Foto 3.13. Palampok
B. Mairiak Padi
Mairiak padi merupakan kegiatan pada saat panen berupa melepaskan buah padi dari batang padi. Ibuk Asnidar menjelaskan bahwa; “mairiak padi ko
malapehan padi dari batang padi” mairiak padi merupakan melpaskan padi dari batang padi”, pen. Bapak Syaiful turut mengemukakan pendapat beliau mengenai
maksud dari mairiak padi, berupa :“Mairiak ko caro petani untuak mananggaan buah padi dari batang padi nan lah basabik”, mairiak merupakan cara petani
untuk melepaskan buah padi dari batang padi yang telah disabik”, pen. Terjadi perubahan-perubahan terhadap cara dan alat yang digunakan
ketika mairiak padi di Nagari Kamang Hilia. Menurut pengetahuan petani yang didapat dari nenek moyang, mairiak padi dilakukan dengan cara mengambil
setumpuk batang padi yang kemudian dipijak dan dipukulkan menggunakan 2 batang kayu atau pelepah kelapa. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Zamzani,
berupa :
“Sisuak urang mairiak ko mampagunoan kaki jo kayu atau palapah karambia sennyo. Padi nan lah basabik tu
barambah jo kayu, sudah tu balanyau jo kaki supayo buah padi ko tangga sadonyo”, “dahulu petani mairiak
hanya mempergunakan kaki dan kayu atau pelepah kelapa. Padi yang sudah disabik tersebut dipukulkan
menggunakan kayu dan kemudian di pijak-pijak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menggunakan kaki agar buah padi terlepas semuanya”, pen.
Foto 3.14. Mairiak Padi Menggunakan Kayu dan Kaki
Mairiak menurut yang diajarkan nenek moyang petani di Nagari Kamang Hilia memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut petani kelebihannya berupa,
buah padi pada batang bisa dilepaskan secara keseluruhan karena bisa diiriak berulang kali. Selain itu padi yang telah siap diiriak tergolong bersih karena tidak
terdapat potongan-potongan batang padi, sehingga dapat memudahkan petani dalam memisahkan padi boneh dengan padi hampo. Sementara kekurangannya
berupa, memerlukan tenaga yang lebih dan waktu yang lama. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Zamzani, berupa :
“Mairiak jo caro sisuak ko paralu tanago banyak dan wakatu nan lamo. Cuman padi nan ka bairiak ko
samparono lapehnyo dari batang padi. Padi tu pun barasiah ndek ndak do batang padi nan manyalek,
sahinggo katiko mangipeh wak labiah sanang” “mairiak dengan cara dahulu ini memerlukan tenaga
yang banyak dan waktu yang lama. Tetapi padi yang bairiak tersebut lebih sempurna dalam melepaskannya
dari batang padi. Padi tersebut tergolong bersih karena tidak ada potongan batang padinya, sehingga ketika
mengipas kita lebih mudah”, pen.
Seiring perkembangan informasi petani mulai mendapatkan pengetahuan sebagai upaya dalam menghemat tenaga. Petani mulai membuat alat yang lebih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
efisien dalam mairiak padi dengan membuat kayu palambuik padi. Kayu palambuik padi berbentuk persegi terdiri dari potongan-potongan kayu yang
dipasangkan berjarak sehingga memiliki ruang untuk menampung buah padi yang terlepas ketika dipukulkan. Namun menggunakan kayu palambuik padi ini
memiliki kekurangan berupa, padi yang terlepas cenderung berserak dan berhamburan. Sehingga petani lama-kelamaan mulai mengubah bentuk dari kayu
palambuik padi dengan cara memasangkan alat untuk menahan hamburan padi yang terbuat dari plastik atau tikar yang tipis. Sehingga terjadi perubahan pada
nama alat, yaitu tong palambuik. Menurut petani, penggunaan tong palambuik dalam kegiatan mairiak berkembang dengan sendirinya. Tidak ada petani yang
mengetahui dengan pasti semenjak kapan kayu atau tong palambuik mulai digunakan, hanya saja petani memperkirakan semenjak tahun 1990-an. Seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Zamzani, berupa :
“Ntah sajak bilo dan sia nan mamulai, kiro-kiro sekitar tahun 1990-an kami disiko mulai mampagunoan kayu
nan dibuek untuak malambuikan padi. Jadi ndak paralu mampagunoan kaki untuak mananggaan padi lai doh.
