Semua faktor-faktor penentu tersebut menurut teori agensi pada dasarnya membuat informasi yang dimiliki oleh pemberi dan penerima pinjaman menjadi
sepadan sehingga resiko ingkar janji dan salah pilih agen serta biaya transaksi dapat diperkecil.
4.1 Karakteristik PDB HTR, karakteristik petani, aset yang dimiliki
petani, dan karakteristik lapangan Perlunya karakteristik para pihak diketahui karena karakteristik akan
menentukan penerimaan mereka terhadap suatu program dan perlakuan yang sebaiknya diterapkan secara tepat. Perbedaan karakteristik individu akan
berhubungan dengan persepsi, proses adopsi, maupun perilaku komunikasi Maksum 1994, hal ini dikuatkan oleh pendapat Verone et al. 2006; Nugroho
2011, yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan adalah kaitannya atau tingkat kesesuaian antara kebijakan dan situasi
kelompok sasaran, dalam hal ini adalah masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan sebagai salah satu sasaran implementasi PDB HTR.
4.1.1 Karakteristik PDB HTR
Pinjaman untuk hutan tanaman secara umum memiliki karakteristik, yaitu: 1 jangka waktu pinjaman panjang selama 5 sampai 8 tahun tergantung tanaman
yang diusahakan, 2 resiko kredit sangat tinggi karena tanaman rentan terkena hama penyakit, mudah terpengaruh oleh gangguan alam dan manusia seperti
kemarau, kebakaran hutan, dan pencurian. Selain 2 hal tersebut, pinjaman PDB HTR memiliki karakteristik tambahan, yaitu: 1 tanpa ada jaminan karena
jaminan hanya berupa tegakan yang dibiayai, 2 pinjaman cukup besar yaitu Rp.68 juta per 8 Ha Rp 8.5 juta x 8 Ha, dan 3 tidak ada pendanaan dari
penerima pinjaman self financing.
Berdasarkan karakteristik pinjaman tersebut lembaga keuangan formal seperti Bank dan PT ASKRINDO Asuransi Kredit Indonesia yang ditemui di
lokasi penelitian tidak mau membiayai ataupun menjamin pinjaman untuk pembangunan hutan tanaman. Hal ini karena kedua lembaga keuangan tidak mau
mengambil resiko atas gagalnya pengembalian PDB HTR, karena dikhawatirkan mengganggu kinerja portofolio kredit yang mereka miliki.
BRI
4
mempunyai persepsi dan sikap terhadap PDB HTR sebagai berikut; 1 BRI menganggap bahwa sektor kehutanan tidak prospektif untuk dibiayai,
terlebih apabila penerima pinjaman tidak memiliki usaha sampingan, dan hanya mengandalkan tanaman hutan maka resiko kredit macet akan tinggi, 2 resiko
macetnya PDB HTR akan meningkat apabila tidak ada pembinaan, pendampingan, bimbingan teknis maupun pemasaran yang intensif, serta evaluasi
yang kontinyu.
Menurut BRI skema atau mekanisme pinjaman untuk pengembangan tanaman kehutanan disarankan sebagai berikut: 1 pengembalian disesuaikan
dengan waktu panen, 2 besarnya pinjaman harus disesuaikan dengan kemungkinan pengembalian berdasarkan harga kayu, 3 harus ada perusahaan
yang menjamin kerugian jika terjadi gagal panen, dan 4 dana pinjaman tidak dikeluarkan sekaligus tetapi harus bertahap sesuai dengan keperluan.
PT ASKRINDO mempunyai persepsi yang sama mengenai pinjaman untuk hutan
tanaman, walaupun PT ASKRINDO belum mempunyai pengalaman memberikan asuransi pinjaman yang berkaitan dengan pembangunan hutan tanaman, tapi PT
ASKRINDO sudah menyatakan tidak bersedia menjamin pinjaman tersebut. PT ASKRINDO memiliki persepsi dan sikap bahwa sektor kehutanan, khususnya
penanaman, tidak prospektif untuk dijamin, hal ini karena tanaman hutan memiliki resiko yang tinggi untuk gagal seperti tanaman mati karena hama dan
penyakit, kayu tidak ada yang beli, kelebihan stok over stock sehingga harga murah, dan karakteristik tanaman hutan yang merupakan barang hidup
memerlukan perhatian yang khusus, jika hal tersebut tidak dilakukan maka peluang gagal usaha cukup besar.
Selain itu PT ASKRINDO beranggapan bahwa masyarakat masih memiliki pola pikir mind set bahwa program pinjaman yang berasal dari
pemerintah
5
adalah pinjaman hibah sehingga tidak perlu dikembalikan, dengan demikian niat untuk mengembalikan pinjaman sangat kecil, disisi lain penerima
pinjaman yang berniat untuk mengembalikan pinjaman tidak memiliki insentif
4
Kepala Unit BRI di Baserah, Kabupaten Kuansing Provinsi Riau, April 2009
5
PT ASKRINDO mempunyai pengalaman buruk yang berkitan dengan kredit yang berasal dari program pemerintah yaitu KMKP Kredit Modal Kerja Permanen, dimana PT ASKRINDO
hampir bangkrut akibat kemacetan yang terjadi pada program tersebut.
yang cukup karena tidak ada penghargaan terhadap penerima pinjaman yang taat. Tidak adanya hukuman atau sanksi terhadap penerima pinjaman yang menunggak
di masa lalu menjadi disinsentif terhadap penerima pinjaman yang baik berkaca dari pengalaman KUK DAS dan KUHR.
Besarnya tunggakan atas pinjaman akan mempengaruhi portofolio Bank dimana portofolio pinjaman merupakan perbandingan pinjaman yang belum
dilunasi outstanding dibagi dengan tunggakan. Jika hasilnya dari 3 maka bagus, jika hasilnya dari 3 maka jelek, implikasinya jika nilai portofolio
kredit suatu unit Bank dari 3, maka unit Bank yang bersangkutan tidak mempunyai hak untuk memutuskan debitur yang berhak diberi pinjaman juga
tidak mempunyai hak untuk menyalurkan pinjaman. Kegiatan yang diperbolehkan hanya menerima angsuran dan menagih pinjaman, oleh karena itu maka setiap
Bank selalu menjaga agar kredit macet tidak terlalu besar atau kurang dari 3.
Berdasarkan keterangan Kepala Pusat BLU Pusat P2H, PT ASKRINDO tidak mau menjamin PDB HTR karena PDB HTR nilainya sangat besar 2.5
milyar
6
rupiah sedangkan maksimum penjaminan oleh PT ASKRINDO adalah 500 juta rupiah. BLU Pusat P2H terus mengupayakan supaya PDB HTR
memperoleh penjaminan dari APBN seperti pinjaman KUR Kredit Usaha Rakyat yang berjalan saat ini, namun upaya tersebut belum membuahkan hasil
sehingga kredit yang sudah tersalur tidak dijamin. 4.1.2 Karakteristik Petani
Terdapat beberapa karakteristik petani calon penerima dan penerima PDB HTR, yaitu: 1 karakteristik penerima pinjaman bervariasi, 2 pengalaman kredit
investasi minim, 3 kemampuan manajerial rendah kapasitas, 4 aset yang dimiliki beragam, dan 5 karakteristik informasi sulit karakteristik pasar.
4.1.2.1 Karakteristik petani
Perbedaan karakter individu akan berhubungan dengan persepsi, proses adopsi, maupun perilaku komunikasi Maksum 1994. Berdasarkan hasil
penelitian karakteristik petani di tiga lokasi penelitian berlainan. Seperti terlihat pada Tabel 5.
