1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah  keselamatan  dan  kesehatan  kerja  merupakan  salah  satu  masalah dunia. Telah banyak diketahui bahwa bekerja di manapun selalu ada risiko terkena
penyakit  akibat  kerja  Kurniawidjaja,  2010.  Menurut  laporan  ILO  tahun  2002, setiap  tahun  ditemukan  2  juta  orang  meninggal  dan  160  juta  kasus  PAK  Depkes,
2008.  Sedangkan  laporan  WHO  tentang  kesehatan  dunia  pada  tahun  2002, menunjukkan  1,5  dari  beban  kesehatan  dunia  diakibatkan  oleh  risiko  pekerjaan
tertentu,  hal  ini  berkaitan  dengan  kenyataan  bahwa  terdapat  ratusan  juta  penduduk dunia  bekerja  dalam  kondisi  tidak  sehat  dan  atau  tidak  selamat.  Risiko  kesehatan
kerja ini diperkirakan 10-20 kali lebih tinggi di negara berkembang Kurniawidjaja, 2010.
Berdasarkan penelitian WHO pada pekerja tentang Penyakit Akibat Kerja di 5 benua  tahun  1999,  memperlihatkan  bahwa  dermatosis  akibat  kerja  terdapat
sebanyak 10 Depkes,  2008. Sedangkan menurut  Biro Statistik  Amerika Serikat 1988  menyatakan  bahwa  penyakit  kulit  menduduki  sekitar  24  dari  seluruh
penyakit akibat kerja yang dilaporkan. The National Institute of Occupational Safety Health  NIOSH  dalam  survei  tahunan  1975  memperkirakan  angka  kejadian
dermatitis  akibat  kerja  yang  sebenarnya  adalah  20-50  kali  lebih  tinggi  dari  kasus yang dilaporkan Lestari, 2007.
2 Menurut  Diepgen  et.al  1999  mengenai  dermatitis  kontak  akibat  kerja
menduduki peringkat pertama dari semua penyakit akibat kerja di berbagai negara. Tingkat  kejadian  terdapat  sekitar  0,5-1,9  kasus  per  1000  pekerja  penuh  waktu  per
tahun.  Sedangkan  di  Indonesia,  menurut  Keputusan  Presiden  No.  22  Tahun  1993, penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja, dari daftar penyakit berjumlah 31 penyakit dalam Keppres  tersebut  diketahui  bahwa  salah  satu  penyakit  akibat  kerja  ialah  penyakit
kulit dermatosis yang disebabkan oleh faktor fisik, kimiawi dan biologi. Badan Pusat Statistik RI pada bulan Agustus 2009 mencatat bahwa sebanyak
104,87  juta  jiwa  92,08  penduduk  Indonesia  adalah  bagian  dari  angkatan  kerja, yang  bekerja  di  sektor  formal  sebanyak  32,14  juta  jiwa  30,6  dan  di  sektor
informal  sebanyak  67,86  juta  jiwa  69,3,  sedikitnya  terdapat  720.457  kasus penyakit akibat kerja dalam tahun 2009 Hudoyo, 2009. Penyakit kulit akibat kerja
sebagai  salah  satu  bentuk  penyakit  akibat  kerja,  merupakan  jenis  penyakit  akibat kerja terbanyak kedua setelah penyakit muskuloskeletal, berjumlah sekitar 22 dari
seluruh penyakit akibat kerja. Sebanyak 90 penyakit kulit akibat kerja berlokasi di tangan Depkes, 2008.
Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ialah  faktor  kimiawi  iritasi  primer,  alergen  atau  karsinogen,  faktor  mekanis
getaran, tekanan, trauma, panas, dingin, kelembaban udara, faktor biologis jamur, parasit  dan  virus  dan  faktor  psikologis  Siregar,  1996.  Dermatosis  akibat  kerja
adalah  kelainan  kulit  yang  disebabkan  oleh  pekerjaan  dan  atau  lingkungan  kerja. Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau
3 disebabkan  oleh  faktor-
faktor  yang  berada  pada  lingkungan  kerja  Suma’mur, 2009.
Pada  tahun  2009  perkembangan  penyakit  dermatosis  semakin  meningkat dengan  persentase  sebesar  50-
60  dari  seluruh  penyakit  akibat  kerja  Suma’mur, 2009.  Situasi  tersebut  akhirnya  menggiring  status  kesehatan  pekerja  sektor
informal  menjadi  buruk.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  hasil  penelitian  Departemen Kesehatan pada 2004 di 8 provinsi pada pekerja sektor informal didapatkan 75,8
perajin  batu  bata  mengalami  gangguan  otot  rangka,  41  perajin  kulit  dan  petani kelapa  sawit  mengalami  gangguan  mata,  23,2  perajin  batu  onix  mengalami
gangguan dermatitis kontak alergika Kurniawidjaja, 2010. Hasil  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Florence  2008  menunjukkan  bahwa
pekerja  pencuci  botol  di  PT.  X  Medan  yang  menderita  dermatitis  kontak  sebesar 54.  Hasil  uji  statistik  menunjukkan  ada  hubungan  yang  bermakna  antara
penggunaan APD dengan dermatitis kontak. Selain itu menurut penelitian lain yang dilakukan  oleh  Nuraga  2006  menunjukkan  terdapat  74,07  40  pekerja  dari  54
responden  yang  mengalami  dermatitis  kontak  akibat  kerja.  Faktor  yang  sangat mempengaruhi  kejadian  dermatitis  kontak  tersebut  ialah  lama  kontak,  frekuensi
kontak dan alat pelindung diri. Penyakit  kulit  akibat  kerja  merupakan  salah  satu  penyakit  akibat  kerja  yang
paling umum. Dermatitis tangan terdapat sebanyak 75 dari berbagai penyakit kulit akibat  kerja,  sedangkan  urtikaria,  chloracne  atau  infeksi  lainnya  jarang  diamati.
Pekerjaan  yang  paling  umum  terlibat  adalah  tenaga  kesehatan,  juru  masak  dan penata rambut. Pekerjaan  basah sering kontak dengan air dapat  mengubah fungsi
4 sawar  kulit,  meningkatkan  kemungkinan  berkembangnya  dermatitis  kontak  iritan
dan sensitisasi terhadap suatu alergen, bahan kimia dan protein Escala, 2010. Cleaning  service  adalah  salah  satu  jenis  pekerjaan  basah  sering  kontak
dengan air yang membuat karakteristik cleaning service menjadi berpotensi terkena penyakit  kulit  akibat  kerja,  seperti  dermatitis  kontak  akibat  kerja.  Aktivitas
pembersihan biasanya berlangsung di rumah, kantor, sekolah atau pabrik. Pekerjaan cleaning  service  berpotensi  mengakibatkan  kerusakan  fisik  kulit  karena  kontak
dengan  sabun,  detergen,  beberapa  makanan  dan  produk  teknis  lainnya.  Pekerja pembersih  rumah  tangga  dan  industri  lebih  rentan  untuk  menderita  dermatitis
kontak  iritan  dan  dermatitis  tangan  sebagai  akibat  dari  paparan  alergen  Escala, 2010.
Produk  pembersih  telah  dikembangkan  untuk  menghilangkan  debu,  kotoran, melarutkan  kotoran  berminyak  dan  sebagai  disinfektan.  Namun  produk  ini
mengandung  berbagai  jenis  bahan  kimia  yang  dapat  membahayakan  kesehatan OSHA, 2008. Bahan iritan yang umum digunakan dalam produk pembersih  yang
dapat menyebabkan dermatitis ialah asam dan basa, detergen, surfaktan dan solvent. Bahan  tambahan  yang  sering  digunakan  seperti  pewangi,  pewarna,  dll  merupakan
zat  sensitizer  bagi  kulit  dan  detergen  keras  biasanya  mengandung  senyawa ammonium surfaktan yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Produk pembersih
yang  mengandung  zat  berbahaya  tersebut  dapat  masuk  ke  dalam  tubuh  melalui kontak kulit. Jika paparan terlalu tinggi dan terlalu lama dapat menimbulkan risiko
penyakit  kulit.  Oleh  karena  itu  cleaning  service  merupakan  salah  satu  pekerjaan yang berisiko tinggi terhadap kejadian dermatitis kontak Frosch, 2011.
5 Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 19-20 Juni
2012  pada  10  orang  pekerja  cleaning  service  di  kampus  UIN  Syarif  Hidayatullah Jakarta  didapatkan  8  orang  pekerja  cleaning  service  yang  mengalami  dermatitis
kontak dan 2 orang pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Gejala yang timbul pada pekerja antara lain ialah gatal-gatal sebanyak 70, mengelupas sebanyak 20,
kemerahan  sebanyak  40,  rasa  perih  sebanyak  30  dan  lepuh  kecil  berisi  cairan sebanyak 20. Pekerja sebagian besar tidak menggunakan alat pelindung diri pada
saat  mereka  bekerja.  Hasil  tersebut  diperoleh  berdasarkan  observasi  melalui kunjungan  lapangan  dan  ditunjang  dengan  adanya  pemeriksaan  dokter.  Pada  saat
bekerja  di  area  kampus  UIN  Jakarta,  para  pekerja  cleaning  service  sering  kontak dengan  air,  sabun  dan  bahan  kimia  dari  pembersih  lantai  maupun  toilet  yang
mengandung zat iritan berupa detergen, solvent, surfaktan, asam dan basa, sehingga berpotensi menimbulkan penyakit dermatitis kontak akibat kerja.
Berdasarkan  teori-teori  dari  para  ahli  yaitu  Cohen  1999,  Djuanda  2007, Hutomo  1999,
Maibach 2006,  Sassevile  2006,  Sulaksmono  1994  dan
beberapa  penelitian  mengenai  faktor-faktor  yang  berhubungan  dengan  kejadian dermatitis kontak disebabkan oleh lama kontak, frekuensi kontak, bahan kimia, usia,
jenis  kelamin,  masa  kerja,  riwayat  alergi,  riwayat  atopi,  riwayat  penyakit  kulit sebelumnya,  tipe  kulit,  musim,  pengeluaran  keringat,  jenis  pekerjaan,  suhu,
kelembaban, personal hygiene, ras dan alat pelindung diri. Dari  hasil  uraian  penelitian  di  atas  dapat  diketahui  bahwa  dermatitis  kontak
akibat kerja merupakan  salah satu  penyakit kelainan kulit  yang sering timbul pada pekerja  yang  kontak  dengan  bahan  kimia.  Dermatitis  kontak  akibat  kerja  dapat
6 mengakibatkan  penurunan  produktivitas  kerja  penderita  sehingga  perlu  dilakukan
upaya  pencegahan  terhadap  penyakit  ini.  Dengan  mengetahui  faktor-faktor  yang mempengaruhinya  diharapkan  proses  pencegahan  dapat  lebih  mudah  dilakukan.
Selain itu cleaning service di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pegawai kelas  bawah  yang  kurang  mendapatkan  perlindungan  mengenai  kesehatan  kerja
mereka  dan  hasil  penelitian  ini  nantinya  akan  digunakan  sebagai  data  based pelaksanaan program intervensi kepada pekerja di internal UIN.
Berdasarkan  latar  belakang  tersebut  maka  penulis  tertarik  untuk  meneliti tentang  faktor-faktor  yang  berhubungan  dengan  kejadian  dermatitis  kontak  pada
pekerja cleaning service di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah