34 3. Pemeriksaan penunjang
Berbagai macam pemeriksaan penunjang diagnosis diperlukan sesuai dengan jenis penyakit kulit yang diderita. Misalnya uji tempel patch test untuk dermatitis
kontak di tangan sebagai akibat reaksi tipe cepat, pemeriksaan kerokan kulit tangan dengan KOH 20 dan kultur pada agar Sabouraud untuk jamur kulit, dan biopsi yang
digunakan terutama untuk menyingkirkan diagnosis lain, misalnya psoriasis. 4. Kunjungan tempat kerja plant visit
Diperlukan untuk menunjang diagnosis.
2.6 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan terhadap kejadian dermatitis merupakan upaya yang paling penting dan jauh lebih berarti dari pada pengobatan. Satu-satunya upaya yang akan berhasil
adalah meniadakan faktor penyebab dermatitis dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan menghilangkan seluruh resiko tenaga kerja kontak kulit dengan faktor penyebab yang
bersangkutan. Penggunaan pakaian kerja dan alat pelindung diri adalah salah satu bentuk upaya preventif. Memindahkan penderita dari pekerjaan dan lingkungan yang
mengandung faktor penyebab penyakit ke pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi kulit yang bersangkutan merupakan upaya terakhir dan hal itu
biasanya tidak mudah dilaksanakan Suma’mur, 2009.
Yang perlu diperhatikan untuk pencegahan dermatitis yaitu masalah kebersihan perseorangan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan kerja serta pemeliharaan
ketatarumahtanggan perusahaan yang baik. Kebersihan perseorangan misalnya cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian bersih dan berganti pakaian tiap hari, alat
35 pelindung diri yang bersih dan lain-lain. Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan
ketatarumahtanggaan meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri, pembersihan debu, penerapan proses produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga
permukaan, cara sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang dan lainnya Suma’mur, 2009.
2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak
2.7.1 Lama Kontak
Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja Djuanda, 2007. Lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan
terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kulit kontak dengan bahan kimia maka dapat menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering
berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam sehingga kejadian dermatitis kontak semakin berisiko tinggi Cohen, 1999. Semakin lama
kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara
membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi perlu dilakukan Nuraga, dkk, 2008.
Hasil penelitian Nuraga, dkk 2008 menunjukkan bahwa lama kontak dengan bahan kimia mempunyai hubungan dengan terjadinya dermatitis kontak p=0,003
dan r=0,296. Kejadian dermatitis kontak akut, subakut, maupun kronis paling sering terjadi pada responden dengan lama kontak 8 jamhari dengan 13 responden
36 92,8 untuk dermatitis kontak akut, 20 responden 95,2 sub akut, dan 5
responden 100 kronis.
2.7.2 Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak Djuanda, 2007. Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan
yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan
dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah
dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia Cohen, 1999. Menurut hasil penelitian Nuraga, dkk 2008 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara frekuensi kontak bahan kimia dengan kejadian dermatitis kontak p=0,000, r=0,606. Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15 kali per
hari terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden 100, sub akut 17 responden 81 dan kronis 4 responden 80.
2.7.3 Bahan Kimia
Paparan bahan kimia ditentukan oleh banyak faktor termasuk lama kontak durasi, frekuensi kontak, konsentrasi bahan dan lain-lain Agius R, 2006.
Sehingga terjadinya resiko kontak bahan kimia perlu dikendalikan dan dikontrol seperti membatasi jumlah kontak yang terjadi. Oleh karena itu bahan kimia
merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya dermatitis kontak Djuanda, 2007.
37 Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa. Asam
menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses perusakan jaringan lunak. Cairan korosif memerlukan pH yang rendah atau sangat tinggi untuk
menyebabkan korosi, namun pada paparan awal tidak timbul rasa sakit Linins I, 2006.
Beberapa bahan kimia yang memiliki potensi iritasi dan sensitisasi pada kulit menurut National Safety Council Itasca, Illnois dalam buletin SHARP tahun 2001
dalam Nuraga 2006 sebagai berikut :
No. Bahan Kimia
Iritan Primer Sensitizers
Bentuk Kelainan Kulit 1.
Asam :
Asetat x
Dermatitis, ulserasi Karbolat
x Korosif, rasa kebal
Kromat x
Ulkus Format
x Iritasi berat
Hidrokolat x
Iritasi dan ulserasi Hidro-lourat
x Luka bakar
Laktat x
Ulserasi Nitrat
x Luka bakar, ulkus
Oksalat x
Korosif berat Pikrat
x Kemerahan, dermatitis
Sulfurat x
Korosif 2.
Basa :
Amonia x
Iritasi Kalsium sianida
x Iritasi
Kalsium oksida x
Dermatitis Natrium hidrolida
x Korosif berat
Natrium hidroksida x
Korosif berat Trisadium fosfat
x Ulserasi
3.
Pelarut :
Aseton x
Iritasi Benzen
x Iritasi
Karbon disulfida x
Iritasi Terpentin
x Dermatitis
Alkohol x
Dermatitis Tabel 2.4 Bahan Kimia yang Menimbulkan Kelainan Kulit
38
2.7.4 Usia
Menurut Cohen 1999 kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi
lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis. Pada
anak usia dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi bahan iritan Djuanda, 2007.
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Sasseville 2006 menyatakan bahwa pekerja muda lebih
mungkin terkena dermatitis akibat kerja. Hal tersebut dikarenakan mereka kurang berpengalaman dibandingkan rekan mereka yang lebih tua, atau mungkin pekerja
muda memiliki sikap yang lebih ceroboh mengenai langkah-langkah keselamatan dan kemungkinan pekerja usia tua telah belajar bagaimana cara menghindari kontak
dengan bahan berbahaya. Menurut hasil penelitian Nuraga, 2006 menunjukkan bahwa responden yang
berusia diatas 30 tahun ada kecenderungan negatif mengalami kasus dermatitis kontak p=0,01, artinya semakin muda umur seseorang semakin menurun
persentase terjadinya dermatitis kontak. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Diepgen, et al 2003 dalam Erliana 2008 menunjukkan bahwa pada pekerja
konstruksi, penyakit dermatitis kontak 47 terjadi pada usia muda 18-39 tahun. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Lestari 2007 menunjukkan bahwa
hubungan antara usia pekerja dengan kejadian dermatitis kontak diperoleh bahwa sebanyak 26 60,5 dari 43 pekerja yang berusia ≤30 tahun terkena dermatitis
39 kontak, sedangkan diantara pekerja yang berusia 30 tahun hanya sekitar 13 orang
35,1 yang terkena dermatitis kontak. Hal ini dapat menyimpulkan bahwa pekerja muda lebih mudah terkena dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukan nilai p
value sebesar 0,042 hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan proporsi penyakit dermatitis yang bermakna antara pekerja muda ≤30 tahun dengan pekerja tua 30
tahun. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuraga, dkk 2008,
variabel umur pekerja pada penelitian ini mempunyai distribusi paling banyak 30 tahun sebanyak 49 orang responden
91 dibanding usia ≥ 30 tahun hanya 5 orang responden 9. Berdasarkan hasil analisis ternyata faktor umur tidak mempunyai
pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Selain itu menurut hasil penelitian Erliana 2008 menunjukkan bahwa
proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak 50 terjadi pada kelompok umur 30-35 tahun dibandingkan dengan umur 36-40 tahun 33,3, dan umur 24-29
tahun 16,7. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak p=0,350.
Dalam konteks determinan kejadian dermatitis kontak berdasarkan usia, dermatitis dapat menyerang semua kelompok usia, artinya usia bukan merupakan faktor risiko
utama terhadap paparan bahan-bahan penyebab dermatitis kontak, sedangkan dari perbandingan penelitian cenderung didominasi oleh usia pekerja dalam suatu
perusahaan bukan dari aspek makin lama usia hidupnya menyebabkan risiko terhadap terjadinya dermatitis kontak.
40
2.7.5 Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis akibat kerja dan perempuan lebih sering menderita dermatitis daripada
laki-laki Hutomo, 1999. Jenis kelamin perempuan lebih rentan terhadap penyakit kulit daripada laki-laki, selain itu permukaan kulit perempuan lebih sensitif terhadap
bahan-bahan iritan. Terdapat perbedaan antara kulit wanita dan laki-laki misalnya, folikel rambut pada laki-laki lebih kasar, rambut yang tumbuh lebih panjang dan
laki-laki lebih cepat berkeringat sedangkan untuk wanita folikel rambut lebih lembut, rambut yang tumbuh lebih pendek dan wanita agak sukar berkeringat
Sulaksmono, 1994. Perempuan ternyata lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat kerja
dibandingkan dengan laki-laki. Insiden pada perempuan lebih tinggi pada usia muda. Sedangkan pada laki-laki kejadian meningkat sesuai usia Nuraga, 2006.
Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh Trihapsoro 2003 mengenai dermatitis kontak pada pasien rawat jalan di RSUP Medan menunjukkan dari 40
pasien yang diuji tempel ternyata bahwa jenis kelamin yang terbanyak mengalami dermatitis kontak adalah perempuan yaitu 29 pasien 72,5 dibandingkan dengan
laki-laki yaitu hanya 11 pasien 27,5.
2.7.6 Masa Kerja
Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah terpajan dengan bahan kimia Erliana, 2008. Dengan perbedaan masa kerja akan
41 berhubungan dengan pajanan terhadap pencemar atau bahan yang berisiko terhadap
gangguan kesehatan kulit Notoatmodjo, 1997. Hasil penelitian Erliana 2008 menunjukkan bahwa proporsi pekerja dengan
masa kerja 6-9 tahun 61,5 menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang masa kerjanya 1-5 tahun yaitu hanya 18,8. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja p=0,018.
Namun berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari 2007 menunjukkan bahwa
pekerja yang memiliki masa bekerja ≤2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang 66,7, dibandingkan
dengan 17 orang 36,2 dari 47 pekerja yang telah bekerja selama 2 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik terlihat bahwa terdapat perbedaan proporsi terkena
dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja yang memiliki masa kerja ≤2 tahun dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja 2 tahun terlihat dari nilai p value
sebesar 0,014. Sejalan menurut teori Cohen 1999 yaitu pekerja yang berpengalaman akan
lebih berhati-hati sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit. Selain itu adanya masalah kepekaan atau kerentanan kulit terhadap bahan kimia pada
pekerja dengan masa kerja pendek. Pada pekerja dengan masa kerja panjang dapat dimungkinkan telah mengalami resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan.
Resistensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terus-
menerus.
42
2.7.7 Jenis Pekerjaan
Dermatitis kontak akan muncul pada permukaan kulit jika zat kimia tersebut memiliki jumlah, konsentrasi dan durasi lama pajanan yang cukup. Dengan kata
lain semakin lama besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak Cohen, 1999.
Berdasarkan penelitian Lestari 2007 menunjukkan bahwa pada dua jenis proses kerja yaitu proses realisasi dan proses pendukung memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian dermatitis kontak. Pada proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak 60,4 lebih banyak dibandingkan dengan
pekerja yang tidak terkena dermatitis kontak 39,6. Hal ini berbanding terbalik dengan proses pendukung yang pekerjanya lebih banyak tidak terkena dermatitis
yaitu sebanyak 22 orang 68,8 dari total pekerja 32 orang. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,02 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan proporsi
penyakit dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja proses realisasi dengan pekerja proses pendukung. Hasil analisis menunjukkan nilai odds ratio sebesar
3,358. Hal ini berarti pekerja pada proses realisasi memiliki peluang 3,358 3,4 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja di proses pendukung.
2.7.8 Riwayat Alergi
Dermatitis kontak terutama dermatitis kontak alergi akan lebih mudah timbul jika terdapat riwayat alergi sebelumnya. Dalam melakukan diagnosis
dermatitis kontak dapat dilakukan dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja, sejarah alergi
43 misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan riwayat lain yang berhubungan
dengan dermatitis Putro 1985 dalam Lestari 2007.
Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan kulit lebih
rentan terhadap penyakit dermatitis kontak. Analisis hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi yang
terkena dermatitis sebanyak 15 orang 57,7 dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi. Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis
sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 44,4 dari 54 orang pekerja. Hasil uji statistik menunjukkan menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi
kejadian dermatitis kontak yang bermakna antara pekerja dengan riwayat alergi dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi. Hal ini terlihat
dari nilai p value 0,383 0,05 pada CI 95 Lestari, 2007. Menurut penelitian Cahyawati 2011 menunjukkan bahwa ada hubungan
antara faktor riwayat alergi dengan kejadian penyakit dermatitis pada nelayan p value=0,018 dengan proporsi nelayan yang memiliki riwayat alergi dan mengalami
dermatitis sebanyak 10 orang 50 dan nelayan yang tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis sebanyak 10 orang 50.
2.7.9 Riwayat Atopi
Reaksi seseorang terhadap alergen sangat bervariasi tergantung faktor genetik, demikian pula sensitivitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda
Cohen, 1999. Pekerja dengan riwayat atopi dermatitis bila bekerja di lingkungan
44 panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor psikis, akan kambuh dalam
stadium yang lebih berat Ganong 2006 dalam Ernasari 2012. Atopi ialah orang atau keluarga yang cenderung biasanya anak atau dewasa
yang menjadi peradangan dan menghasilkan antibodi Imunoglobulin E untuk merespon paparan alergen seperti protein dengan konsekuensi orang dapat
berkembang menderita gejala asma, rhinoconjungtivitis atau eksim. Sehingga orang dengan atopi bila kontak dengan bahan kimia akan cenderung lebih parah menderita
dermatitis kontak Akib A 2004 dalam Ruhdiat 2006. Seseorang yang memiliki riwayat atopi lebih rentan terhadap efek iritasi zat iritan Partogi, 2008.
Riwayat atopi merupakan salah satu faktor predisposisi dari dermatitis kontak. Atopi merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan hipersensitivitas
dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia Harijono 2006 dalam Sulistyani 2010. Sedangkan menurut
Djuanda 2007 atopi merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya,
dermatitis atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale dan konjungtivitis alergi. Menurut penelitian Ruhdiat 2006 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna antara riwayat atopi responden dengan kejadian dermatitis kontak p=0,241 karena distribusi responden yang mengalami dermatitis kontak pada
kedua kategori baik yang atopi maupun tidak atopi hampir seimbang, yaitu responden yang mempunyai riwayat atopi sebanyak 32 orang 52,46 dan
responden yang tanpa ada riwayat atopi sebanyak 29 orang 47,54.
45 Menurut hasil penelitian Nuraga,dkk 2008 menunjukkan bahwa tidak
terbukti adanya perbedaan antara kejadian dermatitis kontak dengan riwayat atopi. Distribusi responden yang mengalami dermatitis kontak pada kedua kategori baik
terdapat riwayat atopi maupun tidak terdapat riwayat atopi hampir seimbang, yaitu 19 responden 35 dengan riwayat atopi dan tanpa riwayat atopi sebanyak 35
responden 65. Hasil uji statistik menggunakan Chi-Square diperoleh nilai p value = 0,199. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara adanya riwayat atopi dengan tidak adanya riwayat atopi terhadap terjadinya dermatitis kontak.
2.7.10 Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya
Menurut Djuanda 2007 adanya penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami akan mempengaruhi ambang rangsang terhadap bahan iritan menjadi
menurun. Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit bukan akibat kerja cenderung lebih mudah mendapat dermatosis akibat kerja, seperti pekerja-pekerja
dengan acne yang bekerja terpapar dengan cutting oil dan ter, sering menderita dermatitis Ganong 2006 dalam Ernasari 2012.
Penyakit dermatitis kontak yang memungkinkan untuk kambuh muncul kembali apabila kulit kontak dengan zat tertentu yang terdapat di tempat kerja.
Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit dermatitis, merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena kulit pekerja
tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi inflamasi maka zat
46 kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena
dermatitis Cohen, 1999. Berdasarkan penelitian Nur Cahyawati 2011 faktor riwayat penyakit kulit
ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis, terbukti dari hasil uji chi square dengan nilai p = 0,006 0,05. Sebagian besar responden yang
memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit
sebesar 90 dan pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat penyakit kulit sebesar 10. Selain itu, menurut hasil penelitian Lestari 2007
menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kejadian dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya p = 0,042.
2.7.11 Tipe Kulit
Kulit yang berminyak lebih tahan terhadap sabun, bahan pelarut dan zat-zat yang larut dalam air, sedangkan kulit kering kurang tahan terhadap chemical
dehydration seperti asam, basa, detergen dan bahan pelarut lemak, misalnya terpentine, benzol dan sabun. Kulit yang banyak rambutnya mudah terkena
folliculitis bila kontak dengan minyak, gemuk, coklat ataupun debu Ganong 2006 dalam Ernasari 2012. Selain itu menurut Djuanda 2007 adanya perbedaan
ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas.
47
2.7.12 Musim
Occupational dermatoses dermatosis akibat kerja banyak dijumpai pada musim panas karena pengeluaran keringat meningkat dan pekerja kurang senang
memakai alat pelindung diri bahkan lebih suka pakai celana pendek, kaus singlet atau tanpa baju sehingga lebih mudah kontak dengan bahan kimia. Cuaca dingin
menyebabkan pekerja malas mandi atau mencuci tangan Ganong 2006 dalam Ernasari 2012.
2.7.13 Pengeluaran Keringat
Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan menghanyutkan bahan-bahan iritan. Hyperhidrosis menyebabkan miliaria dan macerasi kulit di
lipatan ketiak, pangkal paha dan mudah terjadi infeksi sekunder. Keringat dapat juga merubah bahan-bahan yang larut dalam air menjadi bentuk lain dan
mempermudah absorbsi melalui pori-pori kulit Ganong 2006 dalam Ernasari 2012.
2.7.14 Ras
Orang berkulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri karena kulitnya kaya akan melanin. Mereka jarang menderita tumor kulit oleh radiasi ultraviolet,
kurang peka terhadap debu kimia, bahan pelarut dan alkali Ganong 2006 dalam Ernasari 2012. Kebanyakan orang berkulit hitam lebih tahan terhadap efek kontak
dari zat iritan dibandingkan orang berkulit putih Sasseville, 2006. Adanya perbedaan struktural dalam stratum korneum pada ras kulit hitam
dibandingkan kulit putih yang memberikan perlindungan lebih terhadap iritasi
48 bahan kimia. Walaupun ketebalan stratum korneum pada kedua ras sama tetapi
stratum korneum kulit hitam memiliki lapisan sel yang lebih kuat dan lapisan lemak sederhana
Maibach , 2006.
2.7.15 Suhu dan Kelembaban
Faktor fisik udara di lingkungan kerja merupakan kombinasi dari komponen suhu udara, kecepatan gerakan udara dan kelembaban udara. Komponen-komponen
tersebut dapat mempengaruhi persepsi kualitas udara dalam ruangan kerja sehingga harus selalu dijaga agar berada pada kisaran yang dapat diterima untuk kenyamanan
pekerja Faulkner D, 2004 dalam Ruhdiat 2006. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1405MenKesSKIX2002
mengenai nilai ambang batas kesehatan lingkungan kerja, suhu udara yang dianjurkan adalah 18
o
C-28
o
C dan kelembaban udara yang dianjurkan adalah 40-
60.
Pengaruh lingkungan, seperti kelembaban yang rendah dan suhu yang dingin merupakan faktor penting dalam menurunkan kadar air stratum korneum. Suhu yang
dingin dapat menurunkan kelenturan lapisan tanduk sehingga menyebabkan retaknya stratum korneum Partogi, 2008. Sedangkan menurut Sassevile 2006
kelembaban yang tinggi dapat mengurangi efektivitas barrier epidermis, sedangkan kondisi kering dan dingin mendorong timbulnya kulit pecah-pecah dan menjadi
kasar. Menurut American Academy of Dermatology 2010 menyatakan bahwa dermatitis disebabkan oleh lingkungan yang ekstrim, yaitu suhu dan kelembaban
49 yang ekstrim. Oleh karena itu, suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan
sebagai faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis Djuanda, 2007. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ruhdiat 2006 menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara suhu udara lingkungan kerja dengan terjadinya dermatitis kontak p value = 0,337.
2.7.16 Personal Hygiene
Kebiasaan pekerja yang kurang baik untuk tidak segera mencuci setelah terkena kontak dengan agen bahan kimia merupakan penyebab dermatitis kontak.