6
2,5 milyar berasal dari luas maksimum areal HTR yang dikelola oleh KTH dan Koperasi yaitu 300 Ha 300 Ha x Rp. 8.5 juta
Tabel 5 Perbandingan karakteristik petani di 3 lokasi penelitian Aspek
Propinsi Riau Propinsi
Kalimantan Selatan
Propinsi Jabar Umur
16-65 tahun
91 65,36 usia 15-54 tahun
92 81,55-nya usia 15-54 tahun
96 74,07-nya usia 15-54 tahun
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah 26
5 -
SD 52
63 33
SLTP 13
16 18
SLTA 8
12 37
≥ Diploma I 1
4 12
Menanam pohon 100 tidak
sendiri tapi oleh RAPP
59 sendiri tidak dimasukan
karena mata pencaharian utama
adalah budidaya tanaman pertanian
non kayu Rencana
menanam pohon 64 jika
mempunyai lahan dan Modal
70 jika mempunyai lahan
dan modal tidak dimasukan
karena mata pencaharian utama
adalah budidaya tanaman pertanian
non kayu Perkumpulan
yang diikuti 89,32 ikut
kelompok tani 58,82 ikut
kelompok tani 100 kelompok
tani Sumber: Analisis data primer
Dari Tabel 5 di atas dapat diketahui karakteristik dari masing-masing petani di tiga lokasi. Dilihat dari sisi umur, ketiga lokasi penelitian sama-sama
memiliki kepala keluarga yang masih produktif usia 15 sampai 65 tahun, sehingga dari sisi umur bekerja cukup mendukung, namun dari penyerapan ilmu
dan teknologi akan berkaitan. Menurut Padmowihardjo 1994 kemampuan umur untuk belajar bagi seseorang berkembang secara gradual semenjak dilahirkan
sampai dewasa. Seseorang pada usia 15 sampai 25 tahun akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi belajar, jika diberi bimbingan dalam
pembelajaran yang baik. Kemampuan ini akan berkembang dan tumbuh maksimal sampai usia 45 tahun. Kemampuan belajar akan berkurang setelah usia
55 sampai 60 tahun.
Dari sisi pendidikan sebagian besar responden di Propinsi Kalimantan Selatan dan Riau memiliki pendidikan tingkat dasar 50, dan tidak
berpendidikan 26 di Propinsi Riau dan 5 di Propinsi Kalimantan Selatan, sedangkan pendidikan tinggi lebih banyak dicapai oleh petani di Propinsi Jawa
Barat.
Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku.
Proses pembentukan watak terjadi karena adanya interaksi antara potensi yang dimiliki seseorang intelegensi, bakat, lingkungan dan pendidikan atau
pengajaran Padmowihardjo 1994. Lunandi 1993 menyatakan bahwa melalui pendidikan terjadi suatu proses perubahan perilaku seseorang yang dipengaruhi
oleh sikap, pengetahuan, dan keterampilannya, melalui pendidikan pula seseorang dapat dibina dan dikembangkan potensinya agar menjadi manusia yang mampu
berfikir, bersikap dan bertindak atas kekuatan sendiri dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, mampu memelihara harga diri, mampu bertanggung-jawab
atas cara ia bereksistensi. Walaupun demikian pendidikan yang dimaksudkan di atas tidak hanya pendidikan formal namun termasuk pendidikan non formal.
Dalam penelitian ini pendidikan formal dijadikan sebagai acuan karena yang paling mudah terukur.
Keterlibatan dominasi petani di lokasi penelitian dalam perkumpulan di desanya merupakan salah satu modal sosial. Hal ini menunjukkan adanya
kepercayaan terhadap sesama warga di desanya sehingga bersedia untuk bergabung dan berinteraksi dengan warga yang lainnya membentuk hubungan
sosial. Hubungan sosial untuk mencapai keuntungan bersama tersebut dapat terjalin karena dilandasi oleh sikap kooperatif, keinginan untuk melibatkan diri,
akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kepentingan bersama dan munculnya keyakinan bahwa kerjasama akan mendatangkan keuntungan Cohen
dan Prusak 2001; Vipriyanti 2007. Modal sosial ini merupakan modal yang sangat penting dalam mengelola dan melancarkan program PDB HTR.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sebelum melaksanakan program PDB HTR, salah satu aspek yang harus dipertimbangkan agar program
tersebut berjalan dengan lancar adalah pemahaman mengenai karakteristik masyarakat di mana program PDB HTR itu akan diterapkan. Pemahaman
mengenai karakteristik sangat diperlukan karena karakteristik individu sangat berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku seseorang Rakhmat 1996.
4.1.2.2 Pengalaman kredit investasi minim Pengalaman responden petani dalam kaitannya dengan pengalaman untuk
kredit investasi khususnya hutan tanaman dapat dikatakan tidak ada. Tujuan peminjaman yang dilakukan oleh responden di Propinsi Riau bervariasi yaitu:
59 pinjaman digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, 5 untuk modal usaha atau dagang, 4 untuk berobat, 7 untuk biaya sekolah, 7 untuk membayar
arisan, 6 untuk membayar kredit di tempat lain, 6 untuk keperluan mendesak dan sisanya untuk lain-lain. Dari jenis pinjaman tersebut dapat dikatakan bahwa
dominasi pinjaman hanya untuk kebutuhan sehari-hari dan tidak berkaitan dengan kredit investasi hutan tanaman. Dari situasi ini faktor pengalaman kredit
diprediksi akan menentukan kemampuan dalam pengelolaan dan penggunaan dana yang akan diterima dari PDB HTR.
Pinjaman dalam jumlah yang besar seperti PDB HTR Rp. 68.255.2008 HaKepala Keluarga membutuhkan pengalaman dan pengetahuan mengenai
pengelolaan keuangan. Berdasarkan hasil penelitian, responden di Propinsi Riau biasa melakukan pinjaman dengan jumlah pinjaman dibawah Rp. 100.000 sebesar
43, 44 pinjaman Rp. 100.000 sampai Rp. 500.000, 7 pinjaman Rp. 500.000 sampai Rp 1 juta, 4 pinjaman Rp 1 juta sampai Rp. 2 juta, dan hanya
2 yang melakukan pinjaman di atas Rp. 2 juta. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa jumlah pinjaman 87 responden paling besar Rp. 500.000.
Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah pinjaman yang besar belum tentu tepat diberikan kepada petani dengan karakteristik pinjaman kecil, hal ini rentan untuk
disalahgunakan oleh yang bersangkutan. Untuk itu pendampingan oleh BLU Pusat P2H mengenai penggunaan dana sangat diperlukan.
Sama halnya dengan petani di Propinsi Riau, petani di Propins Kalimantan Selatan juga tidak memiliki pengalaman pinjaman untuk pembangunan hutan.
Tujuan peminjaman 44 untuk modal usaha atau dagang, 27 untuk kebutuhan sehari-hari, 5 untuk biaya sekolah, 4 untuk berobat, 1 untuk bayar utang ke
tempat lain, 3 untuk transportasi, 1 untuk arisan, 2 untuk kebutuhan mendesak, dan 13 untuk keperluan lainnya renovasi rumah dan sebagainya.
Jumlah pinjaman yang dipinjam relatif tidak besar karena hanya berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp. 500.000 27, kurang dari Rp. 100.000 memiliki
persentase 18, antara Rp. 500.000 sampai Rp. 1 juta sebanyak 22, 14 antara Rp. 1 juta sampai Rp. 2 juta, dan 19 lebih dari Rp. 2 juta. Karakteristik petani
di Propinsi Kalimantan Selatan tidak jauh berbeda dengan karakteristik kredit petani di propinsi Riau, dimana dominasi tujuan pinjaman bukan untuk investasi
di bidang hutan tanaman melainkan untuk modal usaha dagang. Jumlah pinjaman juga tidak terlalu besar dimana dominasi jumlah pinjaman 1 juta. Kedua
karakteristik kredit antara petani di 2 propinsi menunjukkan bahwa pendampingan mengenai cara mengelola uang menjadi penting untuk dilakukan, sehingga uang
yang diperoleh dipergunakan sesuai dengan tujuan peminjaman yaitu investasi hutan tanaman.
Secara ringkas akses kredit petani di dua lokasi penelitian yaitu di Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbandingan akses kredit di Propinsi Riau dan Kalimantan Selatan No
Aspek Propinsi Riau
Propinsi Kalimantan Selatan
1 Tujuan Peminjaman
59 pinjaman untuk keperluan sehari-hari
44 untuk modal usahadagang, 27
untuk kebutuhan sehari- hari
2 Jumlah dana yang
dipinjam 87 max pinjaman
Rp. 500.000 43 Rp.100.000
45 max pinjaman Rp. 500.000, 22 antara Rp
500.000 – Rp. 1.000.000
Sumber: Analisis data primer Mubyarto et al. 1993 menyatakan bahwa kredit memegang peranan
penting dalam upaya membantu meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan khususnya yang termasuk kelompok miskin, namun demikian tidak dapat
dikatakan bahwa kredit akan mampu memecahkan segala masalah bila petani tidak bisa memanfaatkannya secara efisien, bahkan justru sebaliknya bisa menjadi
titik awal segala masalah karena utang akan menjerat petani yang tidak dapat mengelola dana.
Menurut Wijaya 2002, kredit yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah ketepatan waktu dan jumlah yang dipinjam. Artinya bahwa
penerimaan pinjaman memerlukan waktu yang tepat dan juga jumlah yang tepat pula, karena kalau jumlah yang diberikan terlalu kecil tidak dapat memenuhi
kebutuhannya, dan apabila terlalu besar maka akan dipergunakan untuk tujuan lainnya. Sehingga kredit dalam jumlah yang besar tanpa prakondisi atau
bimbingan dalam menggunakan dana tidak tepat jika diberikan kepada petani dengan karakteristik meminjam dalam jumlah kecil.
Dalam kaitannya dengan frekuensi meminjam di lokasi penelitian di Propinsi Riau 49 responden sangat sering meminjam lebih dari 6 kali setahun,
14 responden sering meminjam 2 sampai 6 kali setahun, 13 responden jarang meminjam 1 kali dalam setahun, 24 sangat jarang meminjam kurang dari 1
kali setahun. Jangka waktu pinjaman 54 responden menunggu waktu panen untuk membayar, 13 tidak ada aturan, 17 1 sampai 2 minggu, 3 tergantung
peminjam, 1 3 sampai 4 minggu, 10 1 sampai 3 bulan, 1 1 tahun, 1 3 sampai 6 bulan. Kemampuan melunasi pinjaman 73 responden tepat waktu
dalam membayar pinjaman, 23 responden pembayaran tidak terikat artinya hanya jika memiliki dana, 4 melakukan pembayaran lewat waktutidak tepat
walaupun tetap dibayar. Berkaitan dengan bunga pinjaman 92 responden menyatakan tidak ada bunga, dan hanya 8 yang menyatakan menggunakan
bunga dengan kisaran 10 sampai 20 per tahun.
Di lokasi penelitian Propinsi Kalimantan Selatan, dalam kaitannya dengan frekuensi peminjaman responden 45 jarang melakukan pinjaman 1 kali dalam
setahun, 10 sangat sering 6 kali setahun, 2 sering 2 sampai 6 kali dalam setahun, 26 sangat jarang kurang dari sekali dalam setahun, dan 2 tidak
pernah melakukan pinjaman. Jangka waktu peminjaman 32 hanya 1 sampai 2 minggu kemudian dikembalikan, 23 berkisar antara 1 sampai 3 bulan, 2 3
sampai 6 bulan, 3 dari 1 tahun, 23 tidak ditentukan, 7 3 sampai 4 minggu, 1 sesuai waktu panen, dan 7 6 sampai 12 bulan. Kemampuan responden
dalam melunasi pinjaman 85 tepat waktu, 2 pembayaran melewati batas waktu pembayaran, 11 pelunasan tidak mengikat tergantung yang memberi
pinjaman, biasanya saudara. Berkaitan dengan bunga 44 responden menyatakan ada bunga dan 56 menyatakan tidak ada bunga. Bunga yang
dipergunakan berkisar antara 18 sampai 24 per tahun.
Perilaku kredit petani dengan pinjaman PDB HTR sangat berkaitan, karena salah satu sasaran PDB HTR adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani
sehingga perilaku petani menjadi hal yang harus diperhatikan. Jika petani di Propinsi Riau didominasi oleh petani yang sering meminjam maka petani di
Propinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh petani yang jarang meminjam. Petani di ke-2 Propinsi menunjukkan karakter yang sangat berlawanan yang
memerlukan pendekatan yang berbeda ketika melakukan sosialisasi PDB HTR.
Jangka waktu peminjaman PDB HTR 5 tahun sampai 8 tahun tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat di ke-2 Propinsi yaitu didominasi oleh jangka
waktu peminjaman selama 1-2 minggu, maka peminjaman PDB HTR selama 5 tahun sampai 8 tahun sesuai karakteristik tanaman membutuhkan
pendampingan, pemantauan dan evaluasi yang kontinyu sampai saat jatuh tempo tiba dimana ketiga hal tersebut sangat membutuhkan aturan main yang konsisten
dan komitmen yang tinggi dari para pihak.
Bunga LPS yang dikenakan pada PDB HTR, disisi pemerintah dianggap merupakan subsidi karena berada dibawah bunga pinjaman komersial Bank,
namun disisi lain dominasi responden petani menyatakan dalam melakukan pinjamannya tidak dikenakan bunga, walaupun demikian sebagian responden
menyatakan tidak keberatan dengan bunga tinggi selama prosedur untuk memperoleh pinjaman tersebut mudah, dalam hal ini pinjaman informal lebih
disukai oleh petani. Gambaran perilaku kredit di ke-2 Propinsi pada Tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan perilaku kredit di Propinsi Riau dan Kalimantan Selatan
No Aspek
Riau Kalimantan Selatan
1 Frekuensi
peminjaman 49 responden meminjam
6 kalitahun, 14 meminjamantara 2 – 6
kalitahun 45 jarang melakukan
pinjaman 1x setahun 26 sangat jarang 1x
setahun 2
Jangka waktu pinjaman
54 menunggu waktu panen untuk membayar
32 hanya 1-2 minggu, 23 antara 1-3 bulan,
23 tidak ditentukan 3
Kemampuan melunasi pinjaman
73 responden tepat waktu
85 tepat waktu 4
Bunga pinjaman 92 menyatakan tidak ada
bunga 56 menyatakan tidak
ada bunga Sumber : Analisis data primer
Bunga kredit yang rendah bukan jaminan bahwa kredit tersebut akan diakses oleh petani atau pengembalian pinjaman akan lancar. Fakta yang
tunjukkan oleh AID 1991; Braverman Guasch 1989 menunjukkan bahwa kredit program yang memiliki bunga rendah justru banyak mengalami kegagalan.
Kegagalan ini tidak hanya pada kegagalan mencapai sasarannya namun juga kegagalan dalam mencapai kinerja pengembaliannya.
4.1.2.3 Kapasitas petani Dari 2 lokasi penelitian hanya responden di Propinsi kalimantan Selatan
saja yang mempunyai pengalaman menanam pohon sendiri di lokasi penelitian Propinsi Riau, penanaman dilakukan oleh PT RAPP. Hal ini harus dijadikan
perhatian oleh pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan mengenai kapasitas dari petani, pemahaman mengenai situasi ini diperlukan mengingat sebagian besar
dari petani yang disurvey memberikan respon tertarik untuk menanam pohon apabila tersedia dana dan modal. Peningkatan kapasitas sangat diperlukan karena
petani yang bersangkutan sebagian besar kecuali di Propinsi Kalimantan Selatan tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam penanaman pohon, padahal
menurut Kartasapoetra 1994, pengalaman seseorang mempengaruhi produktifitas kerjanya, semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin tinggi
produktifitasnya, seperti yang dikemukakan bahwa petani yang telah berpengalaman dalam usaha taninya akan memiliki kemampuan dan keterampilan
teknik produksi yang tinggi, disamping itu petani yang telah lama berpengalaman berusaha tani akan lebih pandai dalam memilih cara-cara berusaha yang paling
menguntungkan baginya. Padmowihardjo 1994 menambahkan bahwa banyaknya pengalaman akan menentukan besarnya kemampuan belajar di mana
orang yang mempunyai pengalaman lebih banyak lebih mampu melakukan proses asosiasi menghubungkan hal baru terhadap yang telah dia miliki. Sehingga
pengalaman akan mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.
4.1.2.4 Aset yang dimiliki Aset yang dimiliki petani di 2 lokasi penelitian didominasi oleh
kepemilikan aset dari 20 juta Propinsi Riau 88, dan Propinsi Kalimantan Selatan 73. Bila dibandingkan dengan pinjaman PDB HTR Rp. 68.255.200
maka aset petani hanya 30 dari jumlah pinjaman. Padahal prinsip kehati-hatian
yang dimiliki Bank mensyaratkan jumlah pinjaman hanya 13 dari jumlah pinjaman total. Rendahnya kepemilikan aset oleh petani ini yang menyebabkan
petani tidak layak menerima pinjaman dari Bank bankable. Menurut Wijaya 2002, masyarakat kecil membutuhkan layanan kredit yang lain, yang tidak
berorientasi kepada ada tidaknya agunan atau jaminan tetapi lebih menekankan pengembangan kewiraswastaan masyarakat. Sejalan dengan Wijaya 2002, Cahyat
et al. 2007 menyatakan bahwa lingkungan perlu memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari
kerentaan.
Oleh karena itu peningkatan kapasitas teknis, administrasi, keuangan merupakan aset petani yang harus ditingkatkan oleh pemerintah c.q pemberi
pinjaman, sehingga aset kapasitas dapat menutupi aset kekayaan yang memang tidak dimiliki oleh petani. kapasitas teknis yang dimaksud adalah kemampuan
pengelolaan lahan dan tanaman serta pemasarannya, kapasitas administrasi yaitu kemampuan petani untuk mengurus perizinan, dan melakukan pelaporan,
kapasitas keuangan mencakup pengelolaan keuangan dan pembukuan atas usaha yang mereka lakukan. Semua peningkatan kapasitas dapat dilakukan jika
pemerintah c.q pemberi pinjaman mampu menyediakan kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik petani.
4.1.2.5 Karakteristik informasi pasar Selain kemampuan dan kapasitas yang harus ditingkatkan, juga diperlukan
upaya untuk menghilangkan trauma masyarakat atas tanaman hutan. Petani di Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Selatan sama-sama memiliki trauma atas
program hutan tanaman yang mereka alami. Petani di Propinsi Riau pernah memiliki pengalaman buruk dengan pohon sungkai di tahun 1990-an. Latar
belakang penanaman Sungkai karena adanya program pemerintah penanaman sejuta Sungkai, petani diberi harapan bahwa harga kayu sungkai tinggi, sehingga
petani tertarik untuk menanam sungkai. Akan tetapi ketika sungkai tersebut tumbuh besar, pasar sungkai tersebut tidak pasti, dan jika adapun maka harganya
murah, dan biaya administrasinya mahal, sehingga banyak warga yang trauma menanam pohon hasil wawancara dengan staf Dinas Kehutanan Kuansing di
Kuansing pada Maret 2009. Demikian juga yang terjadi di Kabupaten Tanah
Laut Propinsi Kalimantan Selatan, petani menanam kayu Jabon dengan janji akan dibeli oleh PT Hendratna, ketika Jabon tumbuh besar perusahaan tersebut
bangkrut sehingga pasar tanaman Jabon tersebut menjadi tidak jelas, petani menjadi kecewa sehingga banyak petani yang membakar, menebang, atau
menggantinya dengan tanaman karet. Dengan demikian petani tidak merasakan hasil dari tanaman hutan yang mereka tanam.
Pemahaman mengenai karakteristik pasar di lingkungan petani perlu diketahui oleh pemberi pinjaman, sehingga PDB HTR yang akan dan sudah
dialirkan ke petani dapat dikembalikan menurunkan resiko gagal bayar. Pemasaran produk menjadi aspek yang perlu diperhatikan, karena jika petani
mampu menghasilkan kayu dengan volume yang tinggi per Ha, akan tetapi pemasarannya sulit, maka pembayaran kembali PDB HTR pada saat jatuh tempo
menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu pemasaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari skema PDB HTR. Ringkasan pemasaran
produk di dua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Perbandingan pemasaran produk di Propinsi Riau dan Kalimantan Selatan
No Aspek
Propinsi Riau PropinsiKalimantan
Selatan 1
Jumlah pembeli 47 2-5 orang
45 6 orang 68 2-5 orang
26 1 orang 2
Tipe Pembeli 93 pedagang
perantara 81 pedagang perantara
3 Penentuan Harga
91 ditentukan pembeli,
3 melakukan negosiasi
41 ditentukan pembeli, 28 melakukan
negosiasi 4
Informasi harga komoditas
55 sudah tahu harga pasar
76 sudah tahu harga pasar
5 Penjualan
100 secara individual
98 secara individual, 2 kolektif
6 Kontrak
45 dengan kontrak 3 dengan kontrak
Sumber : Analisis data primer Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa 80 produk yang
dihasilkan petani dibeli oleh pedagang perantara, dan hanya 5 yang dijual langsung ke pabrik. Kondisi ini sering menyebabkan rendahnya harga di tingkat
petani, karena informasi tentang harga sering hanya dikuasai oleh pedagang
perantara, hal ini terlihat dari dominasi penentuan harga yang ditetapkan oleh pembeli dan bukan berdasarkan negosiasi posisi tawar petani lemah.
Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar petani 55 telah mengetahui harga pasar, harga pasar yang dimaksud adalah harga yang bersumber
dari pedagang perantara, dengan demikian pedagang perantara sering menjadi pihak yang banyak memperoleh keuntungan sebagai pemegang informasi.
Penjualan secara individu juga melemahkan posisi tawar petani, karena tidak ada kesepakatan dalam kelompok atau diantara petani sehingga harga dengan mudah
bisa dipermainkan oleh pedagang perantara.
Keberadaan atau ketiadaan kontrak memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, misalnya dengan adanya kontrak petani lebih terjamin
pemasarannya, jika harga pasar turun maka harga yang ditetapkan dalam kontrak yang akan digunakan, akan tetapi apabila petani tidak mampu memenuhi volume
sesuai jadwal seperti yang tercantum dalam kontrak maka petani mendapatkan penalti atau di denda. Jika tidak ada kontrak maka petani bebas menjual
produknya kepada siapa saja dengan harga sesuai harga pasar yang memiliki ketidakpastian lebih tinggi, tidak ada denda atau penalti jika volume yang
dihasilkan tidak sesuai dengan perkiraan, akan tetapi kelemahannya tidak ada jaminan pasar produk.
Pemerintah daerah dapat menjadi pembina dan mediator, selain membina petani melalui peningkatan kapasitas, misalnya kapasitas untuk mengakses
informasi baik teknis maupun pemasaran, maupun menjadi mediator yang menghubungkan petani dengan pasar ataupun sebaliknya ataupun dengan
kewenangannya membangun lembaga yang membeli produk hasil petani sebelum dijual ke industri yang membutuhkan, hal ini dapat memberikan jaminan
kepastian pasar.
4.1.3 Karakteristik Usaha HTR