek dapat melalui keraguan ini.Memasuki tahun ketiga di Seminari Tinggi, subyek merasakan tantangan hidup panggilannya semakin besar. Subyek ingin
keluar dari Seminari, hal ini didasari oleh keiinginan subyek untuk membantu kedua orangtuanya, manakala kedua adiknya sudah mulai masuk ke jenjang
perguruan tinggi. Subyek merasa sebagai anak pertama, harus ikut membantu dan bertanggungjawab kepada keluarganya, meskipun orangtua subyek tidak
pernah secara langsung menyampaikan kepada subyek bahwa ingin dibantu. Namun karena teringat akan keiinginannya menjadi seorang pastor dan
bimbingan dengan pembimbing rohani, akhirnya subyek memutuskan untuk meneruskan panggilannya menjadi pastor. Setelah ditahbiskan menjadi pastor,
awal kehidupan subyek sebagai pastor masih berjalan dengan baik, sampai suatu saat subyek mendapatkan vonis menderita kanker. Subyek menceritakan
awalnya hanya sariawan biasa, namun setelah diperiksa ternyata subyek menderita kanker. Subyek pun menjelaskan proses kemoterapi yang dijalani,
bagaimana pengaruh sakit yang dialami dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang pastor dan menceritakan pula reaksi-reaksi emosional apa
yang dialaminya. Setelah menjalankan rangkaian proses pengobatan, subyek kembali mengalamai sakit yang sama untuk kedua kalinya. Pengalaman sakit
pertama membuat subyek menjadi pribadi yang lebih siap menerima sakit