Dalam penyediaan makanan berbeda-beda waktunya. Untuk makanan pokok berupa nasi, disediakan pada siang hari oleh petani yang sawahnya sedang
dikerjakan. Hal ini dikarenakan, pada siang hari tenaga petani yang sedang mengerjakan sawah sudah sangat terkuras sehingga memerlukan pasokan tenaga
yang ada pada makanan berupa nasi sebagai makanan pokok. Biasanya lauk yang disediakan untuk memakan nasi adalah rendang, berbagai gulai, berbagai
gorengan, dan berbagai masakan sayuaran. Sementara kawa disediakan semenjak pagi, karena kawa merupakan makanan yang agak ringan sebagai penganjal perut
dan pelepas dahaga sementara. Namun ketika mengantar nasi disiang hari, kawa juga turut disediakan kembali sebagai penganjal perut atau mpelepas dahaga
hingga sore hari. Kawa biasanya berisikan katan ketan, buah-buahan, aneka kue, dan kopi atau teh. Untuk katan memang selalu disediakan sebagai salah satu
makanan pada kawa. Karena katan merupakan salah satu makanan tradisioanal yang ada pada masyarakat Minangkabau.
4.2.2. Hilangnya Tradisi Bajulo-julo dalam Pengelolaan Sawah
Tidak ada petani di Nagari Kamang Hilia yang mengetahui dengan pasti semenjak kapan tradisi bajulo-julo mulai hilang dalam pengelolaan padi sawah.
hanya saja petani mengakui bahwa tradisi bajulo-julo dirasakan mulai memudar semenjak tahun 2000. Seiring perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
pengelolaan pertanian di Nagari Kamang Hilia, tradisi bajulo-julo untuk sekarang ini sudah tidak terlihat lagi.
Menurut petani di Nagari Kamang Hilia, tradisi bajulo-julo mulai memudar disebabkan oleh konflik-konflik yang muncul dalam kekerabatan. Tidak
bisa dipungkiri bahwa dalam satu ikatan kekerabatan juga terjadi salah paham
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang menyebabkan perpecahan sesamanya. Sehingga memunculkan keengganan untuk saling membantu.
Keadaan perekonomian juga mempengaruhi hilangnya tradisi bajulo-julo dimana, petani yang keadaan ekonominya tergolong rendah merasa tidak sanggup
dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk menjalankan tradisi bajulo-julo dan lebih memilih melakukan pengelolaan sawah bersama anak dan istri. Bahkan
petani yang tergolong perekonomiannya rendah lebih membuka diri untuk menerima upah mengerjakan sawah orang lain. Bagi petani yang tingkat
ekonominya lebih baik, cenderung tidak ingin dipusingkan oleh pekerjaan yang harus dikerjakannya. Sehingga mendorong petani tersebut untuk cenderung
menggunkan sistim upah dalam kegiatan pertaniannya. Hal ini dijelaskan oleh pernyataan Bapak Kayo :
“Kini lah jarang bana urang bajulo-julo tuak mangarajoan sawah di nagari wak ko. Kadang kok sempat wak
badunsanak ko bacakak, ma amuah dibaok bajulo-julo. Makonyo kini urang lah banyak mangarajoan sawah jo anak
binyi nyo sen. Kok lai rasaki balabiah, amuah urang maupahan dari pado mangarajoannyo surang”, artinya
“Sekarang sudah jarang sekali ditemukan tradisi bajulo-julo di kampung kita ini. Terkadang dalam kekerabatan terjadi
perpecahan, sehingga tidak mau diajak bajulo-julo. Oleh karena itu, banyak petani disini mengerjakan sawah mereka
hanya bersama anak dan istri. Seandainya petani tersebut memiliki harta sedikit berlebih, mereka cenderung lebih mau
untuk mengupahkan dalam pengerjaan sawah”, pen.
4.3. Hal-hal yang di Anggap Tabu Dalam Pertanian Padi Sawah