suku bunga dan pengembangan usaha rakyat bersubsidi seperti HTR, selain diperlukan stabilitas politik dan ekonomi.
3 Strategi yang ditawarkan dalam penentuan skema pendanaan berdasarkan
insentif pemungkin dan variabel adalah Pembayaran untuk Jasa Lingkungan PJL atau Payment for Environmental Services PES, PDB
HTR, kredit bertahap, penjualan bertahap, penjualan sekaligus, tergantung pada kebutuhan petani. Penjelasan strategi adalah sebagai berikut: a PJL:
skim ini memerlukan pengetahuan yang lebih baik mengenai mekanisme dan sistem pembayarannya, serta perlunya peraturan yang jelas dan
berkesinambungan, b PDB HTR: skim yang saat ini ada di Kementerian Kehutanan, c kredit bertahap melalui LKM Lembaga Keuangan
Masyarakat, d penjualan bertahap hanya tanaman yang tidak produktif, dan e tergantung pada kebutuhan petani yaitu penentuan skema yang
jelas dan riil sesuai kebutuhan petani detil strategi dari masing-masing skema pendanaan dalam Lampiran 16.
6.2.2 Masukan Model dan Keluaran Model
Setelah hirarki PHA terbentuk, mulai disebarkan kuisioner kepada 8 pakar terkait 3 orang dari Kementerian Kehutanan kepala seksi dan Kepala Pusat di
BLU Pusat P2H, 3 orang akademisi, 1 orang praktisi keuangan mikro, dan 1 orang peneliti, untuk memberi penilaian bagi setiap komponen dalam hirarki
tersebut, yang hasilnya kemudian diolah menggunakan program aplikasi Expert Choice 2000, tampilan hasil penilaian dapat dilihat dalam Gambar 5 dan 6 di
berikut:
Gambar 5 Hasil akhir penilaian AHP penentuan skema pendanaan berdasarkan insentif pemungkin.
Gambar 6 Hasil akhir penilaian AHP penentuan skema pendanaan berdasarkan insentif variabel.
6.2.2.1 Hasil penilaian hirarki level 2 aktor Dari gambar 5 dan 6 dapat diketahui pendapat dari delapan pakar bahwa
aktor yang paling berpengaruh dalam proses penentuan skema pendanaan berdasarkan insentif pemungkin adalah pemerintah dengan nilai eigen 0.305,
disusul aktor masyarakat dengan nilai eigen 0.216, diurutan ke-3 adalah lembaga keuangan dengan nilai eigen 0.180, ke-4 adalah dunia usaha dengan nilai eigen
0.170, ke-5 akademisi dengan nilai eigen 0.065 dan terakhir LSM dengan nilai eigen 0.063.
Pemerintah menjadi aktor paling berpengaruh karena pemerintah yang menentukan kebijakan umum kredit, melakukan perlindungan hukum, memiliki
kewenangan besar untuk mewujudkan insentif pemungkin dalam kapasitasnya sebagai pemegang kekuasaan, dan pemilik kekuasaan power yang
memungkinkan insentif pemungkin dapat terlaksana demi tercapainya tujuan pinjaman untuk pembangunan HTR.
Selain itu, karena pada saat ini hanya pemerintah yang mampu memberikan bantuan pinjaman kepada masyarakat khususnya untuk
pembangunan HTR, dimana Bank atau lembaga keuangan formal tidak ada yang mau membiayai.
Sehingga pemerintah saat ini merupakan aktor yang paling dapat diandalkan untuk pembiayaan hutan tanaman. Namun demikian pemerintah
sebaiknya dapat mengatur agar persyaratan dan prosedur yang dibuat dapat dijangkau oleh masyarakat yang tidak layak mendapatkan pinjaman Bank. Hal ini
disebabkan karena prosedur yang berbelit-belit, persyaratan administratif yang sulit, serta lokasi lembaga pembiayaan yang jauh dari tempat tinggal petani di
desa, telah menjadi pembatas bagi penduduk desa untuk memanfaatkan jasa lembaga pinjaman formal yang disponsori oleh pemerintah Mubyarto Hamid
1986. Meskipun dari segi bunga lebih murah tetapi ada faktor-faktor pembatas, seperti petani harus memperhitungkan waktu, tenaga, ongkos yang dikeluarkan
untuk mengurus persyaratan untuk mendapatkan pinjaman.
