Selain itu dapat juga dimungkinkan karena adanya pengaruh dari faktor lain, yaitu riwayat penyakit kulit sebelumnya. Dalam penelitian ini
diketahui bahwa dari pekerja dengan masa kerja 7,85 tahun dan menderita dermatitis kontak ternyata sebanyak 100 mempunyai riwayat penyakit
kulit sebelumnya. Dimana riwayat penyakit kulit sebelumnya pada penelitian ini mempunyai hubungan dengan kejadian dermatitis kontak. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Djuanda 2007 bahwa adanya penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami akan mempengaruhi ambang rangsang
terhadap bahan iritan menjadi menurun sehingga berisiko tinggi terkena dermatitis kontak.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa kemungkinan ada beberapa faktor lain yang menyebabkan tidak adanya hubungan antara masa
kerja dengan dermatitis kontak dalam penelitian ini, yaitu lama kontak, frekuensi kontak dan riwayat penyakit kulit sebelumnya.
6.5.5 Hubungan antara Suhu dengan Dermatitis Kontak
Suhu merupakan derajat panas atau dingin suatu ruangan lingkungan kerja yang tercatat pada alat thermohygrometer berdasarkan hasil
pengukuran. Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa rata-rata suhu yaitu 30,43
o
C, sedangkan suhu terendah yaitu 27
o
C dan suhu tertinggi yaitu 33
o
C. Apabila
ditinjau dari
Keputusan Menteri
Kesehatan No.1405MenKesSKXI2002 mengenai nilai ambang batas kesehatan
lingkungan kerja, suhu udara yang dianjurkan adalah 18
o
C-28
o
C. Suhu rata- rata pada tempat penelitian tidak sesuai dengan ketentuan Keputusan
Menteri Kesehatan No.1405MenKesSKXI2002 karena suhu rata-rata yang diperoleh yaitu 30,43
o
C. Adapun p value variabel suhu diperoleh sebesar 0,103, artinya pada
=5 dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara suhu dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service
di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ruhdiat 2006
bahwa suhu tidak mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ruhdiat 2006 menunjukkan bahwa proporsi
pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada suhu lingkungan kerja ≤24
o
C sebesar 13,1 dan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak pada suhu lingkungan kerja 24
o
C sebesar 73,8. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara suhu udara lingkungan kerja
dengan terjadinya dermatitis kontak p value=0,337. Menurut American Academy of Dermatology 2010 bahwa dermatitis
disebabkan oleh lingkungan yang ekstrim termasuk suhu yang ekstrim dan dengan kondisi yang kering tersebut dapat mendorong timbulnya kulit
pecah-pecah dan menjadi kasar Sassevile, 2006. Berdasarkan hasil pengukuran pada tempat penelitian ternyata rata-rata suhu di lingkungan
kerja berada di atas nilai ambang batas menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1405MenKesSKXI2002.
Jika pekerja berada pada suhu di bawah NAB belum tentu pekerja tersebut lebih rendah risikonya untuk terkena dermatitis kontak
dibandingkan dengan pekerja yang berada pada suhu di atas NAB. Hal
tersebut dimungkinkan karena ada faktor lain yang mempengaruhi, seperti riwayat penyakit kulit sebelumnya p value = 0,021. Berdasarkan hasil
analisis diperoleh bahwa pekerja yang berada pada suhu di bawah NAB dan menderita dermatitis kontak ternyata 100 memiliki riwayat penyakit kulit
sebelumnya. Sehingga walaupun pekerja berada pada lingkungan kerja yang aman tetapi pekerja mempunyai riwayat penyakit kulit sebelumnya tetap saja
pekerja tersebut berisiko menderita dermatitis kontak. Hal ini sesuai dengan Djuanda 2007 yang menyatakan bahwa adanya penyakit kulit yang pernah
atau sedang dialami akan mempengaruhi ambang rangsang terhadap bahan iritan menjadi menurun sehingga berisiko tinggi terkena dermatitis kontak.
Peneliti juga berasumsi bahwa kemungkinan suhu pada hasil penelitian ini tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak dikarenakan bisa
saja pekerja yang bekerja pada suhu tinggi memiliki tipe kulit yang tebal. Pekerja dengan tipe kulit tebal cenderung memiliki fungsi proteksi yang
lebih kuat dibandingkan dengan tipe kulit tipis. Kulit yang tipis biasanya tidak tahan terhadap paparan bahan kimia, sehingga terjadinya dermatitis
kontak akan lebih mudah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Djuanda 2007 adanya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat
menyebabkan perbedaan permeabilitas sehingga ketebalan kulit dapat mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan kimia.
Selain itu mungkin dengan kondisi lingkungan kerja yang bersuhu cukup tinggi pekerja cenderung mudah berkeringat. Kulit yang termasuk
mudah berkeringat atau berminyak cenderung lebih rendah risikonya untuk
terkena dermatitis kontak dibanding dengan kulit yang sukar berkeringat atau kering karena adanya keringat sebagai proteksi bagi kulit terhadap
kontak dengan bahan kimia. Sejalan dengan teori Ganong 2006 dalam Ernasari 2012 yang
menyatakan bahwa keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan menghanyutkan bahan-bahan iritan. Kulit yang berminyak lebih tahan
terhadap sabun, bahan pelarut dan zat-zat yang larut dalam air, sedangkan kulit kering kurang tahan terhadap chemical dehydration seperti asam, basa,
detergen dan bahan pelarut lemak, misalnya terpentine, benzol dan sabun. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa tidak adanya
hubungan suhu dengan kejadian dermatitis kontak pada penelitian ini dimungkinkan karena adanya pengaruh faktor lain, seperti halnya riwayat
penyakit kulit sebelumnya, tipe kulit dan pengeluaran keringat.
6.5.6 Hubungan antara Kelembaban dengan Dermatitis Kontak