2 Pantai Kolowowa 1 Kerajinan Anyam

d.2 Pantai Kolowowa

Pantai Kolowowa merupakan sebuah pantai berpasir putih yang memiliki ombak yang tenang. Pantai tidak selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga digunakan masyarakat sebagai tempat budidaya rumput laut. Pantai ini memiliki hamparan pasir yang cukup panjang, sekitar 2 km dan merupakan pantai terpanjang di Pulau Kapota. Di lokasi pantai terdapat beberapa jenis tegakan diantaranya cemara laut, pandan-pandanan, dan kelapa. Gambar 21 Pemandangan di Pantai Kolowowa. Pantai Kolowawa merupakan pantai yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Kapota. Di pantai ini terdapat sebuah tanjung dengan batu karang penghalang yang di percaya sebagai tempat pendaratan penyiar agama Islam pertama yang datang ke Pulau Kapota. Nama tanjung tersebut adalah Banakawa, dalam bahasa Kapota berarti pertama tiba bana yang berarti pertama dan kawa yang berarti tiba atau sampai. Berdasarkan mitos yang berkembang di masyarakat, karang ini merupakan persinggahan pertama para penyiar agama Islam dari Kerajaan Buton. Sampai sekarang, kawasan ini masih sangat sakral bagi masyarakat dan dipercaya memiliki „penghuni‟, sehingga di kelola oleh adat Sara. Objek lain yang dapat dinikmati di sekitar Pantai Kolowawa adalah kegiatan budidaya rumput laut oleh masyarakat. Budidaya rumput laut merupakan salah satu mata pencarian masyarakat di Pulau Kapota. Dengan menggunakan saung-saung kecil yang dibuat di bawah pohon, masyarakat melaksanakan aktivitas budidaya rumput laut tersebut Gambar 22. Hingga saat ini, pemerintah daerah telah mulai menawarkan kegiatan atau aktivitas masyarakat sebagai objek wisata di Wakatobi, salah satunya adalah kegiatan budidaya rumput laut pada komunitas masyarakat Bajo Desa Sama Bahari di Pulau Kaledupa. Gambar 22 Kegiatan budidaya rumput laut.

d.3 Pantai Umala

Pantai Umala merupakan salah satu pantai dengan objek wisata berupa batuan karang yang tersusun indah di pesisir pantai berpasir putih. Pantai ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga di lokasi ini juga dapat dijumpai masyarakat yang sedang melakukan kegiatan meti-meti. Selain itu, karena Pantai Umala sangat di pengaruhi pasang surut air laut, banyak tumbuhan mangrove yang tumbuh di sekitar pantai ini. Dan ketika air pasang terjadi, sebagian pantai ini akan terisi air laut, sehingga batu-batu karang yang berada disekitar lokasi tampak seperti pulau-pulau yang terapung. Daya tarik lain yang dapat dinikmati di Pantai Umala adalah pemandangan alam yang indah, terutama saat air laut surut Gambar 23. Dari lokasi ini, pemandangan laut dan Pulau Wangi-wangi dapat terlihat. Kemudian kondisi ini akan diperindah lagi dengan adanya genangan air yang sangat jernih, sehingga pasir-pasir putih pada dasar air terlihat sangat jelas Gambar 23. a. b. Gambar 23 Pantai Umala: a. Genangan air pasang di sekitar Pantai Umala, b. Pemandangan yang indah di Batu Karang Umala.

