Kredit Usaha Hutan Rakyat KUHR

antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman yaitu kelompok tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

5.2 Kredit Usaha Hutan Rakyat KUHR

KUHR dimulai sejak tahun 1997, dana KUHR berasal dari Dana Reboisasi DR Departemen Kehutanan. Program ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang semakin lama semakin menipis dari hutan alam dengan memanfaatkan lahan-lahan milik masyarakat yang tidak produktif, dengan program ini selain kebutuhan akan kayu terpenuhi, kesejahteraan juga diharapkan akan meningkat. Pelaksanaan KUHR ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 49Kpts-II1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat. KUHR dilakukan melalui unit-unit usaha yang terdiri dari beberapa kelompok tani yang bergabung melalui menjadi gabungan kelompok tani, kemudian gabungan kelompok tani ini melakukan kemitraan dengan BUMN, BUMS, dan Koperasi, dengan luas lahan minimal 900 hektar. Persyaratan peserta kredit usaha PKU diantaranya: 1 memiliki tanah berupa hak milik, atau hak-hak atas tanah lainnya yang sah, 2 kelompok tani memiliki lahan minimal 25 ha, 3 telah melakukan kerjasama dengan mitra usaha atau memiliki akses pasar yang jelas, 4 jumlah kepala keluarga bisa mencapai 25 orang untuk setiap kelompok tani, dan 5 mitra usaha adalah koperasi atau badan usaha yang membentuk usaha kemitraan dengan PKU. Tata cara permohonan KUHR adalah PKU berkoordinasi dengan mitra usaha mengajukan permohonan KUHR kepada Direktorat Jenderal RRL dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Bupati Daerah Tingkat II cq Kepala Dinas PKT, Kantor Wilayah, dan Bank Penyalur. Keragaan kredit KUHR dapat dijelaskan sebagai berikut; mulai tahun 1997 sampai dengan tahun 2000, dana KUHR yang telah tersalur sebesar Rp 107,58 milyar. Sampai tahun 2010 dana KUHR belum terbayar. Menurut hasil wawancara pribadi dengan Biro Keuangan Departemen Kehutanan di Jakarta pada bulan Mei tahun 2010, terdapat tunggakan kredit KUHR sebesar Rp 170,91 milyar, di mana tunggakan tersebut terdiri dari tunggakan pinjaman pokok sebesar Rp 105,82 milyar dan bunga pinjaman sebesar Rp 65,15 milyar. Hasil evaluasi KUHR dari Kementerian Kehutanan ditemukan beberapa permasalahan kelembagaan. Masalah yang terjadi adalah: 1 sistem penyaluran dana secara chanelling membuat tanggung jawab mitra dalam pelaksanaan KUHR tidak ada, pihak bank hanya sebagai penyalur dan tidak bertanggungjawab terhadap pengembalian kredit. Selain itu. Bank tidak meneliti kebenaran jaminan perusanaan corporated guaranted yang diserahkan mitra usaha karena merasa hanya sebagai chanelling, sementara yang diberikan bukanlah jaminan perusahaan seperti halnya agunan melainkan hanya berisi surat keterangan, 2 mitra yang tidak diikat perjanjian kerja sama dengan Bank meskipun yang menarik dana adalah mitra berdasarkan surat kuasa dari kelompok tani., namun tanggungjawab berada di petani karena yang melakukan akad kredit adalah petani. Kondisi ini dimanfaatkan mitra yang opportunis dengan membebankan kesalahan sepenuhnya kepada petani, padahal posisi mitra sebagai mitra penerima pinjaman seharusnya juga diberi tanggung-jawab yang sama seperti petani, dalam hal ini mitra menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk berbuat ingkar janji baik kepada pemberi pinjaman maupun kepada penerima pinjaman petani, misalnya ada mitra usaha yang telah menarik dana 100, tetapi fisik lapangan belum selesai data selengkapnya pada Lampiran 15. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa kelembagaan KUHR masih rendah, ketidaktahuan penerima pinjaman akan hak dan kewajibannya, ketidaktahuan mengenai jadwal pembayaran, menunjukkan sosialisasi program oleh pemberi pinjaman masih kurang, rendahnya manajemen pengelolaan menjadi salah satu penyebab kurangnya penyebaran informasi sampai ke tingkat tapak atau petani. Di satu sisi rendahnya persen tumbuh, dan hasil panen yang sangat kecil menunjukkan rendahnya kapasitas penerima pinjaman, dan bahkan mungkin kapasitas penyuluh sebagai perwakilan pemberi pinjaman di tingkat tapak, dan Dinas Kehutanan sebagai perwakilan pemberi pinjaman di tingkat tapak tidak tahu apa yang harus dikerjakannya hal ini menunjukkan bahwa koordinasi antara pemberi pinjaman sangat kurang. Di sisi lain banyaknya lokasi KUHR yang beralih fungsi, penerima pinjaman 1 mitra usaha tidak memiliki program pemberdayaan penerima pinjaman 2 petani yang jelas, dan penunjukkan penerima pinjaman 1 yang tidak bertanggung-jawab menunjukkan lemahnya kelembagaan di level pemberi pinjaman peraturan-perundangan, pengawasan, dan koordinasi, kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh para pihak yang memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan bagi dirinya, sehingga merugikan petani dan negara.

5.3 Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat