peraturan SNI 2009, ditetapkan bahwa nilai LD50 untuk logam Cd adalah 225 mgkg dan Provisional Tolerable Weekly Intake PTWI sebesar 0,007 mgkg
berat badan. Menurut IRIS 2013 besaran NOAEL untuk logam Cd melalui intake oral adalah 0,01 mgkghari.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa besarnya risiko kesehatan pada masyarakat diakibatkan oleh pajanan logam Cd. Menurut hasil
pengamatan dan wawancara secara langsung terhadap masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara selama penelitian, bahwa rata-rata hampir seluruh
masyarakat Kaliadem Muara Angke memiliki pengetahuan yang kurang terhadap efek kronik dari cemaran logam berat yang telah terjadi di wilayah Teluk Jakarta.
Hal ini dikarenakan kurangnya pemberian informasi kepada masyarakat utamanya masyarakat pesisir, mengenai pencemaran dan gangguan kesehatan yang terjadi
akibat zat pencemar tersebut. Oleh karena itu, disarankan kepada Dinas Kesehatan Jakarta Utara untuk mengembangkan dan melakukan progam surveilans dan
pemetaan terhadap kelompok masyarakat yang berisiko terhadap efek kesehatan akibat pajanan Cd. Selain itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem Muara
Angke yang telah memiliki risiko RQ1 gangguan kesehatan akibat pajanan Cd akibat konsumsi kerang hijau untuk mengkonsumsi food suplement seperti Alfalfa
sebanyak 2000-3000 mghari, Ca sebanyak 2000 mghari dan Mg sebanyak 1000 mghari, vitamin E sebanyak 600-1000 IUhari, Zn sebanyak 50-60 mghari, Cu
sebanyak 3 mghari Darmono, 1999.
E. Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi
Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015
1. Hubungan Konsentrasi Kadmium dalam Kerang Hijau dengan Tingkat
Risiko
Hasil penelitian pada tabel 5.6 sebesar 77,9 responden memiliki nilai RQ 1 pada konsentrasi 0,083 mgL, sedangkan sebanyak 93,6 responden
memiliki nilai RQ ≤1 dengan kosentrasi Cd dalam kerang hijau sebesar ≤0,083 mgL. Jika tingkat risiko RQ responden secara keseluruhan dianalisis
berdasarkan pajanan kerang hijau, dari 230 responden yang mengkonsumsi kerang sebanyak 140 responden yang memiliki RQ 1 dan hanya 40
responden yang memiliki RQ ≤1. Konsentrasi Cd pada kerang hijau tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai tingkat risiko p value
0,05. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningtyas 2002 yang menyatakan bahwa asupan pajanan Cd pada masyarakt di pesisir Teluk
Jakarta sangat rendah dengan konsentrasi Cd jauh melampaui nilai ambang batas yang direkomendasikan, karena nilai laju asupan, durasi pajanan, dan
frekuensi pajanan yang relatif kecil maka nilai intakepun juga kecil sehingga belum menimbulkan risiko kesehatan, sehingga konsentrasi Cd tidak memiliki
hubungan dengan nilai tingakat risiko. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Siantar 2009
yang menyatakan bahwa responden yang terpajan H2S melebihi kadar maksimal mempunyai peluang 11,67 kali memiliki risiko akan mengalami
gangguan kesehatan akibat menghirup H2S yang terkandung dalam udara
dibandingkan dengan responden yang tidak terpajan H2S melebihi nilai kadar maksimal. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Ashar 2007 juga
menyatakan bahwa responden yang terpajan logam mangan melebihi nilai maksimum 31,036 kali memiliki risiko mengalami gangguan kesehatan akibat
pajanan logam mangan dalam air dibandingan dengan reponden yang tidak terpajan mangan melebihi nilai maksimum.
Secara teori nilai konsentrasi digunakan untuk menghitung intake yang nantinya akan digunakan juga untuk menentukan nilai tingkat risiko
RQIPCS, 2010. Perbedaan tersebut terjadi karena rentang nilai konsentrasi Cd dalam kerang hijau tidak berbeda jauh antara spesimen kerang dan lingkup
wilayah yang digunakan dalam penelitian ini juga relatif kecil, sehingga di dapatkan nilai p value 0,05 yang menyatakan tidak ada hubungan yang
signifikan. Sesuai dengan penelitian Purnomo dan Purwana 2008 yang mengatakan bahwa konsentrasi Cd dalam ikan di Teluk Lampung tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat risiko responden p value =0,052.
Meskipun nilai konsentrasi Cd masih dibawah batas cemaran maksimum menurut BPOM RI dan SNI dan tidak memiliki hubungan yang
bermakna dalam penelitian ini, namun sebesar 77,9 reponden yang terpajan Cd 0,083 mgL memiliki nilai RQ 1, dan sebanyak 22,1 responden yang
terpajan Cd ≤0,083 mgL memiliki nilai RQ 1. Hal tersebut membuktikan bahwa penetapan standar 1.0 mgkg Cd sebagai batas cemaran maksimum
dalam Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan,
tidak mampu melindungi populasi di tempat penelitian ini dilakukan. Hal tersebut dikarenakan telah terjadi akumulasi logam berat pada periaran Teluk
Jakarta yang diakibatkan oleh pencemaran laut akibat buangan limbah industri maupun rumah tangga, sehingga hasil laut yang berasal dari perairan tersebut
ikut tercemar. Telah dijelaskan dalam al- Qur’an Surah At-Tin ayat 4-6 bahwa
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk fisik dan psikis, lalu Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh
” At-Tin 95: 4-6
. Tafsir Al-Mishbah menafsirkan ayat tersebut bahwa dosa dan pelanggaran yang dilakukan manusia mengakibatkan gangguan keseimbangan
di darat dan di laut. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia. Dijelaskan juga dalam surah
Al- A’raf ayat 96 bahwa alam raya, dengan segala bagiannya yang perinci
saling berkaitan antara satu dan yang lain, sehingga apabila terjadi gangguan pada keharmonisan dan keseimbangan itu, pasti berdampak pada seluruh
bagian alam termasuk manusia, baik yang merusak mapupun yang dirusak. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini
tidak ada hubungan yang bermakna antara konsentrasi Cd dalam kerang dengan tingkat risiko responden p value =0,567. Tidak adanya hubungan
yang bermakna tersebut dikarenakan rentang nilai konsentrasi antara spesimen kerang tidak berbeda jauh dan lingkup wilayah yang digunakan untuk
pengambilan spesimen dalam penelitian ini relatif kecil. Oleh karena itu, disarankan kepada UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara untuk
mempertimbangkan perubahan sistem budaya dengan memindahkan lokasi budidaya kerang hijau atau melakukan pelatihan mengenai mengurangi
kandungan logam berat dalam kerang hijau saat sebelum dijual yaitu dengan melakukan perebusan menggunakan karbon aktif Rachmawati et al., 2013.
2. Hubungan Laju Asupan Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 230 responden yang mengkonsumsi 4,77 gramhari kerang hijau sebesar 77,9 responden
memiliki nilai RQ 1, sedangkan dari 230 responden yang mengkonsumsi kerang hijau ≤4,77 gramhari sebesar 93,3 responden memiliki nilai RQ ≤1.
Hasil penelitian menunjukan bahwa laju asupan mempunyai hubungan yang bermakna p value 0,05 dengan nilai tingkat risiko. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana 2008 yang menyatakan bahwa laju asupan berhubungan secara bermakna p value
=0,000 dengan tingkat risiko, responden yang mengkonsumsi ikan 233,6 gramhari berisiko 7,118 kali lebih besar untuk mengalami gangguan
kesehatan keracunan Cd dibandingkan responden yang mengkonsumsi kurang dari 233,6 gramhari. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sianipar 2009 yang menyatakan bahwa laju asupan memiliki hubungan yang kuat dengan nilai tingkat risiko p value =0,000 dan nilai OR
adalah 2,762.