Selain itu bagaimana karakteristik sumberdaya alam untuk HTR, karakteristik pinjaman, dan karakteristik penerima pinjaman diadopsi menjadi
kebijakan sebuah program pinjaman untuk pembangunan HTR di hutan produksi, sangat tergantung pada tata pemerintahan dan transaksi politik yang menentukan
peraturan-perundangan serta ketepatan kebijakan yang dilahirkan. Penguasaan informasi mengenai obyek yang diatur dalam hubungan antara pemberi dan
penerima pinjaman termasuk informasi yang digunakan dalam proses pembuatan dan substansi kebijakan serta hasil-hasil penelitian sangat diperlukan. Menurut
Kartodihardjo Jhamtani 2006, tanpa informasi yang memadai berbagai keputusan dan transaksi antar pihak yang terlibat tidak akan berjalan sebagaimana
yang diharapkan terjadi biaya transaksi tinggi. Ketimpangan informasi tidak hanya terkait dengan hubungan antar pihak pemberi dan penerima pinjaman
namun juga akan mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan pinjaman yang bersangkutan. Dengan demikian pemerintah harus menggunakan kekuasaan yang
dimilikinya dalam menghasilkan kebijakan yang tepat khususnya untuk petani, sesuai dengan tujuan awal pemberian pinjaman yaitu memihak kepada orang
miskin.
Sedangkan aktor yang paling berpengaruh dalam proses penentuan skema pendanaan berdasarkan insentif variabel adalah masyarakat dengan nilai eigen
0.252, di susul lembaga keuangan dengan nilai eigen 0,248, diurutan ke-3 adalah pemerintah dengan nilai eigen 0.240, ke-4 adalah dunia usaha dengan nilai eigen
0.135, ke-5 LSM dengan nilai 0.063, dan terakhir akademisi dengan nilai eigen 0.061.
Jika insentif pemungkin telah diwujudkan oleh pemerintah maka aktor yang paling berperan dalam menentukan skema pendanaan berdasarkan insentif
variabel adalah masyarakat, karena bagaimanapun masyarakat harus dilatih untuk mandiri, tidak selalu dibantu oleh pemerintah. Masyarakat dapat berperan sebagai
penerima pinjaman dan pemberi pinjaman sekaligus, mereka dapat memilih siapa yang dapat memimpin, menentukan skema pendanaan yang sesuai dengan
kemampuan, kebutuhan, dan karakteristik yang mereka miliki, dalam kondisi ini fungsi jaminan sosial social colateral dapat berjalan karena masyarakat sebagai
pemberi pinjaman lebih mengetahui karakter penerima pinjaman atau masyarakat- nya dibandingkan dengan pemerintah. Seperti dinyatakan oleh Mubyarto dan
Hamid 1986 bahwa kegagalan demi kegagalan kredit program yaitu belum cocoknya kredit program tersebut dengan kebutuhan masyarakat. Kelemahan
kredit program tersebut adalah tidak melihat situasi, kondisi, dan budaya dimana
kredit tersebut di terapkan. Sehingga dengan dipilihnya masyarakat sebagai aktor yang paling menentukan dalam skema pendanaan berdasarkan insentif variabel
diharapkan kegagalan kredit program dan risiko-risiko yang biasa timbul dalam hubungan agensi antara pemberi dan penerima pinjaman dapat dikurangi.
6.2.2.2 Hasil penilaian hirarki level 3 Faktor Faktor yang paling berpengaruh terhadap skema pendanaan berdasarkan
insentif pemungkin adalah kepastian hak atas lahan dengan nilai eigen 0.1769, disusul faktor peningkatan kapasitas para pihak dengan nilai eigen 0.1419, Faktor
ke-3 adalah kemanan berusaha dengan nilai eigen 0.1262, faktor ke-4 adalah aksesibilitas terhadap lahan dengan nilai eigen 0.1152, faktor ke-5 adalah
pengetahuan tentang kontrak dengan nilai eigen 0.0942, faktor ke-6 ada 2 yaitu akses pasar dan devolusi, dan faktor ke-7 juga ada 2 yaitu informasi pasar dan
desentralisasi dengan nilai eigen 0.0742.
Faktor yang paling berpengaruh berdasarkan insentif pemungkin adalah kepastian hak atas lahan. Kepastian hak atas lahan terpilih menjadi faktor yang
paling berpengaruh karena tanpa ada kepastian hak, keberlangsungan usaha yang dilakukan tidak memiliki jaminan. Kepastian hak bukan sekedar bukti sertifikat
kepemilikan lahan, kepastian hak juga bisa berarti adanya pengakuan dari masyarakat berdasarkan sejarah kepemilikan dan pengelolaan lahan, kepastian hak
dijamin oleh pemerintah misalnya melalui penyederhanaan pengurusan dan prosedur surat surat kepemilikan, dan kepastian hak atas lahan merupakan salah
satu jaminan kepastian usaha dalam jangka panjang. Dunia usaha memerlukan kepastian hak atas lahan status lahan jelas sehingga tidak mengancam
keberlangsungan investasi yang ditanamkan, kepastian hak juga berarti tidak terjadi tumpang tindih penggunaan lahan dan sengketa kepemilikan lahan.
Dipandang dari sisi masyarakat kepastian hak atas lahan berarti masyarakat mendapatkan kepastian hak atas lahan dalam jangka panjang, baik kepemilikan
maupun kontrak pengelolaan. Sedangkan akademisi dan LSM dapat berperan sebagai fasilitator terwujudnya hak atas lahan dan akses terhadap lahan. Peran
pemerintah dalam menunjang kepastian hak adalah melalui pembuatan peraturan yang jelas, tidak tumpang-tindih dan tidak berubah-ubah.
Aksesibilitas terhadap lahan dapat dimanipulasi sejak awal. Untuk areal yang aksesibilitasnya sulit, maka dari awal sudah dihapus dari program PDB
HTR. Pengambilan keputusan mengenai pencadangan bukan hanya karena lahan tersebut kosong, aksesibilitas juga harus menjadi bahan pertimbangan misalnya
jika lokasi HTR tersebut jauh dari pemukiman penduduk dan aksesnya sulit maka areal tersebut tidak perlu dijadikan areal pencadangan untuk HTR. Sebaiknya
dipilih lokasi yang potensi keberhasilannya tinggi, misalnya lahannya subur, arealnya dekat dengan penduduk, dan aksesnya mudah dijangkau oleh
masyarakat.
Pemasaran masyarakat tidak perlu disamakan untuk tiap lokasi, karena problem pemasaran yang paling utama adalah tidak adanya keberpihakan terhadap
petani. Sehingga perlu adanya perbedaan perlakuan untuk masyarakat di Jawa dengan masyarakat di luar Jawa. Misalnya, pemasaran di pulau Jawa tidak perlu
dibantu, sedangkan untuk penerima pinjaman di luar jawa sebaliknya, bantuan dapat berupa keberpihakan terhadap penerima pinjaman yang bersangkutan.
Salah satunya adalah melalui mediasi kemitraan dengan industri pengolahan karena di luar Jawa pembeli jarang. Jika industri pengolahan tersebut ingkar
maka pemerintah harus turun tangan sebagai bentuk perlindungan terhadap petani.
Faktor yang paling berpengaruh terhadap skema pendanaan berdasarkan insentif variabel adalah faktor subsidi dengan nilai eigen 0.2546, faktor ke-2
adalah harga input dan output dengan nilai eigen 0.2211, Faktor ke-3 adalah bunga dengan nilai eigen 0.1851, Faktor ke-4 adalah pajak dan retribusi dengan
nilai eigen 0.1836, dan faktor ke-5 adalah fiskal dan kebijakan moneter dengan nilai eigen 0.1543.
Subsidi merupakan faktor penting dalam pinjaman khususnya jika pinjaman tersebut ditujukan untuk petani, namun demikian perlu adanya
pengaturan sehingga subsidi tersebut tidak salah sasaran. Yang termasuk subsidi misalnya subsidi bunga, subsidi terhadap dunia usaha yaitu berupa insentif pajak
dan lain-lain. Subsidi salah sasaran banyak terjadi, dimana penerima pinjaman yang mampu secara finansial justru memperoleh keuntungan paling besar dari
adanya subsidi tersebut Braverman Guasch 1993. Subsidi terpilih menjadi faktor paling mempengaruhi karena subsidi lebih mudah di buat melalui kebijakan
yang tepat bila dibandingkan dengan harga input dan output yang selalu fluktuatif.
6.2.2.3 Hasil penilaian hirarki level 4 strategi Strategi yang dipilih untuk skema pendanaan optimal berdasarkan insentif
pemungkin adalah: pertama PDB dengan nilai eigen 0.229, ke-2 adalah PES dengan nilai eigen 0.196, ke-3 adalah kredit bertahap dengan nilai eigen faktor
0.172, ke-4 adalah tergantung kebutuhan petani dengan nilai eigen 0.164, ke-5 adalah penjualan bertahap dengan nilai eigen 0.131 dan terakhir adalah penjualan
sekaligus dengan nilai eigen 0.108.
PDB HTR yang dimaksud oleh pakar bukan PDB HTR yang saat ini sedang berjalan melainkan PDB berupa subsidi yang diberikan ke masyarakat,
dan masyarakat yang menggulirkan dana tersebut seperti PUAP. Dengan demikian perguliran yang dimaksud adalah perguliran di masyarakat, sehingga
dana tersebut tidak harus kembali ke pemerintah. Walaupun demikian menurut Harjanto 2012
2
terdapat paling tidak 2 persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: 1 masyarakat harus sudah paham tentang maksud perguliran sehingga yang
paham tidak hanya pengurus tetapi seluruh masyarakat yang terlibat. Karena sudah banyak kasus bahwa masyarakat atau petani hanya dijadikan sebagai alat
untuk memenuhi persyaratan administrasi, ketika dana sudah turun maka petani ditinggalkan, 2 terdapat kebersamaaan yang alamiah kepercayaan sudah
terbentuk dalam kelompok atau koperasi, sehingga merupakan koperasi atau kelompok yang sudah ada, dan bukan dibentuk secara instan karena ada pinjaman.
Paling tidak kelompok tersebut sudah terbentuk selama 5 tahun, dan telah terbukti memiliki kinerja yang baik, kalau usia masih dibawah 2 tahun masih rawan
karena belum teruji. Pengalaman para pakar menunjukkan bahwa 80 sampai 90 kelompok tani hutan adalah kelompok “jadi-jadian” karena tidak ada yang
membina dari awal. Kelemahan kelompok tersebut adalah tidak ada keinginan untuk membangun kelompok yang solid, seringkali mereka memposisikan diri
menjadi buruh, tidak ada upaya untuk tumbuh menjadi kelompok yang kokoh. Padahal kelompok yang kokoh merupakan salah satu faktor yang menunjang
keberhasilan pinjaman Syukur 1993. Perlunya petani berkelompok karena
2
Komunikasi pribadi di Bogor pada 5 Januari 2012
petani tidak bisa secara sendiri mengusahakan HTR seluas 8 ha menjadi usaha yang lestari dan menguntungkan tanpa ada kerjasama dengan anggota lainnya.
Areal yang diusahakan membutuhkan hamparan yang cukup luas untuk mencapai skala ekonomi, paling tidak jika di Jawa Perum Perhutani seluas dua
setengah kali 2.5 kali Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH atau ± 6.250 Ha. Skala ekonomi yang dimaksud adalah suatu skala dimana suatu usaha
bisa lestari dan menguntungkan bagi pengelolanya.
Disisi lain pengelola PDB juga bukan hanya satu lembaga keuangan seperti BLU Pusat P2H, karena jika yang menangani langsung hanya BLU Pusat
P2H, dan hanya ada di Jakarta, maka keberhasilan yang diharapkan tampaknya masih jauh, karena akan sulit mengetahui karakter petani yang beragam, dan
kondisi lapangan yang sangat bervariasi karena yang mengelola dan mengawasi sangat jauh Hardjanto-komunikasi pribadi Januari 2012, hal ini sesuai dengan
pendapat Chaves et al. 1996 bahwa adanya organisasi di level tapak merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pinjaman.
Penggunaan kredit seperti PDB HTR mudah disalahgunakan oleh penerima pinjaman, tidak ada jaminan bahwa kredit tersebut akan dipergunakan
sesuai dengan akad kredit, walaupun pinjaman tersebut digunakan sesuai akad kredit, tidak ada jaminan bahwa pekerjaannya akan berhasil dan mampu
mengembalikan pinjaman yang diterima.
Dalam kondisi ini pemilihan lokasi dan sasaran penerima pinjaman harus diperhatikan sehingga tidak perlu diberikan untuk seluruh Indonesia. Hanya
masyarakat yang memiliki kemampuan dan bersedia untuk mengelola HTR serta motivasi yang besar untuk berinvestasi di bidang tanaman hanya dana yang
menjadi kendala yang layak menerima pinjaman, walaupun demikian kapasitas dan kemauan saja tidak cukup karena tetap membutuhkan bimbingan dan
pengawasan dari pemerintah sehingga tidak dilepas begitu saja.
Kelembagaan PDB HTR harus di desain supaya risiko ingkar janji dan salah pilih dapat dikurangi. Terdapat beberapa penyebab terjadi ingkar janji: 1
tidak mempunyai ilmu, artinya petani sanggup tetapi petani tersebut tidak memiliki ilmu untuk berinvestasi di bidang hutan tanaman, sehingga petani
tersebut memutuskan untuk berusaha di bidang lain yang paling dikuasainya,
terjadilah ingkar janji, 2 usaha pembangunan hutan tanaman tersebut tidak menjanjikan bagi penerima pinjaman, misalnya pengusaha HTI yang diberi
pinjaman lunak. Karena hutan tanaman pengembalian modalnya lama maka uangnya diinvestasikan untuk usaha yang lain, hal ini terjadi khususnya jika
penerima pinjaman memahami pengelolaan usaha lain yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan hutan tanaman. Dengan demikian target PDB HTR tidak
hanya dana pinjaman yang dikembalikan, tetapi tanamannya juga harus tumbuh HTR, 3 adanya pola pikir bahwa utang dari pemerintah atau kredit program
tidak perlu dikembalikan, karena yang sudah terjadi juga banyak yang diputihkan atau tidak ada implikasi hukum apapun, dan 4 adanya ketidakpuasan terhadap
infrastruktur yang lain. misalnya adanya subsidi terhadap harga pupuk, yang diperoleh pupuk yang kualitasnya rendah atau ketika hasil panennya bagus, harga
komoditi tersebut jatuh sehingga petani merugi. Sehingga pemberian pinjaman kepada petani yang mengalami trauma terhadap program pemerintah, penerima
pinjaman tersebut rentan menggunakan dana yang ada untuk mengobati rasa sakit hati yang mereka alami.
Keharusan untuk membuat rencana usaha jangka panjang dan jangka pendek bagi petani relatif menyulitkan. Menurut para pakar hanya sebagian
petani 10 yang dapat membuat rencana kerja, kebanyakan dari mereka dibuatkan oleh orang lain penyuluh atau orang yang paling berkepentingan,
sehingga petani tidak paham apa yang tercantum dalam rencana tersebut. Pembuatan rencana usaha hanya untuk memenuhi kebutuhan administrasi, karena
jika tidak dipenuhi maka dana pinjaman tidak akan cair. Hanya sebagian kecil petani yang memiliki pengalaman melakukan usaha di bidang hutan tanaman,
seperti dominasi petani di Propinsi Kalimantan Selatan yang melakukan penanam kayu, namun hanya sebagian kecil yang melakukan investasi di hutan tanaman
dan itupun mengalami kekecewaan karena belum memperoleh manfaat dari hutan tanaman yang mereka kelola.
Berkaitan dengan legalitas untuk memenuhi persyaratan administrasi, para pakar pesimis, karena sudah banyak terjadi dari pengalaman melakukan
pendampingan di lapangan bahwa legalitas tersebut asli tapi palsu, secara dokumen benar namun isi dari dokumen tersebut dipalsukan. Contoh lain
mengenai pendamping penyuluh kehutanan, para pakar sering menemukan dilapangan bahwa pendamping tersebut tidak muncul di lapangan, hal ini sejalan
dengan pendapat staf Dinas Kehutanan Kabupaten Kuansing bahwa penyuluh jarang hadir di kantor sehingga tidak paham apa yang harus dilakukan. Dokumen
pendampingan bisa lolos ke Jakarta karena tidak ada pengawas di lapangan sehingga penyuluh dimaksud dilegalkan sebagai pendamping pengalaman KUK
DAS dan KUHR
3
. Supaya PDB HTR yang dikelola oleh BLU Pusat P2H berhasil maka
pemilihan penerima pinjaman harus lebih selektif, melalui survey pendahuluan, sehingga dapat dibuktikan secara nyata bahwa calon penerima pinjaman tersebut
memiliki kapasitas yang cukup untuk mengelola dana dan tanaman HTR. Program PDB HTR yang selama ini digulirkan belum lengkap karena belum
mencakup sistem seleksi yang dapat menjamin bahwa yang terpilih adalah penerima pinjaman yang tepat. Walaupun demikian sistem penyaringan dapat
lebih murah dengan memilih lokal agen yang tepat seperti yang dinyatakan oleh Chaves et al. 1996. Sehingga perlu digali sistem yang paling efektif dan efisien
untuk memilih penerima pinjaman yang tepat.
Berkaitan dengan tahapan kegiatan yang dibiayai, dominasi pakar setuju dengan skema PDB HTR artinya ada pengaturan biaya untuk tahapan kegiatan
pembangunan hutan tanaman. Artinya petani harus berbagi pembiayaan dengan pemberi pinjaman share biaya, PDB HTR jangan diposisikan sebagai alat untuk
menyelesaikan masalah. Adanya bagian pembiayaan dari penerima pinjaman akan mengarahkan niat orang yang bersangkutan untuk menjaga risiko dan
ketidakpastian.
Jumlah pinjaman yang diberikan masih harus dikaji ulang, karena jumlah pinjaman berasal dari luas areal minimum yang dibiayai dengan pinjaman, hal ini
sejalan dengan Ichwandi 2008 yang menyatakan bahwa pembangunan hutan tanaman di Jawa kurang dari 2 juta per ha.
Aturan luas minimum yang dipergunakan masih harus dikaji karena luas sangat berhubungan dengan teknologi yang digunakan. Lokasi yang berbeda akan
membutuhkan luas yang berbeda pula. Teknologi dimaksud yaitu: misalnya
3
Hasil wawancara dengan staf BPDAS di Bogor pada bulan September 2008.
berkaitan dengan alat yang digunakan cangkul dengan traktor akan memberikan hasil yang berbeda, jenis tanaman yang berbeda memerlukan pemeliharaan yang
berbeda, sistem pemeliharaan per petak berbeda dengan pemeliharaan per blok, lokasi bertopografi datar dan bergelombang atau curam akan memerlukan
penanganan yang berbeda.
Sebaiknya teknis kelembagan pinjaman yang dibangun disesuikan dengan kebiasaan, karakteristik dan kapasitas dimana
program tersebut dijalankan. Dengan demikian luas 8 Ha tidak akan cocok jika diterapkan pada seluruh petani di Indonesia. Hal ini mendukung hasil penelitian
bahwa kemampuan petani di lokasi penelitian untuk mengelola lahan hanya ≤ 2 Ha. Sehingga program PDB HTR tidak layak jika harus digeneralisasi di seluruh
Indonesia.
Strategi yang dipilih untuk skema pendanaan optimal berdasarkan insentif variabel adalah: ke-1 tergantung kebutuhan petani dengan nilai eigen 0.281, ke-2
PDB HTR kredit dana bergulir dengan nilai eigen 0.204, ke-3 adalah PES dengan nilai eigen 0.160, ke-4 adalah kredit bertahap dengan nilai eigen faktor
0.148, ke-5 adalah penjualan bertahap dengan nilai eigen 0.114, dan terakhir adalah penjualan sekaligus dengan nilai eigen 0.093.
Masyarakat terpilih sebagai aktor yang paling mempengaruhi karena pinjaman untuk pembangunan HTR adalah untuk membantu petani, namun
kemandirian petani juga harus dibangun sehingga tidak terus-menerus didorong oleh pemerintah, masyarakat bisa difungsikan sebagai pemberi pinjaman dan
sekaligus penerima pinjaman melalui bimbingan dan pendampingan dari pemerintah, sehingga tugas pemerintah hanya menyediakan sistem yang cocok
dengan karakteristik masyarakat.
Strategi pendanaan untuk pinjaman HTR berdasarkan insentif variabel ditentukan oleh karakteristik masyarakat kondisi masyarakat. Jika
masyarakatnya sudah memiliki kapasitas yang cukup well known maka strategi pendanaan “sesuai dengan keperluan petani” dapat diterapkan, sedangkan untuk
masyarakat yang belum cukup kapasitasnya maka pinjaman yang sudah ditentukan seperti “PDB” akan lebih tepat dengan jumlah pinjaman yang sudah
disesuaikan. Dengan demikian program PDB HTR dapat diterapkan terhadap petani yang berbeda.
VII
. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan