c. Pengalaman menderita sakit
RANGKUMAN Subyek ditahbiskan menjadi pastor pada tanggal 24 Juli 1991, pada usia ke
29.  Setelah  subyek  menceritakan  konflik  yang  dialami  ketika  masa pendidikan di Seminari Tinggi, subyek menceritakan pengalamannya ketika
menjadi  Pastor.  Subyek  menceritakan  pengalamannya  ketika  harus menderita  kanker  kelenjar  getah  bening  Lymphoma  Maglinam  Non
Hogkin.Subyek mengalami kanker tersebut dua kali, pada tahun 1992 dan 1998.  Kanker  yang  pertama  terjadi  menjelang  usia  tahbisan  ke  1  tahun
1992. Awalnya subyek hanya merasakan sakit biasa, lalu setelah diperiksa ternyata subyek  memiliki  benjolan dan hasil diagnosa, benjolan itu adalah
kanker. Pengalaman menderita sakit kanker yang pertama ini subyek tidak memiliki  keinginan  untuk  keluar  sebagai  seorang  pastor.  Sakit  kanker  ini,
justru memberikan semangat dalam panggilannya meskipun sisi manusiawi subyek  sebagai  seorang  yang  menderita  sakit  kanker  tetap  tampak.  Sakit
kanker ini tidak berhenti begitu saja, sekitar tahun 1998 subyek mengalami sakit yang sama untuk kedua kalinya. Akan tetapi subyek merasa lebih siap
dalam  menerima  sakit  kanker  yang  kedua  ini,  karena  sebelumnya  subyek telah  mengalami  sakit  kanker  pertama  dan  dibantu  dengan  pengolahan
rohani dalam mempersiapkan menghadapi sakit kanker yang kedua. PEMBAGIAN CERITA
AWAL Subyek  menceritakan  bagaimana  awalnya  subyek  mengetahui  bahwa
dirinya menderita sakit kanker. “Menjelang usia tahbisan ke 1 saya terkena kanker Kelenjar Getah Bening
Lymphoma  Maglinam  Non  Hogkin  stadium  II.  Waktu  itu  saya  merasa biasa  aja  dan  dapat  menjalankan  misa  seperti  biasanya,  lalu  ada  gejala
bibir pecah, terus saya ceritakan ke Romo di paroki.Lalu Romo menyuruh saya  untuk  periksa  ke  dokter.  Dari  dokter  tersebut  saya  diminta  untuk
periksa  ke  semarang  Elisabeth.  Saat  itu  saya  berkata  kepada  suster  yang
merawat  “wah  saya  masih  ada  acara  suster”  Tapi  ya  bagaimana  lagi akhirnya  setelah  acara  itu  saya  ke  semarang  dengan  surat  pengantar
dokter  langsung  bertemu  dengan  dokter  ahli  bedah.  Lalu  dokter
mengatakan “benjolan ini ada 3 kemunginan, pertama karena bakteri atau
kelenjar,  kedua  karena  virus,  dan  yang  terakhir  karena  ada  sel-sel kankernya.Untuk itu diambil sampel jaringan dan saya dioprasi. Hasilnya
adalah diagnosa yang  ketiga itu, tetapi mengingat keadaan saya saat itu, saya  masih  belum  merasa  sakit.  Waktu  itu  Romo  paroki  itu  datang  terus
bertemu  dengan  direktur  Rumah  Sakit,  memberitahukan  efek  dari  gejala penyakit tersebut
”. Setelah subyek mengetahui dirinya menderita kanker kelenjar getah bening
Lymphoma Maglinam Non Hogkin reaksi yang muncul dalam diri subyek adalah tetap bersemangat dalam menjalankan panggilannya.
“lalu saya pulang ke paroki ya sesampainya disana saya biasa melakukan aktivitas seperti biasanya mimpin misa. Terdorong oleh masa bulan madu
dan Idealisme, bahkan saya berniat “ Saya ditahbiskan Imam, maka kalau saya mati tetap seb
agai Imam”. Maka saya ingin mempersembahkan waktu hidup saya sebaik mungkin dalam pelayanan Imamat
”. TENGAH
Memasuki  kemoterapi  kedua,  subyek  mengalami  perubahan  fisik.
Perubahan  fisik  ini  mengakibatkan  lingkungan  sekitarnya  mulai  tidak mengenali subyek.
“Namun setelah kemoterapi kedua saya merasakan sakitnya. Orang-orang mulai tidak mengenali karena rambut rontok terus botak
”. Subyek pun menceritakan pengalaman kemoterapinya itu
“Ketika  memasuki  kemoterapi  ke  2  –  dari  rangkaian    6  kali  kemoterapi- saya mulai merasakan bahwa saya sakit. Rambut kepala rontok sampai tak
dikenali  oleh  teman-teman;  Lutut  terasa  lemah,  kalau  berdiri  hanya  bisa bertahan  10  menit  dan  berjalan  200  meter;  mulut  luka-  sariawan
berkepanjangan  dan  sulit  untuk  makan;  setelah  menerima  kemoterapi hingga  sampai  1    minggu,  muntah-muntah  sampai  kram  perut  dan  sulit
tidur hingga 3.30 pagi. Ketika kemoterapi biasanya merasa tersiksa karena maunya  muntah  perut  tidak  terisi  sampai  keluar  getah  kuning,  makan
muntah, yang penting makan terus makan meskipun muntah, saat itu, saya dititipkan  di  stasi,  malam  tidak  bisa  tidur  hampir  seminggu,  kalau  sudah
seperti  itu  saya  hanya  mendengarkan  lagu,  ada  luka  dibibir  kalau  makan sakit  sampai  keluar  air  mata.  Ya  waktu  itu  ada  ibu-ibu  bagian  rumah
tangga  itu  yang  memperhatikan  makan  dan  mengatur  pola  makan  saya. Mau makan sulit itu sampe 6 periode bahkan saya mengalmi trauma pada
penyembuhan keempat begitu masuk Rumah Sakit, bau alkohol, bau Rumah Sakit itu membuat saya mual muntah, ketika keluar dari Rumah Sakit ketika
mencium  sop  berbau  kaldu  itu  ya  saya  mual  lagi,  bau  bakso  saja  saya mual, butuh waktu lama untuk bisa makan sop berkaldu lagi
”. Hal ini juga mempengaruhi kondisi emosi dan pribadi subyek.
“Secara  emosional  saya  pun  labil,  bila  bertemu  orang  atau  teman  dekat atau dikunjungi orang, menangis dengan sendirinya dan bila  menceritakan
pengalaman  sakit    juga  menangis.  Dalam  situasi  yang  demikian,  saya merasa  bahwa  saya  sungguh-sungguh  tak  berdaya  dan    tergantung  dari
belas kasih orang lai
n”.
“Secara kejiwaan saya pun lemah  membutuhkan figur  seorang ibu yang merawat, memperhatikan dan mendengarkan. Saya senantiasa merindukan
kehadiran  orang  yang  dengan  setia  hadir    menemani  dan  mendengarkan saya,  merawat  dan  memperhatikan  saya  serta  memenuhi  kebutuhan
psikologis  saya.  Kadang-kadang  ingin  diperhatikan  dengan  dikirimi makanan,  dengan  menceritakan  atau  mengungkapkan  kesedihan,
mengirimkan  snack,  jus,  jadi  seperti  membutuhkan  teman  yang  mampu mengerti,  memperhatikan,  merawat  ya  lalu  seperti  semacan  seorang  laki-
laki  yang  membutuhkan  peranan  seorang  ibu  yang  melindungi merawat.Jadi  di  pastoran  saya  sendiri  ada  perasaaan  kurang,  sepi,  dan
membutuhkan orang yang bisa mendengarkan cerita.” Selain  itu,  karena  sakit  ini  subyek  juga  merasakan  adanya  hambatan  yang
terjadi dalam tugas pelayanannya sebagai seorang pastor. “Maka misa ke Stasi saya diantar dan waktu memimpin misa,  saya hanya
membuka  dengan  tanda  salib  dan  pengantar  kemudian  duduk.  Prodiakon melanjutkan  sampai  doa  umat.  Saya  mulai  lagi  ketika  persembahan    dan
saat    komuni,  saya    duduk  kembali.    Akhirnya  doa  sesudah  komunita  dan berkat perutusan
”. “Bahkan saya belum boleh beraktifitas ke stasi, tapi saya tetap ke stasi lalu
dokter  berpesan  “Romo  jaga  kesehatan  baik-baik  jangan  dekat-dekat dengan o
rang sakit dulu sebab daya tahan Romo masih belum kuat”. Tapi setelah saya di stasi ada umat yang sakit sudah 2 hari umat yang sakit itu
tidak  makan,  tidak  berani  disuntik  juga  dan  umat  disana  meminta memberkati  air  untuk  yang  sakit,  lalu  saya  meminta  air  matang  diberi
garam  dan  didoakan.  Tapi  ada  ketakutan  kalau  saya  dekati  takut  tertular dan  saya  bisa  mati,  ada  pergulatan  itu,  lalu  akhirnya  muncul  keyakinan
oke apapun yang terjadi saya siap menerima, dengan kesadaran apa yang terjadi besok biarlah terjadi, akhirnya saya dekati orang yang sakit itu dan
beberapa hari kemudian orang itu sembuh
”. Namun,  subyek  masih  memiliki  niat  dan  semangat  untuk  berjuang  yang
membantunya  menjalankan  pengalaman  sakit  ini  dengan  baik.  Selain  itu,