Katiko mampagunoannyo kami mandapek kendala lain, buah padi justru baserak katiko balakakan ka kayu
palambuik. Jadi, kami mamasangan panahan buah padi dari plastik atau lapiak nan agak tipih. Samanjak itu lah
kayu palambuik ko lah disabuik sen manjadi tong palambuik ”, “Ntah sejak kapan dan siapa yang
memulai, kira-kira sekitar tahun 1990-an kami disini mulai mempergunakan kayu yang dibuat untuk
memukulkan padi. Sehingga tidak memerlukan kaki untuk melepaskan buah padi. Ketika dipergunakan,
justru kami mendapatkan kendala baru, dimana buah padi yang terlepas justru berhamburan ketika
dipukulkan. Jadi, kami memasangkan penahan buah padi yang terbuat dari plastik atau tikar yang tipis. Semenjak
itu lah kayu palambuik mulai disebut dengan tong palambuik”, pen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Foto 3.15. Mairiak Padi Menggunakan Kayu Palambuik
Foto 3.16. Mairiak Padi Menggunakan Tong Palambuik
Seiring perkembangan teknologi di bidang pertanian, petani di Nagari Kamang Hilia mendapatkan informasi mengenai mesin untuk melepaskan buah
padi. Petani di Nagari Kamang Hilia menyebutnya dengan masin pairiak padi yang muncul sekitar tahun 2007-2008. Semenjak mengenal adanya masin pairiak
padi, beberapa petani mulai mempergunakannya dengan alasan menghemat waktu tenaga. Namun meurut petani, penggunaan masin pairiak padi membuat buah
padi tidak bersih karena banyak terdapat potongan-potongan batang padi. Selain mengganggu petani pada saat memisahkan padi yang berkualitas, menurut petani
potongan padi tersebut dapat mengganggu kualitas beras. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Syaiful, berupa :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
“Kalau ndak salah 6 atau 7 tahun belakangan ko, petani disiko mulai mampagunoan masin pairiak padi.
Mampagunoan masin pairiak padi ko bisa mampacapek wak katiko mairiak padi, talabiah wak ndak paralu
tanago banyak. Tapi mampagunoan masin pairiak ko kumuah padi jadinyo, soalnyo banyak batang-batang
padi. Jadi katiko mangipeh wak agak tapayah, samantaro angin kipeh ko ndak lo talok manabangan
batang padi ko kasadoalahnyo doh. Salain tu, katiko padi ko lah siap untuak ditumbuak manjadi bareh,
batang padi nan tabaok tu bapangaruah ka bareh. Bareh ko ndak rancak jadinyo, soalnyo kumuah ndek dadak
batang padi tu”, “kalau tidak salah 6 enam atau 7 tujuh tahun belakangan ini, petani disini mulai
mempergunakan masin pairiak padi. Mempergunakan masin pairiak padi dapat mempercepat kegiatan mairiak
padi, terlebih tenaga yang dibutuhkan tidak begitu banyak. Namun mempergunakan masin pairiak padi ini
membuat padi menjadi kotor, karena terdapat banyak potongan-potongan batang padi. Sehingga kita kesulitan
dalam mengipas padi, sementara angin pada alat pengipas tidak cukup mampu untuk membuang seluruh
batang padi. selain itu, ketika padi sudah siap diolah menjadi beras, batang padi yang terbawa dapat
mengganggu kualitas beras. Beras menjadi kotor dan kurang bagus karena terdapat serpihan atau dedak dari
batang padi”, pen.
Foto 3.17. Mairiak Padi Menggunakan Mesin
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Berbagai kekurangan dan kelebihan pada alat cara dan alat yang digunakan ketika mairiak padi membuat petani di Nagari Kamang Hilia memilah-
milah dalam mempergunakannya. Petani berpatok kepada kondisi dan kenyamanan mereka dalam mempergunakan cara atau alat ketika mairiak padi.
