Ketepatan Waktu Penyaluran dan Jumlah Pinjaman yang Sesuai

transaksi menjadi tinggi karena tingkat ketidaksepadanan informasi juga sangat tinggi.

4.3.2 Keberhasilan dalam Menentukan Lokal Agen

Menentukan lokal agen yang dapat dipercaya sebagai alat untuk memperpendek jarak membuat informasi menjadi sepadan akan lebih mudah dilakukan jika pemda Propinsi, kabupaten dan kota dapat bekerjasama dengan baik, namun kerjasama akan sulit dilakukan jika para pihak di level tapak tidak merasa manfaat dari keterlibatan yang mereka lakukan. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu: 1 kepastian areal dan keberadaan masyarakat setempat untuk menghindari peserta fiktif, 2 melakukan pendampingan untuk penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah desa, 3 melakukan sosialisasi tingkat desa, 4 penyuluhan, dan 5 melakukan pemantauan dan evaluasi. Semua kontribusi tersebut membutuhkan komitmen yang tinggi dari para pihak di level tapak sehingga mereka bersedia mengalokasikan sebagian sumberdaya yang dimilikinya untuk ikut mensukseskan PDB HTR. Selama ini informasi mengenai penerima pinjaman diketahui BLU Pusat P2H dari kepala desa atau KTP yang mereka miliki, namun demikian informasi tersebut tidak mencakup karakter dari penerima pinjaman 20 , hal ini disebabkan karena terbatasnya waktu verifikasi oleh BLU Pusat P2H. Paling tidak hanya 2 kali pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman bertemu, pertama untuk melakukan verifikasi dan kedua saat akad kredit, sehingga lokal agen yang dapat dipercaya dan diandalkan sangat penting dalam memberikan informasi mengenai karakter penerima kredit. Menurut Chaves et al. 1996, keberhasilan dalam menentukan lokal agen akan menentukan keberhasilan pinjaman untuk petani.

4.3.3 Pembinaan Intensif Jumlah Pembina dan Pendamping yang Cukup

Adanya penyuluh pendamping merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon penerima pinjaman seperti yang tercantum dalam Permenhut P.09Menhut-II2008, persyaratan itu dibuat untuk membantu pendampingan kepada petani dalam KTH. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuluh kehutanan di lapangan tidak paham apa yang harus dilakukan dan 20 Kepala Sub Bidang Analisa Pinjaman di Jakarta pada November 2011 merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan PDB HTR. Menurut staf Dinas Kehutanan Kabupaten Kuansing penyuluh tidak pernah datang ke kantor. Hal ini menjadi kontradiksi dimana tenaga penyuluh sangat dibutuhkan namun penyuluh yang dimaksud kurang paham apa yang harus dikerjakan. Syukur 1993; Mayrowani 1998; Wijaya dalam Sugianto 2009, menyatakan bahwa faktor penyuluh dan pendamping dalam jumlah yang cukup merupakan faktor yang sangat menunjang keberhasilan pinjaman karena akan berkaitan dengan kegiatan pemantauan, pendampingan atau pembinaan yang intensif. Selama ini pemantauan, dan evaluasi dilakukan oleh BLU Pusat P2H sesuai dengan Peraturan Kepala Pusat BLU Pusat P2H Nomor P.01Pusat P2H- 12009 pasal 13. Penyuluh dalam jumlah yang cukup untuk melakukan kegiatan pendampingan mutlak diperlukan bagi masyarakat calon peserta HTR, karena HTR mensyaratkan prosedur yang panjang dalam pengajuan izin, dan perlunya pendampingan dalam hal teknis lapangan, pengelolaan administrasi maupun keuangan. Persyaratan administratif yang harus dipenuhi petani pemohon IUPHHK- HTR sebagaimana diatur dalam Permenhut P.5Menhut-II2008 adalah sebagai berikut: pemohon perorangan yang tergabung dalam kelompok, persyaratan yang harus dipenuhi adalah fotocopy KTP, keterangan domisili dari Kepala Desa setempat, sketsa areal yang dimohon, dan susunan anggota kelompok serta menandatangani ketentuan pinjaman. Untuk pemohon koperasi, persyaratan yang harus dipenuhi adalah : fotocopy akte pendirian, keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa koperasi dibentuk oleh Masyarakat setempat, sketsa areal yang dimohon untuk luasan diatas 15 ha dengan skala 1:5.000 atau 1: 10.000. Setelah pemohon mendapatkan SK IUPHHK HTR kewajiban yang harus dipenuhi adalah penyusunan Rencana Kerja Usaha dan Rencana Kerja Tahunan RKU dan RKT. Keseluruhan proses administratif tersebut sulit terlaksana jika petani dalam KTH tidak mendapatkan pendampingan. Pemerintah daerah kebupaten maupun Propinsi belum dapat menyediakan fasilitas pendampingan tersebut, sementara pihak BLU Pusat P2H juga tidak memiliki tenaga kerja yang cukup untuk melakukan pendampingan secara intensif.