Kebersihan pribadi seperti mencuci tangan setelah menyelesaikan setiap pekerjaan merupakan preventif yang baik, namun tergantung fasilitas mencuci tangan, yaitu
dengan air kran yang mengalir, kualitas saat mencuci tangan, pengetahuan tentang pentingnya kebiasaan mencuci tangan OSHA 1998 dalam Ruhdiat 2006.
Pekerja yang kurang bersih, misalnya tidak membersihkan badan sehabis bekerja, tidak memakai alat pelindung diri atau memakai pakaian yang telah
terkontaminasi akan lebih mudah terkena dermatosis akibat kerja Ganong 2006 dalam Ernasari 2012.
Higiene perseorangan merupakan salah satu faktor yang dapat mencegah
terjadinya dermatitis kontak. Analisis hubungan antara personal hygiene dengan dermatitis kontak memperlihatkan hasil bahwa pekerja dengan personal hygiene
yang baik sebanyak 10 orang 41,7 dari 24 orang pekerja terkena dermatitis kontak. Sedangkan dengan personal hygiene yang kurang baik, pekerja yang
terkena dermatitis sebanyak 29 orang 51,8 dari 56 orang pekerja.
50 Salah satu hal yang menjadi penilaian adalah masalah mencuci tangan.
Kebiasaan mencuci tangan ini seharusnya dapat mengurangi potensi penyebab dermatitis akibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja, namun pada
kenyataannya potensi untuk terkena dermatitis itu tetap ada. Kesalahan dalam melakukan cuci tangan dapat menjadi salah satu penyebabnya.
Pemilihan jenis sabun cuci tangan juga dapat berpengaruh terhadap kebersihan sekaligus kesehatan kulit pekerja. Sebaiknya memilih sabun cuci tangan
yang dapat menghilangkan bahan kimia tangan namun tidak merusak lapisan pelindung tangan. Jika jenis sabun ini sulit ditemukan dapat menggunakan
pelembab tangan setelah mencuci tangan. Usaha mengeringkan tangan setelah dicuci juga dapat berperan dalam mencegah semakin parahnya kondisi kulit karena
tangan yang lembab. Mencuci pakaian juga merupakan salah satu usaha untuk mencegah terjadinya
dermatitis kontak. Sebaiknya pakaian kerja yang telah terkontaminasi bahan kimia tidak digunakan kembali sebelum dicuci. Akan lebih baik lagi jika pencucian baju
kerja dilakukan setiap hari setelah digunakan. Selain itu cara pencucian perlu diperhatikan. Jangan mencampurmerendam baju kerja dengan pakaian yang
dikenakan sehari-hari. Usahakan mencuci pakaian kerja dengan menggunakan mesin cuci, namun cara manual tidak menjadi masalah asalkan setelah mencuci,
tangan dibersihkan kembali dengan baik WHO, 2005. Menurut penelitian Ruhdiat 2006 menunjukkan bahwa sebanyak 15
responden yang selalu menjaga kebersihan diri dengan selalu mencuci tangan 24,46 dan sebanyak 46 responden 75,41 yang kadang-kadang mencuci
51 tangan. Apabila ditinjau dari frekuensinya terlihat bahwa responden yang selalu
mencuci tangan mempunyai perjalanan dermatitis kontak yang lebih sedikit. Namun persentase yang tidak pernah mengalami terjadinya dermatitis kontak pada
kelompok responden yang kadang-kadang mencuci tangan ternyata lebih besar, yaitu 7 orang 87,5 dibandingkan kelompok responden yang selalu mencuci
tangan hanya 1 orang 12,5. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kebiasaan mencuci tangan setelah selesai melakukan pekerjaan tidak berpengaruh pada
terjadinya dermatitis kontak p value=0,407.
2.7.17 Alat Pelindung Diri
Untuk mencegah terjangkitnya penyakit kulit akibat kerja maka pemakaian alat pelindung diri APD untuk perlindungan kulit sangat penting karena dengan
pemakaian APD yang tidak sesuai atau tidak tepat dapat menyebabkan suatu gangguan dari aktivitas pekerja yaitu bila pekerja tersebut kontak dengan bahan
berbahaya maka penyakit kulit seperti dermatitis dapat terjadi. Perlindungan kulit ini tidak hanya melibatkan pekerja tapi juga pemberi kerja. Yang juga penting ialah
keterlibatan peraturan atau perundang-undangan Nuraga, 2006. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.01MEN1981
pasal 4 ayat 3 tentang kewajiban melapor PAK menyebutkan kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib bagi tenaga kerja untuk
menggunakannya untuk pencegahan penyakit dermatitis. Sebaiknya para karyawan dilengkapi dengan alat pelindung yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan
yang sifatnya merangsang atau karsinogen, alat pelindung yang dapat dipergunakan
52 misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, sepatu, krim pelindung, dan lainnya
Siregar, 1996. Hasil penelitian Cahyawati 2011 menunjukkan bahwa pemakaian alat
pelindung diri ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis pada nelayan. Responden yang cenderung memakai APD secara baik
lebih rendah berisiko terkena dermatitis p = 0,001 yang berarti bahwa pemakaian APD berhubungan secara signifikan dengan kejadian dermatitis.
Selain itu hubungan antara kebiasaan menggunakan APD dengan dermatitis kontak juga diperoleh dari penelitian Erliana 2008 bahwa proporsi pekerja yang
tidak menggunakan APD diketahui 87,5 menderita dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan APD hanya 19. Hasil uji chi
square menunjukkan bahwa variabel penggunaan APD mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak p=0,001.
2.8 Kerangka Teori
Berdasarkan teori-teori dari para ahli mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah Djuanda 2007 lama kontak, frekuensi
kontak, bahan kimia, usia, riwayat atopi, riwayat kulit sebelumnya, tipe kulit, suhu dan kelembaban. Sedangkan Cohen 1999 frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat atopi,
riwayat penyakit kulit sebelumnya dan jenis pekerjaan. Sassevile 2006 usia, suhu dan kelembaban serta ras. Sulaksmono 1994 jenis kelamin, Hutomo 1999 jenis kelamin,
Siregar 1996 APD, Maibach 2006 ras, Ganong 2006 dalam Ernasari 2012 riwayat
53 atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, tipe kulit, musim, pengeluaran keringat,
personal hygiene dan ras, maka dapat diperoleh kerangka teori sebagai berikut :
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Modifikasi dari Cohen 1999, Djuanda 2007, Ganong 2006 dalam Ernasari 2012, Hutomo 1999,
Maibach 2006, Sassevile 2006, Siregar 1996 dan Sulaksmono
1994 1. Lama Kontak
2. Frekuensi Kontak 3. Bahan Kimia
4. Usia 5. Jenis Kelamin
6. Masa Kerja 7. Riwayat Alergi
8. Riwayat Atopi 9. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya
10. Tipe Kulit 11. Musim
12. Pengeluaran Keringat 13. Jenis Pekerjaan
14. Ras 15. Suhu
16. Kelembaban 17. Higiene Perseorangan
18. Alat Pelindung Diri
Dermatitis Kontak
54
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja cleaning service di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Kerangka konsep dalam penelitian ini berdasarkan teori dari para ahli yaitu dari Cohen 1999, Sassevile 2006,
Sulaksmono 1994, Hutomo 1999, Ganong 2006 dalam Ernasari 2012, Maibach
2006, Siregar 1996 dan Djuanda 2007. Berdasarkan teori dari beberapa ahli tersebut faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak ialah
lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya, tipe kulit, musim, keringat,
jenis pekerjaan, suhu, kelembaban, personal hygiene, alat pelindung diri dan ras. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu :
1. Lama Kontak Paparan bahan kimia terhadap kulit ditentukan oleh banyak faktor salah
satunya ialah faktor lama kontak. Lama kontak juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian dermatitis akibat kerja. Lama kontak dengan
bahan kimia yang bersifat iritan akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak, pekerja dengan lama kontak yang lebih lama akan menyebabkan rusaknya lapisan
kulit bagian luar, sehingga semakin lama kontak semakin bertambah pula kerusakan lapisan kulit bagian luar yang kemudian akan merusak lapisan kulit yang lebih
dalam.