Sehingga kesemua cara dan alat yang diketahui petani dalam mairiak padi
digunakan hingga sekaranag ini. 3.5.5. Pengetahuan Petani mengenai Hama dan Penyakit Padi
Hama merupakan bagian dari jaringan ekosistem sebuah sawah, dimana hama tersebut memiliki peran tersendiri dalam kelangsungan ekosistem sawah
dibalik kerugian-kerugian yang disebabkannya bagi pertanian. Hama merupakan salah satu musuh petani dalam melakukan kegiatan pertanian, karena hama dapat
membuat tanaman menjadi rusak atau sakit. Petani di Nagari Kamang Hilia menyebut mengenal hama padi berupa
hamo padi. Secara harfiah hamo padi terdiri dari 2 dua suku kata, yaitu hamo yang berarti hama dan padi yang berarti padi. Seperti yang diungkapkan oleh
Bapak kayo, berupa ;“Manuruik ambo hamo ko babagai binatang atau rumpuik nan manggaduah bahkan marusak tanaman padi di sawah”, “menurut saya hama
merupakan berbagai jenis hewan atau rumput yang mengganggu bahkan merusak tanaman padi di sawah”, pen. Jadi, menurut petani di Nagari Kamang Hilia hamo
merupakan hewan atau tumbuhan yang mengganggu pertanian padi sawah mereka.
Petani di Nagari Kamang Hilia menegenal beberapa jenis hama, berupa; burung pemakan padi yaitu burung pipit, tikus, pianggang, keong mas, dan
rumput-rumput yang mengganggu perkembangan pertumbuhan tanaman padi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
seperti kalayau dan atua-atua baluik. Lebih lanjut Bapak Kayo menjelaskan mengenai apa saja yang dianggap hama oleh petani di Nagari Kamang Hilia,
berupa ; “Yang ambo kecekan hamo ko mode buruang pipik, mancik, pianggang, keong ameh, atau rumpuik kalayau jo atua-atua baluik”, “yang saya katakan
hama berupa burung pipit, tikus, keong mas, atau rumput kalayau dan atua-atua baluik”, pen.
Bagi petani Nagari Kamang Hilia, yang dikatakan rusaknya tanaman padi yang disebabkan oleh serangan hama merupakan penyakit tanaman. Penyakit
tanaman padi sawah tersebut berupa rusaknya tanaman padi berupa, buah padi yang kosong dimana petani Kamang Hilia memberi istilah padi hampo padi yang
tidak berisi. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Kayo, berupa :
“Kalau hamo padi ko lah manyarang padi, padi disawah tu manjadi sakik. Kalau padi tu lah sakik, samakin banyak padi
hampo dibandiangan nan boneh”, “kalau hamo padi tersebut telah menyerang tanaman padi, maka padi tersebut
akan sakit. Jika padi tersebut dalam keadaan sakit, maka akan lebih banyak terdapat padi hampo dibandingkan padi
boneh”, pen.
Penanggulangan penyakit tanaman ini pun sudah berbarengan dengan penanggulangan hama-hama padi sawah. Cara-cara penanggulangan hama dan
penyakit tanaman tersebut diwariskan secara turun-temurun oleh petani di Nagari Kamang Hilia. Baik dalam bentuk aturan-aturan yang berupa pantangan-
pantangan menurut kepercayaan nenek moyang, maupun cara-cara penangulangan hama melalui alat-alat yang digunakan petani. Seperti yang diungkapkan oleh
Bapak Kayo, berupa :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
“Dahulu ado babagai aturan dalam manjadian sawah yang diingekan ndek niniak moyang, sarupo pantangan-
pantangan yang harus dituruikan. Dari pantangan- pantangan yang ado tu, sabagian baguno untuak
mangandalian hamo padi”, “dahulu terdapat berbagai pantangan dalam manjadian sawah yang selalu diingatkan
oleh nenek moyang. Dari berbagai pantangan tersebut, sebagaian berfungsi sebagai pengendali hama”, pen.
Namun, berbagai pengetahuan petani dalam mencegah penyakit tanaman padi yang disebabkan oleh serangan hama berkembang dan berubah.
Perkembangan terhadap pengetahuan petani tersebut disebabkan oleh pengaruh kemajuan zaman yang menyediakan berbagai alat yang bisa dimaksimalkan
sebagai penanggulang hama dan berbagi pengalaman antara petani. Lebih lanjut Bapak Kayo menjelaskan :
“Babagai usaho dalam mananggulangi panyakik jo hamo ko kami dapek sacaro turun-tamurun. Tapi dalam
mampagunoan babagai caro atau alat nan bapakai, kami sasuaian jo perkembangan kini. Ma nan labiah rancak
hasianyo dan ado bahannyo, tu nan kami pagunoan”, “Berbagai usaha dalam menanggulangi penyakit dan hama
tersebut didapatkan secara turun-temurun. Tetapi dalam mempergunakan berbagai cara atau alat yang dipakai, kami
sesuaikan dengan perkembangan terkini. Mana yang lebih bagus dan tersedia bahannya, itulah yang akan
dipergunakan”, pen.
Keterangan Bapak kayo tersebut menjelaskan bahwa, berbagai pengetahuan petani dalam pengelolaan sawah, didasarkan kepada ajaran nenek
moyang termasuk pengendalian hama. Dalam mengikuti perkembangan pertanian, petani mencoba menyesuaikannya dengan pengetahuan-pengetahuan mereka
sebelumnya. Petani mulai menyesuaikan makna-makna yang terkandung pada ajaran nenek moyang, hingga peralatan yang digunakan sebagai pengendalian
hama. Berbagai pengalaman petani tersebut yang kemudian akan dibagikan kepada sesama petani, dengan harapan akan muncul cara-cara yang lebih efisien
terhadap pengendalian hama.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dahulunya terdapat kepercayaan petani di Nagari Kamang Hilia bahwa terdapat berbagai aturan berupa larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh
petani. Larang-larangan tersebut telah ada semenjak nenek moyang dan diwariskan secara turun-temurun ke petani-petani di Nagari Kamang Hilia.
Pelanggaran terhadap beberapa larangan tersebut dipercayai mamancing serangan hama terhadap tanaman padi. Berbagai aturan yang tabu untuk dilanggar oleh
petani di Nagari Kamang Hilia dalam pengelolaan sawah dikenal dengan istilah sati
47
Gangguan dari hama tikus lebih dikenal oleh petani di Nagari Kamang Hilia dengan istilah musim mancik. Langkah awal petani dalam menanggulangi
datangnya musim mancik yaitu dengan membersihkan sawah mereka ketika tahap penyiangan pertama. Membersihakan pematang dan sawah sekaligus juga berguna
terhadap penanggulangan tumbuhan liar yang yang dianggap petani sebagai hama yaitu rumput kalayau dan atua-atua baluik. Jenis rumput ini menurut petani di
Nagari Kamang Hilia juga dapat memancing munculnya musim mancik. Jika .
Terdapat beberapa hamo padi yang sangat mengganggu petani di Nagari Kamang Hilia hama tikus dan burung. Petani di Nagari Kamang Hilia mempunyai
pengetahuan tersendiri dalam menanggulangi berbagai jenis hamo padi. Pengetahuan yang dimiliki oleh petani dalam menanggulangi tikus dan burung
telah ada semenjak zaman nenek moyang petani. Namun seiring perkembangan teknologi, petani di Nagari Kamang Hilia berusaha menyesuaikannya dengan
pengetahuan yang mereka miliki sebelumnuya.
47
Sati yang berpengaruh terhadap munculnya hama lebih dijelaskan pada BAB IV mengenai Sati Dalam Pertanian Padi Sawah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
rumput tersebut dibiarkan tumbuh di sawah, maka sawah akan terlihat semak yang menurut petani dapat membantu berkembangnya tikus.
Selanjutnya petani akan menanam jenis tanaman yang dipercaya dapat mencegah munculnya musim mancik berupa tanaman pimpiang. Pohon pimpiang
ditanam oleh petani ketika padi disawah sudah mulai berbuah. Petani Kamang Hilia percaya bahwa pohon pimpiang tersebut memiliki aroma yang dapat
mengelabui tikus untuk mencium buah padi yang mulai tumbuh sehingga dapat mengganggu hama tikus dalam menyerang padi sawah. Seperti yang dijelaskan
oleh Ibuk Asnidar, berupa:
“Katiko padi lah mulai babuah, biasonyo ambo mananam pimpiang supayo mancik ndak mandakek.
Mancik nan ka mamakan padi di sawah tu ndak suko jo baun pimpiang, jadi mancik ko ndak amuah mandakek
ka sawah”, “ketika padi sudah mulai berbuah, biasanya saya menanam pimpiang agar tikus tidak mendekat.
Tikus yang akan memakan padi tersebut tidak menyukai aroma pimpiang, sehingga tikus tersebut tidak akan
mendekat ke sawah”, pen.
Pupuk yang digunakan oleh petani di Nagari Kamang Hilia tidak hanya berguna untuk menyuburkan tanaman, namun juga berguna untuk mencegah
munculnya hama dan penyakit. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Zamzani berupa :
“Sisuak kami diajaan ndek inyiak kami caro mausia mancik. Katiko mamupuak padi lah tabik, pupuak tu
dicampua jo balerang, supayo mancik ndak tibo. Kok lai na mancik tibo, ndak ka banyak ge doh, soalnyo mancik
tu ndak suko baun balerang doh. Paliang indak, padi ko ndak banyak susuik ndek mancik tu. Sampai kini rato-
rato kami masih mampagunoan caro tu” artinya “dahulu kami diajarkan oleh nenekkakek cara
menanggulangi tikus. Ketika memupuk padi yang sudah mulai besar, pupuk tersebut dicampurkan dengan
belerang agar tikus tidak masuk kesawah. Seandainya tikus tetap masuk, jumlah tikus tersebut tidak akan
banyak, karena tikus tidak menyukai aroma belerang. Paing tidak nantinya, padi tersebut tidak akan berkurang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
banyak karena tikus. Sampai sekarang ata-rata, kami masih melakukan cara ini”, pen.
Petani di Nagari Kamang Hilia dalam memaksimalkan pupuk organik sebagai penanggulangan hama dengan cara mencampurkan pupuk oragnik
tersebut dengan belerang. Jadi pupuk yang dicampurkan merupakan pupuk yang akan disebarkan ketika padi sudah mulai berbuah. Sebelum pupuk ditaburkan
kesawah, pupuk terlebih dahulu diaduk dengan belerang secara merata. Kegitan mencampurkan kedua bahan ini, langsung dilakukan petani ditempat tumpukan
pupuk tersebut. Menurut petani di Nagari Kamang Hilia, aroma dari belerang tidak disukai oleh tikus, sehingga tikus tidak mau mendekat ke lahan yang telah
dipupuk dengan pupuk organik bercampur belerang. Selanjutnya pengetahuan lokal petani dalam menanggulangi hamo padi
berupa burung-burung pemakan padi. Cara yang digunakan petani dalam menanggulangi hama burung yaitu dengan membentangkan tali antara satu sisi
sawah ke sisi sawah lainnya. Tali yang digunakan oleh petani di Nagari Kamang Hilia dalam mengusir hamo buruang adalah tali buruang. Pada tali yang
dibentangkan tersebut dipasang benda-benda yang berkilau yang menurut petani dapat menakut-nakuti burung yang akan menyerang padi mereka. Bentangan tali
tersebut sengaja dipasang kendur yang apabila terkena hembusan angin tali akan bergerak dan dapat menggoyangkan benda yang disangkutkan pada tali tersebut
sehingga burung-burung merasa terganggu, terancam, dan takut sehingga tidak jadi hinggap pada padi tersebut.
Alat yang digunakan pada teknologi ini pun berubah dari masa ke masa sesuai perkembangan zaman yang dapat membantu petani untuk lebih efisien
dalam menjaga padi mereka. Seperti yang diutarakan oleh Pak Kayo :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
“Siauak yang dipagunoan urang untuak mambuek bantangan ko dari kain sen nyo. Kain ko bacabiakan tu
disambuang sapanjang sawah. Biko kain nan lah panjang tu bakabekan lo kain nan bawarna tarang kiro-
kiro jarak saparaganan tangan. Kain-kain nan bawarna tarang tu yang baguno untuk ma usia buruang. Kain tu
kalau lah kanai matohari kan tapanca warnanyo, apo lai kalau lah diambuih lo ndek angin, takuik buruang
mandakek“ artinya “dahulu yang digunakan untuk bentangan adalah kain. Kain-kain tersebut dirobek dan
disambungkan sepanjang ukuran sawah. Setelah itu, pada kain yang panjang tersebut diikatkan kain yang berwarna
terang kira kira sepanjang rentangan tangan. Kain-kain berwarna terang tersebut yang berfungsi sebagai
pengusir burung. Guna kain tersebut akan terlihat setelah terkena cahaya matahari dan bergerak karena hembusan
angin yang dapat menankut-nakuti burung untuk mendekat”, pen.
Dahulunya petani menggunakan kain-kain yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dibentangkan pada sawah-sawah mereka. Pada kain yang
dibentang tersebut diikatkan pula kain-kain berwarna mencolok pada jarak-jarak yang menurut petani cukup untuk menakut-nakuti hama burung tersebut.
Selanjutnya fungsi kain yang dibuat panjang tersebut diganti dengan menggunakan pita kaset. penuturan Bapak Kayo mengenai penggunaan pita kaset
ini adalah :
“Kalau ndak salah sekitar taun 1990an lah kain ko di ganti jo pita kaset. Pita kaset ko kan lah mangkilek juo,
jadi kalau kanai matahi lah silau surang sen. Jadindak banyak karajo wak lai, ndak paralu manambah-nambah
kain ntuak ka di gantugan” artinya “Kalau tidak salah sekitar tahun 1990a n fungsi kain sudah digantikan
dengan menggunakan pita kaset. Pitak kaset tersebut pada dasarnya sudah mengkilat, sehingga akan berkilau
dngan sendirinya ketika terkena cahaya matahari. Oleh karena itu tidak diperlukan lagi untuk menggantungkan
kain”, pen.
Pita kaset tersebut mulai digunakan petani di Nagari Kamang Hilia sekitar tahun 1990 an. Petani merasa bahwa pita kaset yang mengkilat dan berkilau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
apabila terkena cahaya matahari dapat menakuti hama burung tersebut. Sehingga petani merasa lebih hemat dalam kerja dan bahan pembuatan.
Sekarang ini sangat sulit mendapatkan pita kaset, sehingga para petani menggunakan tali dan plastik plastik untuk menggantinya. Pada tali tersebut
diikatkan plastik-plastik bungkasan agar terlihat lebih besar dan lebih dan jelas oleh burung-burung yang akan menyerang padi. Bapak Kayo juga memaparkan
bentuk tali buruang yang digunakan oleh petani di Nagari Kamang Hilia, berupa :
“Kini ko tali buruang ko lah banyak dibuek urang mampagunoan tali taiyen karano pita kaset lah payan
mandapekannyo. Warna tali taiyen tu kan mangkilek lo mah, jadi samo sen gunonyo jo pita kaset. Supayo
buruang labaih takajuik, asoi-asoi nan bawarna bakabekan ka tali tu”, “sekarang ini tali buruang telah
banyak dibuat menggunakan tali plastik, karena sulitnya mendapatkan pita kaset. Warna dari tali plastik tersebut
juga mengkilat, sehingga memiliki fungsi yang sama dengan pita kaset. Agar burung bisa lebih terkejut, maka
pada tali akan dipasang plastik yang berwarna”, pen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV KEARIFAN LOKAL DALAM PERTANIAN PADI SAWAH
DI NAGARI KAMANG HILIA
4.1. Kearifan Lokal yang Masih di Pertahankan
4.1.1. Status Kepemilikan Sawah
Sawah yang dikelola petani di Nagari Kamang Hilia merupakan sawah yang didapat dari warisan keluarga, kepemilikan bersama, atau dengan menerima
sawah gadaian. Namun pada dasarnya, sawah-sawah yang dikelola petani merupakan harta pusaka yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek
moyang. Namun dalam kondisi tertentu, sifat-sifat kepemilikan sawah tersebut menjadi berubah. Perubahan kepemilikan sawah tidak terjadi begitu saja, tetapi
terdapat berbagai aturan yang telah ada semenjak zaman nenek moyang petani di Nagari Kamang Hilia. Berbagai aturan yang ada tersebut dijadikan pedoman
untuk membimbing petani dalam meminimalisir berbagai konflik terhadap kepemilikan sawah.
A. Sawah Pusako
Petani di Nagari Kamang Hilia merupakan etnis minangkabau dengan sistim kekerabatan matrilineal. Sistim kekerabatan matrilineal merupakan sistim
kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu perempuan. Pada sistim kekerabatan matrilineal harta benda yang diwariskan secara turun temurun
juga jatuh kepada keturunan dari pihak ibu. Harta warisan tersebut disebut dengan harato pusako. Begitu pula halnya dengan sawah yang diwariskan secara turun
temurun disebut dengan sawah pusako. Kebijakan terhadap sawah pusako ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA