Tata Ruang Kota Urban Spatial Structure

33 a. Overvaluation penilaian berlebihan lahan. Kebijakan pemerintah pusat dan lokal memainkan peranan dalam nilai pasar lahan. Sebagai contoh berupa konsesi pajak dan subsisdi konsesi atas utilisasi, tawaran perangsang bagi pembangunan industri dan perumahan, sementara kebijakan perencanaan mungkin menetapkan subsidi inefisiensi pembangunan di lokasi dengan kepadatan yang lebih rendah. Konsesi dan rangsangan ini menutupi nilai lahan riil untuk penggunaan sumberdaya, dan menghalangi perlindungannya. b. Dampak spillover. Dampak perluasan pembangunan ke areal perdesaan dan batas kota terhadap konversi lahan secara langsung, seperti konversi lahan pertanian, dan konsekwensi tidak langsung, dikenal sebagai spillover effect, dalam produktivitas sekitar lahan serta dampak lingkungan. c. Manfaat yang tidak bisa dihargai unpriced benefits. Banyak manfaat sumberdaya lahan yang tidak dapat diukur di pasar lahan. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah uang yang akan merefleksikan nilai atas yang dapat dimanfaatkan. d. Impermanence Syndrome. Kombinasi over valuation sumberdaya lahan untuk pembangunan dan pembatasan produktivitas sebagai akibat dampak urban spillover sampai ke apa yang dikenal sebagai impermanence syndrome. Impermanence syndrome terjadi ketika pemilik sumberdaya mulai percaya bahwa di tempat tersebut sangat kecil aktivitas sumberdaya di masa depan di lahannya.

E. Tata Ruang Kota Urban Spatial Structure

Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan jasa terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi pengaruhnya hinterland akan mempunyai struktur tata ruang tertentu dalam rangka penyesuaian fungsinya untuk mencapai tingkat efisiensi pelayanan dan sekaligus kenyamanan lingkungan untuk permukiman. Menurut Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi 34 masyarakat yang secara hirarki memiliki hubungan fungsional. Sementara pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Menurt Pasal 14 ayat 1 perencanaan tata ruang tersebut dilakukan untuk menghasilkan 1 rencana umum tata ruang dan 2 rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rencana Tata Ruang Kota Pasal 14 ayat 2. Sedangkan rencana rinci tata ruang terdiri dari 1 rencana tata ruang pulaukepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, 2 rencana tata ruang kawasan strategis propinsi dan 3 rencana detil tata ruang kabupatenkota dan rencana tata ruang kawasan stretegis kabupatenkota. Elemen-elemen pembentuk struktur ruang kota adalah hampir sama dengan elemen-elemen yang membentuk suatu wilayah seperti yang telah diuraikan terdahulu, yaitu kumpulan pelayanan jasa, kumpulan industri sekunder dan perdagangan gorsir, lingkungan permukiman serta jaringan transportasi. Sementara itu pola ruang diwujudkan dalam bentuk tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya. Dalam implementasi penataan ruang seringkali mengalami kesulitan, sehingga produk rencana tata ruang belum dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah. Menurut Setiobudi 2008, secara umum terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan implementasi penataan ruang diantaranya adalah rendahnya kualitas produk rencana tata ruang, belum adanya pedoman standar dan petunjuk teknis yang lengkap, desakantekanan pembangunan, rendahnya keterlibatan masyarakat dalam penataan raung, dan masih lemahnya law enforcement. Berdasarkan permasalahan tersebut, Setiobudi 2008 mengatakan bahwa dalam implementasi penataan ruang diperlukan seperangkat penunjang operasional yakni perangkat pemanfaatan dan pengendalian ruang, manajemen perkotaan dan partisipasi masyarakat. Terkait dengan permasalahan sulitnya mendapatkan lahan bagi pembangunan, maka pendekatan yang lebih popular adalah intervensi 35 pemerintah. Menurut Lovering et al 2001, ada 4 empat teknik pengendalian atau perlindungan guna lahan melalui intervensi pemerintah yaitu kebijakan perpajakan, right-to-farm laws , acquisition of development rights, dan metode zoning. Kebijakan pajak diadopsi dalam upaya untuk mejaga para petani tidak menjual lahannya kepada spekulan dan menjaga lahannya agar tetap berproduksi untuk periode waktu yang lebih panjang. Teknik perpajakan umum terkait tersebut adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Right-to-farm laws ditujukan untuk mempersulit permukiman di sekitar lahan pertanian yang akan mengganggu produktivitas lahan pertanian. Akuisisi hak membangun ditujukan untuk menahan terjadi konversi guna lahan dari guna lahan pertanian menjadi guna lahan permukiman dengan cara membeli hak membangun lahan purchas of developmentr rights. Ketiga teknik ini diharapkan dapat mengatasi para spekulan tanah dalam proses pembangunan. Menurut Walls dan McConnell 2007, pasar TDR bekerja sebagai alat perlindungan lahan ketika pemilik lahan bersedia dan dapat menjual hak membangun, dan pengembang tertarik untuk membeli haknya. Kekuatan relatif antara sisi supply dan demand dari pasar akan menentukan harga TDR yang dijual. Kesediaan mensupply untuk menyediakan TDR dan pengembang membeli hak membangunnya tergantung pada interaksi yang kompleks atas fitur rancangan program PDR, peraturan zoning, dan kondisi pasar rumah dan lahan di suatu lokasi. Adapun peraturan zoning yang mempengaruhi harga TDR adalah pembatasan kepadatan rumah yang menetapkan jumlah maksimum per hektar.

F. Kerjasama dan Koordinasi Pengelolaan DAS