VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Rangkuman Sintesa Temuan
KBU  merupakan  kawasan  lindung  yang  sangat dekat  dengan pusat  kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah  yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari
satuan  wilayah  pengembangan  SWP  Bandung,  maka  secara  lokal,  wilayah  KBU telah tersusun atas  kota-kota dengan hirarki  yang  berorientasi pada hirarki  tertinggi
orde pertama yakni Kota Bandung, dengan hirarki-hirarki yang lebih rendah yakni sebagai  tempat  pengumpulan  hasil  pertanian,  pusat  pemerintahan  lokal,  pusat
pelayanan  skala  lokal  dan  pusat  pendidikan.  Konsekwensi  dengan  berkembangnya Kota  Bandung  menuju  kota  metropolitan,  telah  terjadi  pertumbuhan hirarki  kota  di
KBU  yang  berdampak  pada  sistem  penggunaan  lahan  di  KBU,  yang  diikuti perubahan  guna  lahan  dari  pertanian  ke  perumahan  dan  dari  perumahan  ke  pusat
kegiatan kota, serta kondisi struktural deferensiasi penggunaan lahan yang bercirikan kedesaan yang semakin mengecil, sehingga tingkat transformasi struktur penggunaan
lahan yang semakin meningkat. Dalam  kondisi  struktur  ruang  KBU  sebagai  kawasan  lindung  yang  sudah
memiliki ciri kekotaan tersebut, telah mendorong terjadinya peningkatan harga tanah, maka  pengendalian  pemanfaat  ruang  tidak  cukup  melalui  Peraturan  Daerah  yang
cenderung bersifat  command and  control, namun  memerlukan  mekanisme ekonomi melalui pemberian kompensasi atas perbedaan harga jual tanah dengan nilai harapan
tanahnya  atau  mengganti  atas  hilangnya  keuntungan  akibat  mempertahankan lahannya  ditanami  pohon  atau  kompensasi  dalam  melakukan  upaya  konservasi.
Model insentif yang menjadi alternatif pilihan adalah model PDR melalui pembelian hak  membangun  senilai  selisih  harga  jual  tanah  pertanian  setempat  dengan  NHT
lahan  pertanian,  dan  model  PES  melalui  pemberian  sewa  penanaman  pohon  dalam jangka waktu tertentu sebesar perbedaan NHT lahan hutan dengan NHT optimumnya.
Sebagai  dasar  penetapan  kelayakan  pemberian  insentif  ekonomi  tersebut  adalah manfaat hidrologis.
200
Harga jual tanah pertanian maupun permukiman sangat dipengaruhi oleh zona guna lahan dimana  lahan tersebut berada. Kedua harga  jual tanah  tersebut memiliki
kecenderungan  yang  sama  yakni  letak  lahan  tersebut  semakin  berada  di  zona mencirikan  kedesaan  rural,  harga  jual  lahan  semakin  rendah  dan  sebaliknya
semakin  berada  di  zona  guna  lahan  yang  mencirikan  kekotaan  urban  harga  jual lahan semakin besar. Di zona kekotaan murni urban area harga jual lahan pertanian
sebesar  Rp232 765 per m
2
dan untuk lahan permukiman sebesar Rp486 162 per m
2
, sedangkan  di  zona  kedesaan  murni  rural  area  harga  jual  lahan  pertanian  sebesar
Rp49 716 per m
2
dan harga jual lahan permukiman sebesar Rp165 153 per m
2
. Dengan  suku  bunga  riil  sebesar  2,5  dan  lamanya  20  tahun,  NHT  lahan
pertanian  atas  dasar  NPV  produksi  sayuran,  padi  sawah,  dan  ternak  menunjukkan kecenderungan  yang  relatif  sama  dengan  harga  jual  lahan  pertanian  dan  lahan
permukiman, tetapi intersep nya lebih datar, dimana NHT di zona urban area sebesar Rp84 411 per m
2
dan di zona rural area sebesar Rp50 295 per m
2
. Perbedaan antara NHT  lahan  pertanian  dengan  harga  jual  lahan  pertanian  dan  lahan  permukiman  di
zona  guna  lahan  yang  semakin  mencirikan  kekotaan  sangat  besar,  sedangkan  NHT lahan pertanian di zona guna lahan rural murni menunjukkan lebih rendah dari harga
jual tanah. Nilai lahan hutan  atas dasar  produksi  maksimum getah pinus, daur optimum
berada  pada  umur  25  tahun  sebesar  9148  kg  per  ha.  Dengan  dilakukan  pelarangan penebangan  di  hutan  KBU,  maka  dari  aspek  tujuan  pengusahaan  getah  setelah  25
tahun tidak bisa dipertanggung jawabkan karena ada produksi getah yang diproduksi dengan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Dengan kata lain, ada inefisiensi
yang harus ditanggung oleh publik. Sementara itu untuk tujuan produksi kayu, daur optimum berada pada umur 20 tahun. Seperti halnya produksi getah, maka dari aspek
tujuan pengusahaan kayu setelah 20 tahun tidak bisa dipertanggung jawabkan karena ada  produksi  kayu  yang  diproduksi  dengan  biaya  yang  lebih  besar  daripada
manfaatnya.  Dengan  kata  lain,  juga  ada  inefisiensi  yang  harus  ditanggung  oleh publik.
Penggunaan prinsip hasil maksimum lestari maximum sustained yield di atas dari  produksi  getah pinus  dan  kayu  pinus  sulit  diterapkan  sebagai  dasar  pemberian
201
insentif bagi penanam pohon, karena tegakan maksimum re-rata tidak identik dengan maksimum net benefit. Sementara penggunaan lahan milik akan memaksimalkan net
benefit  dari  tanahnya.  Untuk  itu,  maka  dalam  penentuan  besarnya  insentif kompensasi bagi penanam pohon melalui model PES akan digunakan Nilai Harapan
Tanah  NHT  lahan  hutan.  NHT  lahan  hutan  merupakan  pendapatan  bersih  dari sebidang lahan hutan,  yang dihitung secara discounting. Atau dengan kata lain NHT
lahan  hutan  merupakan  nilai  pendapatan  bersih  saat  sekarang  NPV  dari  usaha penanaman  kayu.  NHT  lahan  hutan  tertinggi  di  hutan  pinus  berada  pada  daur  21
tahun  sebesar  Rp789  111  780  per  ha  kemudian  menurun  sampai  daur  35  tahun menjadi sebesar Rp586 298 658 per ha. Hal ini berarti bahwa apabila pengelola hutan
tidak diperbolehkan untuk menebang, maka pengelolaan hutan tersebut menjadi tidak efisien  karena  untuk  memproduksi  getah  dan  kayu  pinus  yang  diproduksi  dengan
biaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Sementara itu dengan tidak ditebangnya hutan,  publik  tetap  mendapatkan  manfaat  hidrologis.  Oleh  karena  itu  publik  harus
memberi  kompensasi  kepada  penanam  pohon  sebesar  kehilangan  NHT  maksimal yang  diperoleh  pada  daur  21  tahun,  dimana  tahun  pelarangan  ditebangnya  itu
dilakukan. Penetapan  harga  hak  membangun  development  right  melalui  model  PDR
dalam  mencegah  penjualan  lahan  pertanian  atas  dasar  harga  jual  lahan  pertanian adalah sebesar Rp148 354m
2
di zona urban area hingga menurun ke zona rural area nilai insentif nol, sedangkan atas harga jual lahan permukiman nilai hak membangun
di zona urban area sebesar Rp401 751m
2
menurun ke zona rural areal dengan nilai hak membangun sebesar Rp114 858m
2
. Berdasarkan kondisi tersebut, pemilik lahan pertanian  yang  terletak  di  zona  urban  mengalami  apa  yang  disebut  impermanence
syndrome yakni pemilik  lahan mulai  percaya bahwa di  tempat  tersebut sangat kecil
aktivitas sumberdaya di masa depan di lahannya yang seharusnya terhadap kekuatan yang  melebihi  kontrolnya,  seperti  kekuatan  pasar,  sehingga  dia  menjadi  spekulator
atas  lahannya. Sedangkan di zona rural area, penjualan  lahan lebih disebabkan oleh kebutuhan dan faktor sosial.
Kelayakan PDR atas manfaat hidrologis di KBU hanya berlaku di zona rural area  dan  rural  fringe.  Dari  seluas  7452  ha  lahan  pertanian  di  zona  rural  fringe
202
memerlukan  pembelian  hak  membangun  sebesar  Rp2  Trilyun  akan  mendapatkan manfaat  hidrologis  sebesar Rp2,4 Trilyun,  sehingga  efektivitas  PDR sebesar Rp320
milyar.  Kemudian  dari  6565  ha  lahan  pertanian  di  zona  rural  area  memerlukan pemberian  hak  membangun  sebesar  Rp458  milyar,  akan  mendapatkan  manfaat
hidrologis sebesar Rp2,7 Trilyun, dengan demikian memiliki efektivitas  sebesar Rp2 Trilyun. Sementara penerapan PDR di zona urban area, urban fringe dan urral fringe
sudah tidak efektif. Kondisi  efektivitas  penerapan  PDR  tersebut  disebabkan  oleh  dua  hal  yakni
terjadinya overvaluation atas harga lahan dan masih rendahnya persepsi masyarakat atas  manfaat  hidrologi  dan  hasil  pertanian.  Terjadinya  overvaluation  atas  lahan  di
KBU    karena  pemilik  lahan  menjadi  spekulator  atas  lahannya  sehingga  jauh melampaui  NHT  nya.  Sedangkan  rendahnya  persepsi  masyarakat  atas  manfaat
hidrologi diindikasikan atas kesediaan membayar manfaat horologi dari setiap rumah tangga,  dengan  nilai  manfaat  Rp423  juta  per  ha,  atau  untuk  setiap  KK  per  tahun
hanya  menghargai  Rp2  790  845  dengan  korbanan  sebesar  Rp765  695.  Dengan demikian  setiap  hari  setiap  KK  hanya  menghargai  air  sebesar  Rp7  646  re-rata
anggota KK 4,8 orang atau Rp1 593 per orang, dengan hanya mau berkorban setiap hari  sebesar    Rp2  098  per  KK  atau  Rp437  per  orang.  Padahal  penggunaannya
digunakan  untuk  kebutuhan  hidup  masyarakat  sehari-hari  yakni  untuk  air  minum, masak, dan MCK. Selain atas manfaat hidrologi, rendahnya persepsi masyarakat juga
terhadap hasil pertanian, yang sepenuhnya menyerahkan harga hasil pertanian kepada mekanisme  pasar,  sehingga  pada  saat  panen  raya  harga  jual  hasil  pertanian  berupa
sayur-sayuran  dan  padi  menjadi  jatuh,  sehingga  petani  terdorong  menjual  lahan tempat bekerjanya dan lahan tersebut umumnya dikonversi menjadi permukiman atau
guna  lahan  lain.  Kondisi  rendahnya  persepsi  tersebut  mencerminkan  publik  belum memiliki  kesadaran  terhadap  kemungkinan  kehilangan  sumberdaya  air  dan  sumber
makanan dan buah-buahan, sehingga  menilai harga  air dan  makanan sangat rendah. Rendahnya  kesadaran publik  tersebut penyebab  utama  kesulitan  implementasi  PDR
ke depan. Dalam  mengatasi  kondisi  rendahnya  kesadaran  publiktersebut,  maka  perlu
juga  didorong  untuk  terjadinya  cost-benefit  sharing  antar  pemerintah  yang  ada  di
203
KabupatenKota di KBU. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, efektivitas penerapan  PDR  atas  NHT  lahan  pertanian,  hanya  di  wilayah  Kabupaten  Bandung
Barat dan Kabupaten Bandung sebesar Rp1,7 Trilyun dan Rp407 milyar, sedangkan untuk  Kota  Cimahi  dan  Kota  Bandung  sudah  tidak  efektif  bila  dilakukan  PDR.
Kondisi  ini  disebabkan  bahwa  areal  di  Kabupaten  Bandung  Barat  dan  Kabupaten Bandung masih didominasi oleh zona rural area, yang mana nilai jual lahan pertanian
tidak berbeda jauh dari NHT nya, atau dengan kata lain perubahan penggunaan lahan di  Kabupaten  Bandung  Barat  dan  Kabupaten  Bandung  yang  masuk  wilayah  KBU
relatif lebih kecil dibanding di wilayah Kota Bandung dan Kota Cimahi yang masuk KBU,  sehingga  fungsi  hidrologisnya  masih  cukup  tinggi.  Mengingat  bahwa  Kota
Cimahi  dan  Kota  Bandung  menerima  surplus  manfaat  hidrologi  dari  Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung di KBU, maka perlu dilakukan cost sharing
yakni  dengan  membantu pembelian  PDR  yakni  Pemda  Kota  Bandung  atas  PDR  di Kabupaten  Bandung  Barat  dan  Kabupaten  Bandung,  dan  Pemda  Kota  Cimahi  atas
PDR di Kabupaten Bandung Barat. Besarnya  insentif  berupa  sewa  lahan  ditanami  pohon  dengan  memberikan
kompensasi  atas  kehilangan  keuntungan  bersih  saat  sekarang  dari  daur  optimalnya yakni  21  tahun.  Surplus  jasa  hidrologis  tertinggi  pada  penerapan  PES  di  kawasan
berfungsi lindung seluas 28452,5 ha di KBU tertinggi berada di tahun sewa 26 tahun yakni sebesar  Rp11 Trilyun, dan  setelah  tahun sewa 26 tahun  menurun. Sedangkan
surplus jasa hidrologi atas sewa penanaman pohon di kawasan hutan produksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten seluas 127,41 ha, jika dilarang  menebang
setelah daur optimumnya juga berada di tahun sewa 26 tahun yakni sebesar Rp49,8 milyar.  Setelah  tahun sewa 26  tahun,  surplus jasa  hidrologis  ini  semakin  mengecil,
karena  nilai  sewa  penanam  pohon  yang  semakin  besar  dan  jasa  hidrologi  semakin menurun.
Penerapan  PDR  dan  PES  dalam  perlindungan  lahan  pertanian  dan  kawasan lindung serta mendorong pemilik dan pengguna lahan berperilaku konservatif belum
populer di Indonesia, namun di beberapa negara telah secara efektif melindungi lahan pertanian dan mendorong penanaman hutan di lahan milik. Dengan kondisi terjadinya
defisit sumber air baku untuk kebutuhan air non pertanian di wilayah pengembangan
204
Kota  Bandung  dan  Kota  Cimahi,  yang  disebabkan  laju  pembangunan  di  wilayah pembangun  Lembang  dan  sekitarnya  sebagai  limpahan  pembangunan  di  Kota
Bandung  yang  tinggi,  memerlukan  mekanisme  PDR  dan  PES  dalam  melakukan perlindungan lahan pertanian dan kawasan lindung di KBU.
Berdasarkan  pengalaman  negara  lain  yang  menerapkan  PDR,  maka  syarat PDR dapat diterapkan apabila 1 telah tumbuhnya  kesadaran publik akan hilangnya
makanan,  daging  dan  serat  sehingga  merasa  perlu  melindungi  petani dan  lahannya, 2  berkembangnya  kelembagaan  finansial  publik  untuk  mendanai  mencegah
pembangunan  di  lahan  pertanian;  3  terdapat  mekanisme  referendum  dalam menentukan pendanaan PDR bersumber dari dana  pemerintah dan  dana publik; 4
kesadaran bayar pajak yang tinggi dan pengalokasian yang jelas untuk kegiatan PDR. 5 tumbuhnya lembaga yang dipercayai masyarakat dan pemerintah seperti land trust
yang memfasilitasi petani dalam menjual haknya dan melakukan penilaian easement serta 6 proses legislasi dan penganggaran dari pemerintah yang efektif dan efisien.
Sedangkan  implementasi  PES  memerlukan  dukungan  regulasi  pemerintah  dalam mendorong kegiatan konservasi melalui pemberian insentif, kesadaran dan pengguna
jasa  lingkungan  seperti  perusahaan  listrik,  perhotelan,  pariwisata  dan  perkebunan dalam  mendukung  upaya  konservasi,  dana  jasa  lingkungan  dikembalikan  pada
kegiatan konservasi secara akuntabel, dan berjalannya mekanisme kontrak pengelola kawasan konservasi dengan pengguna jasa lingkungan.
Penerapan  PDR dan  PES di  KBU  sudah  mendesak  yang  diindikasikan  telah terjadi  defisit  ketersediaan  air  di  tiga  wilayah  pengembangan  KBU  yakni  WP  Kota
Bandung, WP Lembang dan WP Kota Cimahi. Namun kemungkinan penerapan PDR atau PES di KBU dari aspek arah kebijakan yang terkait KBU sampai saat sekarang
masih belum mendukung, namun dengan telah terbitnya UU No.262007 yang mana dalam  pengendalian  pemanfaatan  ruang  dimungkinkan  menggunakan  mekanisme
insentif, maka penerapan PDR atau PES memiliki prospek dapat diterapkan di masa yang akan datang. Sedangkan dari aspek pembiayaan dari Pemerintah Daerah, masih
belum  menunjukkan  dukungan,  sehingga  perlu  terus  mendorong  empat  kabupaten kota  di  KBU  agar  arah  kebijakan  keuangan  yang  berpihak  pada  perlindungan
lingkungan  dan  lahan  pertanian  pro-environmental  budgeting  policy.  Sedangkan
205
dukungan masyarakat yang dicerminkan persepsi masyarakat atas kehilangan fungsi hidrologis  dan  produksi  bahan  makanan  terutama  sayur  dan  buah-buahan  di  KBU
masih jauh dari harapan.
B. Kesimpulan