5.1.3 Potensi Sejarah dan Situs Keramat a.

Potensi Sejarah Bekas-bekas peninggalan sejarah masyarakat Pulau Kapota hingga saat ini masih terlihat jelas, seperti bekas Benteng Katiama, Benteng Togo Molengo dan Batu Banakawa. Berdasarkan mitos yang beredar di masyarakat, pertama kali adanya peradaban di Pulau Kapota dimulai sejak abad ke-16. Penghuni pertama Pulau Kapota merupakan masyarakat yang berasal dari Kerajaan Lemakera, yaitu sebuah kerajaan Hindu yang berada di Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka menetap di sebuah tempat yang berada di atas bukit di tengah hutan Pulau Kapota. Tempat tersebut dikenal dengan nama katiama yang berarti kampung pertama. Kondisi katiama saat ini telah tertutup oleh semak belukar sehingga perlu dibersihkan dan perlu dilakukan pembenahan, agar dapat terlihat sejauh mana bekas-bekas benteng yang masih ada tersebut. Gambar 24 Bekas Benteng Katiama yang sudah tertutupi rumput. Perubahan hidup masyarakat Pulau Kapota di mulai sejak masuknya ajaran Islam yang di bawa oleh Kerajaan Buton. Setelah masuknya kerajaan Islam, jumlah penduduk mulai meningkat, sehingga masyarakat membutuhkan perkampungan baru. Togo Molengo merupakan benteng Kerajaan Kapota dan merupakan kampung kedua sebelum masyarakat menempati kampung yang ada saat ini. Bekas Benteng Togo molengo saat ini masih terlihat jelas, yaitu berupa tembok-tembok yang di susun mengelilingi suatu areal tanah dengan luas sekitar 1000 m 2 . Sebenarnya sepintas Togo Molengo mirip seperti benteng di Kota Bau- bau, Pulau Buton atau biasa dikenal dengan nama Keraton Kota Buton. Togo Molengo juga menyimpan sejarah penting asal mula ajaran agama Islam masuk ke Pulau Kapota. Di dalam benteng ini terdapat makam yang dipercaya sebagai makam penyebar agama Islam pertama di Pulau Kapota Gambar 25, makam Bapak Barakati. Bapak Barakati memiliki nama asli La Ode Ana, nama ini sangat jarang disebut oleh masyarakat Kapota tabu, mereka percaya bahwa untuk menyebut namanya harus pada waktu-waktu tertentu saja masyarakat luar tidak boleh tahu kapan waktu tersebut. Gambar 25 Makam Bapak Barakati di dalam Togo Molengo. Masuknya peradaban di Pulau Kapota melalui laut, dengan menggunakan kapal-kapal layar. Berdasarkan mitos di masyarakat, awal masuknya kapal-kapal laut ke Pulau Kapota menempati sebuah tanjung kecil. Tanjung tersebut saat ini di kenal dengan nama Batu Banakawa Bana artinya pertama, Kawa artinya tiba. Batu Banakawa merupakan sebuah batu karang yang terdapat di tanjung sekitar Pantai Kolowowa. Di batu inilah para utusan Sultan Buton para penyiar agama Islam pertama kali menginjakkan kakinya. Meskipun hanya terlihat seperti batu biasa yang terdampar di antara hamparan pasir putih, tetapi bagi masyarakat Kapota batu ini memiliki nilai tersendiri, yaitu sebagai tempat yang dikeramatkan Gambar 26. Masyarakat percaya batu ini memiliki penghuni sehingga tidak ada yang berani merusaknya. Gambar 26 Batu Banakawa yang dikeramatkan oleh masyarakat Kapota.

b. Potensi Situs-situs Keramat

Pulau Kapota dipercaya memiliki beberapa tempat yang dikeramatkan. Tempat-tempat tersebut di pandang sebagai sesuatu yang sakral dan ditakuti, sehingga untuk berinteraksi dengan tempat-tempat tersebut dilakukan dengan cara- cara yang berbeda. Beberapa tempat tersebut diantanya adalah Saru‟sarua, Laudina, Watululu dan Watu ndengu-ndengu. Dari keempat lokasi tersebut, tempat yang palin g dianggap sakral oleh masyarakat Kapota adalah Saru‟sarua. Saru‟sarua merupakan sebuah tempat keramat yang berada di pesisir pantai bagian timur Pulau Kapota dan terletak di atas batuan karang Gambar 27. Saru‟sarua dipercaya sebagai tempat arwah nenek moyang masyarakat Kapota, sehingga pada jaman dahulu tempat ini merupakan tempat pemujaan sebelum akan berperang melawan penjajah. Berdasarkan mitos, masyarakat percaya ketika melakukan pemujaan orang yang berperang akan dilindungi dari kematian. Hingga saat ini tempat ini masih menjadi tempat yang memiliki nilai mistik di kalangan masyarakat Kapota. Masyarakat saat ini menggunakan tempat ini sebagai tempat berdoa kepada Tuhan. Masyarakat percaya bahwa Saru‟sarua merupakan pintu perantara manusia dengan penguasa alam semesta, sehingga jika berdoa dan meminta pentunjuk hidup di tempat ini maka doanya akan diberkahi. Gambar 27 Situs keramat Saru‟sarua. Saru‟sarua merupakan tempat yang sangat sakral bagi masyarakat, sehingga kawasan ini tidak boleh dimasuki sembarangan orang. Untuk memasuki tempat tersebut harus meminta izin terlebih pada seorang dukun yang dianggap sebagi juru kunci kawasan ini. Juru kunci ini dipercaya sebagai satu-satunya orang yang dapat berkomunikasi dengan arwah nenek moyang orang Kapota. Banyak kejadian aneh yang dialami oleh masyarakat dan kejadian tersebut juga pernah dialami oleh pengelola taman nasional yang datang ke lokasi ini tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Kabongo, salah seorang dari mereka mengalami kerasukan. Setiap orang boleh melakukan ritual. Setelah melakukan ritual, biasanya masyarakat akan memasukan tangan ke sebuah lubang yang berada di bawah tugu Saru’sarua untuk mengambil sesuatu. Biasanya yang ditemui pada lubang tersebut adalah uang koin logam yang sudah lama, pecahan kerang dan sebagainya. Jika menemukan logam berarti permintaan mereka akan terwujud. Cara memasukkan tangan pada lubang tersebut juga memiliki tata cara tertentu, yaitu tangan yang dimasukkan adalah tangan kanan. Kemudian tangan kiri menopang bagian siku tangan kanan. Tangan yang dimasukkan tidak boleh melebihi siku Gambar 28. a. b Gambar 28 Tugu Saru‟sarua a. Lubang yang terdapat di bawah Tugu Saru‟sarua, b. Kegiatan mengambil jimat di lubang tugu tersebut. Tempat lain yang dikeramatkan oleh masyarakat Kapota adalah Laudina. Laudina merupakan sebuah tempat berupa tanjung bebatuan karang yang berada di ujung sebelah selatan Pantai Kolowowa dan dipenuhi oleh berbagai jenis tumbuhan Gambar 29. Laudina dalam bahasa Kapota berarti busuk hina. Sebutan ini diberikan oleh masyarakat karena dulunya tempat tersebut merupakan tempat pembuangan orang-orang terhina. Hingga saat ini tempat tersebut sangat ditakuti dan tidak ada yang berani masuk kedalam kawasan hutan tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat percaya bahwa roh-roh orang yang dibuang pada jaman dahulu masih bergentayangan ditempat ini. Gambar 29 Tanjung Laudina. Mitos yang beredar di masyarakat, menyebutkan Laudina sebagai tempat pembuanganpengasingan orang-orang yang memiliki penyakit lepra. Masyarakat yang terkena penyakit lepra penyakit kulit akan diasingkan dan tidak diperbolehkan meninggalkan tempat ini sampai kapanpun meninggal dunia. Hingga saat ini, Laudina masih dianggap angker dan ditakuti oleh masyarakat, sehingga jarang sekali masyarakat yang masuk ke kawasan ini. Kondisi ini menyebabkan hutan di kawasan ini masih terlihat utuh. Situs keramat lain adalah Watu Ndengu-ndengu yang berarti batu berbunyi dalam bahasa Kapota. Situs ini merupakan batuan karang penghalang yang berada di kawasan pesisir menuju Saru‟sarua. Batu ini jika di pukul-pukul akan menimbulkan suara seperti gong kecil dan dalam bahasa Kapota bunyi-bunyian ini disebut Ndengu-ndengu. Dulunya sehari sebelum akan dilakukan pertemuan adat terlebih dahulu batu ndengu-ndengu ini akan dipukul, yang menandakan masyarakat akan berkumpul di Saru‟sarua. Gambar 30 Situs keramat Watu Ndengu-deng.

5.1.4 Potensi Seni dan Budaya Daerah a. Potensi Seni

Seni merupakan bentuk keterampilan atau hasil karya manusia yang memiliki nilai, baik nilai estestika maupun nilai ekonomi. Masyarakat memiliki beberapa seni kerajinan seperti menganyam dan menenun. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh kaum ibu.

a.1 Kerajinan Anyam

Masyarakat Kapota memiliki keterampilan menganyam dengan bahan baku bambu. Anyaman bambu yang dijumpai di masyarakat Kapota adalah jalajah dan bubu. Jalajah merupakan sutu anyaman daari belahan bambu yang di buat untuk dinding rumah Gambar 31. Jalajah selain untuk digunakan sendiri juga di jual kepada masyarakat lain yang berada di Wakatobi. Hasil anyaman masyarakat dijual ke masyarakat di Pulau Wangi-wangi, masyarakat Pulau Kaledupa, dan masyarakat Tomia. Sehingga kerajinan jalajah merupakan salah satu mata pencarian masyarakat Pulau Kapota, khususnya ibu-ibu. a a Gambar 31 Kerajinan Jalajah: a. Kegiatan menganyam jalajah, b. Jalajah siap di jual.

a.2 Kerajinan Tenun