Pendekatan morfologi kota urban morphological approach

24 Dengan menggunakan model GTM, Konagaya 2001 telah berhasil menggambarkan pergeseran batas guna lahan, dan memprediksi perubahan guna lahan di masa depan. Model GTM ini telah diaplikasikan untuk data di Indonesia dalam menggambarkan pengaruh dua regulasi dalam perubahan guna lahan di Sumatra, dan memprediksi profile guna lahan sampai 2025 di Jawa yang memperingatkan akan kehilangan hutan di ruas antara Jakarta dan Bandung. Kemudian Zhang dan Laband 2004, dengan menggunakan model Von Thunen telah melakukan penelitian tentang konsekwensi dari regulasi reforestasi di Amerika Serikat.; Venables dan Limao 1999 telah memodifikasi model von Thunen menjadi model Heckscher-Ohlin-Von Thunen dalam penelitian pola perdagangan dan produksi di berbagai negara dengan lokasi yang berbeda dari pusat kota.

3. Pendekatan morfologi kota urban morphological approach

Menurut Pontoh dan Setiawan 2009, pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator morfologi kota. Selanjutnya Smailes 1955 dalam Yunus 2005, telah memperkenalkan lebih dulu 3 unsur morfologi kota yaitu 1 unsur-unsur penggunaan lahan, 2 pola-pola jalan dan 3 tipe bangunan . Pola-pola Jalan Pola-pola jaringan jalan akan membentuk sistem transportasi. Kaitannya dengan tata guna lahan, pergerakan lalu lintas merupakan fungsi dari tata guna lahan yang menghasilkan bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup 1 lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi, dan 2 lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi, seperti diilustrasikan pada Gambar 8 Tamin, 2000. 25 Gambar 8. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Tamin, 2000 Jenis tata guna lahan yang berbeda permukiman, pendidikan, dan komersial mempunyai bangkitan lalu lintas yang berbeda dalam jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas pejalan kaki, truk, mobil, serta lalu lintas pada waktu tertentu. Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi, seperti contoh di Amerika Serikat Black, 1978 dalam Tamin, 2000:  1 ha perumahan menghasilkan 60 – 70 pergerakan per minggu  1 ha perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari, dan  1 ha tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari. Contoh lain juga di Amerika Serikat sebagaimana Tabel 3. Tabel 3. Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan Deskripsi aktivitas tata guna lahan Rata-rata jumlah pergerakan kendaraan per 100 m 2 Jumlah kajian Pasar swalayan Pertokoan lokal Pusat pertokoan Restoran siap saji Restoran Gedung perkantoran Rumah sakit Perpustakaan Daerah industri 136 85 38 595 60 13 18 45 5 3 21 38 6 3 22 12 2 98 Sumber: Black 1978 dalam Tamin 2000 i d Pergerakan yang berasal dari zona i Pergerakan yang menuju ke zona d 26 Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah kepadatannya. Tabel 4 memperlihatkan bangkitan lalulintas dari suatu daerah permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan berbeda di Inggris Black, 1978 dalam Tamin, 2000. Tabel 4. Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya Jenis perumahan Kepadatan permukiman keluargaha Pergerakan per hari Bangkitan pergerakan per ha Permukiman di luar kota Permukiman di batas kota Unit rumah Flat tinggi 15 45 80 100 10 7 5 5 150 315 400 500 Sumber: Black 1978 dalam Tamin 2000 Berdasarkan data di atas, walaupun arus lalu lintas terbesar yang dibangkitkan dari daerah permukiman di luar kota, bangkitan lalulintasnya terkecil karena intensitas aktivitasnya dihitung dari tingkat kepadatan permukiman paling rendah. Karena bangkitan lalu lintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, maka hubungan antara bangkitan lalulintas dan kepadatan permukiman menjadi tidak linear Tamin, 2000. Pola sebaran arus lalulintas antara zona i ke zona tujuan d adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia danatau barang. Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya jarak dampak pemisahan ruang. Tata guna lahan cenderung menarik pergerakan lalu lintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan dengan dari tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalu lintas yang dihasilkan juga akan lebih banyak yang berjarak pendek daripada jarak yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai fungsi dari intensitas setiap daerah dan jarak antar kedua daerah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. 27 Tabel 5. Interaksi Antar Daerah Jarak Jauh Interaksi dapat diabaikan Interaksi rendah Intensitas menengah Dekat Interaksi rendah Interaksi menengah Interaksi sangat tinggi Intensitas tata guna lahan antara dua zona Kecil – kecil Kecil – besar Besar - besar Sumber: Black 1978 dalam Tamin 2000 Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengetahui jenis tata guna lahan dapat diketahui dari hasil analisis lalu lintas yang ada di suatu wilayah terutama dari komponen bangkitan dan tarikan pergerakan lalu lintas. Penggunaan lahan sebagai deferensiator tata ruang regional Bentuk dasar morfologi kota di atas lebih ditekankan pada struktur keruangan kota lokal dalam artian bahwa struktur keruangan yang ditinjau terbatas pada areal kekotaan yang secara morfologis kompak dan bentuk penggunaan lahan seluruhnya berorientasi non-agraris. Kaitannya dengan penggunaan lahan untuk lahan kota dan desa, dilakukan melalui analisis “regional city” kota regional. Menurut Pontoh dan Setiawan 2009, untuk membedakan jenis penggunaan lahan kekotaan dan penggunaan lahan kedesaan, pada umumnya berkaitan dengan lahan pertanian, karena sebagian besar jenis dominansi penggunaan tanah kedesaan selalu berorientasi dengan kegiatan pertanian, sebaliknya di kota adalah berkaitan dengan penggunaan lahan non-pertanian. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada daerah peralihan dari kenampakan “real urban” ke kenampakan “real rural”. Di daerah peralihan inilah masalah dominansi seakan-akan menjadi kabur. Proses perubahan penggunaan lahan kota ke penggunaan lahan di desa atau sebaliknya dinamakan diferensiasi penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu cara perhitungan dominansi jenis penggunaan lahan kekotaan maupun kedesaan menggunakan metode segitiga penggunaan lahan desa-kota rural-urban land use triangle yang dikembangkan oleh Robin Pryor pada tahun 1971. Dalam teknik ini, dihitung persentase penggunan lahan kekotaan, persentase penggunaan lahan kedesaan dan persentase jarak dari lahan kekotaan utama built-up-land ke lahan kedesaan utama. 28 Subzone yang terbentuk terdiri dari 1 urban area, 2 urban fringe, 3 rural fringe dan 4 rural area. Kemudian Yunus 2005 mengembangkannya menjadi 5 subzone dengan subzona baru untuk diferensiasi subzone pada daerah yang terletak antara “urban fringe” dan “rural fringe”, yaitu menjadi 1 urban area, 2 urban fringe, 3 urral fringe, 4 rural fringe dan 5 rural area Gambar 9. Gambar 9. Segitiga Penggunaan Lahan Desa – Kota Yunus, 2005 Untuk memudahkan penetapan secara kuantitatif, maka batasan masing- masing subzone sebagai berikut Yunus, 2005: Tabel 6. Ciri Zona Guna lahan Zona Guna lahan Penjelasan 1 2 Urban area Daerah dimana 100 penggunaan lahannya berorientasi kekotaan. Urban fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau 60 penggunaan lahannya urban land use, dan 40 penggunaan lahannya rural land use. Tereltak dari titik perbatasan “urban built up land sampai ke jarak 40 dari titik tersebut jarak dihitung dari urban real sampai rural real. Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan walau tidak secepat urban area. Urral fringe area Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 – 60, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe. A : Persentase jarak lahan kota ke desa B : Persentase guna lahan kota C : Persentas guna lahan desa D : Batas areal built-up kota E : Batas areal desa 25 50 75 100 100 100 75 75 50 50 25 25 Urban Fringe Rural Fringe Rural - Urban Fringe A B C D E Urral Fringe 29 Tabel 6 lanjutan 1 2 Rural fringe area Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau 60 penggunaan lahannya rural land use, dan 40 penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40 dari titik tersebut jarak dihitung dari urban real sampai rural real. Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat. Rural area Daerah dimana 100 penggunaan lahannya berorientasi agraris. Pontoh dan Setiawan 2009 menyatakan urban area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya betul-betul berorientasi non pertanian, sedangkan rural area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya berorientasi pertanian. Sementara itu rurral-urban fringe adalah zone transisi dalam penggunaan lahan, karakteristik dan sosial dan demografi, terteletak diantara a lingkungan terbangun perkotaan dan kawasan subperkotaan dari pusat kota; dan b kawasan penyangga kedesaan, dicirikan oleh hampir tidak ditemuinya permukiman tanpa lahan pertanian. Sedangkan Rustiadi et al 2009 menamakan daerah transisi tersebut sebagai kawasan spekulasi Sinclair urban fringe, yang mana penggunaan lahan jangka pendek tergantung pada rencana pembangunan yang akan datang. Berdasarkan kondisi di atas, menurut Sinclair 2002 terkait dengan keberlanjutan pembangunan secara ekologi, rural area adalah sebagai sumber makanan dan serat ekonomi, fitur keanekaragaman hayati dan alam lingkungan, dan tempat tinggal dan bekerja modal sosial. Menurut Pontoh dan Setiawan 2009 dan Russwurm 1980 dalam Yunus 2005 membagi zona antar real urban dan real rural ke dalam 3 subzona yaitu 1 inner fringe, 2 outer fringe, dan 3 urban shadow zone, seperti diilustrasikan pada Gambar 10.

D. Pasar Lahan