pengambilan spesimen dalam penelitian ini relatif kecil. Oleh karena itu, disarankan kepada UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara untuk
mempertimbangkan perubahan sistem budaya dengan memindahkan lokasi budidaya kerang hijau atau melakukan pelatihan mengenai mengurangi
kandungan logam berat dalam kerang hijau saat sebelum dijual yaitu dengan melakukan perebusan menggunakan karbon aktif Rachmawati et al., 2013.
2. Hubungan Laju Asupan Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 230 responden yang mengkonsumsi 4,77 gramhari kerang hijau sebesar 77,9 responden
memiliki nilai RQ 1, sedangkan dari 230 responden yang mengkonsumsi kerang hijau ≤4,77 gramhari sebesar 93,3 responden memiliki nilai RQ ≤1.
Hasil penelitian menunjukan bahwa laju asupan mempunyai hubungan yang bermakna p value 0,05 dengan nilai tingkat risiko. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana 2008 yang menyatakan bahwa laju asupan berhubungan secara bermakna p value
=0,000 dengan tingkat risiko, responden yang mengkonsumsi ikan 233,6 gramhari berisiko 7,118 kali lebih besar untuk mengalami gangguan
kesehatan keracunan Cd dibandingkan responden yang mengkonsumsi kurang dari 233,6 gramhari. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sianipar 2009 yang menyatakan bahwa laju asupan memiliki hubungan yang kuat dengan nilai tingkat risiko p value =0,000 dan nilai OR
adalah 2,762.
Sejauh ini belum ada penelitian yang membuktikan tidak adanya hubungan antara laju asupan dengan tingkat risiko. Laju asupan harian Cd yang
berasal dari kerang berkisar antara 0,03 g – 96,18 g, sedangkan laju asupan
normal yang diperbolehkan dengan sumber pajanan makanan tidak boleh lebih dari 20 μg FAO, 2006. Secara teori Cd memiliki afinitas yang kuat terhadap
hati dan ginjal. Pada umumnya sekitar 50-75 konsumsi Cd yang melebihi 20 μg perhari akan disimpan dalam kedua organ tersebut Gupta, 2009.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak kerang yang dikonsumsi gramhari maka makin besar nilai laju asupan
yang diperoleh sehingga risiko responden untuk terpajan Cd yang berada pada tubuh kerang semakin tinggi. Pada penelitian ini nilai laju asupan responden
memiliki hubungan yang bermakna dengan besarnya tingkat risiko responden p value =0,000. Oleh sebab itu, disarankan kepada masyarakat untuk mengurangi
jumlah asupan konsumsi hasil laut khususnya kerang hijau, karena dengan melihat kondisi perairan Indonesia sudah banyak terjadi pencemaran. Hal ini
sesuai dengan yang terdapat dalam al-Quran Surah Al- A’raf ayat 31 bahwa,
“makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
” Al-A’raf 7: 31. Penjelasan Syihab
2009 mengenai ayat tersebut bahwa ayat tersebut merupakan salah satu prinsip yang diletakan agama menyangkut kesehatan yang telah diakui juga oleh para
ilmuan terlepas apapun pandangan hidup atau agama mereka. Ayat tersebut menganjurkan bahwa perintah makan dan minum tidak berlebih-lebihan dalam
arti tidak melampaui batas, merupakan tuntutan yang harus disesuaikan dengan kondisi seseorang. Kadar tertentu yang dinilai cukup untuk seseorang, boleh jadi
telah dinilai melampaui batas atau belum cukup untuk orang lain. Atas dasar tersebut, penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proposional dalam makan
dan minum.
3. Hubungan Frekuensi Pajanan Konsumsi Kerang Hijau dengan Tingkat
Risiko
Frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai RQ p value 0,05. Sebanyak 230 responden yang
mengkonsumsi kerang hijau 52 haritahun sebesar 77,9 responden memiliki nilai RQ 1, sedangkan yang frekuensi pajanannya ≤52 haritahun
yang memiliki nilai RQ ≤1 adalah 93,6. Hal tersebut berarti responden yang sering mengkonsumsi kerang hijau memiliki nilai RQ yang lebih besar
dibandingkan dengan responden yang jarang mengkonsumsi kerang hijau. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Muh. Aripai et al.
2012 yang menyatakan bahwa frekuensi pajanan mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai tingkat risiko RQ p value =0,000. Diperkuat
dengan penelitian Daud et al. 2013 yang menyatakan semakin tinggi frekuensi pajanan responden maka semakin tinggi pula risiko responden untuk
terpajan logam berat Cd. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa frekuensi pajanan akan mempengaruhi besarnya nilai RQ IPCS, 2010,
sehingga masyarakat yang lebih sering mengkonsumsi kerang hijau maka akan meningkatkan nilai RQ.
Namun berbeda dengan penelitian Ashar 2007 tentang Pajanan Mangan dalam Air Melalui Intake Oral dan penelitian Purnomo dan Purwana
2008 tentang Dampak Kandungan Kadmium pada Ikan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi pajanan dengan
nilai tingkat risiko p value = 0,178. Perbedaan tersebut terjadi karena penelitian Ashar 2007; Purnomo dan Purwana 2008 menggunakan nilai
deflut konsumsi maksimum yang ditetapkan oleh US-EPA yaitu 365 haritahun atau setiap hari, yang berarti seluruh frekuensi pajanan responden
disamakan dengan responden yang mengkonsumsi setiap hari. Meskipun dalam kenyataannya tidak semua responden mengkonsumsi setiap hari.
Standar BPS menjelasakan bahwa konsumsi kerang hijau maksimum yang dianjurkan adalah satu minggu sekali atau 52 haritahun. Namun pada
hasil penelitian ini responden yang mengkonsumsi kerang hijau dalam frekuensi ≤52 haritahun sebesar 22,1 memiliki nilai RQ 1. Jadi, walaupun
responden telah mengkonsumsi sesuai dengan standar yang telah dianjurkan akan tetapi masih berisiko terhadap
gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi kerang hijau yang telah tercemar Cd. Hal ini dikarenakan
besarnya tingkat risiko tidak hanya dipengaruhi oleh variabel frekuensi pajanan, namun juga dipengaruhi oleh variabel konsentrasi Cd, laju asupan,
durasi pajanan, dan berat badan.