sebagai sumber pemberi rezeki. Lahan pertanian sawah merupakan salah satu sumber rezeki bagi petani di Nagari Kamang Hilia. oleh karena itu, ketika
melakukan kegiatan pengelolaan sawah sebaiknya harus dalam keadaan suci. Dimana, pada ajaran Islam seseorang dituntut dalam keadaan suci ketika
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari segi perkembangan ilmu pengetahuan pada petani di Nagari Kamang Hilia, makna pada larangan terhadap
padusi kumuah lebih cenderung kepada menjaga kesehatan perempuan. Dimana anggapan kaum wanita tidak berada pada kondisi yang sehat ketika dalam kedaan
padusi kumuah.
4.3.3. Makan di dapua
Selanjutnya dalam pertanian di Nagari Kamang Hilia, terdapat pula sebuah kepercayaan berupa jan makan di dapua. Jan makan di dapua merupakan
larangan memakan nasi di dapur ketika padi yang berada di sawah mulai berbuah. Ibuk Asnidar pernah diberitahukan oleh nenek beliau mengenai jan makan di
dapua ketika padi akan mulai berbuah. Ibuk Asnidar mengungkapkan bahwa :
“Dulu waktu ambo gadih, ambo pernah diingekan ndek enek ambo. Enek ambo malarang ambo makan didapua
ndek ado pangaruahnyo jo hasia sawah. Kecek baliau, kalau wak makan didapua, padi disawah tu barehnyo
hilang. Dapua ko tampek wak mamasak, yang di masak tu apo nan lah nyato adonyo. Padi wak baru katabik
disawah, hasianyo alun jaleh, jadi wak ndak buliah makan didapua doh, soalnyo hasia sawah wak tu alun
jaleh” artinya “Dulu semasa saya masih remaja, saya pernah diingatkan oleh nenek. Nenek saya melarang saya
makan didapur karena berpengaruh terhadap hasil sawah nantinya. Beliau mengatakan, kalau kita makan didapur,
padi yang akan berbuah disawah berasnya akan hilang. Dapur merupakan tempat untuk memasak, yang dimasak
merupakan apa yang telah nyata adanya. Padi yang baru akan berbuah disawah, hasilnya belum bias dipastikan,
jadi kita tidak boleh makan didapur, soalnya hasil sawah kita belum jelas”, pen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pernyataan yang diutarakan oleh Bapak Kayo dan Ibuk Asnidar mengenai jan makan di dapua ketika padi mulai berbuah bermakna bahwa, petani di Nagari
Kamang Hilia mempercayai bahwa makan di dapur ketika padi mulai berbuah tersebut akan mengurangi rezeki pada musim panen yang akan datang.
Berkurangnya rezeki tersebut digambarkan dalam bentuk banyaknya terdapat padi yang tidak berisi karena isinya telah kita makan lebih dahulu. Sehingga petani di
Nagari Kamang Hilia mengaitkannya dengan kondisi padi disawah mereka. Padi yang baru mulai untuk berbuah, menurut petani belum bisa dipastikan bagaimana
hasilnya ketika panen. Jadi, sebelum panen datang kita tidak boleh merasa padi tersebut bisa beruah dengan baik nantinya. Dengan penilaian bagi petani di Nagari
Kamang Hilia mengenai tidak boleh berharap dengan sesuatu yang belum pasti menjadi landasan untuk mempercayai jan makan di dapua ketika padi belum
berbuah. Namun bagi petani di Nagari Kamang Hilia sekarang ini, kepercayaan
mengenai jan makan di dapua lebih mengarah kepada nilai mengenai tata karma dalam menjalankan hidup. Seperti yang diutarakan oleh Ibuk Asnidar yang
menuturkan bahwa :
“Kalau ambo mancaliak, larangan tu labiah mambimbiang wak dalam sopan santun. Dapua tu
tampek masak, bukan tampek makan. Jadi ndak rancak lo dicaliak kalau wak makan ditampek mamasak.
Soalnyo dalam iduik ko apo nan wak karajoan, wak harus tau dan paham tampeknyo. Bia katiko urang
mancaliak, pandangan urang elok ka wak ndek awak bakarajo sasuai jo tampeknyo” artinya “Kalau dari
pandangan saya, larangan tersebut cenderung membimbing kita dalam bersopan-santun. Dapur
merupakan tempat untuk memasak, bukan tempat makan. Jadi sangat tidak baik jika makan ditempat
masak, bukan tempat makan. Soalnya dalam hidup ini apa pun yang kita kerjakan harus tau dan paham
tempatnya. Agar ketika orang melihat kita melakukan sesuatu, pandangan orang tersebut akan baik ketika
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melihat kita karena melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan tempatnya”, pen.
Bapak kayo juga memiliki pandangan serupa mengenai jan makan di dapua ketika padi sudah mulai berbuah yang dituangkan beliau dalam pernyataan
:
“Sabananyo kalau dipahami bana pantangan makan di dapua katiko padi ka tabik ko mambantuak sikap wak
dalam iduik. Sagalo sesuatu dalam iduik ko lah jaleh duduak tagaknyo. Ma yang patuik dikarajoan ma yang
indak. Dalam bakarajo tu wak harus sasuai jo tampeknyo. Kalau wak lah babuek sasuai jo tampeknyo,
manjalani iduik ko pun wak bisa tanang. Wak ndak paralu cameh ndek maraso salah mangarajoan sesuatu
ndek lah sasuai jo tampeknyo” artinya “jika dipahami dengan benar mengenai larangan makan di dapur ketika
padi mulai berbuah, cenderung menuntun sikap kita dalam menjalani kehidupan. Segala sesuatunya dalam
hidup ini sudah jelas letaknya. Mana yang pantas untuk dikerjakan dan mana yang tidak. Dalam melakukan
sesuatu pekerjaan harus sesuai dengan tempatnya. Jika kita telah berbuat sesuai pada tempatnya, dalam
menjalani hidup ini akan merasa tenag. Tidak perlu lagi merasa khawatir terhadap rasa bersalah dalam
mengerjakan sesuatu karena sudah sesuai dengan tempatnya”, pen.
Tujuan dari pantangan jan makan di dapua ketika padi mulai berbuah tersebut cenderung membimbing sikap seseorang dalam menjalankan hidupnya.
Pantangan tersebut bagi petani di Nagari Kamang Hilia memiliki nilai berupa aturan bagi seseorang yang harus berbuat sesuai dengan tempatnya dalam
kehidupan ini. Jika seseorang telah melakukan sesuatu sesuai dengan tempatnya, maka dalam menjalankan kehidupan tidak akan ada lagi perbuatan yang dapat
merugikan orang lain. Apabila seseorang telah melakukan sesuatu sesuai pada tempatnya, maka seseorang tersebut tidak akan lagi dijauhi dalam kehidupan
bermasyarakat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berbagai kearifan lokal yang dimiliki petani berguna untuk meningkatkan hasil produksi pertanian mereka. Begitu pula dengan petani di Nagari Kamang
Hilia yang menggunakan kearifan lokal dalam pengelolaan pertanian padi sawah. Kearifan lokal yang ada pada pengelolaan padi sawah telah ada semenjak zaman
nenek moyang petani di Nagari Kamang Hilia dan diwariskan secara turun- temurun hingga sekarang.
Hingga penelitian ini selesai dilakukan, terdapat kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh petani di Nagari Kamang Hilia. Kearifan lokal yang masih
dipertahankan oleh petani berfungsi sebagai pedoman petani dalam melakukan kegiatan pertanian padi sawah. Seperti halnya aturan-aturan dalam kepemilikan
lahan sawah yang mengingatkan petani bahwa, mereka hidup dalam sebuah sistim kekerabatan, sehingga munculah nilai sawah sebagai sawah pusako, sawah
basaduoan, dan manggadaian sawah. Selanjutnya terdapat kebijakan dalam mananam sarantak yang membantu petani untuk saling menjaga dan menghargai
ketika mengelola padi sawah. Perkembangan yang terjadi dalam teknologi pertanian dan perubahan
terhadap musim tidak terlalu mempengaruhi kearifan lokal petani di Nagari Kamang Hilia. Perkembangan teknologi dan perubahan musim hanya
mempengaruhi waktu dalam menentukan waktu mananam sarantak, tanpa merubah nilai dan fungsi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA