13
lahan dewasa ini. Sedangkan Jayadinata 1999 menyatakan bahwa faktor yang menjadi penentu dalam pola guna lahan adalah 1 perilaku masyarakat social
behavior dan 2 faktor ekonomi.
Supply lahan dalam pandangan fisik selalu dipertimbangkan sebagai hal yang tetap dan terbatas. Namun supply lahan secara ekonomi tergantung pada supply fisik,
faktor kelembagaan, ketersediaan teknologi, dan lokasinya. Supply ekonomi mungkin dibatasi sebagai unit lahan yang memasukan kekhususan dalam merespon terhadap
rangsangan, seperti harga dan kelembagaan. Pemilik lahan dalam menentukan tipe dan intensitas penggunaan lahannya tergantung pada harga lahan yang akan diperoleh
per hektar. Dewasa ini supply lahan menggambarkan praktek utilisasi, ketersediaan ekonomi sekarang, dan kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan demand
Hubacek dan Jose Vazquez, 2002. Berdasarkan kondisi tersebut, pada saat supply masih cukup luas, maka
demand menjadi tidak terbatas. Menurut Hubacek dan Jose Vazquez 2002, demand lahan dibedakan atas dua kategori yang berbeda yakni direct demand dan derived
demand . Direct demand lahan dikatakannya sebagai demand lahan yang digunakan
langsung untuk konsumsi lahan, diarahkan oleh sinyal pasar bahwa konsumer menjadi land user, seperti petani, yang memberikan kepuasan terhadap demand bagi
barang dan jasa sekarang. Namun demand kedua yakni derived demand, yang merupakan demand secara umum dimana konsumen meminta produk, sementara
produser men-supply lahan sebagai faktor produksi. Mekanisme supply dan demand tersebut akan menentukan pola penggunaan lahan. Menurut Sugiharto 2006, pola
guna lahan secara fisik yang dimaksud adalah upaya dalam meningkatkan pemanfaatan, mutu, dan penggunaan lahan untuk kepentingan penempatan suatu atau
beberapa kegiatan fungsional sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan dan kegiatan usaha secara optimal ditinjau dari segi sosial ekonomi, sosial budaya, fisik,
dan secara hukum.
B. Hirarki dan Sistem Perkotaan
Pembentukan kota, hirarki dan sistem perkotaan diawali dengan terbentuknya wilayah pasar. Konsep dan model dasarnya merupakan perkembangan dari
14
pengorganisasian spasial dari wilayah pasar satu produk satu produsen monopoli sampai organisasi spasial dari produksi bermacam barang dan banyak produsen
sehingga membentuk susunan hirarki spasial di suatu tempat terpusat Dicken dan Lloyd, 1990. Kerangka konsep sederhana dalam menjelaskan proses terbentuknya
wilayah pasar tersebut dikenal dengan Central Place Theory CPT. Dasar memahami CPT sesungguhnya berasal dari konsep tentang aglomerasi
ekonomi yang pengertian umumnya yang menurut Nugroho dan Dahuri 2004 sebagai perolehan keuntungan ekonomi akibat dua atau lebih produsen bergabung
dan berdekatan secara spasial, dan menurut Nuryadin et al 2007, ekonomi aglomerasi merupakan daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi.
Selanjutnya dikatakan Nugroho dan Dahuri 2004 bahwa setidaknya ditemukan dua gejala besar didalam aglomerasi berkaitan dengan wilayah pasar, yaitu 1
bertemunya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang berbeda, sehingga wilayah pasar setiap produsen cenderung menyatu, dan 2 bertemuanya dua atau lebih aktivitas
ekonomi yang sama, sehingga memungkinkan terbentuknya pasar baru yang lebih besar. Kedua keadaan ini secara umum berimplikasi terhadap pembatasan tumbuhnya
jumlah kota, penekanan kebutuhan infrastruktur, dan identifikasi dan pencarian mekanisme aglomerasi terhadap aktivitas ekonomi yang lain. Konsekwensi dari
aglomerasi ini adalah terbentuknya hirarki yang tediri dari kota besar, kota sedang dan kota kecil. Sementara Dicken dan Llyod 1990 menyebutkan tipe aglomerasi
dibedakan dalam dua hal yakni lokalisasi ekonomi dan urbanisasi ekonomi. Menurut Nugroho dan Dahuri 2004, yang harus dicatat bahwa teori ini baru
memperhitungkan tentang kegiatan dari industri tersier pelayanan jasa untuk menempatkan lokasi dari tempat sentral tersebut. Asumsi teori ini melalui
penyederhanaan suatu dunia nyata, dimana wilayah pasar adalah datar flat plane dan sumberdaya alam dan penduduk tersebar dengan merata dan pekerjaan penduduk
adalah semua petani homogen. Dengan demikian menurutnya, CPT ini sulit diterapkan di wilayah dengan sistem perkotaan karena faktor-faktor yang
mempengaruhinya lebih kompleks dari asumsi yang dijelaskan CPT, tetapi keadaan wilayah dan ekonomi perdesaan yang belum banyak tersentuh sektor modern tipe
wilayah homogen tampaknya dapat dijelaskan oleh CPT. Adapun wilayah dengan
15
sektor modern yang dapat dianalisis oleh CPT adalah distribusi sektor jasa atau pusat perbelanjaan di kota. Selanjutnya Nuryadin et al 2007, mengatakan aglomerasi
menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan, semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya,
sehingga daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan
Menurut Sinulingga 2005, CPT dapat digunakan untuk merumuskan bagaimana hubungan antara tempat sentral dengan wilayah pengaruhnya hinterland serta
merumuskan bagaimana hirarki dari tempat sentral. Dengan menggunakan CPT, menurut Sinulingga, Walter Christaler telah menentukan hirarki kota-kota dalam
suatu wilayah dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota.
Untuk melakukan analisis sistem perkotaan dewasa ini yang lebih kompleks telah berkembang berbagai metode diantaranya metode survei, metode gravitasi,
metode peringkat dan metode gugus. Yang membedakan keempat metode ini adalah cara pengamatan dan variabel yang diamati Nugroho dan Dahuri, 2004. Selain
keempat metode tersebut juga terdapat metode Purnomosidi yang dikembangkan oleh Dr. Purnomosidi yang menurut Sinulingga 2005 telah melakukan penelitian hirarki
perkotaan di Indonesia dengan mengamati aliran barang dari kota ke kota. Dalam pembahasannya dinyatakan bahwa pada satuan wilayah pengembangan SWP
terdapat hirarki kota-kota dengan sebutan orde kota yaitu orde 1, orde 2, dan seterusnya. Kota orde 1 adalah kota yang tidak berada dibawah subordinansi kota-
kota lainnya. Disamping itu kota orde 1 perlu menguasai fasilitas distribusi yang lengkap termasuk pelabuhan. Orde 2 berada dalam subordinasi orde 1, sedangkan
orde 3 berada dalam subordinasi orde 2, demikian selanjutnya. Untuk kepentingan di Indonesia, ciri masing-masing orde kota dapat
dijelaskan pada Tabel 2, susunan orde kota dalam satu SWP terdapat pada Gambar 3. Menurut Sinulingga 2005, manfaat mengetahui hirarki perkotaan ialah untuk
deliniasi wilayah menjadi SWP-SWP yang mana dalam satu SWP kota orde I mempunyai wilayah pengaruh seluas SWP, sedangkan kota orde II mempunyai
16
wilayah pengaruh pada sebagian dari satu SWP yang dinamakan wilayah pengembangan partier WPP.
Tabel 2. Ciri-Ciri Orde Kota
Orde Kota Ciri-Ciri
1 2
Kota Orde I 1. Kedudukan sebagai ibukota negara atau pusat-pusat pembangunan
nasional atau ibukota provinsi 2. Jangkauan pelayanan 100 – 500 km
3. Jumlah penduduk 250 ribu sampai 5 juta 4. Terletak pada jalan nasional
5. Mempunyai fasilitas pelayanan yang lengkap termasuk pelabuhan laut 6. Terdapat kegiatan perindustrian yang besar dan modern, jasa
perdagangan termasuk ekspor dan impor, perbankan internasional 7. Terdapat pelayanan-pelayanan lainnnya dalam sakala nasional seperti
universitas, rumah sakit besar, dan sekaligus bandara nasional maupun internasional.
Kota Orde II 1. Ibukota propinsi, atau dan pusat pengembangan wilayah, atau kota besar
2. Jangkauan pelayanan 50 – 100 km 3. Jumlah penduduk 100 – 500 ribu
4. Berorientasi ke kota orde I dengan fasilitas yang kurang lengkap
dibanding orde I 5. Terletak pada jalan nasional atau jalan provinsi
6. Memiliki terminal penumpang, memiliki perusahaan industri terutama agro industri
7. penyedia tenaga kerja, serta fasilitas jasa seperti perbankan dan pasar 8. memiliki pelayanan rumah sakit, dan sekolah-sekolah menengah umum,
ataupun kadang-kadang universitas. Kota Orde III 1. Ibukota kabupaten atau kota administratif
2. Jangkauan pelayanan 15 – 50 km 3. Jumlah penduduk 20 – 100 ribu
4. berorientasi ke kota ode II 5. terletak pada jalan propinsi atau jalan kabupaten sebagai kota
6. berfungsi penghubung perdesaan dan perkotaan, melayani kebutuhan perdesaan dan merupakan pusat wilayah perdesaan yang terbesar
7. memiliki beberapa pelayanan yang sering dilakukan walaupun tidak tiap hari seperti pasar, penyimpanan produksi, penyortiran produksi
pertanian, juga termasuk jasa keuangan, perdagangan, pertukaran barang, jasa pengangkutan.
8. Jasa lain ialah pendidikan, kesehatan, sosial, dan administrasi Kota Oede IV 1. Ibukota kecamatan
2. Jangkauan pelayanan 7,5 – 15 km 3. Jumlah penduduk 5 – 20 ribu
4. berorientasi ke kota orde III 5. terletak pada jalan kabupaten
17
Tabel 2 lanjutan
1 2
6. berfungsi sebagai pelayanan langsung jasa distribusi barang-barang kebutuhan perdesaan yang diperoleh dari kota orde di atasnya, dan
tempat mengumpulkan hasil-hasil dari daerah perdesaan dan membawanya ke kota orde di atasnya
7. tersedia pasar kecil dan fasilitas penyimpanan sementara hasil-hasil pertanian.
8. terdapat fasilitas pendidikan formal ataupun informasl. Sumber: Sinulingga, 2005
Gambar 3. Susunan Orde Kota Dalam Satuan Wilayah Pengembangan SWP Sinulingga, 2005
C. Pola Guna Lahan Kota