Persepsi para pihak diluar petani terhadap PDB HTR

4.4.2 Persepsi para pihak diluar petani terhadap PDB HTR

4.4.2.1 Pengusaha PT Emida, PT RAPPPT Arara Abadi, dan PT HRB Perusahaan melakukan kerjasama dengan petani pada pembangunan hutan tanaman dengan pola bagi hasil yaitu 40 petani pemilik lahan dan 60 untuk perusahaan, perusahaan bertindak sebagai penampung hasil panen agar kebutuhan bahan baku industri terpenuhi, namun demikian rencana ini belum terealisasi karena umur tanaman baru 3 tahun. Bantuan yang diberikan kepada masyarakat adalah bantuan bibit, pupuk, tetapi tidak dalam bentuk keuangan, sampai saat ini perusahaan belum tertarik memberi bantuan berupa uang. Kendala yang dihadapi oleh perusahaan ketika bekerjasama dengan petani adalah secara umum kapasitas masyarakat masih rendah, kurangnya kesadaran petani dalam pemeliharaan dan perawatan, lembaga atau koperasi yang kurang berpengalaman, dan sulit menyakinkan masyarakat bahwa menanam kayu hasilnya tidak kalah dengan tanaman perkebunan lainnya, selain itu terdapat masalah legalitas areal, dan luas lahan yang terpencar dengan batas yang tidak jelas Solusi yang dilakukan oleh perusahaan dalam bekerjasama dengan petani adalah: 1 dibantu proses legalitas oleh perusahaan, 2 adanya batas lahan yang jelas berkaitan dengan luas kepemilikan tanah, 3 koperasi perlu lembaga pendamping, 4 batas pengelolaan areal tanaman harus ditentukan, dan 5 pemilik lahan harus dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan tanaman, 6 sering melakukan komunikasi, 7 aturan main harus disepakati oleh kedua belah pihak, 7 memberikan penjelasan detil tentang tanaman kayu-kayuan dan hasil yang diperoleh ketika panen, dan 8 membawa kelompok tani ke perusahaan yang melakukan pengolahan kayu. Penegakan hukum terhadap pelanggaran kontrak sanksi harus ada tapi implementasinya susah, sanksi atas pelanggaran dan penghargaan atas prestasi harus dibuat agar petani lebih bersemangat. Aturan main sudah diatur dalam kesepakatan kerjasama, sanksi secara langsung mungkin sulit dilaksanakan karena akan mengurangi minat mereka bermitra, petani dan mitra sama-sama tidak mendapatkan hasil apabila terjadi bahaya kebakaran, kecuali pencurian atau penebangan maka akan diproses secara hukum pidana. Saat ini perusahaan belum tertarik menjadi mitra atau developer pada pembangunan HTR karena karena butuh investasi yang besar, dan saat ini sangat sulit menyakinkan Bank untuk memberikan pinjaman karena ketidak-percayaan bank pada tanaman kayu. 4.4.2.2 BPDAS BPDAS berpengalaman dalam pemberian kredit yaitu KUK DAS dan KUHR, dari pengalaman tersebut diketahui bahwa kinerja kredit rendah, hal yang menjadi indikator adalah banyaknya petani gagal bayar atau macet. Ada beberapa kendala yang ditenggarai menjadi penyebab macet-nya pembayaran oleh petani, menurut staf BPDAS yang diwawancarai dikatakan bahwa 1 bank kurang aktif menagih, 2 susah menjual kayu karena aturan dalam TUK cukup rumit, 3 lahan berubah peruntukannya menjadi sawit , 4 lokasi terbakar dan terkena hama dan penyakit, 5 kapasitas petani rendah dan kayu tidak menarik minat masyarakat jika dibandingkan dengan produk perkebunan, 6 institusi atau para pihak diluar petani yang ditunjuk untuk menangani kredit kurang kapabel dan kurang komitmen atau tanggungjawab, 7 sulitnya melakukan koordinasi dengan Dinas, BPN, Koperasi, Bank, dan Tim pembina, dan 8 jangka waktu kredit lama, menyulitkan dalam melakukan koordinasi dengan pihak lain sementara orang yang bertanggung-jawab di awal sudah