Implementasi Penerapan PDR dab PES di KBU

96 dimana; PDR = Nilai hak membangun Rpm 2 NLRt = Nilai jual tanah pada zona guna lahan Rpm 2 NHTp = Nilai harapan tanah pertanian Rpm 2 Sebagai ukuran efektivitas penerapan PDR adalah nilai manfaat hidrologi yang telah di- discounting NART HAd , oleh karena itu maka pembelian hak membangun diizinkan apabila NART HAd PDR.

7. Analisis Penentuan Besarnya Nilai insentif Penanam Pohon PES

Penggunaan NHT hutan pinus produksi dalam penentuan besarnya pemberian insentif bagi penanam pohon untuk menanam pohon di lahannya, diasumsikan bahwa nilai produktivitas pohon lainnya sama dengan pohon pinus. Oleh karena itu petani akan menanam pohon dan tidak menebangnya apabila mendapatkan kompensasi dari NHT tertinggi yang akan diperoleh jika mengusahakan kayu dan getah pinus selama daur produksinya, dengan rumus sebagai berikut: PES = NHT HS – NHT Hop .....................................................................................19 dimana; PES = Nilai jasa lingkungan hutan Rpha NHT HS = Nilai harapan tanah hutan tahun sewa Rpha NHT Hop = Nilai harapan tanah hutan optimum Rpha Sedangkan manfaat hidrologis yang diterima publik dari tidak menebang pohon tersebut adalah NART HAd dalam waktu tidak terbatas. Oleh karena itu penentuan efektivitas lamanya pohon disewa pada saat selisih NART HAd dengan PES tertinggi.

8. Implementasi Penerapan PDR dab PES di KBU

Kemungkinan penerapan PDR dan PES akan dilihat dari dua aspek yakni aspek kebijakan terkait KBU dan aspek penyediaan anggaran APBD di 4 kabupatenkota yang ada di KBU yakni Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Dari aspek kebijakan akan dibandingkan dengan prasyarat bisa diterapkannya PDR dan PES di negara-negara yang telah menggunakannya. Sementara dari aspek APBD, ingin melihat peluang APBD sebagai sumberdana pembelian hak membangun dan pemberian insentif penanaman pohon.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Struktur Ruang Kawasan Bandung Utara KBU

1. Hirarki Perkotaan di KBU

Akibat kedekatannya dengan Kota Bandung yang berdasarkan Pola Dasar Pengembangan Jawa Barat dan Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat 2010 ditetapkan sebagai salah satu Pusat Pertumbuhan Utama yang jangkauan pelayanannya mencakup skala nasional, maka KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah. Sebagai bagian dari pusat satuan wilayah pengembangan SWP Bandung, maka secara lokal, wilayah KBU tersusun atas kota-kota dengan hirarki yang berorientasi pada hirarki tertinggi orde pertama yakni Kota Bandung, dengan hirarki yang lebih rendah yakni sebagai pusat pelayanan skala lokal. Meskipun dalam arahan kebijakan Pemerintah Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 bahwa penentuan pusat pertumbuhan wilayah ini selain didasarkan pada kecenderungan kegiatan sosial ekonomi, juga mempertimbangkan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada wilayah pusat pertumbuhan tersebut, namun Kota Bandung sebagai kota orde pertama memiliki pengaruh seluas SWP, sehingga tidak terhindarkan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di KBU. Sebenarnya hal ini telah disadari oleh perencana Kota Bandung sejak Zaman kolonial Hindia Belanda, sehingga Kota Bandung yang lahir pada tahun 1906 pada masa Pemerintah Hindia Belanda bukan dibangun sebagai pusat kegiatan ekonomi tetapi dirancang sebagai tempat permukiman dan peristirahatan buitenzorg kaum kolonial dengan menggunakan konsep “Garden City”. Konsep ini pertama kali diformulasikan oleh Ebenezer Howard yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten dalam mendesain Kota Bandung. Konsep “Garden City” tersebut memiliki karakteristik utama BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998b, hal. I-2 yaitu kontrol terhadap seluruh pemilikan lahan, desain yang seksama terhadap keseluruhan