Pembahasan Model of Sustainable Pelagic Fisheries Management in PPN Prigi, Trenggalek, Jawa Timur

dapat dihasilkan akibat pemanfaatan ikan di laut maupun pengolahan ikan di darat; 7 Peningkatan sarana prasarana, pengawasan yang intens, perbaikan peraturan dan penegakkannya serta pemberian kuasa pada pengawas perikanan yang bertugas merupakan tolok ukur keberhasilan dari berkurangnya IUU fishing; 8 Perbaikan akses jalan menuju Prigi hendaknya menjadi salah satu prioritas yang dilakukan dalam pengelolaan perikanan. Kondisi yang ada saat ini hanya angkutan dengan muatan sedikit yang dapat masuk ke Prigi. Untuk itu perlu dilakukan pengajuan dana untuk perbaikan jalan. Tolok ukur keberhasilan perbaikan akses jalan adalah meningkatnya kebutuhan pasar yang terpenuhi dengan transportasi yang efisien. 9 Hasil tangkapan hendaknya dapat dimanfaatkan secara optimal, untuk itu perlu dilakukan pengolahan hasil tangkapan menjadi produk lain diversifikasi agar produk tongkol dan cakalang memiliki nilai jual lebih tinggi; 10 Hasil potensi mengenai sumberdaya ikan unggulan yang terindikasi overfishing , memerlukan tindakan nyata. Hal utama yang dapat dilakukan adalah tidak lagi memberikan ijin penangkapan pada alat tangkap yang sama dan beroperasi di area yang sama. Regulasi yang mendukung pengurangan armada penangkapan sedikit demi sedikit, maupun pengalihan daerah penangkapan hendaknya diperkuat. Jika hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka sumberdaya ikan akan lestari. 11 Untuk meningkatkan SDM stakeholder utamanya nelayan purse seine perlu dilakukan penyuluhan dan sosialisasi teknologi baru serta pemahaman keberlanjutan perikanan tangkap. Penyuluhan yang dilakukan akan meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan nelayan.

5.6 Pembahasan

Penelitian ini mengkaji lebih dalam mengenai ikan unggulan karena stakeholder lebih memilih memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Untuk itu keberlanjutan ikan unggulan perlu diperhatikan. Ikan pelagis unggulan yang terdapat di PPN Prigi yaitu tuna, tongkol, cakalang, lemuru dan layang. Hasil ini berbeda dengan penelitian Nurani 2008 yang menyatakan ikan unggulan di Trenggalek adalah bawal hitam, teri, cakalang, peperek, layur dan kuwe. Hal ini dapat disebabkan penambahan kriteria pada penelitian ini berupa lama musim ikan dalam setahun juga dapat disebabkan perbedaan waktu pengambilan data. Seperti telah dijelaskan sebelumnya Bab 5.1 bahwa suatu jenis ikan tidak selamanya akan tetap menjadi ikan unggulan. Ikan tuna dan cakalang merupakan salah satu komoditas ekspor. Ikan tuna yang dapat diekspor segar adalah yang berukuran 20 kg, sedangkan ikan cakalang yang dapat diekspor beku adalah yang berukuran 2 kg. Ikan tongkol dan layang sebagian besar dipasarkan ke Surabaya dalam bentuk segar maupun pindang. Sedangkan ikan lemuru dipasarkan setelah dipindang atau dikeringkan, selain itu ikan lemuru yang kualitasnya buruk akan diolah menjadi tepung ikan. Keberlanjutan perikanan dari aspek ekologi dikaji dengan menghitung potensi ikan unggulan. Potensi ikan yang dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai MSY untuk masing-masing ikan adalah 1000,69 tontahun ikan tuna; 8853,01 tontahun ikan tongkol; 1056,56 tontahun ikan cakalang; 7497,64 tontahun ikan lemuru; dan 5324,21 tontahun ikan layang. Penangkapan ikan tuna di PPN Prigi hanya sedikit yang menghasilkan kualitas ekspor segar. Ikan tuna yang tertangkap di rumpon berukuran relatif kecil baby tuna. Hal ini mengkhawatirkan karena ikan tuna yang tertangkap belum pernah melakukan pemijahan, sehingga akan merusak siklus hidup ikan tuna. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa ikan tuna memiliki potensi kelebihan tangkap yang paling tinggi dibandingkan ikan unggulan lain. Penelitian Nurdin 2011 memperkuat hasil penelitian ini. Penelitian tersebut menyatakan bahwa penggunaan rumpon untuk penangkapan ikan tuna di PPN Prigi layak secara teknis dan ekonomi tetapi tidak layak secara bioekologi. Penyebab tertangkapnya baby tuna adalah penggunaan alat tangkap pancing tonda. Pancing tonda tidak dapat menjangkau habitat hidup ikan tuna dewasa yang memiliki lapisan renang 20-400 m dibawah permukaan laut Simbolon 2011. Secara ekologi perikanan tuna menggunakan pancing tonda tidak layak untuk dilakukan. Penangkapan ikan cakalang menggunakan pancing tonda tepat untuk dilakukan. Ikan cakalang memiliki habitat hidup pada lapisan renang yang jauh lebih dangkal dibandingkan ikan tuna yaitu 0-40 m Simbolon 2011. Pancing tonda telah mampu untuk menjangkau fishing ground ikan cakalang. Perubahan alat tangkap menjadi lebih besar tidak perlu dilakukan karena diprediksi hanya akan menambah biaya operasional tanpa penambahan hasil tangkapan yang diinginkan. Diantara kelima ikan pelagis unggulan di PPN Prigi, ikan cakalang memiliki potensi kelebihan tangkap yang paling rendah. Purse seine adalah alat tangkap yang paling produktif untuk menangkap ikan pelagis yang hidup bergerombol. Ikan unggulan yang paling banyak tertangkap purse seine adalah tongkol, lemuru dan layang. Ikan tongkol memiliki sifat lebih kosmopolitan dibanding ikan tuna dan cakalang karena mampu hidup di perairan lebih dangkal dan bersalinitas lebih rendah Simbolon 2011. Hal ini menyebabkan ikan tongkol banyak tertangkap purse seine bersama ikan layang dan lemuru pada daerah sekitar 10-25 mil dari pantai. Perubahan ukuran unit penangkapan purse seine menjadi lebih besar tidak perlu dilakukan karena alat tangkap yang ada telah mampu beroperasi menjangkau fishing groud ikan tujuan penangkapan. Berdasarkan perhitungan model produksi surplus, kelima ikan unggulan di PPN Prigi terindikasi telah mengalami kelebihan tangkap akibat terlalu banyaknya unit penangkapan ikan yang beroperasi. Ikan tuna yang memiliki prioritas unggulan pertama ternyata telah mengalami kelebihan tangkap paling tinggi. Regulasi yang tepat diperlukan untuk mengurangi atau bahkan menghentikan sementara penangkapan ikan tuna. Produksi ikan tongkol, lemuru dan layang mengalami penurunan drastis pada tahun 2010 Gambar 9, 11 dan 12. Perubahan ini dapat dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan karena habitatnya di perairan pantai yang lebih mudah dijangkau oleh usaha penangkapan. Sedangkan ikan tuna dan cakalang mengalami penurunan produksi namun dalam taraf biasa. Selain disebabkan peningkatan jumlah alat tangkap, penurunan produksi ikan tongkol, lemuru dan layang juga diakibatkan perubahan cuaca. Ikan tuna dan cakalang hidup di perairan laut lepas yang lingkungannya relatif stabil, sedangkan ikan tongkol, lemuru dan layang hidup di perairan pantai yang kondisi lingkungannya lebih dinamis dibandingkan dengan perairan laut lepas Simbolon 2011. Kemungkinan lain adalah terjadinya kecenderungan perubahan komposisi jenis organisme yang merupakan reaksi dari adanya pengaruh akibat komunitas sumberdaya tersebut. Hal tersebut antara lain dinyatakan dalam bentuk interaksi antar spesies yang ada dalam komunitas ataupun adanya penggantian kelimpahan antar spesies-spesies tersebut Nurhakim 2004. Keberlanjutan ekonomi dalam penelitian ini dikaji dengan menghitung kelayakan usaha unit penangkap ikan, yang dominan menangkap ikan unggulan. Alat penangkap ikan yang dominan tersebut adalah purse seine, gillnet, pancing tonda dan payang. Penggunaan alat tangkap selektif selain bermanfaat untuk pengelolaan sumberdaya perikanan juga bermanfaat secara ekonomi karena dengan penggunaan alat tangkap selektif diharapkan akan diperoleh ukuran ikan sesuai kebutuhan pasar Nababan et al 2007. Unit penangkapan ikan yang diprioritaskan berdasarkan perhitungan cashflow dan investment criteria adalah purse seine, disusul gillnet dan pancing tonda. Unit penangkapan purse seine memiliki perbandingan pendapatan dan biaya yang tinggi RC = 2,55. Unit penangkapan gillnet memiliki urutan prioritas kedua karena memiliki pengembalian nilai investasi yang paling cepat dibandingkan alat tangkap lain PP = 1,65 tahun dan tingkat keuntungan selama umur alat tangkap yang paling tinggi IRR = 57,21 jauh dari tingkat suku bunga yang berlaku. Hal ini disebabkan rendahnya nilai investasi gillnet serta tingginya pendapatan karena unit penangkapan gillnet juga membawa alat tangkap tonda. Alat tangkap payang dinyatakan berada pada urutan ke empat atau tidak diprioritaskan. Payang memiliki RC = 1,99 dan BC = 1,45, lebih rendah jika dibandingkan dengan unit penangkapan lain. Jangka waktu pengembalian modal payang PP sangat lama yaitu 4,56 tahun. Penyebab lamanya PP adalah tingginya biaya operasional yang dikeluarkan namun hasil tangkapan payang bukan ikan bernilai ekonomis tinggi. Selain itu tingkat keuntungan selama umur alat tangkap lebih rendah dari tingkat suku bunga yang berlaku IRR = 10,08 . Artinya lebih menguntungkan menyimpan uang modal investasi di bank yang memiliki tingkat suku bunga 12 dibandingkan menanamkan modal pada usaha payang. Hal inilah yang menyebabkan jumlah alat tangkap payang tidak mengalami perkembangan berarti dari tahun ke tahun. Jika jumlah unit penangkapan purse seine, pancing tonda, gillnet dan payang tidak dikendalikan maka akan menguras sumberdaya sehingga menyebabkan overfishing . Hal tersebut pada akhirnya akan berdampak terhadap pengurangan penerimaan pemilik kapal dan menyebabkan kerugian. Pengendalian jumlah armada yang beroperasi perlu dilakukan. Pengurangan armada untuk menyesuaikan dengan kemampuan ikan bereproduksi akan meningkatkan pendapatan dan menjaga agar sumberdaya ikan tetap berjalan berkelanjutan. Aspek sosial dikaji dari persepsi sosial stakeholder terhadap perikanan. Heryanto 1998 mengungkapkan bahwa usia dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Hal ini juga terlihat dari hasil pengelompokkan persepsi berdasarkan usia, dimana grup 4 41-46, 6 53- 58 dan 7 ≥ 59 memiliki grup centroid atau pusat pengelompokkan yang saling tumpang tindih, artinya persepsi dari tiga kelompok usia tersebut memiliki banyak kemiripan. Hal ini disebabkan responden pada grup 4, 6 dan 7 memiliki usia berdekatan dan pengalaman yang banyak sehingga memiliki pandangan yang mirip. Selain itu grup centroid dari grup 3 yang rata-rata berasal dari pihak pengelola dan grup 5 yang rata-rata merupakan nelayan juga saling tumpang tindih. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja yang telah dilalui nelayan telah membuat mereka mengerti bagaimana arah tujuan yang hendak dilakukan pihak pengelola. Ginting 1998 menyatakan bahwa konflik dapat muncul dari beberapa sebab, namun faktor yang cukup dominan adalah kerancuan tipe pemilikan sumberdaya dan kerancuan wewenang. Artinya kerancuan pemilikan menyebabkan tidak jelasnya siapa yang berhak untuk memanfaatkan satu sumberdaya dan berakibat timbulnya pertikaian antara pihak-pihak yang berbeda persepsi dalam penentuan kepemilikan sumberdaya perikanan dan kelautan. Oleh karena itu tipe dan konsep pemilikan yang berasosiasi dengan pemilikan sumberdaya kelautan dapat memberikan suatu kerangka kerja yang berguna untuk menganalisis kewenangan yang rancu dan konflik yang berkembang. Menurut Priyatna et al 2005 tindakan manusia dalam menghadapi sumberdaya milik bersama mengarah pada pemenuhan kepentingan sendiri dalam jangka pendek. Hal ini juga terlihat pada persepsi hak penangkapan oleh nelayan Prigi yang 80,49 menyatakan bahwa hanya nelayan desa setempat dan desa sekitarnya yang berhak menangkap ikan di Prigi, namun 65,85 nelayan menolak jika diberlakukan pembatasan alat tangkap walaupun mengetahui bahwa jumlah dan ukuran ikan semakin berkurang. Dahuri 2002 menyatakan keberadaan nelayan Indonesia pada masa sekarang masih tergolong nelayan tradisional yang memiliki produktivitas rendah. Rendahnya SDM dapat menyebabkan rendahnya pendapatan dan pendapatan yang rendah dapat berakibat semakin meningkatnya kemiskinan nelayan. Berdasarkan hasil penelitian Suryani et al 2004, rendahnya tingkat pendidikan di kalangan nelayan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; orang tua yang lebih mengarahkan untuk menjadi nelayan dan dikenalkan pada laut sejak kecil sehingga tidak terpikir untuk sekolah, selain itu keterbatasan biaya dan tidak adanya keinginan dari diri sendiri. Penelitian yang penulis lakukan memperlihatkan bahwa jenjang pendidikan nelayan 36 hanya berpendidikan SD, 43 berpendidikan SMP dan 21 berpendidikan SMA. Nelayan berpendidikan SMA adalah golongan pemuda. Artinya nelayan di Prigi sedikit demi sedikit telah berubah dan mengerti mengenai pentingnya pendidikan. Berdasarkan pemetaan persepsi, perlu dilakukan penyuluhan mengenai kejelasan hak penangkapan pada grup usia 1, 6 dan 7. Grup dengan tingkat pendidikan SD memerlukan penyuluhan mengenai pentingnya pendidikan dan keterampilan agar dapat menerima teknologi baru. Sedangkan grup nelayan dan pedagang memerlukan penyuluhan mengenai kejelasan hak penangkapan dan perlunya berorganisasi. Batas-batas hak penangkapan yang jelas akan memberikan pengetahuan bahwa pada dasarnya sumberdaya adalah milik bersama dan perlu pengelolaan bersama diantara stakeholder. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik. Mayoritas responden nelayan 68,29 tidak terdaftar dalam organisasi atau perkumpulan nelayan apapun. Pentingnya berorganisasi perlu dijelaskan pada nelayan. Berorganisasi akan menambah berbagai keuntungan nelayan, antara lain meningkatnya pengetahuan, hubungan sosial yang terjalin serta kemudahan informasi dan distribusi jika ada bantuan untuk bidang perikanan. Nelayan umumnya memiliki persepsi yang lebih mirip dengan bakulpedagang, hal ini dapat disebabkan tingkat pendidikan yang rendah sehingga pemahaman mengenai keberlanjutan sulit diterima, selain itu keduanya juga kepentingan yang lebih mirip yaitu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sedangkan pengelola memiliki pandangan yang lebih berbeda karena lebih maju tingkat pendidikannya. Secara keseluruhan persepsi stakeholder perikanan di Prigi berdasarkan usia, tingkat pendidikan maupun pekerjaan cenderung memiliki kemiripan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mempersatukan visi dan misi perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat diraih dengan relatif mudah karena semua stakeholder memiliki pandangan yang hampir sama. Perumusan strategi difokuskan pada perikanan tongkol dan cakalang menggunakan purse seine. Hasil pengkajian analisis IFAS dan EFAS menunjukkan lebih banyak terdapat kelemahan dan ancaman yang berhubungan dengan keberlanjutan perikanan pelagis di PPN Prigi. Hal ini menyebabkan strategi- strategi yang dihasilkan lebih mengedepankan perbaikan kelemahan untuk dapat meraih peluang yang ada dalam jangka panjang. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap semestinya tidak hanya berupa regulasi yang mengontrol akses terhadap pemanfaatan sumberdaya yang ada, tetapi harus mampu membangun dan memberdayakan komunitas perikanan untuk mengatasi masalahnya Wiyono 2006. Untuk itu perumusan strategi jangka pendek dan jangka panjang sebagai tolok ukur untuk mencapai sasaran strategis seperti yang dipaparkan pada hasil Sub sub bab 5.5.3. Sebagai contoh, regulasi untuk penulisan logbook pada nelayan tidak akan berjalan efektif tanpa adanya timbal balik yang diterima nelayan. Data logbook dibutuhkan pihak pengelolapemerintah untuk data base yang pada akhirnya digunakan untuk menentukan manajemen kebijakan pengelolaan. Nelayan dibutuhkan sebagai pencatat data logbook di atas kapal. Agar terjadi hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya diperlukan pemberian reward bagi nelayan yang mengisi logbook. Reward yang diberikan misalnya fasilitas penyimpanan ikan di cold storage dengan harga murah. Hal tersebut diharapkan dapat menambah kemauan nelayan untuk mengisi logbook sehingga pelaporan meningkat. Jika hasil ini tercapai maka data yang dibutuhkan pengelola dapat terkumpul. 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1 Ikan pelagis unggulan di PPN Prigi adalah ikan tuna, tongkol, cakalang, lemuru dan layang; 2 Stok ikan yang dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai MSY untuk masing- masing ikan adalah 1000,69 tontahun ikan tuna; 8853,01 tontahun ikan tongkol; 1056,56 tontahun ikan cakalang; 7497,64 tontahun ikan lemuru; dan 5324,21 tontahun ikan layang. Kelima ikan unggulan ini terindikasi mengalami kelebihan tangkap; 3 Alat tangkap yang memiliki kelayakan usaha sesuai urutan prioritas adalah purse seine , gillnet, pancing tonda dan payang. Unit penangkapan payang memiliki total nilai paling rendah dari semua kriteria; 4 Nelayan umumnya memiliki persepsi yang lebih mirip dengan bakulpedagang, hal ini dapat disebabkan tingkat pendidikan yang rendah sehingga pemahaman mengenai keberlanjutan sulit diterima, selain itu keduanya memiliki kepentingan yang lebih mirip yaitu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sedangkan pengelola memiliki pandangan yang lebih berbeda karena lebih maju pendidikannya. Namun dipandang dari usia, tingkat pendidikan maupun pekerjaan, stakeholder di Prigi memiliki persepsi yang hampir sama; 5 Fokus pengelolaan perikanan pelagis di Prigi adalah perikanan tongkol dan cakalang menggunakan purse seine. Sasaran strategis yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberlanjutan perikanan pelagis di PPN Prigi adalah sistem industri pengelolaan perikanan pelagis yang terintegrasi, kerjasama dengan dinas pariwisata, pelaporan data yang menguntungkan kedua pihak, penyatuan visi membangun perikanan berkelanjutan, penambahan cold storage, pembentukan laboratorium pengawas AMDAL, penambahan pengawasan daerah penangkapan ikan, perbaikan infrastruktur jalan menuju Prigi, diversivikasi produk tongkol dan cakalang, meminimalisir overfishing, serta peningkatan SDM stakeholder.

6.2 Saran

Saran yang dapat penulis berikan antara lain: 1 Untuk kasus perikanan di Prigi maka usulan pemodelan perikanan pelagis sebaiknya difokuskan pada perikanan tongkol menggunakan purse seine yang masih berpotensi lebih baik untuk dikelola; 2 Regulasi yang jelas dan tepat serta penegakkan hukum diperlukan untuk pengelolaan perikanan pelagis agar terhindar dari kemusnahan sumberdaya ikan unggulan yang telah terindikasi overfishing; 3 Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan menambahkan beberapa aspek lain dan memperdalam kajian tiap aspek yang berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan pelagis.