dimutasi ke tempat lain. Kondisi tersebut mengkhawatirkan karena menjerat petani dengan utang. Solusi yang dikemukakan oleh BPDAS adalah 1 reposisi utang, 2 komoditi yang ditanam sesuai dengan keinginan masyarakat, 3 rencana pemasaran harus ditetapkan di awal, 4 harus ada instansi yang khusus mengurus mengenai HTR dan kreditnya, 5 masyarakat dilibatkan sejak awal dalam penetapan peraturan-perundangan termasuk skema kredit didalamnya, 6 pemilihan lokasi dan petani yang tepat, 7, pendampingan dan peningkatan kapasitas petani, 8 pemutihan terhadap utang, dan 9 kredit yang baik adalah kredit yang sesuai dengan kebutuhan perorangan jadi jangan di target dari pemerintah pusat. Dari staf BPDAS yang diwawancara terdapat 28.6 staf yang sudah menerima edaran HTR, 28.6 sudah pernah mengikuti sosialisasi oleh BP2HP dan sisanya belum pernah menerima edaran HTR. Akan tetapi 100 dari staf yang diwawancara belum tahu mekanisme PDB HTR karena belum menerima edaran. Saat dilakukan penelitian belum ada staf yang ditunjuk menangani HTR karena HTR dan PDB HTR bukan kewenangan BPDAS tetapi BP2HP. Dari 28.6 staf BPDAS yang diwawancara, memprediksi HTR dan PDB HTR tidak akan berjalan dan tidak mendukung, karena melihat karakteristik masyarakat, di mana tanpa ada pinjaman atau kredit-pun masyarakat akan tertarik untuk menanam jika sudah ada jaminan terhadap pasar. Jika dipaksakan, kredit pasti macet karena produk kehutanan berbeda dengan produk perkebunan di mana saat dipanen sudah didatangi toke atau pedagang, sedangkan produk kehutanan, dari mulai penanaman sudah menemui kendala produk kehutanan memiliki komplikasi masalah, sehingga program ini hanya cocok untuk masyarakat yang membutuhkan lahan. Staf BPDAS sebanyak 42.86 menyatakan bahwa peran PDB sangat penting, tapi bukan satu-satunya melainkan seluruh input produksi, uang penting tetapi hanya untuk stimulus syarat perlu, jika kesadaran sudah muncul maka PDB tidak diperlukan, dan 28.54 menyatakan bahwa kredit penting karena untuk memenuhi keperluan mereka sehari-hari selama mereka tidak bekerja, untuk mengurangi perambahan hutan, meningkatkan kesejahteraan petani, dan meningkatkan fungsi hutan sebagai fungsi ekonomi dan ekologi. Pendapat staf BPDAS terhadap persyaratan kelompok tani untuk mendapatkan PDB HTR adalah sebagai berikut: anggota kelompok tani yang ideal adalah 15-20 orang 57.14, dan 25-50 orang 28.6, dan sisanya tidak tahu. Berkaitan dengan luas yang mampu dikelola 57.14 menyatakan 2 ha, 14.29 menyatakan 5 ha, dan sisanya atau 28.57 tidak tahu karena tergantung harga jual dan riap. Berkaitan dengan tanggung renteng 57.14 staf menyatakan tanggung renteng tidak menjamin pengembalian kredit, karena petani hanya akan mengakui utang yang dia terima, biaya operasional yang dia terima tidak akan mau dibayar kecuali ada penjelasan di awal. Pemberian kredit secara bertahap agar uangnya digunakan sesuai perencanaan awal disetujui 42.86, dan 57.14 setuju adanya pembuatan laporan mengenai penggunaan uang dan teknis pekerjaan, akan tetapi teknik pembuatan laporan yang diberikan kepada petani harus dibuat lebih praktis, atau apabila diperlukan cukup mengisi blanko yang sudah disediakan. Peraturan yang sebaiknya ada di petani adalah peraturan yang langsung mengatur peran petani tanpa melibatkan pihak ke-3, petani harus dilibatkan sejak awal pada pembuatan aturan, hak dan kewajiban dirinci sejak awal termasuk sanksi hukum atas segala pilihan 57.14, mencantumkan kewajiban untuk menanam, memelihara dan memanen serta kewajiban membayar PDB HTR, dan aturan curahan tenaga kerja. Peraturan yang sebaiknya ada di PDB HTR adalah: 1 ada instansi yang mengurus secara khusus, 2 ada jaminan pasar, dan 3 harga kayu sesuai harga pasar. Tentang perlunya sanksi terhadap petani yang menunggak yaitu: 1 tetap bayar dengan tenggang waktu diperpanjang 28.57, 2 tidak boleh diikutkan pada program pinjaman lain dari pemerintah 42.86, 3 jika petani tidak bersalah misal bencana alam maka utang hapus 14.29, dan 4 tidak setuju diberi sanksi 14.29 karena petani umumnya ekonomi lemah, yang sebaiknya diberi sanksi adalah pengurus atau manajemen atau instansi dari pada peserta. Adapun penghargaan terhadap petani yang mengembalikan kredit: 1 adanya jaminan pemasaran, 2 studi banding ke daerah yang berhasil, 3 diikutkan pada program pinjaman berikutnya, dan 4 adanya pengurangan bunga kredit. Para pihak yang sebaiknya terlibat menurut BPDAS adalah petani, bank, LSM, Pemerintah, bapak angkat, koperasi yang menampung peserta serta pengawas. Sementara jumlah personil yang sebaiknya membantu dilapangan tidak tahu akan tetapi yang menangani HTR sebaiknya bukan UPT tetapi bapak angkat yang kompeten karena personil UPT tidak akan mampu karena tidak memiliki petugas di lapangan, Hal ini disebabkan HTR harus terus didampingi secara langsung oleh petugas teknis yang menguasai kondisi lapangan. Syarat utama keberhasilan PDB HTR adalah: 1 adanya jaminan kepastian lahan, 2 pembinaan dan bimbingan yang cukup, 3 tata usaha kayu sederhana, 4 jaminan pasar kayu, 5 nilai kredit memadai untuk membangun HTR, 6 turun tepat waktu sesuai kebutuhan, 7 ada instansi yang melakukan pengawasan secara kontinyu, dan 8 adanya bapak angkat yang membantu petani dalam memasarkan hasil, di mana keuntungan sepenuhnya untuk petani dan bapak angkat hanya memperoleh kemudahan dalam memperoleh bahan baku. Walaupun demikian akan terdapat kendala dalam melaksanakan HTR yaitu: 1 petani menghendaki investasi jangka pendek, 2 kayu susah dipasarkan karena TUK Rumit, 3 harga kayu murah atau dikendalikan pemilik pabrik, 4 lahan tidak ada atau sulit dijangkau, 5 masyarakat menginginkan tanaman sawit, 6 tidak ada jaminan pasar, dan 7 petani tidak menyukai kredit untuk kayu tapi lebih memilih kredit untuk kelapa sawit. Skema PDB HTR yang paling cocok untuk petani adalah; 1 pinjaman diberikan sesuai dengan keperluan di lapangan dan di usulkan oleh kelompok tani, 2 pembayaran kalau kayu sudah panen, dan 3 selama menunggu panen, bapak angkat memberi pinjaman yang dibayar kalau panen. Peraturan yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan HTR dan PDB HTR adalah: 1 petunjuk pelaksanaan, 2 petunjuk teknis, 3 peraturan lokal lainnya untuk mempermudah pelaksanaan di lapangan, 4 TUK disederhanakan, 5 pengaturan harga kayu oleh pemerintah, 6 kejelasan personil pengawas dan alokasi biaya pengawasan, 7 kejelasan personil yang melakukan bimbingan teknis dan keuangan, dan 8 kejelasan penyuluh pendamping dan pemenuhan kebutuhan dananya. Saat penelitian masyarakat petani di wilayah kerja BPDAS belum siap untuk melaksanakan HTR dan PDB HTR karena pengetahuan masyarakat petani terhadap HTR dan PDB HTR sangat rendah. Terdapat beberapa cara supaya sosialisasi lebih efektif yaitu melalui penyuluhan, studi banding terhadap tempat yang berhasil, melalui Dinas Kehutanan, melalui media cetak dan elektronik. 4.4.2.3 Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten Dinas Kehutanan belum pernah memiliki pengalaman menyalurkan kredit, namun hanya membantu menyalurkan bantuan dari Kementerian Kehutanan pusat dalam bentuk bibit tanaman hutan dan pupuk, dari responden staf Dinas Kehutanan yang diwawancarai 60 staf pernah menerima edaran HTR, tetapi dari 60 tersebut hanya 20 yang pernah membaca PDB HTR. Staf yang ditunjuk di Dinas Kehutanan adalah Seksi HTR di Bidang Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Propinsi dan Bidang Pengembangan Usaha Kehutanan serta Bidang Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Kabupaten. Perkembangan peraturan HTR saat penelitian dilakukan adalah HTR sudah disosialisasikan kepada masyarakat dan satuan kerja BAPPEDA, para camat walaupun baru pada tataran sosialisasi dan Dinas Kehutanan hanya mendampingi sosialisasi dari Kementerian Kehutanan. Selain itu dilakukan pengecekan terhadap peta indikatif yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan termasuk pengecekan tumpang tindih perizinan misalnya apakah pada lahan tersebut sedang ada kegiatan reboisasi dan rehabilitasi termasuk kondisi sosial ekonomi masyarakat hutan. Lahan yang sudah dicadangkan untuk kegiatan HTR di Kabupaten Kuansing adalah 13.486 Ha, dan sudah dilakukan pengecekan di desa Logas kecamatan Sengingi, hasilnya lahan tersebut sudah dikuasai oleh masyarakat walaupun pada kawasan hutan produksi. Tanggapan atas peraturan PDB HTR, menurut staf Dinas Kehutanan baik Propinsi maupun kabupaten peraturan tersebut perlu ditinjau ulang karena peraturan tersebut agak sulit dilaksanakan oleh masyarakat karena banyak masyarakat yang masih buta huruf atau belum bisa membaca, aturan tersebut cocok untuk perusahaan, dengan kata lain bagi masyarakat terlalu rumit, intinya perlu penyederhanaan mekanisme, dan jenis tanaman disesuaikan dengan keinginan masyarakat, serta ada jaminan pemasaran. Saat ini masyarakat lebih terfokus ke karet dan sawit, sementara kayu tidak populer, selain itu ada trauma psikologis pada masyarakat yaitu akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 ada gerakan sejuta sungkai, pada saat mau dipanen pasarnya tidak jelas, sedangkan lahan mereka sudah habis sehingga mau menanam jenis yang lain tidak bisa. Sanksi terhadap petani yang menunggak, yaitu: jika ada kredit macet, maka petani yang menunggak tidak diikutkan lagi pada program yang sejenis, walaupun demikian dari awal program kelembagaan petani sebaiknya dikuatkan terlebih dahulu, misalnya melalui pendampingan sehingga kegagalan bukan semata kesalahan petani, salah satu penyebab adalah adanya kelemahan dalam peraturan tersebut. Dan harus disadari oleh pemerintah bahwa mereka memberikan kredit kepada petani bukan untuk perusahaan, sehingga perlu dipikirkan cara membentuk pola pikir, pola sikap yang mendukung, dalam hal ini peran penyuluh sangat penting. Selain itu kapasitas penyuluh belum memadai, jarang masuk kantor dan tidak disiplin. Penghargaan terhadap petani yang mengembalikan kredit berupa beasiswa sekolah anak, pemberian modal kerja, diikutkan dalam program kredit berikutnya, ada pengembalian bunga yang besarnya diatur bersama pemberi kredit, ada jaminan pemasaran dan ada jaminan kepastian usaha. Tanggapan mengenai persyaratan kelompok tani untuk dapat memperoleh PDB HTR adalah: mengenai jumlah ideal kelompok sebaiknya tidak digeneralisir karena kemampuan ekonomis tiap kelompok berlainan dalam satu desa, sebaiknya dilakukan kajian. Mengenai luas yang mampu dikelola oleh petani, 60 staf yang diwawancara menyatakan 2 ha, 20 5 ha dan 20 tidak tahu. Mengenai tanggung renteng, menurut staf Dinas Kehutanan tanggung renteng akan menjamin pengembalian kredit karena petani akan saling membantu. Adanya ikatan antar kelompok, dan adanya sanksi sosial serta hukum membuat petani saling membantu dalam pengelolaan lahan, ada rasa tanggung-jawab bersama serta kepedulian sesama anggota. Berkaitan dengan jaminan ada dua pendapat, kelompok 1 setuju dengan adanya jaminan tetapi tidak memberatkan petani atau jaminan dalam bentuk yang lain yang mengikat secara moral, dan kelompok 2 tidak setuju adanya jaminan dengan alasan para petani tidak punya barang untuk dijaminkan, cukup perencanaan dan bimbingan teknis serta pengawasan yang lebih efektif, dengan adanya jaminan akan mengaburkan tujuan program yang mulia, tapi setuju jaminan dalam bentuk yang lain yang mengikat secara moral, akan tetapi jaminannya harus dipikirkan bersama, jika menggunakan jaminan, maka petani akan sulit menerima PDB. Setuju pemberian kredit secara bertahap 75 dari pelaksanaan yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan oleh penyuluh, dan setuju mengenai kewajiban petani untuk membuat laporan yaitu untuk mendisiplinkan mereka, tetapi laporan itu harus disesuaikan dengan kemampuan petani. Mekanisme kredit sebaiknya jelas mengatur sarana dan prasarana, pengawas dan sumber biayanya, biaya sebaiknya tidak digeneralisir karena antar kabupaten dapat menyerap biaya yang berbeda. Syarat utama keberhasilan PDB HTR adalah adanya regulasi yang kondusif, dan kepastian kawasan, pernyataan kesungguhan dalam melaksanakan program bagi para pihak, dan pendampingan serta pengawasan terhadap masyarakat harus lebih intensif. Peraturan yang sebaiknya ada di petani yaitu peraturan yang langsung mengatur peran petani tanpa melibatkan pihak ke-3, petani harus dilibatkan sejak awal pada pembuatan aturan, hak dan kewajiban dirinci sejak awal termasuk sanksi hukum atau segala pilihan atau harus ada tanggung-jawab individu terhadap kelompok, dicantumkan kewajiban untuk menanam, memelihara dan memanen serta membayar PDB, curahan tenaga kerja. Mengenai peran PDB dalam pembangunan HTR semua berpendapat sangat penting karena petani tidak memiliki dana, hanya jumlahnya harus disesuaikan dengan kondisi lokasi, hal yang perlu menjadi perhatian oleh pemberi dana bahwa sebagian petani biasanya memanfaatkan uang tunai yang dimiliki untuk keperluan lain. Peran dana dan peningkatan kapasitas petani, sama pentingnya. Menurut staf Dinas Kehutanan para pihak yang sebaiknya terlibat adalah petani, Dinas Kehutanan, pemerintah kecamatan, kepala desa, dan Bank. Saat penelitian pihak Dinas Kehutanan belum menunjuk bagian yang mendampingi kelompok tani dan belum diberikan pelatihan. Sementara berkaitan dengan kesiapan wilayah kerja, mereka menyatakan belum siap karena penetapan kawasan hutan belum selesai, sosialisasi kepada masyarakat masih kurang, jenis tanaman yang diinginkan umumnya jenis tanaman perkebunan seperti karet dan sawit, sosialisasi kepada masyarakat harus lebih intensif dengan perencanaan yang matang. Menurut Dinas Kehutanan cara sosialisasi yang efektif adalah melalui penyuluhan, FGD, dan media lain, untuk jumlah personil sebaiknya 3 orang per kecamatan, karena setiap orang kemampuan memeriksa 2 ha per hari per orang, dan waktunya dapat diatur secara bergiliran. Kendala dalam pelaksanaan HTR dan PDB HTR: 1 ketidak-konsistenan dari petani, terkadang petani berubah pikiran setelah kontrak berjalan, 2 ketidak- konsistenan peraturan, 3 waktu panen kayu lama sehingga manfaat yang bisa dipetik juga lama, 4 Pemasaran kayu sulit, 5 program yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, dan 6 prosedur dan persyaratan terlalu sulit bagi masyarakat. Peraturan yang perlu ada untuk mendukung keberhasilan program PDB HTR adalah peraturan turunan dari Permenhut dan Kepala Pusat BLU Pusat P2H yang sifatnya lebih operasional dan Petunjuk Pelaksanaan Juklak serta Petunjuk Teknis Juknis yang sesuai dengan karakteristik daerah setempat. 4.4.2.4 Dinas Perkebunan Dinas Perkebunan Riau memiliki pengalaman memberi kredit, kinerjanya sama dengan kehutanan yaitu sebagian penerima pinjaman ada yang membayar dan sebagian lagi tidak, kendala yang dihadapi dibidang perkebunan yaitu tidak ada petugas penagih, akibat banyak karyawan dimutasi pada saat otonomi daerah sehingga tidak ada petugas yang melaksanakan. Solusinya harus ada petugas yang khusus menagih dan diberi insentif. Tanggapan atas PDB HTR adalah Kementerian Kehutanan jangan membuat peraturan yang sama antara peraturan untuk petani dan pengusaha HTI, oleh karena itu sebaiknya Kementerian Kehutanan meninjau ulang peraturan PDB HTR tersebut karena cenderung memberatkan petani. Kendala lain yang nanti akan dihadapi adalah masyarakat masih asing dengan pola kredit atau pinjaman sehingga berpotensi tidak bisa melunasi utang kreditnya, karena masyarakat terbiasa menerima hibah dan tidak ada pendampingan yang intensif. 4.4.2.5 Kepala BP2HP Pada saat penelitian BP2HP tidak menunjuk bagian khusus untuk menangani HTR, akan tetapi BP2HP sudah melakukan sosialisasi ke tingkat kabupaten dan masyarakat. BP2HP sangat mendukung PDB HTR karena dapat mensejahterakan masyarakat sekitar hutan, masyarakat bukan sebagai objek melainkan pelaku utama atau subyek dalam pemanfataan hasil hutan. Akan tetapi PDB HTR tidak dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk lain yang sesuai dengan perencanaannya. Perihal persyaratan petani yang dapat memperoleh PDB HTR yaitu tidak tahu jumlah ideal kelompok, luas yang mampu dikelola 8 sampai 15 ha sesuai skema Kementerian Kehutanan. Setuju tanggung renteng tetapi antara pemberi ijin, pengelola dan pelaksana, karena tanggung renteng tidak menjamin pengembalian kredit, yang paling penting adalah kesadaran masyarakat. Tidak setuju adanya jaminan barang pribadi, jaminan setuju hanya dalam bentuk IUPHHK-HTR. Setuju pemberian kredit bertahap 75 dari pelaksanaan hanya perlu adanya penjelasan aturan dalam pelaksanaannya, dan menyetujui pembuatan laporan sebagai bentuk pengendalian, sedangkan mengenai waktu pengembalian BP2HP menyarankan sebaiknya disesuaikan dengan daur tanaman. Sanksi terhadap petani yang menunggak belum ada akan tetapi jika ada sanksi maka sebaiknya diberi 2 sanksi yaitu sanksi administratif tentang larangan memperoleh kredit selanjutnya dan pidana. Sedangkan penghargaan terhadap petani yang mengembalikan kredit adalah pelayanan yang optimal, dan penambahan areal yang dikelola. Dan peraturan yang perlu ada untuk mendukung keberhasilan program PDB HTR adalah aturan pelaksanaannya dilapangan. Jumlah personil yang menangani HTR tidak tahu, tetapi sebaiknya bukan UPT tetapi bapak angkat yang kompeten karena personil UPT tidak akan mampu, karena tidak memiliki petugas di lapangan, hal ini disebabkan HTR harus terus didampingi secara langsung oleh petugas teknis yang menguasai. Sementara wilayah kerja BP2HP sendiri belum siap melaksanakan PDB HTR karena ijin lahan belum selesai. 