85
pakar yang memberikan penilaian konsisten atau tidak digunakan cara perhitungan CR Consistency Ratio, Bila nilai CR kurang dari 10 , berarti
penilaian pakar itu konsisten dan sebaliknya. Tabel 11. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan
Saaty pada AHP Marimin, 2004
Nilai Keterangan
1 KriteriaAlternatif A sama penting dengan KriteriaAlternatif B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 A mutlak lebih penting dari B
2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Apabila, pakar dalam memberikan penilaian tidak konsisten dimana nilai CR 0,1 maka dilakukan penyesuaian sehingga nilai CR0,1. Penyesuaian nilai
CR langsung dilakukan saat memasukkan data penilaian untuk setiap pakar. Dalam melakukan penyesuaian nilai matrik dicari nilai yang dapat memperoleh
nilai CR 0.09. Penyesuaian nilai matrik ini kemudian dilakukan konfirmasi kembali ke pakar yang bersangkutan. Setelah data nilai matrik dari masing-
masing pakar telah dimasukkan, hasil akhir yang dipakai adalah tampilan diagram dan nilai prioritas pada bagian partisipan Combined.
3.5.5. Teknik analisis data untuk tujuan 5
Teknik analisis data yang digunakan dalam mencapai tujuan ini adalah pendekatan sistem atau analisis sistem dinamik, untuk merumuskan kondisi
keberlanjutan saat ini, saat menjelang dan pada SaPeT PTFI dengan menggunakan perangkat lunak Powersim Constructor versi 2.5. Disamping itu
analisis atau sintesis dari sistem dinamik bersama-sama dengan masukan dari hasil analisis: ISM, AHP dan analisis patok duga digunakan untuk menyusun
skenario-skenario keberlanjutan penutupan tambang. Tahapan dalam melakukan analisis sistem dinamik adalah: analisis kebutuhan dari PPK,
formulasi masalah, identisikasi sistem, simulasi sistem, dan validasi. Analisis kebutuhan yang dilakukan pada bagian sebelumnya juga menjadi masukan bagi
analisis ini.
BAB IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kebijakan Penutupan Tambang 4.1.1. Perkembangan Kebijakan Pertambangan dan Penutupan Tambang Di
Indonesia
Perkembangan kebijakan atau regulasi di sektor pertambangan di Indonesia sangat lambat, termasuk juga regulasi terkait dengan penutupan tambang.
Peraturan perundang-undangan utama di bidang pertambangan adalah UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang
diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1967 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto, Jendral TNI dan Sekretaris Kabinet Ampera
Sudharmono S.H., Brig.Jen. TNI. Setelah 42 tahun kemudian, UU ini diperbarui dengan dikeluarkannya UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang disahkan pada tanggal 12 Januari 2009. Sementara itu, Indonesia baru mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur penutupan tambang pada tahun 2008 atau setelah 63 tahun merdeka, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral
No 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Melihat perkembangan ini, sungguh sangat ironis, Indonesia yang kaya sumberdaya
mineral dan batubara tidak mampu mengelola SDA ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanah UUD 1945. Kekosongan kebijakan dan
regulasi tentang penutupan tambang inilah yang menjadi salah satu penyebab juga menurunnya investasi pertambangan di Indonesia.
Walaupun demikian, berikut ini secara sistematik adalah regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan pertambangan dan pengelolaan
lingkungan di daerah pertambangan: a. UUD 45 yang telah diamandemen pada perubahan Pertama, Kedua,
Ketiga dan Keempat, pada pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Mengacu kepada pasal itu, jelas bahwa kegiatan penutupan tambang yang juga
merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan pertambangan seharusnya diorientasikan menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.