Pada pertemuan kelima, proses bernalar siswa sudah semakin terlihat dengan diselesaikannya soal pertama dengan baik. Hanya beberapa siswa yang
tidak dapat menjawab soal secara utuh. Sehingga untuk lebih memahami konsep, pada bahan ajar disajikan masalah kedua. Masalah kedua, hanya beberapa siswa
yang masih mengalami kesulitan dalam menentukan pasanngan bangun yang terbentuk.
Pada pertemuan pertama di siklus II, yaitu pertemuan pertama setelah tes siklus I dilakukan, siswa sudah sangat antusias menentukan syarat dua bangun
datar dikatakan kongruen. Siswa sudah terbiasa dengan bahan ajar yang digunakan sehingga mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Pertanyaan-
pertanyaan dari siswa terkait dengan bahan ajar baik dari bahasa dan kepahaman materi sudah tidak ditemukan peneliti pada pertemuan keenam. Sedangkan pada
pertemuan kedua, pada proses matematika horizontal, siswa belum mampu menarik kesimpulan mengenai sifat-sifat segitiga kongruen. Setelah peneliti
menuntutnya menuju matematika formal mengenai sifat-sifat segitiga kongruen, siswa merasa paham. Kepahaman tersebut terlihat dari proses matematika vertikal
dengan dibuatnya satu contoh segitiga yang tidak kongruen beserta alasannya, dan antara siswa satu dengan siswa lainnya mengajukan satu contoh yang berbeda.
Disini, siswa sudah merasa percaya diri menyelesaikan soal tanpa harus bertanya dahulu kepada peneliti sebagaimana ketika pertemuan awal di siklus I.
Untuk pertemuan ketiga di siklus II, proses bernalar siswa baru terlihat setelah peneliti memberikan stimulus langkah yang harus dilakukan. Hal ini
dikarenakan, siswa jarang sekali menggunakan teorema dari sebuah titik dapat dibuat sebuah garis’ dalam menyelesaikan soal. Sehingga saat mereka menemui
masalah yang menuntut mempergunakan teorema itu, penalarannya tidak sampai kepada teorema tersebut. Pada proses matematika vertikal, siswa juga tidak bisa
menyelesaikan soal mengenai segi-n beraturan yang dibentuk oleh segitiga- segitiga kongruen sebelum peneliti mengingatkan kembali tentang bagaimana
mencari panjang busur sebuah lingkaran. Dari pembelajaran yang dilakukan, sejak pertemuan pertama sampai
pertemuan ketiga di siklus II, kemampuan siswa dalam bernalar terlihat meningkat
dengan semakin berkurangnya bantuan yang diberikan ketika menyelesaikan masalah. Pada pertemuan pertama, siswa belum tahu bagaimana cara
menyelesaikan suatu masalah dengan bahasa dan kalimat mereka sendiri, bagaimana menjelaskan jawaban yang dia peroleh, memberikan kesimpulan atas
jawabannya, bahkan dalam mengkonversi satuan pun ada beberapa siswa yang masih keliru. Pada pertemuan ketiga di siklus II, walaupun peneliti harus
memberikan stimulus terlebih dahulu agar siswa mampu menyelesaikan masalah, keadaan tersebut tidak mengurangi kekondusifan kelas. Hal tersebut menjadi
pembelajaran bagi peneliti agar ketika menjadi seorang guru, harus bias menciptakan proses belajar yang bermakna agar siswa tidak begitu saja
melupakan materi yang sudah berlalu, juga bagi siswa agar terus berlatih soal-soal agar terbiasa menghadapi matematika dengan berbagai variasi soal.
Peningkatan lain dapat dilihat dari dari hasil tes siklus I dan siklus II. Pada tes siklus I, nilai terendah siswa dalah 30 kemudian mengalami peningkatan di
suklus II menjadi 50. Sedangkan nilai terbesar dari hasil siklus I dalah 80 dan mengalami peningkatan di siklus II menjadi 83. Nilai rata-rata siswa di siklus I
sebesar 58,23, karena nilai ini belum mencapai kriteria yang diinginkan yaitu 63, maka penelitian dilanjutkan ke siklus II dengan nilai rata-rata tes siklus
sebesar 65,59, karena nilai rata-rata tes siklus II sudah mencapai kriteria, maka
penelitian berhenti di siklus II.
2. Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas siswa dinilai dengan lembar observasi siswa yang diisi oleh observer. Lembar observasi aktivitas siswa berdasarkan pada tahapan
pembelajaran dengan pendekatan pendekatan matematika realistik. Pada pertemuan pertama siklus I, kegiatan pembelajaran tidak sepenuhnya
dapat mengikuti tahapan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik. Faktor yang menyebabkan tahapan pembelajaran dengan pendekatan matematika
realistik tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya adalah karena siswa tidak terbiasa belajar menggunakan bahan ajar berbasis pembelajaran dengan pendekatan
matematika realistik. Kondisi seperti ini adalah hal yang wajar, karena setiap
orang butuh waktu untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Pun bagi siswa, siswa tidak bisa dipaksa untuk dapat mengikuti pembeajaran sesuai dengan
kehendak orang dewasa yang membimbingnya. Siswa juga membutuhkan waktu untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan belajarnya. Pada pertemuan kedua,
tahapan pembelajaran sudah bisa dilaksakan sepenuhnya, hanya saja peneliti masih sangat kerepotan dalam memberikan bantuan ketika siswa menemukan
konsep matematik dengan bahasa mereka sendiri. Biasanyaa siswa hanya berlaku seperti cangkir yang diisi air oleh orang dewasa, mereka hanya menerima rumus,
contoh soal, dan kemudian berlatih menyelesaikan soal latihan. Sehingga, saat siswa diminta menemukan konsep matematik secara mandiri dan peneliti hanya
memberikan bantuan seperlunya, mereka merasa sangat kesulitan. Untuk pertemuan ketiga di siklus I siswa banyak belajar dari pertemuan pertama dan
kedua. Pada pertemuan ketiga, sebelum pembelajaran di kelas dilaksanakan, mereka terlebih dahulu belajar materi yang sudah disampaikan.
Pada pertemuan pertama di siklus II, siswa sangat antusias mengikuti pembelajaran. Pada siklus II siswa sudah mulai terbiasa dengan bahan ajar yang
digunakan, selain itu pengelompokan siswa berdasarkan pada teman duduk sehingga dalam kegiatan pembelajaran, seluruh siswa dalam kelompok aktif
dalam menemukan konsep. Pengelompokan siswa berdasarkan pada teman duduk yang terdiri dari 2 orang ini lebih baik daripada 4 orang siswa dalam 1 kelompok,
karena tidak ada yang saling mengandalkan dalam kelompok, 1 orang yang tidak bekerja akan terkontrol oleh peneliti. Hal ini dikarenakan untuk menemukan
syarat dua bangun datar sebangun, mereka langsung mempraktekkan dalam kehidupan nyata dengan mengukur dua buah ubin yang mereka pijak. Pada
pertemuan kedua dan ketiga, bahan ajar juga didesain dengan menampilkan aplikasi konsep kesebangunan dan kekongruenan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga walaupun mereka menemui kesulitan dalam latihan soal-soal, mereka tetap antusias daam belajar, karena mereka sudah dapat menerima bahwa
matematika erat sekali hubungannya dengan kehidupan. Keadaan ini sesuai pada hakikat pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, bahwa matematika
adalah ilmu yang terintegras dengan kehidupan.
3. Tanggapan Siswa
Penggunaan bahan ajar berbasis pendekatan matematika realistik di madrasah ini adalah hal baru bagi siswa. Pada awal pembelajaran siswa masih
belum terbiasa belajar dengan bahan ajar ini, sehingga dalam pelaksanaannya terdapat banyak kekurangan. Kegiatan pembelajaran yang biasanya siswa
disajikan konsep langsung oleh guru, contoh soal, kemudian latihan soal, dengan bahan ajar ini siswa dibimbing untuk menemukan konsep secara mandiri dengan
bekal pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Tentu hal ini adalah sesuatu yang sulit bagi orang yang belum terbiasa, oleh karena itu tanggapan siswa
tentang bahan ajar yang digunakan dalam jurnal pertama di siklus I adalah sulit, bertele-tele, dan tidak ada yang merasa suka dengan bahan ajar. Tetapi dalam
jurnal kedua di siklus I sebagian siswa sudah dapat merasakan manfaat dari penggunaan bahan ajar ini, yaitu adanya tuntutan untuk belajar terlebih dahulu
sebelum pembelajaran di kelas dilakukan, mengingat kembali konsep-konsep yang sudah didapat pada jenjang sebelumnya, serta terlatihnya keberanian dan
rasa percaya diri siswa untuk mengungkapkan ide dan pendapat mereka. Hasil wawancara siswa setelah tes siklus I dilaksanakan, 50 siswa
memberikan jawaban negatif terhadap penggunaan bahan ajar yang artinya menunjukkan ketidaksukaan, 20 siswa berada pada posisi netral yang artinya
siswa kadang suka tetapi kadang juga merasa tidak suka, dan 30 siswa memberikan jawaban positif yang artinya siswa merasa suka menggunakan bahan
ajar. Siswa menyatakan bahwa walaupun dengan rasa suka atau tidak suka pada bahan ajar ini, tetapi siswa lebih memahami materi yang disampaika. Rasa tidak
suka siswa disebabkan ketidakbiasaan diajukan soal sebelum guru menjelaskan sehingga mereka harus banyak belajar. Sedangkan rasa suka terhadap bahan ajar
dikarenakan bahan ajar ini adalah hal baru bagi mereka, bahan ajarnya berbeda dari buku atau LKS yang mereka miliki, selain itu ada siswa yang merasa
termotivasi untuk belajar lebih giat lagi. Kepahaman mereka dikarenakan karena konsep materi dibangun dari masalah yang mereka selesaikan dengan bahasa
mereka sendiri, sehingga ketika menyelesaikan soal-soal latihan yang mereka
ingat adalah proses ketika menyelesaikan masalah sampai tahap penyimpulan. Selain itu, aktivitas belajar siswa sejak pertemuan pertama sampai tes siklus I
juga mengalami peningkatan. Pada pertemuan pertama siswa masih sangat bergantung pada peneliti, tetapi keadaan tersebut terus membaik pada setiap
pertemuannya. Bahkan pada pertemuan kelima sebelum dilakukannya tes siklus I, siswa sudah aktif menyelasaikan masalah sendiri dengan sedikit bantuan peneliti.
Kemampuan penalaran setelah menggunakan bahan ajar ini siswa katakan meningkat karena hasil tes siklus I sangat lebih baik dari tes awal pra penelitian.
Walaupun pada pertemuan pertama semua kegiatan serba membingungkan, pada akhirnya mereka siswa bisa mengikuti pembelajaran dengan bahan ajar ini dengan
baik. Hasil jurnal siswa di siklus II walaupun masih ada siswa yang menyatakan
kesulitan dalam menggunakan bahan ajar ini, tetapi mereka juga beranggapan bahwa bahan ajar ini bagus untuk meningkatkan motivasi belajar. Pembelajaran
yang biasanya siswa pasif dan hanya menerima penjelasan guru, dengan bahan ajar ini siswa lebih banyak berkontribusi dalam menciptakan pembelajaran. Hasil
wawancara setelah dilaksanakan tes siklus II menguatkan hasil jurnal yang di isi siswa. Sama halnya seperti pada sikulus I, hasil wawancara siswa ada yang
menyatakan suka dan tidak suka terhadap bahan ajar dengan alasan seperti pada wawancara setelah tes siklus I, hanya saja persentase jawaban siswa terhadap
bahan ajar ini mengalami peningkatan. Pada sikulus II hanya 10 siswa yang menyatakan tidak suka menggunakan bahan ajar, 20 siswa berada pada posisi
netral yang artinya siswa kadang merasa suka dan kadang pula merasa tidak suka, sisanya sebesar 70 siswa menyatakan suka dalam penggunaan bahan ajar
berbasis pendekatan matematika realistik. Siswa merasa senang mengikuti pembelajaran di siklus II karena aktivitasnya tidak monoton, bahkan siswa merasa
lebih paham karena konsep kekongruenan banyak sekali contohnya dalam kehidupan nyata.