4.4.2.6 Perguruan Tinggi Kredit bukan merupakan solusi yang tepat, sebaiknya skemanya bukan kredit melainkan hibah dan dibantu dengan penyuluhan dan pendampingan serta kelembagaan yang kuat. Berkaitan dengan peraturan PDB HTR, akademisi menganggap prosedur terlalu panjang dan bagi masyarakat persyaratan tersebut terlalu berat, dengan demikian disarankan peraturan atau skema PDB HTR perlu disederhanakan. 4.4.2.7 Peneliti Kredit bukan solusi yang tepat untuk pembangunan HTR, bentuk insentif yang tepat adalah mekanisme tata usaha yang simpel, harga dasar kayu di tingkat petani bisa tinggi dan industri bukan pengatur harga kayu. Tanggapan terhadap substansi perundangan PDB HTR yaitu mekanismenya tidak mudah dilaksanakan oleh petani karena kapasitas petani masih rendah, BLU Pusat P2H tidak perlu mengurus kredit, bank yang lebih tepat mengurus diserahkan kepada profesional. Jika tidak ada perubahan mekanisme maka kelestarian ekonomi, ekologi dan sosial dikhawatirkan tidak terlaksana karena PDB HTR sangat komplek dan birokratis. Tindakan yang disarankan untuk mensukseskan pembangunan HTR adalah dengan cara membangkitkan motivasi ekonomi bagi petani melalui tindakan: 1 tidak membebankan biaya dan tanggung-jawab perlindungan hutan negara kepada masyarakat melalui TUK yang rumit, dan 2 pembentukan harga yang dapat meningkatkan daya saing kayu sehingga pilihan masyarakat jatuh ke kayu. Hal ini sesuai kajian Rohadi 2010 dimana investasi kayu memberikan hasil pengembalian investasi yang layak namun investasi yang dikembalikan paling kecil bila dibandingkan dengan investasi tanaman lain seperti karet dan sawit. Hasil lengkap penelitian Rohadi 2010 adalah sebagai berikut: Jabon NVP 162, dan BC rasio 1.13, Mahoni NVP 539, dan BC rasio 1.31, Karet NVP 11.096, dan BC rasio 2.79, Sawit NVP 49.057, dan BC rasio 11.88. Hasil penelitian disertasi ini mendukung pernyataan dari Rohadi 2010, karena berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa petani di Riau lebih tertarik untuk berinvestasi melalui tanaman karet atau sawit daripada tanaman kehutanan. Sehingga Kementerian Kehutanan perlu melakukan pendekatan yang lebih tepat kepada petani yang berada di wilayah yang berbeda. 4.4.2.8 Hubungan Persepsi Para Pihak selain Petani terhadap Kinerja PDB HTR Persepsi para pihak perlu menjadi perhatian, karena persepsi akan membentuk perilaku atau respon terhadap program PDB HTR. Hal ini sesuai dengan pendapat Winter 1990, yang menyatakan bahwa salah satu variabel kunci yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan adalah respon dari para pihak di daerah. Dengan demikian persepsi yang mempengaruhi respon atau perilaku para pihak akan mempengaruhi keberhasilan PDB HTR baik dalam peningkatan kesejahteraan petani, maupun pengembalian PDB HTR. Persepsi yang akan dikaji pertama adalah perusahaan di mana perusahaan tidak tertarik menjadi mitra atau develover HTR karena butuh investasi besar dan sulit meyakinkan bank, sedangkan BPDAS berpendapat peran PDB HTR sangat penting tetapi bukan satu-satunya melainkan seluruh input produksi. Menurut BPDAS syarat utama keberhasilan PDB HTR adalah 1 adanya jaminan kepastian lahan, 2 pembinaan dan bimbingan yang cukup, 3 Tata Usaha Kayu sederhana, 4 pasar terjamin, 5 dana cukup memadai dan turun tepat waktu sesuai kebutuhan, dan 6 adanya instansi yang melakukan pengawasan secara kontinyu. Jika syarat itu tidak terpenuhi PDB HTR akan mengalami nasib yang sama dengan KUK DAS dan KUHR. Dinas Kehutanan menambahkan bahwa peraturan atau prosedur PDB HTR perlu disederhanakan karena terlalu rumit mengingat karakteristik petani, perlu dilakukan pembinaan kepada petani sebelum dana turun khususnya pembinaan yang dapat membentuk pola pikir dan pola sikap atau peningkatan kapasitas, perlunya komitmen para pihak untuk mensukseskan program, terakhir petani perlu jaminan pemasaran produk. Dinas perkebunan turut memberikan saran bahwa aturan PDB HTR untuk petani jangan serumit untuk HTI, adanya pendampingan intensif dan perlu mengubah pola pikir masyarakat yang terbiasa menerima dana hibah menjadi pola pikir kredit yang harus dikembalikan. Sementara BP2HP menyatakan bahwa yang menangani HTR sebaiknya jangan UPT Kementerian Kehutanan, karena personil UPT tidak akan mampu, dan terakhir pihak akademisi dan peneliti yang sama-sama menyatakan aturan PDB HTR terlalu rumit, sehingga mekanismenya tidak dapat dilaksanakan oleh petani karena kapasitasnya yang belum cukup, jika tidak ada perubahan prosedur maka tujuan PDB HTR tidak akan terlaksana karena PDB HTR sangat kompleks dan birokratis. Saran yang diajukan untuk mensukseskan program PDB HTR adalah membangkitkan motivasi ekonomi petani melalui penyederhanaan TUK dan pembentukan harga yang dapat meningkatkan daya saing kayu. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa para pihak menganggap mekanisme PDB HTR sangat rumit dan tidak dapat dijangkau oleh petani miskin dengan kapasitas rendah, jika tidak ada perubahan mekanisme maka PDB HTR hanya akan diakses oleh “petani” yang punya modal atau pemodal yang berpura- pura menjadi petani, dengan demikian salah satu pilar pembangunan Indonesia bersatu yaitu memihak kepada orang miskin pro poor tidak akan tercapai.

V. PERBANDINGAN PDB HTR DENGAN MODEL

PINJAMAN LAIN KUK DAS, KUHR DAN PUAP Menurut Mayers dan Bass 2004 salah satu cara memperbaiki kebijakan adalah belajar dari pengalaman masa lalu baik tentang struktur maupun kinerja implementasi kebijakannya. Pendekatan yang dilakukan adalah analisis kebijakan naratif dari Van Eesten 2007; Nugroho 2011a. Analisis kebijakan naratif tidak dapat dipisahkan dari kelembagaan karena analisis harus memperhatikan tatanan atau konteks kebijakan dengan mengidentifikasikan fakta dan struktur peraturan Shananan et al. 2011, dengan demikian tujuan dari kebijakan naratif adalah untuk meramalkan masa depan kebijakan Dunn 2003 dari suatu atau perbaikan kebijakan Boswell et al. 2011. Kebijakan PDB HTR akan dikaji melalui perbandingan institusi Hirakuri 2003, perbandingan dimaksud dilakukan antara PDB HTR dengan KUK DAS, KUHR dan PUAP. Perbandingan ini untuk mengetahui bentuk kebijakan PDB HTR dengan KUK DAS dan KUHR sehingga bisa diprediksi kinerjanya di masa depan, dan bagaimana faktor-faktor penentu keberhasilan kinerja pinjaman diadopsi dalam kelembagaan pinjaman PUAP. Pada bab ini pembahasan akan dilakukan secara berurutan yaitu KUK DAS, KUHR, PDB HTR dan terakhir PUAP. Perbandingan dilakukan antara PDB HTR dengan KUK DAS dan KUHR, serta PDB HTR dengan PUAP.

5.1 Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai KUK DAS

KUK DAS dilaksanakan mulai tahun 1996, dana yang dipergunakan berasal dari Dana Reboisasi DR Departemen Kehutanan. Dasar hukum penyelenggaraan KUK DAS adalah Keputusan Menteri Kehutanan No: 199KptsV1995. Sedangkan petunjuk pelaksanaan KUK DAS berdasarkan Keputusan Ditjen RRL No: 06KptsV1996. Peserta KUK DAS adalah petani pemilik atau penggarap yang merupakan anggota kelompok tani dan tergabung dalam satu unit usaha tani. Lahan usaha tani yang digarap merupakan lahan kering baik untuk tanaman pangan, kebun rakyat dan hutan rakyat. Dalam pelaksanaan usaha tani terpadu, dianjurkan