Kemungkinan Implementasi PDR dan PES di KBU

c Pembayaran untuk adopsi praktek-praktek yang akan mengadopsi dengan berbagai cara kasus D. Perbedaan penetapan efektivitas dari hasil penelitian ini dengan yang dilakukan Pagiola 2008 terletak pada mekanisme penetapan efektivitas, yang mana hasil penelitian ini lebih memberikan alternatif kepada pemilik lahan dalam melakukan pemilihan jangka waktu lamanya tegakan pohon tidak ditebang, dan bagi publik mengetahui kemungkinan manfaat hidrologis yang akan diperoleh.

F. Kemungkinan Implementasi PDR dan PES di KBU

1. Gambaran Penggunaan PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan Implementasi program PDR dan program PES dalam mencegah perubahan penggunaan lahan dan mendorong perilaku konservasi dalam pengelolaan lahan telah populer di berbagai negara. Implementasi PDR populer di Amerika Serikat, sementara PES populer di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah. Sedangkan di Indonesia, baik PDR maupun PES belum populer digunakan. Di Amerika Serikat program PDR merupakan salah satu upaya dalam rangka melindungi lahan pertanian, disamping upaya lainnya yakni zoning pertanian, distrik pertanian, pemecahan pajak pertanian, transfer of development rights , dan pembatasan pertumbuhan kota Daniel, 1998. Menurut Pagiola 2008, program PSA telah populer di mata pemilik lahan di Costa Rica, dengan permintaan jauh melampaui batas ketersediaan pendanaan. Gambar 36 mengilustrasikan perkembangan daftar setiap tipe kontrak sejak 1998. Pada akhir tahun 2005, sekitar 270 000 ha terdaftar dalam program. Konservasi hutan merupakan kontrak yang lebih populer, mencakup areal hutan sekitar 91 sejak 1998, dan 95 terdaftar hingga akhir 2005. Hutan tanaman berkontribusi 5 dari total areal 4 pada akhir 2005 dan manajemen hutan berkelanjutan sekarang dihentikan untuk 4 dari total areal 1 pada akhir 2005, sedangkan kontrak agroforestry tidak tercatat secara signifikan. Program PDR dan PES belum populer diterapkan di Indonesia dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan, sementara penelitian terkait PDR dan PES juga masih terbatas. Enggel dan Palmer 2008 telah melakukan penelitian tentang kemungkinan penggunaan PES dalam kegiatan logging sebagaimana konsep yang ditawarkan seperti pada Gambar 37. Gambar 36. Total area di program PSA di Costa Rica Pagiola, 2008 Gambar 37. Konsep PES dan hasil dari interaksi komunitas – perusahaan Engel dan Palmer, 2008 Pada konsep Gambar 37 terdapat dua pembatas yang menghasilkan tiga potensial outcome hasil interaksi komunitas – perusahaan. Kemungkinan pertama, perusahaan dapat secara efektif mengontrol kapital dan sumberdaya hutan, Unprofitable logging Maximum logging profit net of variable cost Community cannot enforce rights-Logging takes place without community consent WA War of attrition Community can enforce rights- Logging negotiation succeed Community receives negotiated NF Negotiation failure Community wins potensial conflict Logging negotiations fail - Fores conservation Fixed logging cost C D I I E F A B II II Community’s per-period valuation of standing forest memproduksi kayu dengan tanpa melibatkan komunitas dan sedikit atau tidak memberikan imbalan pada komunitas areal I. Kemungkinan kedua, komunitas dapat menguatkan haknya atas hutan dan ini akan menghasilkan suatu negosiasi yang menghasikan kesepakatan antara komunitas dan perusahaan areal II. Kemungkinan ketiga, komunitas dapat menguatkan haknya atas hutan, tetapi valuasi tegakan hutan mungkin terlalu tinggi atau profit logging rendah, pada kondisi ini tidak ada kesepakatan antara komunitas dan perusahaan dalam menentukan outcome, sehingga negosiasi akan gagal areal III. 2. Mekanisme Implementasi PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan Penerapan PDR dan PES belum populer di Indonesia, dan di KBU belum diterapkan. Sebagai gambaran mekanisme implementasi PDR dan PES dalam perlindungan lahan pertanian dan hutan diadopsi dari hasil study literatur yakni PDR dari pengalaman di Amerika Serikat dan PES dari Costa Rica. Sebagaimana yang digambarkan Daniel 1998, mekanisme pelaksanaan PDR seperti terlihat pada Gambar 38. Selanjutnya Stein et al 2001 menyampaikan bahwa komunitas di AS telah melembagakan finansial publik yang dapat mendanai akusisi dan meniadakan hak-hak membangun dalam upaya melindungi lahan-lahan pertanian supaya lestari sekaligus memelihara pemandangan indah, habitat hidupan liar, fungsi DAS, dan opportunitas rekreasi. Melalui program PDR, publik menyediakan pembayaran secara tunai bagi pemilik lahan atas nilai hak membangunnya setiap persil lahan. Pemilik lahan tetap menjadi pemilik lahan, tetapi dikompensasi untuk melepaskan hak untuk membangunnya sebagai real estate. Sedangkan kegiatan pertanian dan penggunaan lainnya dari lahan dapat berkelanjutan. Untuk publik, program PDR memungkinkan banyak mengurangi biaya koservasi lahan, seperti biaya PDR lebih rendah daripada mengeluarkan hak pembayaran lahan, dan biaya berkaitan dengan manajemen berikutnya sisa lahan yang direspon pemilik lahan. Sementara itu menurut Pagiola 2008 mekanisme implementasi PES di Costa Rica dapat dijelaskan seperti Gambar 38. Mekanisme PES dimulai dengan pemilik lahan mengadakan kontrak dengan SINAC dan NGOs seperti FUNDECOR, FONAFIFO, dilanjutkan pemilik lahan menyampaikan rencana pengelolaan hutan lestari yang dipersiapkan oleh rimbawan berlisensi regante. Rencana tersebut menggambarkan usulan penggunaan lahan, dan mencakup informasi tentang tenure lahan dan kondisi fisik lahan meliputi topografi, tanah, iklim, drainase, penggunaan lahan aktual, dan kapasitas lahan dengan respek terhadap penggunaan lahan; rencana perlindungan hutan dari kebakaran, penebangan liar, dan pencurian, dan jadwal monitoring. Setelah rencana tersebut disetujui, pemilik lahan mulai melaksanakan rencana, dan menerima pembayaran. Pembayaran awal diperoleh pada saat kontrak ditandatangani, tetapi pembayaran tahunan selanjutnya dilakukan setelah dilakukan verifikasi atas kepatuhan dari kesepakatan oleh regente, dengan melakukan audit secara sederhana. Kontrak penanaman kayu selama lima tahun dibayar dengan rincian sebagai berikut, 50 dibayar pada tahun awal kontrak, 20 dalam tahun kedua, 15 dalam tahun ketiga, 10 dalam tahun keempat, dan 5 dalam tahun kelima. Kontrak ini meminta peserta PES secara terus menerus melaksanakan kesepakatan penggunaan lahan untuk 15 tahun. Gambar 38. Mekanisme Pelaksanaan PDR Penetapan sistem monitoring dan verifikasi kontrak yang dipercaya adalah bagian penting daripada sistem pembayaran. Monitoring dilakukan terutama oleh agen yang bertanggungjawab atas perjanjian dengan petani yakni SINAC, FUNDEFOR, dan para regente, dengan aturan audit untuk memverifikasi akurasi Pemilik Lahan Pemerintah Private Land Trust Menjual hak membangun di lahannya Pencatatan pd Akta kepemilikan lahan Easement conservation pada lahan yang dijual Menerima uang tunai Aturan penggunaan lahan monitoring. Dengan dukungan finansial Economarket Project, FONAFIFO telah membentuk database untuk jejak kepatuhan. Peserta yang tidak patuh akan kehilangan pembayaran selanjutnya. Sedangkan para regente yang salah melakukan sertifikasi dapat kehilangan lisensinya. Secara ringkas mekanisme implementasi PES seperti pada Gambar 39. Gambar 39. Mekanisme Pelaksanaan PES 3. Kepentingan penerapan PDR dan PES di KBU Kondisi ketersediaan dan kebutuhan air di KBU mengalami ketidak- seimbangan diindikasikan sudah lama. Sugiarto 1995, menyampaikan kondisi keseimbangan air bumi di wilayah pengembangan DAS Citarum Hulu yang masuk KBU sebagai berikut.  Wilayah Pengembangan Kota Bandung, kebutuhan air non pertanian mencapai 176,95 juta m 3 tahun, setara 5,61 m 3 detik, pelayanan oleh PDAM Bandung hanya memenuhi 12,3, sedangkan ketersediaan air permukaan Regente Rimbawan Penilai Pemilik lahanpetani Lembaga Publik Kontrak Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Lestari Rencana yang disetujui Pelaksanaan Kegiatan Pembayaran PES tahun1, 2 dst Membantu Penyusunan Rencana Monitoring dan Audit dari debit andalan sungai terdekat yakni Sungai Cikapundung hanya 0,85m 3 detik, sehingga pemenuhan air baku sangat kurang. Saat ini PDAM Bandung mendapatkan air baku dari S. Cisangkuy di Wilayah Banjar Soreang dengan debit 0,97 m 3 detik, S. Cikapundung 0,25 m 3 detik dan S. Cibeureum 0,04 m 3 detik, kapasitas ini hanya memenuhi 23,64 dari kebutuhan air non pertanian. Abstraksi airbumi untuk WP Kota Bandung diestimasi sebesar 161,10 juta m 3 tahun. Dengan ketersediaan airbumi dalam dangkal sebesar 54,59 juta m 3 tahun, maka estimasi abstraksi airbumi dalam sebesar 106,51 juta m 3 tahun.  Wilayah Pengembangan Lembang, kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar 16,69 juta m 3 tahun, kebutuhan industri 0,016 juta m 3 tahun, maka kebutuhan air non pertanian 16,70 m 3 tahun. Kebutuhan ini dipenuhi dengan ketersediaan mata air 2,52 juta m 3 tahun sedangkan kekurangannya dipenuhi dari air permukaan. Ketersediaan air permukaan di wilayah ini cukup melimpah yakni 43,20 juta m 3 tahun, tetapi perlu dipertimbangkan bahwa S. Cikapundung juga sebagai sumber air baku untuk Kota Bandung. Pengembangan di wilayah ini akan mempengaruhi ketersediaan air baku bagi Kota Bandung. Kebutuhan untuk air pertanian sebesar 21,23 juta m 3 tahun hanya dipenuhi dari air permukaan dengan sistem irigasi semi teknis dan tidak terjamin keandalannya karena tidak ada tandon yang mampu menampung air dalam jumlah yang cukup. Dengan ini pengelolaan DAS, penataan manajemen irigasi dan pola tanam yang cocok sangat perlu diharapkan pada DAS Cikapundung.  Wilayah Pengambangan Cimahi, merupakan WP tersempit tetapi mempunyai kepadatan dan aktivitas ekonomi yang tinggi. Kebutuhan air untuk rumah tangga sebesar 19,35 juta m 3 tahun, dipenuhi PDAM sebesar 2,21 juta m 3 tahun, berarti sebesar 17,14 juta m 3 tahun setara 0,543 m 3 detik dipenuhi dengan mengabstraksi airbumi dan memanfaatkan air permukaan sungai atau mata air. Kebutuhan industri sebesar 24,514 juta m 3 tahun dan ini sepenuhnya dipenuhi dengan mengabstraksi air bumi. Dengan demikian kebutuhan air non pertanian sangat tergantung kepada ketersediaan air bumi dan hal ini tidak diharapkan berlangsung terus karena tidak berwawasan lingkungan. Sedangkan ketersediaan air sungai hanya 1,83 juta m 3 tahun, ini jauh dari memadai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa WP Cimahi adalah WP yang paling berpotensi mengalami kritis air. Berdasarkan kondisi pada tahun 1995 tersebut, maka total kebutuhan air tidak akan dapat dipenuhi oleh ketersediaan air permukaan saja atau air bumi saja, tetapi mungkin dipenuhi dari keduanya dengan penggunaan konjungtif bersama dan dengan sistem pengelolaan sumberdaya terpadu. Dengan laju pembangunan di wilayah KBU yang tinggi, maka kemungkinan terjadinya defisit ketersediaan air di tiga wilayah pengembangan tersebut dewasa ini sangat tinggi. Kondisi demikian, maka memerlukan upaya segera untuk menahan laju pembangunan dengan melakukan encegahan perubahan penggunaan lahan. Salah satu upaya adalah melalui mekanisme insentif ekonomi diantaranya menggunakan model PDR dan PES. 4. Kemungkinan penerapan PDR dan PES di KBU Berdasarkan hasil studi pustaka, keberhasilan penerapan PDR di Amerika Serikat didasarkan pada kondisi 1 telah tumbuhnya kesadaran publik akan hilangnya makanan, daging dan serat sehingga merasa perlu melindungi petani dan lahannya; 2 berkembangnya kelembagaan finansial publik mendanai mencegah pembangunan di lahan pertanian; 3 adanya mekanisme referendum dalam menentukan pendanaan dan menghimpun dana publik; 4 kesadaran bayar pajak yang tinggi dan pengalokasian yang jelas untuk kegiatan PDR; tumbuhnya lembaga yang dipercayai masyarakat dan pemerintah seperti land trust yang memfasilitasi petani dalam menjual haknya dan proses penilaian easement; dan proses legislasi dan penganggaran dari pemerintah yang efektif dan efisien. Sementara itu keberhasilan penerapan PES di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah didasarkan pada kondisi 1 dukungan regulasi pemerintah dalam mendorong kegiatan konservasi melalui pemberian insentif; 2 kesadaran dan pengguna jasa lingkungan seperti perusahaan listrik, perhotelan, pariwisata dan perkebunan dalam mendukung upaya konservasi; 3 dana jasa lingkungan dikembalikan pada kegiatan konservasi secara akuntabel; dan 4 berjalannya mekanisme kontrak pengelola kawasan konservasi dengan pengguna jasa lingkungan Berdasarkan kondisi yang mendukung penerapan PDR dan PES di atas, untuk mengetahui kemungkinan penerapan di KBU yang berada di 4 wilayah pemerintah kabupatenkota yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi, hanya akan dilihat dari aspek dukungan kebijakan dan dukungan sumber dana dari APBD ke empat kabupatenkota tersebut. Dukungan Arah Kebijakan Terkait KBU KBU merupakan kawasan lintas administrasi, berada di Bagian Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Dengan demikian, berkaitan dengan arahan pemanfaatan lahan, minimal KBU mengacu pada produk tata ruang sebagai berikut:  Undang-Undang Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2007  Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010  Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bandung Utara, yang disusun Bappeda Propinsi Jawa Barat tahun 1998.  Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi 2010  Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2012  Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Perda No. 12 Tahun 2001  Kebijakan Operasional RUTR Kawasan Bandung Utara. Gambar 40. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah KBU Menurut RTRW Propinsi Jawa Barat Gambar 41. Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah KBU Menurut RTRW Kabupaten Bandung sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat Pada dasarnya KBU ini sudah mendapat perhatian sejak tahun 1982, sehingga arahan pemanfaatan lahannya tidak hanya dari keempat produk tata ruang di atas yang telah diacu. Kebijakan, peraturan dan perundangan baik yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan KBU terdapat 32 buah. Secara kronologis perkembangan kebijakan yang terkait dengan KBU dan tingkat efektivitas implementasinya dapat diuraikan sebagaimana tabel berikut. Tabel 58. Perkembangan Kebijaksanaan Terkait Dengan Pemanfaatan Lahan di KBU dan Tingkat Efektivitas Implementasinya No. Kebijaksanaan, Peraturan Perundangan Tujuan Substansi Pokok Tingkat Implementasi dan Permasalahan Pokok 1 2 3 4 5 1. SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624- Bappeda1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara Melindungi daerah imbuhan dalam rangka melestarikan potensi sumberdaya air, khususnya air tanah dalam bagi kepentingan PDAM Kabupaten dan Kotamadya Bandung a Ketinggian 750- 950 m dpl dibatasi perkem- bangannya, ketinggian 950 m dpl akan dihutankan dihijaukan kembali; b Penggolongan wilayah didasarkan pada kemiring-an lapangan; c Alokasi kemiringan lahan:  60 pertanian tanaman keras seperti perkebun- an karet, kopi, teh dan kina  25 hutan lindung  15 non pertanian tanaman keras, terma-suk permukiman kota dan pariwisata d Lampiran peta dengan skala 1 : 50.000 Tidak efektif karena:  Peruntukan lahan hanya dibatasi oleh kemiringan lereng, tidak didasarkan pada faktor fisik lain seperti kepekaan tanah terhadap erosi dan kondisi hidrologi serta faktor sosial ekonomi  Pembagian wilayah hanya didasarkan pada peta skala 1: 50.000, sehingga tidak detil. Akibatnya pada saat itu:  Masih adanya kawasan hutan produksi sekitar 6000 ha dengan sistem tebang habis;  Terdapat kawasan hutan produksi milik Perhutani dengan kelereng- an lebih 40 sekitar 15000 ha, yang seharusnya sbg hutan lindung 2. SK Gubernur KDH Tk. I Propinsi Jawa Barat No.640SK. 1625- Bappeda1982 tentang Pemberian Ijin Pembangunan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara Sebagai tindak lanjut dari SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624- Bappeda 1982 tentang Peruntukan Lahan di Instruksi Gubernur Jawa Barat kepada Pembantu Gubernur V, Walikotamadya Bandung dan Bupati Kab. Bandung untuk mengambil langkah-langkah pe-ngamanan, pengawasan serta meningkatkan Instruksi ini lebih bersifat “command and control”, kurang mampu mendorong masyarakat dan para Birokrat secara sadar melakukan kegiatan pembangunan sesuai dengan fungsi kawasan. Kurang efektifnya kebijakan Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara koordinasi dan seleksi dalam pemberian ijin pembangunan di Wilayah Inti Bandung Raya bagian Utara tercermin masih diterbitkannya ijin lokasi pembangunan perumahan seluas  2.900 ha. 3. SK Gubernur KDH Tk. I Propinsi Jawa Barat No. 146SK. 1626- Bappeda1982 tentang Perpanjang-an Tugas serta Penyempurnaan Ke-anggotaan Kelompok Kerja POKJA Pe- nyusunan Rencana Terperinci Pengem-bangan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara Sebagai tindak lanjut dari SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624- Bappeda198 2 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara; dengan mem-bentuk tim multidisiplin yang diharapkan mampu melakukan kajian yang menyeluruh dan terpadu mengenai berbagai aspek penataan ruang Tim POKJA Tim POKJA ini terdiri dari:  BAPPEDA Propinsi TK I Jawa Barat  Dinas PU Tk I Jabar  Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan GTL  ITB  Universitas Padjadjaran  Biro Hukum Setwilda Tk. I Jabar  Direktorat Agraria Propinsi Jawa Barat  BKSP Bandung Raya  BAPPEDA TK II Kabu-paten Bandung dan BAPPEDA TK II Kota Bandung  Lembaga Penelitian APDN Bandung POKJA ini hanya bertugas selama proses penyusunan rencana saja, sedangkan tahap operasional dan imple-mentasi rencana diserahkan kepada pihak Pemerintah Propinsi DT I Jabar serta Pemerintah Kab. Bandung dan Pemerintah Kotamadya Bandung. Tim Pokja ini juga tidak melibatkan unsur masyarakat, baik itu LSM maupun tokoh masyarakat. Akibatnya kegiatan pengen-dalian pemanfaatan ruang sesuai arahan Tim POKJA tidak berjalan efektif dan akibatnya arah pemanfaatan ruang hanya disesuaikan dengan kepentingan Pemerintahan masing-masing. 4. KEPPRES RI No. 32 1990 tetang Pengelolaan Kawasan Lindung Mencegah timbulnya kerusakan kualitas lingkungan hidup Pembagian Kawasan Lindung menjadi 4 kategori yaitu: 1. Kawasan yang melindungi kawasan bawahannya 2. Kawasan perlindungan setempat Tidak dapat diimplementasikan secara utuh karena belum dijabarkan lebih lanjut kedalam Peraturan Daerah Tingkat I dan Peraturan Daerah Tingkat II, yang disesuaikan dengan karakteristik KBU Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya 4. Kawasan Rawan Bencana 5. Rencana Umum Tata Ruang Daerah Tingkat II Kabupaten Bandung tahun 1992 Penjabaran lebih lanjut dari Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Kaitan dengan Kawasan Bandung Utara adalah rencana pengembangan jalur lingkar Utara yang menghubungkan Lembang dengan Kota Cileunyi. Dengan dibukanya Lembang dengan Cileunyi jalan lingkar Utara, maka kawasan di sepanjang jalur tersebut akan berpotensi untuk berkem-bang, padahal jalur tersebut termasuk dalam wilayah penyangga bagi Kota Bandung dimana perkemba-ngannya harus dibatasi secara ketat. 6. Undang-Undang No. 241992 tentang Penataan Ruang Dasar hukum tertinggi bagi Penyusunan Rencana Penataan Ruang di Indonesia Penyempurnaan pokok-pokok rencana penataan ruang di Indonesia yang disesuaikan dengan dinamika pembangunan bidang fisik, ekonomi dan sosial Petunjuk teknis UU ini pada saat itu masih menggunakan Permendagri No. 21987 tentang Pedoman Penyu- sunan Rencana Kota dan Kepmendagri No. 59 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Permendagri No.2 1987. 7. Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Perkotaan Bandung Utara Tahun 1993 Penjabaran lebih lanjut dari Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Sebagai revisi dari Rencana Induk Kota RIK Bandung 2005 Pembatasan pengembangan fisik di Wilayah Bandung Utara untuk ketinggian 750 m dpl; Rencana melakukan penghijauan di Wilayah Bandung Utara dan DAS Citarum Hulu. Fokus perumusan rencana masih pada permasalahan perkotaan; Belum mengacu kepada UUTR No. 241992. Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 8. Peraturan Pemerintah RI No. 511993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Dasar hukum bagi studi AMDAL Regional sebagai tindaklanjut dari KEPPRES No. 321990 Studi mengenai dampak penting usaha atau kegiatan yang direcanakan dalam suatu hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah dengan rencana umum tata ruang daerah dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instnasidinas Studi ini kurang efektif karena masih dianggap baik oleh Birokrat maupun Pelaksana sebagai syarat administrasi perijinan, bukan dijadikan landasn dalam pengendalian dampak lingkungan yang dilakukan. 9. Paket Deregulasi Oktober 1993 PAKTO 93 Meningkatka n peranserta swasta dalam investasi pembangunan , terutama dalam hal pembiayaan  Mempermudah proses dan prosedur ijin lokasi dengan memperpendek jalur birokrasi;  Ijin lokasi diberikan dalam waktu selambat- lambatnya 14 hari setelah diberikannya ijin prinsip. Karena kurang konsistennya terhadap ketentuan yang ada, maka telah terjadi lonjakan permohonan ijin lokasi pembangunan di Kawasan Bandung Utara. 10. Surat Edaran Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat No. 593 4335- Bappeda1993 perihal Pengendalian Penggunaan Laha di Kawasan Bandung Utara Sebagai salah satu langkah dalam mengan- tisipasi pengaruh pem- berlakuan PAKTO 93; Memperkuku h ketegasan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624- Bappeda 1982 Instruksi Gubernur Jawa Barat kepada Kakanwil BPN Propinsi Jawa Barat untuk memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kab. Bandung dan Kota Bandung agar untuk sementara tidak melaksanakan pemberian ijin lokasi pembangunan di Wilayah Inti Bandung Raya bagian Utara, sebelum dilakukan penelitian rinci detil oleh BAPPEDA Prop. Tingkat I Jawa Barat. Disamping karena desakan pertumbuhan dan perkembangan Metropolitan juga karena kurangnya koordinasi antar Pemerintah dan instansi, Perkembangan pembangunan fisik di Kawasan Bandung Utara tetap sangat pesat. Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 11. Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. B- 1073MENLH 61994 perihal Teknis Penyusunan Studi AMDAL Regional Kawasan Bandung Utara Tujuan Umum: Melin-dungi menjaga kualitas lingkungan hidup Tujuan Khusus: Per- siapan penyusunan studi Teknis penyusunan studi AMDAL Regional Kawasan Bandung Utara dikoordinir oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat melalui BAPPEDA Propinsi Jawa Barat dan diniliai oleh Komisi AMDAL Regional Meskipun sudah dilaksanakan studi AMDAL Regional kecenderungan pembangunan fisik di Kawasan Bandung Utara terus menerus meningkat’ hal ini menunjukkan bahwa studi AMDAL masih dipandang sebagai syarat administrasi kegiatan pembangunan fisik. 12. Surat Edaran Gub. Jabar No. 593.82 1174- Bappeda1994 perihal Permohonan Ijin Lokasi dan Pembebasan tanah di Kawasan Bandung Utara Sebagai salah satu langkah untuk mengan- tisipasi pengaruh pem- berlakuan PAKTO 93; Memperkuat ketegasan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624- Bappeda198 2 Proses dan prosedur yang harus diikuti adalah: a Pemberian ijin lokasi b Pengesahan Site Plan  Penelitian yang dipersyaratkan pada ijin lokasi dipenuhi dan menjadi acuan untuk penyusunan Site Plan  Site Plan disahkan Gubernur setelah mendapatkan rekomendasi BAPPEDA Propinsi Jawa Barat. c Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan:  Mengacu pada site plan  Teknis dan desain bangunan harus dikaji terlebih dahulu  Proses dan prosedur yang cukup panjang ini dalam upaya pengendalian pembangunan fisik tidak membuat terhentinya proses permintaan ijin lokasi dan proses pembangunan, khususnya yang diajukan oleh developer, terlihat dari perkembangan pembangunan fisik di Kawasan Bandung Utara yang telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan karena dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup, khususnya sumber daya air dan peneropongan bintang Boscha.  Permintaan ijin lokasi ini banyak yang berada di kawasan konservasi yaitu di Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 kawasan rawan gerakan tanah, aliran lahar Gn. Tangkuban Perahu, resapan air dan areal sempadan sungai dan sempadan mata air. 13. Surat Edaran Gub. Jabar No. 660 4244 Bappeda1994 tgl 31 Oktober 1994 tentang Pengamanan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara Sebagai salah satu langkah untuk mengan- tisipasi pengaruh pem- berlakuan PAKTO 93; Memperkuat ketegasan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624- Bappeda1982 Menginstruksikan kepada Bupati Kab. Bandung dan Walikotamadya Bandung untuk:Tidak memberikan ijin untuk sementara atau kegiatan lainnya di Wilayah Inti Bandung Utara; Memberikan persetujuan atas site plan setelah studi ANDAL disetujui Gubernur KDH Tk. I Prop. Jawa Barat; Melakukan pengawasan dan pengendalian pembangunan Melakukan tindakan atas pelanggaan Memberikan laporan berkala 1 bulan sekali kepada Gubernur KDH Tk. I Jabar dengan tembusan kepada Ketua Bappeda Prop. Jawa Barat. Dari sebanyak 109 ijin lokasi yang sudah diberikan hanya ijin yang dilengkapi studi AMDAL. Hal ini membuktikan bahwa efektivitas kebijakan pengendalian pemberian ijin masih rendah. 14. Peraturan Daerah Tk. II Kabupaten Bandung No.491995 tentang Rencana Tata Ruang Kota Lembang Tahun 1994 – 2004 Merupakan penjabaran dari RTRW Pro. Jawa Barat dan RTRW Kabupaten Bandung; dan sebagai antisipasi perkembang- an fisik di Kec.Lembang Rencana pembatasan perkembangan fisik di Kecamatan Lembang sebagai bagian dari KBU; dengan Peta Peruntukan Lahan di Kawasan Lindung skala 1 : 100.000  Belum disyahkan Gubernur KDH TK. I Prop. Jawa Barat hingga saat ini.  Skala peta dianggap masih terlalu kecil, shg informasi yang tersaji belum lengkapdetil. Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 15. RUTR Kotif Cimahi Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Bandung Merupakan penjabaran dari RTRW Prop. Jawa Barat dan RTRW Kabupaten Bandung; dan sebagai antisipasi perkembanga n fisik di Kotif Cimahi. Rencana pembatasan perkembangan fisik di Kotif Cimahi sebagai bagian dari KBU; dengan Peta Peruntukan Lahan di Kawasan Lindung skala 1 : 100.000  Belum disyahkan Gubernur KDH TK. I Prop. Jawa Barat hingga saat ini.  Skala peta dianggap masih terlalu kecil, sehingga informasi yang tersaji belum lengkapdetil. 16. RUTR Padalarang Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Bandung Merupakan penjabaran dari RTRW Prop. Jawa Barat dan RTRW Kabupaten Bandung; dan sebagai antisipasi per- kembangan fisik di Kec. Padalarang. Rencana pembatasan perkembangan fisik di Kecamatan Padalarang sebagai bagian dari KBU; dengan Peta Peruntukan Lahan di Kawasan Lindung skala 1 : 100.000  Belum disyahkan Gubernur KDH TK. I Prop. Jawa Barat hingga saat ini.  Skala peta dianggap masih terlalu kecil, sehingga informasi yang tersaji belum lengkapdetil. 17. Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No.B- 582MENELH 041995 perihal Persiapan Pelaksanaan Studi AMDAL Bagi Kawasan Bandung Utara. Tujuan umum: Melindungi menjaga kualitas lingkungan hidup Tujuan khusus: Per- siapan penyusunan studi AMDAL Regional KBU 18. Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No.B- 755MENELH 051995 perihal Ketentuan AMDAL Bagi Kawasan Bandung Utara. Tujuan umum: Melindungi menjaga kualitas lingkungan hidup Tujuan khusus: Per- siapan 1 AMDAL Regional perlu disusun oleh seluruh pemrakarsa yang merencanakan pembangunan di KBU; 2 Wilayah studi Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 penyusunan studi AMDAL Regional KBU AMDAL Regional mencakup kawasan dalam batasan yang telah ditetapkan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624-Bappeda 1982; 3 Selama studi AMDAL Regional KBU masih dalam proses penyusunan; 4 pemrakarsa pembangunan di kawasan ini harus menang- guhkan kegiatan pem- bangunannya; 5 Hasil studi AMDAL Regional ini menjadi salah satu ketentuan teknis pembangunan selanjutnya. 19. SK Gubernur KDH Tk, I Propinsi Jawa Barat No. 616SK.1619- Huk1995 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penanggulangan Air Cekungan Bandung Tidak lanjut Surat MNHL RI No.B-755 MENELH 051995 perihal Ketentuan AMDAL Bagi KBU. Persiapan studi Penang- gulangan Kelangkaan Air Cekungan Bandung Tim t terdiri dari: Pengarah: 1. Ketua BAPPEDA Jawa Barat. 2. Kakanwil Dep PU Jawa Barat POKJA: 1. Ketua: Ka. Dinas PU Pengairan Tk.I 2. Wakil: Ka. Dinas Pertambangan Tk. I 3. Sekretaris: Kasudin Eksploitasi dan Tim POKJA hanya aktif pada saat pelaksanaan penyusunan studi Penanggulangan Kelangkaan Air Cekungan Bandung. Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 Pemeliharaan Dinas PU Pengairan Tk.I Jawa Barat 4. Anggota: a. Kabid Fisik dan Prasarana BAPPEDA Tk. I Jawa Barat b. Ka Biro LH Setwilda Tk I c. Unsur Direktorat GTL d. Unsur Dinas Pertambang- an Tk I e. Unsur Dinas Perindustrian Tk. I f. Unsur Dinas PU Tk I g. Unsur Kanwil PU Propinsi h. Unsur Kanwil Perindustrian Propinsi i. Unsur Ahli Geologi Lingkungan j. Unsur Pemanfaat Air 20. Studi Penanggulangan Kelangkaan Air Cekungan Bandung Tahun 1996 Tindak lanjut SK Gubernur KDH Tk, I Propinsi Jawa Barat No. 616SK.1619- Huk1995 tentang Pembentukan Pokja Penanggulang an Air Cekungan Bandung Hasil studi menemukan dan merekomendasi- kan: a Pembangunan terorganisir dalam skala besar masih diijinkan pada ketinggian 900 m dpl; b Penetapan zona konservasi air tanah dalam; Masih sebatas studi saja, produknya tidak dijadikan produk hukum atau kebijakan dalam bentuk peraturan daerah, sehingga tidak memberikan dampak terhadap pengendalian pembangunan KBU. Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 c Pemanfaatan air tanah dalam bagi kegiatan industri dibatasi dan digantikan oleh air permukaan. 21. Surat Edaran Gub. Jabar No. 912 333 Bappeda1996 perihal Penanganan Kegiatan Pembangunan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara Sebagai salah satu langkah untuk mengan- tisipasi pengaruh pemberlakuan PAKTO 93; Memperkuat ketegasan SK Gubernur KDH Tk I Jawa Barat No.181.1 SK 1624- Bappeda1982 Instruksi Gubernur kepada Bupati Kabupaten Bandung dan Walikotamadya Bandung agar: a Tidak memberikan ijin baru baik berskala besar developer atau individu, kecuali apabila rencaa pembangunan tersebut mempunyai kepentingan nasional dan dilaksanakan oleh Pemerintah; b Kegiatan pembangunan yang telah memperoleh maupun yang sedang diproses ijin pembangunannya serta yang sedang dalam taraf membangun dan sudah dibangun diharuskan:  Diteliti lebih detail mengenai keberadaan lokasi disesuaikan dengan pembagian ekosistem A, B dan C; Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5  Masing- masing diharuskan memenuhi persyaratan AMDAL. Pelaksanaan pembangun- an harus diberhentikan terlebih dahulu sebelum memperoleh hasil kajian lebih lanjut. 22. Peraturan Daerah Tk. I Jawa Barat No. 21996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Jawa Barat Merupakan penjabaran lebih lanjut dari KEPPRES No. 321990 Kriteria penentuan atau klasifikasi masing-masing kawasan lebih diperinci secara kuantitas Besaran masing- masing kriteria belum spesifik; Kriteria penentuan atau klasifikasi masing-masing kawasan yang terperinci secara kuantitas yang ada baru untuk fisik, sosial ekonomi belum. 23 . Analisis Dampak Lingkungan AMDAL Regional Bandung Utara yang disusun pada tahun 1997 Menghasilka n pedoman pengendalian pemba- ngunan dan perkem- bangan di KBU Inti dari hasil AMDAL ini adalah: 1. Kajian terhadap kondisi lingkungan dan perkembangan lingkungan KBU; 2. Telaah dan proyeksi terhadap rencana pembangunan lingkungan KBU; 3. Telaan dan proyeksi atas tekanan perkembangan Metropolitan Bandung 4. Kajian kemampuan lembaga; Belum selesai disusun, sementara tuntutan kebutuhan terhadap adanya solusi terhadap permasalahan lingkungan di Bandung Utara dirasakan semakin mendesak. Hal ini selain menunjukkan kompleksitas permasalahan dan banyaknya kepentingan berbagai pihak, juga masih kurang seriusnya Pemerintah Propinsi dalam menangani masalah KBU. Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 5. Penyusuan panduan pengelolaan lingkungan Bandung Utara; 6. Penyusunan panduan peningkatan lembaga terkait. 24. Metropolitan Bandung Utara Development Project MBUDP, disusun mulai tahun 1994 dan revisi terakhir selesai tahun 1997 Mempersiap- kan proyek program pembangunan perkotaan untuk Wilayah Metropolitan Bandung 1. Membatasi ekspansi pertumbuhan di Bandung Utara daerah konservasi dengan pengaturan pembatasan infrastruktur; 2. Membatasi prasarana transportasi untuk melindungi dan melestarikan sumber daya air; 3. Prioritas air bersih untuk Kawasan Bandung Utara: 4. Kota Bandung di Ujungberung dan Cibeunying; 5. Kabupaten Bandung di Padalarang, Lembang, Cimahi dan Cileunyi. Karena titik fokus studi ini masih pada programproyek pembangunan prasarana dan sarana fisik untuk wilayah perkotaan saja, maka dampak secara langsung dalam pengendalian pertumbuhan Kawasan Bandung Utara kuramng terasa. 25. Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 6501704Bap tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang, 14 Agustus 2004 Merupakan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang SE ini berisi:  Melaksanakan pengamatan yang meliputi monitoring dan evaluasi;  Tindakkan penertiban;  Melaksanakan penyesuaian  Melaksanakan rehabilitasi dan konservasi lahan. Kurang efektif karena mekanisme perijina tetap menjadi kewenangan Bupati Walikota Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 26 Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No.6502530PR LH tentang Penertiban Pemanfaatan Ruang, 18 Agustus 2004 Merupakan upaya dalam mengendalika n ijin pemanfaatan ruang Surat edaran ini berisi:  Tidak memberikan ijin pemanfaatan ruang  Meninjau kembali ijin pemanfaatan ruang yang sudah diterbitkan  Melaksanakan Surat Edaran No. 6501704Bap 27 Peraturan Daerah No. 14 Tahun 1998 tentang Bangunan di Wilayah Kodya DT II Bandung Peraturan ini memuat ketentuan administrasi, ketentuan arsitektur, ketentuan teknis bangunan, persyaratan keamanan bangunan, infrastruktur bangunan, pelaksanaan pembangunan, rumah susun, pembangunan rumah sederhana, pedoman teknis pembangunan rumah sangat sederhana, grais sempadan jalan, pengairan dan sungai 28 Perda No.2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung Mewujudkan visi Kota Bandung sebagai Kota Pendidikan, Pusat Pemerintahan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan. Kebijakan ini diantaranya memuat tentang:  Mengembangkan kawasan lindung minimal 10 dari luas lahan;  Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui perijinan, pengawasan dan penertiban;  Kebijakan ini tidak menyinggung sebagian wilayahnya merupakan bagian KBU;  Pengendalian pemanfaatan ruang tidak memuat dalam upaya mendorong masyarakat untuk menggunakan Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5  Pengenaan sanksi yang sesuaitepat efektif untuk setiap pelanggaran rencana tata ruang. lahannya sesuai dengan fungsinya secara sukarela, tapi lebih bersifat sistem command and control;  Pengenaan sanksi yang tidak jelas;  Akibatnya tidak mendukung KBU 29 Perda Kab. Bandung No. 23 Tahun 2001 tentang Perubahan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2001 RTRW Kabupaten Bandung Memaksimalk an pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya sesuai dengan fungsinya Kebijakan ini diantaranya memuat tentang:  Dengan jelas mempertegas kawasan lindung dan non budidaya sebagai kawasan konservasi  Pengelolaan kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahnya; kawasan perlindungan setempat dan kawasan suaka alam hayati dan cagar alam, kawasan hutan pelestarian, dan pengelolaan kawasan rawan bencana. Sudah cukup baik, namun tidak mendorong pemilik lahan milik melakukan upaya konservasi sehingga penerapannya tidak efektif 30 Peraturan Daerah No.23 Tahun 2003 tentang RTRW Kota Cimahi Dengan keterbatasan wilayah Kota Cimahi Memaksimal- kan pemanfaatan kawasan lindung dan kawasan budidaya sesuai dengan fungsinya Membagi pemanfaatan ruang di wilayah Kota Cimahi menjadi 11 jenis pemanfaatan yaitu hutan konservasilindung, perlindungan setempat sempadan sungai, perumahan, CBD, kawasan industri dan pegudangan, kawasan wisata rekreasi air,  Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahannya tersebut dialokasikan di luar kawasan konservasi KBU, tetapi justru dialokasikan sebagai kawasan perumahan.  Kondisi tersebut, menunjukkan Tabel 58 lanjutan 1 2 3 4 5 kawasan militer, kawasan perdagangan dan jasa, fasilitas pendidikan, taman, RTH, TPU, komplek stasiun kereta api, dan TPA sampah. kebijakan Kota Cimahi tidak mendukung KBU 31 Undang-Undang No. 262007 tentang Penataan Ruang Dasar hukum tertinggi bagi Penyusunan Rencana Penataan Ruang di Indonesia, pengganti UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Penyempurnaan dari Undang-Undang No. 24 tahun 1992  Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.  Sudah mencantumkan mekanisme pemberian insentif dan disinsentif, diharapkan dapat mendorong penerapan di KBU 32 Perda No. 54 Tahun 2008 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-20013 Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera Pemerintah Jawa Barat merencanakan kawasan lindung seluas 45 dari luas wilayah daratan pada tahun 2010. Rencana pencapaian tersebut ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi RTRWP Jawa Barat 2010 Perda No. 2 Tahun 2003, hasil revisi RTRWP sebelumnya yang ditetapkan melalui Perda No. 3 Tahun 1994. Dalam RTRW tahun 1994 Mendukung perkembangan kawasan konservasi KBU, dengan penetapan kawasan lindung 45. Belum mengacu pada Undang- Undang No. 262007, sehingga perlu dilakukan penyesuaian. Berdasarkan hasil analisis kebijakan di atas, kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah KabupatenKota di KBU, masih bersifat normatif dan legalistik, melalui mekanisme perijinan pembangunan yang tidak diikuti mekanisme pemberian insentif. Kondisi ini telah menyebabkan kurang efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang KBU, mengingat sekitar 54 merupakan lahan milik private, khususnya dalam mengarahkan pengguna lahan land user untuk tidak melakukan konversi guna lahan berfungsi lindung seperti mengkonversi penggunaan tanaman keras menjadi perumahan maupun untuk berperilaku konservasi dalam pengelolaan lahannya. Menurut Zhang dan Laband 2004, seperti halnya upaya-upaya reforestasi lahan milik di Amerika Serikat, regulasi kawasan lindung lebih cenderung berbentuk command and control dalam mengarahkan perilaku pengguna lahan, sehingga siapa yang diatur harus mengikuti regulasi dan sekaligus ia membayar pengeluaran biaya transaksi seperti kertas kerja dan inspeksi, dan biaya penghijauan. Pada akhirnya regulasi tersebut berimplikasi pada kelayakan finansial pemilik lahan. Dampak ekonomi dari regulasi kawasan lindung ini terutama berkaitan dengan perubahan keuntungan ekonomi bagi pemilik lahan baik margin intensif maupun margin extensif pada operasi penggunaan lahannya. Kedua margin inilah yang sebenarnya mendorong terjadinya perubahan dalam memutuskan guna lahannya. Margin extensive akan mengarahkan lahan ditransfer dari penggunaan lahan dengan nilai terendah ke penggunaan lahan dengan nilai tertinggi. Sementara margin intensive akan mengarahkan penggunaan lahan pada penggunaan lahan yang memiliki biaya terendah. Akibatnya implementasi regulasi kawasan lindung ini menjadi tidak efektif. Dalam mengimbangi hal tersebut maka diperlukan mekanisme ekonomi yakni pemberian insentif ekonomi. Selain itu, kebijakan yang dibuat di atas tidak mempertimbangkan faktor lokasi KBU sendiri yang memiliki kedekatan terhadap pusat-pusat pertumbuhan, sehingga keputusan penggunaan lahan oleh pemilik lahan private yang cenderung pada harga tertinggi yakni permukiman. Penerapan zonasi pun dalam kebijakan tersebut belum diterapkan. Dengan terbitnya UU No.262007 tentang Penataan Ruang, arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi, telah memberi peluang kepada Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijakan yang lebih mendorong pemilik lahan private secara voluntery melalui mekanisme insentif ekonomi dan pembagian zonasi kawasan. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, telah diatur mengenai mekanisme pemberian insentif dan disinsentif yang meliputi bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif pasal 170 sampai dengan pasal 181. Dalam pengaturannya dijelaskan tentang bentuk insentif berupa fiskal dan non fiskal, pemberian insentif dari pemerintah kepada pemerintah daerah, insentif dari pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya, dan insentifdisinsentif dari pemerintahpemerintah daerah kepada masyarakat. Pemberian insentif dari pemerintah kepada pemerintah daerah pasal 172 berupa subsidi silang, kemudahan perizinan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang diberikan pemerintah, penyediaan sarana dan prasarana di daerah, pemberian komensasi, penghargaan dan fasilitas, dan atau publikasi atau promosi daerah. Pemberian insentif dari pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya berupa pemberian kompensasi dari pemerintah daerah penerima manfaat kepada pemerintah daerah pemberi manfaat atas manfaat yang diterima oleh daerah penerima manfaat. Sedangkan pemberian insentif dari pemerintahpemerintah daerah kepa masyarakat berupa pemberian keringanan pajak, pemberian kompensasi, pengurangan retibusi, imbalan, sewa ruang, urun saham, penyediaan saranaprasarana, dan kemudahan perizinan. Pengenaan disinsentif merupakan kebalikan dari pengenaan insentif dalam pemanfaatan ruang. Namun kelemahan UU No. 262007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 152010 tersebut dalam implementasi PDR dan PES adalah sebagai berikut:  Peranan pemerintah masih dominan dalam pengendalian penggunaan lahan;  Belum memberikan tempat untuk mendorong inisiasi masyarakat dalam berpartisipasi dalam penerapan mekanisme insentif;  Sumber dana masih mengandalkan anggaran pemerintah, belum menggali secara maksimal sumberdana dari masyarakat;  Belum ada mekanisme masyarakat dalam memutuskan terkait dengan kawasan lindung misalnya mekanisme referendum;  Belum mengatur peniadaan mekanisme pembelian hak membangun dalam suatu lahan dan pembelian jasa lingkungan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dari aspek kebijakan pemerintah, masih belum memberikan landasan yang kuat dalam penerapan PDR dan PES dalam pemberian insentif di KBU. Namun demikian, UU No.262007 dan PP No.152010 tersebut dapat menjadi acuan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah KabupatenKota untuk melakukan review atas kebijakan RTRW masing-masing, serta melakukan inovasi yang kondusif dalam mencegah perubahan guna lahan di KBU. Dukungan Dana APBD Pemerintah KabupatenKota di KBU Komitmen pemerintah dalam mencegah perubahan guna lahan di KBU akan tercermin dari Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah KabupatenKota. Adapun kebijakan APBD di 3 kabupatenkota tahun anggaran 2008 yakni APBD Kabupaten Bandung, APBD Kota Bandung dan APBD Kota Cimahi, seperti diuraikan berikut. Kebijakan Umum APBD Kota Bandung TA 2008 Berdasarkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Kota Bandung dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung yang ditetapkan tanggal 8 Oktober 2008 dengan Nomor : 910 2493 – Bapp 910 628 – DPRD terdapat 9 program pembangunan Kota Bandung yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah RKPD tahun 2008, terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengelolaan KBU, senilai Rp87 631 298 814 seperti terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 59. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Bandung TA 2008 No Program Kegiatan Sasaran ProgramKegiatan Target SKPD Pagu Indikatif Rp 1 2 3 4 5 6 1 Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya Terehabilitasinyaterpelih aranya: jaringan irigasisaluran penggelontoran kota; bangunan airbendung Dinas Pengaira n 1 943 080 000 2 Program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau dan sumberdaya air lainnya Terkendalinya kawasan daerah tangkapan airmata air, sungai dan anak sungai. Dinas Pengaira n 1 384 000 000 3 Program pengendalian banjir Tertanggulanginya sungai dan anak sungai pasca bencana alam banjirlongsor 2150 m 2 Dinas Pengaira n 1 734 178 814 4 Program peningkatan kualitas dan penertiban bangun bangunan Meningkatnya jumlah bangunan yang memiliki IMB Dinas Banguna n 66 745 495 000 5 Program pengendalian pemanfaatan ruang Meningkatnya ketertiban pemanfaatan ruang: terciptanya penyusunan dan penetapan peraturan daerah tentang RDTRK dan IPPT, meningkatnya peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang dan tersedianya Perda tentang RDTR 100 Dinas Tata Kota 879 700 000 6 Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau  Meningkatnya kualitas dan kuantitas penataan dan pemeliharaan RTH Kota Bandung Dinas Pertaman an dan Pemaka man 11 225 000 000  Meningkatnya upaya- upaya pencegahan pengalihan RTH dan mengembalikan secara bertahap fungsi RTH yang beralih fungsi  Terwujudnya proporsi RTH Tabel 59 lanjutan 1 2 3 4 5 6 7 Program pengendalian pencermaran dan perusakan lingkungan hidup Meningkatnya kualitas air sungai 30 BPLH 2 135 000 000 8 Program perlindungan dan konservasi sumber daya alam Terjaganya sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan suistanable Sumber daya air tanah kawasa n Kota Bandun g BPLH 775 000 000 9 Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup Meningkatnya kualitas informasi dan terciptanya sistem informasi lingkungan yang mudah diakses 1 sistem informa si BPLH 809 845 000 Bertambahnya pengetahuan masyarakat dalam bidang pengelolaan lingkungan 100 orang, 30 kader BPLH Meningkatnya kapasistas masyarakat lingkungan 5 sekolah BPLH Total APBD Terkait Lingkungan 87 631 298 814 Sumber: KU APBD Kota Bandung TA 2008 Berdasarkan data pada tabel di atas, komitmen pemerintah Kota Bandung terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah terlihat, namun lebih kepada dukungan aktivitas SKPD dalam mengendalikan kawasan lindung dan tidak mendorong masyarakat secara sukarela melakukan upaya-upaya konservasi melalui pemberian insentif untuk mencegah perubahan lahan pertanian maupun tidak mendorong menanam pohon di lahannya, dan pengembangan RTH hanya di lakukan di lahan publik. Dengan memiliki anggaran sebesar Rp87 631 298 814 tersebut sebenarnya dapat dijadikan sumber dana dalam penerapan PDR maupun pemberian insentif penanaman pohon di lahan milik pertanian di KBU yang termasuk wilayah Pemerintah Kota Bandung secara bertahap. Implementasi PDR untuk lahan milik di KBU seluas 2945 ha yang termasuk wilayah Kota Bandung, yang digunakan sebagian untuk mencegah konversi lahan menjadi bangunan selama 20 tahun senilai Rp773 249 596,510 lihat Tabel 50 melalui pembelian hak membangun pemilik lahan secara bertahap, maka selama 20 tahun Pemerintah Kota Bandung memiliki kontribusi dalam mempertahankan keuntungan manfaat hidrologis sebesar Rp499 398 418 274. Atau memberi insentif bagi penanam pohon di kawasan lindung di KBU yang masuk wilayah Kota Bandung, selama 22 tahun sebesar Rp9 295 964 per ha, maka akan berkontribusi dalam mempertahankan total manfaat hidrologi sebesar Rp10 623 206 824 441,79 dari kawasan lindung seluas 28.452,50 ha. Kemudian Pemerintah Kota Bandung pun belum memiliki dana subsidi silang bagi daerah hulu sebagai sumber air minum yakni wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Padahal dana subsidi silang tersebut diperlukan guna mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di – upland – yakni masyarakat Kabupaten Bandung dan Kabupate bandung Barat yang dituduh penyebab mahalnya biaya eksternalitas – dan masyarakat di lowland – yakni masyarakat Kota Bandung yang memikul biaya. Dana tersebut juga dapat digunakan untuk mendorong Pemda Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat untuk tetap mempertahankan sebagian besar ruangnya menjadi kawasan lindung, dengan berkontribusi dalam membantu pembelian hak membangun maupun membantu memberi uang sewa bagi penanam pohon di lahan milik. Kebijakan Umum APBD Kota Cimahi TA 2008 Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor: 4 Tahun 2008 tanggal 14 April 2008, program tekait dengan pengelolaan lingkungan hidup berada pada SKPD Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Tata Kota senilai Rp18 957 456 150. Tabel 60. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kota Cimahi TA 2008 No Program Kegiatan Kegiatan SKPD Pagu Indikatif Rp 1 2 3 4 5 1 Program Pengembangan Kinerja Pengelonaan Persampahan 1 Penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan persampahan Dinas Lingkungan Hidup LH 1 160 000 000 2 Peningkatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana persampahan Dinas LH 90 000 000 3 Pengembangan teknologi pengolahan persampahan Dinas LH 225 000 000 4 Bimbingan teknis dan persampahan Dinas LH 100 000 000 5 Peningkatan kemampuan aparat pengelolaan persampahan Dinas LH 100 000 000 6 Kerjasama pengelolaan sampah antar daerah Dinas LH 300 000 000 7 Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan Dinas LH 100 000 000 Jumlah 2 075 000 000 2 Program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup 1 Koordinasi penilaian kota sehatAdipura Dinas LH 670 472 000 2 Program pemantauan kualitas lingkungan Dinas LH 870 000 000 3 Kegiatan pengelolaan B3 dan limbah B3 Dinas LH 275 000 000 4 Kegiatan pengkajian dampak lingkungan Dinas LH 100 000 000 5 Kegiatan pengembangan produksi ramah lingkungan Dinas LH 85 000 000 6 Kegiatan koordinasi penyusunan AMDAL Dinas LH 200 000 000 7 Kegiatan peran serta masyarakat dalam pengendalian lingkungan hidup Dinas LH 200 000 000 Jumlah 2 400 472 000 3 Program perlindungan dan konservasi sumberdaya alam 1 Konservasi sumberdaya air dan pengendalian sumber- sumber air Dinas LH 400 000 000 2 Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan Dinas LH 500 000 000 3 Kegiatan peningkatan konservasi daerah tangkapan air dan sumber-sumber air Dinas LH 1 700 000 000 Tabel 60 lanjutan 1 2 3 4 5 4 Kegiatan konservasi energi bahan bakar ke tenaga surya Dinas LH 65 000 000 Jumlah 2 665 000 000 4 Program Peningkatan kualitas dan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup Dinas LH 350 000 000 5 Program Peningkatan pengendalian polusi 1 Kegiatan pengujian emisi kendaraan bermotor Dinas LH 740 000 000 6 Program pengelolaan RTH 1 Kegiatan penataan ruang terbuka hijau Dinas LH 700 000 000 2 Kegiatan pemeliharaan ruang terbuka hijau Dinas LH 500 000 000 Jumlah 1 200 000 000 7 Program Pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan lainnya 1 Kegiatan pelaksanaan normalisasi saluran sungai Dinas Tata Kota 1 756 137 725 2 Kegiatan rehabilitasi pemeliharaan jaringan irigasi Dinas Tata Kota 335 913 600 3 Kegiatan rehabilitasi pemeliharaan normalisasi saluran sungai Dinas Tata Kota 279 726 350 Jumlah 2 371 777 675 8 Program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau dan sumberdaya air lainnya 1 Pengembangan embung dan bangunan penampung air lainnya Dinas Tata Kota 3 945 482 550 9 Program lingkungan sehat perumahan 1 Kegiatan penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar terutama bagi masyarakat miskin Dinas Tata Kota 3 209 723 925 Total 18 957 456 150 Sumber: Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor: 4 Tahun 2008 Dari kondisi anggaran Kota Cimahi, komitmen pemerintah Kota Cimahi dalam mempertahankan lahan produksi pertanian untuk tidak dikonversi belum nampak, tetapi dalam pengelolaan lingkungan hidup sudah nampak. Namun demikian dana APBD untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup lebih kepada dukungan aktivitas SKPD dalam mengelola lingkungan hidup dan belum dalam kerangka mendorong masyarakat secara sukarela untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka prospek untuk implementasi PDR dengan membeli hak membangun di lahan pertanian belum mendapatkan dukungan dari APBD Kota Cimahi. Namun apabila sebagian dari anggaran di dua SKPD tersebut digunakan sebagian untuk mencegah konversi lahan menjadi bangunan selama 20 tahun senilai Rp288 026 193 149 lihat Tabel 50 melalui pembelian hak membangun pemilik lahan seluas 1.111 ha di KBU secara bertahap, maka Kota Cimahi memiliki kontribusi dalam mempertahankan keuntungan manfaat hidrologis sebesar Rp159 252 569 182. Atau memberi insentif bagi penanam pohon di kawasan lindung milik untuk tetap menjaga sumber daya air tanah Kota Cimahi. Seperti halnya Pemda Kota Bandung, Pemerintah Kota Cimahi pun belum memiliki dana subsidi silang bagi daerah hulu sebagai sumber air minum yakni wilayah Kabupaten Bandung Barat. Padahal dana subsidi silang tersebut diperlukan guna mengatasi keseimbangan dan guna mengurangi konflik antara masyarakat di – upland – yakni masyarakat Kabupaten bandung Barat yang dituduh penyebab mahalnya biaya eksternalitas – dan masyarakat di lowland – yakni Kota Cimahi yang memikul biaya. Dana tersebut juga dapat digunakan untuk mendorong Pemda Kabupaten Bandung Barat untuk tetap mempertahankan sebagian besar ruangnya menjadi kawasan lindung. Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bandung TA 2008 Berdasarkan Rencana Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008, bahwa program tekait dengan rencana penataan ruang, pengelolaan lingkungan hidup dan masalah pertanian dan kehutanan berada pada tiga SKPD yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan senilai Rp23 709 633 650, dengan rincian sebagai berikut. Tabel 61. Program Kegiatan dan Pagu Indikasi Pada APBD Kabupaten Bandung TA 2008 No Program Kegiatan Kegiatan SKPD Pagu Indikatif Rp 1 2 3 4 5 1 Program Perencanaan Tata Ruang BAPPEDA 950 031 300 2 Program perencanaan prasarana wilayah dan sumberdaya alam BAPPEDA 321 458 250 3 Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam BAPPEDA 182.060.100 4 Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup 1 Koordinasi penilaian Kota SehatAdipura BPLH 54 000 000 2 Pemantauan kualitas lingkungan BPLH 574 950 000 3 Pengawasan pelaksanaan kebijakan bidang lingkungan hidup BPLH 135 000 000 4 Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian BPLH 100 000 000 5 Monitoring, evaluasi dan pelaporan BPLH 35 505 000 Jumlah 899 455 000 5 Program Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Alam, 1 Konservasi Sumberdaya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber- Sumber Air BPLH 155 00 000 2 Peningkatan konervasi daerah tangkapan air dan sumber-sumber air BPLH 200 000 000 Tabel 61 lanjutan 1 2 3 4 5 3 Pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistem BPLH 35 000 000 Jumlah 390 000 000 6 Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup BPLH 100 000 000 7 Program peningkatan pengendalian polusi BPLH 425 000 000 8 Program Peningkatan ketahanan pangan pertanianperkebunan 1 Penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan 258 170 000 2 Pengembangan intensifikasi tanaman padi, palawija Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan 604 885 000 3 Pengembangan pertanian pada lahan kering Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan 96 650 000 4 Penyusunan database potensi produk pangan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan 122 238 000 Jumlah 1 081 943 000 9 Program rehabilitasi hutan dan lahan 1 900 000 000 10 Program Pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi. Rawa dan jaringan pengairan lainnya Dinas Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi 13 539 146 000 11 Program pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan SDA lainnya Dinas Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi 3 920 540 000 Total 23 709 633 650 Sumber: Rencana Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Tentang Perubahan APBD TA 2008 Dari kondisi anggaran Kabupaten Bandung, komitmen pemerintah Kabupaten Bandung terkait dengan mempertahankan lahan produksi pertanian untuk tidak dikonversi belum muncul, tetapi dalam pengelolaan lingkungan sudah terlihat. Namun dana APBD untuk kegiatan pengelolaan lingkungan lebih kepada dukungan aktivitas SKPD dalam mengelola lingkungan hidup dan belum mendorong masyarakat secara sukarela untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka prospek implementasi PDR dengan membeli hak membangun di lahan pertanian belum mendapatkan dukungan dari APBD Kabupaten Bandung. Namun apabila sebagian dari anggaran di tiga SKPD tersebut digunakan sebagian untuk mencegah konversi lahan menjadi bangunan selama 20 tahun senilai Rp338 842 229 439 lihat Tabel 50 melalui pembelian hak membangun pemilik lahan seluas 2.184 ha di KBU secara bertahap, maka Kabupaten Bandung memiliki kontribusi dalam mempertahankan keuntungan manfaat hidrologis sebesar Rp746 523 426 182, dan memiliki surplus sebesar Rp407 681 197 151. atau memberi insentif bagi penanam pohon di kawasan lindung milik untuk tetap menjaga sumber daya air tanah dan DAS sehat Kabupaten Bandung. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bandung akan berdampak pada ketersediaan sumber air bagi daerah bawahannya yakni Kota Bandung.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Rangkuman Sintesa Temuan

KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari satuan wilayah pengembangan SWP Bandung, maka secara lokal, wilayah KBU telah tersusun atas kota-kota dengan hirarki yang berorientasi pada hirarki tertinggi orde pertama yakni Kota Bandung, dengan hirarki-hirarki yang lebih rendah yakni sebagai tempat pengumpulan hasil pertanian, pusat pemerintahan lokal, pusat pelayanan skala lokal dan pusat pendidikan. Konsekwensi dengan berkembangnya Kota Bandung menuju kota metropolitan, telah terjadi pertumbuhan hirarki kota di KBU yang berdampak pada sistem penggunaan lahan di KBU, yang diikuti perubahan guna lahan dari pertanian ke perumahan dan dari perumahan ke pusat kegiatan kota, serta kondisi struktural deferensiasi penggunaan lahan yang bercirikan kedesaan yang semakin mengecil, sehingga tingkat transformasi struktur penggunaan lahan yang semakin meningkat. Dalam kondisi struktur ruang KBU sebagai kawasan lindung yang sudah memiliki ciri kekotaan tersebut, telah mendorong terjadinya peningkatan harga tanah, maka pengendalian pemanfaat ruang tidak cukup melalui Peraturan Daerah yang cenderung bersifat command and control, namun memerlukan mekanisme ekonomi melalui pemberian kompensasi atas perbedaan harga jual tanah dengan nilai harapan tanahnya atau mengganti atas hilangnya keuntungan akibat mempertahankan lahannya ditanami pohon atau kompensasi dalam melakukan upaya konservasi. Model insentif yang menjadi alternatif pilihan adalah model PDR melalui pembelian hak membangun senilai selisih harga jual tanah pertanian setempat dengan NHT lahan pertanian, dan model PES melalui pemberian sewa penanaman pohon dalam jangka waktu tertentu sebesar perbedaan NHT lahan hutan dengan NHT optimumnya. Sebagai dasar penetapan kelayakan pemberian insentif ekonomi tersebut adalah manfaat hidrologis.