tanaman perkebunan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dari 11.974.201.918 kg pada tahun 2003 menjadi 18.579.806.335 kg pada tahun 2006.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Tanaman Perkebunan, Tahun 2003- 2006
Tahun Volume Kg
Ekspor Impor Neraca
2003 11.974.201.918
2.088.748.566 9.885.453.352
2004 15.556.889.495
299 1.353.601.447
-35,1 14.203.288.048
43,6 2005
18.579.806.335 19,4
2.091.654.011 54,5
16.488.152.324 16,0
2006 15.150.170.864
18,5 1.346.496.425
53,6 13.803.674.439
16,2 Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 Angka diolah Angka Sementara
Minyak aromatik merupakan salah satu olahan tanaman perkebunan. Minyak aromatik memiliki aroma yang kuat karena sifatnya yang mudah
menguap pada suhu ruang. Minyak aromatik banyak digunakan untuk bahan dasar wewangian dan minyak gosok. Salah satu olahan tanaman perkebunan penghasil
minyak aromatik adalah minyak atsiri dan minyak jarak. Minyak jarak yang dimanfaatkan dalam berbagai industri seperti: sabun, pelumas, minyak rem dan
hidrolik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung coating, tinta, malam dan semir, nilon, farmasi, dan parfum. Tahun 2003 sampai 2006, ekspor minyak
atsiri menunjukan trend yang meningkat. Sedangkan volume ekspor minyak jarak menunjukan adanya fluktuasi. Volume ekspor minyak atsiri lebih besar setiap
tahunnya dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini menunjukan permintaan minyak atsiri lebih besar dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini dapat dilhat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Ekspor dan Impor Tanaman Perkebunan Penghasil Minyak Aromatik Indonesia, Tahun 2003-2006 Kg
Tahun Minyak Atsiri
Volume Kg Minyak Jarak
Volume Kg Ekspor
Impor Ekspor
Impor
2003 1.967.736
321.333 200.622
2.489.689 2004
3.230.401 64,1
1.596.474 396,8
1.019.176 408,0
4.504.806 80,9
2005 3.767.561
16,6 942.860
-40,9 16.112
-98,4 3.985.890
11,5 2006
2.945.384 -21,8
1.233.938 30,8
32.856 103,9
2.952.866 -25,9
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 Angka diolah
Termasuk Bahan Baku Minyak Aromatik Angka Sementara
Pasar minyak atsiri sangat potensial bagi Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak atsiri dunia yang berada pada urutan ketiga
di dunia. Ekspor minyak atsiri Indonesia tahun 2002 menghasilkan nilai sebesar US 47.940.000 atau 17,6 persen dari total nilai ekspor minyak atsiri di pasar
dunia. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Negara-Negara Pengekspor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002
Negara pengekspor Nilai Ribuan US
Perancis 93.842 34,5
China 50.517 18,6
Indonesia 47.940 17,6
USA 34.011 12,5
Inggris 24.346 8,9
Singapura 21.090 7,9
Total 271.746 100
Sumber: ITCComtrade Statistic, 2003
Berdasarkan nilai impor tahun 2002, permintaan terhadap minyak atsiri dari semua negara pengimpor cukup tinggi. Indonesia hanya menghasilkan nilai
US 47.940.000 padahal total nilai impor minyak atsiri dari negara- negara pengimpor mencapai US 354.496.000. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Negara-Negara Pengimpor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002
Negara pengimpor Nilai Ribuan US
USA 120.220
33,9 Perancis 87.573
24,7 Inggris 48.149
13,6 Swiss
36.237 10,2
Jerman 32.906 9,3
Spanyol 29.411 8,6
Total 354.496 100
Sumber: ITCComtrade Statistic, 2003
Minyak atsiri dihasilkan dari proses pengolahan secara penyulingan dari tanaman atsiri. Berbagai jenis minyak atsiri dikembangkan di Indonesia salah
satunya minyak akarwangi yang dikembangkan di Provinsi Jawa Barat. Tahun 2004, produktivitas tanaman akarwangi paling rendah bila dibandingkan dengan
jenis tanaman penghasil minyak atsiri lain. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis Minyak Atsiri yang Diusahakan di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2004
No Komoditas Luas Areal Ha Produksi Ton
ProduktivitasKgHa
1. Akarwangi 2.250,00
72,00 32,00
2. Cengkeh 32.549,99
12.683,42 606,59
3. Jahe 4.023,01
30.860,43 11.045,25
4. Kayu Manis 74,50
21,78 792,00
5. Kenanga 231,16
25,89 444,23
6. Lada 3.364,53
1.064,35 778,80
7. Nilam 1.442,75
3.283,52 4.082,68
8. Pala 2.658,39
604,06 309,25
9. Sereh Wangi 492,50
776,54 1.584,78
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2005
Perkembangan luas lahan di Jawa Barat tahun 2000 hingga 2006 berfluktuatif. Tahun 2004 merupakan tahun yang memiliki luas lahan terbesar
yaitu 32 kgHa dan 2.250 Ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Akar wangi sebagai salah satu tanaman perkebunan yang bernllai ekonomis tinggi selayaknya
terus dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan penerimaan devisa.
Tabel 8. Perkembangan Luas Lahan Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006
Tahun Luas Lahan
Ha
2002 1.253 -
2003 1.917 52,9
2004 2.250 17,3
2005 2.035 -9,5
2006 2.045 0,49
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
1.2. Perumusan Masalah
Akarwangi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Kabupaten Garut yang memiliki arti penting bagi perekonomian daerah. Sekitar
89 persen produksi minyak akarwangi Indonesia dihasilkan dari Kabupaten Garut Bappeda Kabupaten Garut, 2005. Hal ini didukung oleh potensi areal seluas
2.400 Ha dan realisasi luas tanam mencapai 1.733 Ha pada tahun 2006 yang tersebar di empat kecamatan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Penyebaran Luas Tanam Akarwangi di Kabupaten Garut
No Kecamatan Potensi
Areal Ha Realisasi Luas
Tanam Ha Produksi
Ton Produktivitas
TonHa
1. Leles 750
683 8.196
12 2. Samarang
1.200 850
10.200 12
3. Bayongbong 250
85 1.020
12 4. Cilawu
200 115
1.380 12
Jumlah 2.400 1.733
20.796 12
Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006
Penanaman akarwangi dan pemberian izin usaha penyulingan minyak akarwangi diatur dalam Surat Keputusan SK Gubernur Jawa Barat
No.249A.II5SK1974 dan SK Bupati Garut No.125HK.021.1?SK1978 jo. SK Bupati Garut No.191HK.021.1SK1978. Berdasarkan SK tersebut, luas lahan
penanaman akarwangi di Kabupaten Garut tidak boleh melebihi 2.400 Ha. Namun, pada tahun 2006 realisasi luas lahan yang digunakan untuk menanam
akarwangi baru mencapai 1.733 Ha. Oleh karena itu, masih tersedia potensi lahan yang dapat dikembangkan sesuai
dengan SK.Bupati KDH Garut No.520SK.196- HUK90 tentang penanaman dan penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut
seluas 2.400 Ha yang tersebar di empat kecamatan. Meskipun prospek akarwangi cukup cerah, namun pada kenyataannya di
lapangan upaya pengembangan usaha akarwangi masih mengalami kendala. Pengusahaan budidaya akarwangi masih dijalankan secara sederhanatradisional
oleh petani dan luas lahan yang diusahakan baru mencapai 1.733 Ha. Padahal potensi areal mencapai 2.400 Ha sesuai dengan SK Bupati KDH Garut
No.520SK.196-HUK90. Hal ini mengindikasikan areal penanaman seluas 667 Ha belum termanfaatkan dan masih berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu,
dibutuhkan modal yang besar dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi. Kendala lain yaitu dalam melakukan budidaya dan penyulingan yaitu adanya
fluktuasi harga dan produksi. Gambar 1 merupakan gambar yang menunjukkan adanya fluktuasi harga akarwangi di Kabupaten Garut tahun 1996 hingga 2000.
Gambar 1. Perkembangan Harga Akarwangi di Kabupaten Garut
Pada Tahun 1996-2000
Selain fluktuasi harga akarwangi, adanya fluktuasi harga minyak akarwangi tahun 1996 hingga 2000 menyebabkan adanya risiko produksi. Hal ini
dapat dilihat pada tabel 2. Selama kurun waktu 1996 hingga 1998 terjadi peningkatan harga minyak akarwangi, namun tahun 1996 hingga tahun 1999
terdapat penurunan akarwangi. Tahun 1999 hingga tahun 2000 terdapat kenaikan harga minyak akarwangi hingga mencapai Rp.220.000kg.
Gambar 2. Perkembangan Harga Minyak Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2004
Y e a r H
a rg
a A
k a
rw a
n g
i R
p k
g
20 00 199 9
1998 1997
19 96 450
400 350
300 250
200
Y e a r H
a rg
a M
in y
a k
A k
a rw
a n
g i
R p
lt r
2 0 0 0 1 9 9 9
1 9 9 8 1 9 9 7
1 9 9 6 2 2 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 1 8 0 0 0 0
1 6 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0
1 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
g g
y g
p
Selain adanya risiko harga, terdapat risiko produksi yang menyebabkan berfluktuasinya produksi akarwangi dan minyak akarwangi. Gambar 3
menunjukkan bahwa terdapat risiko produksi akarwangi. Tahun 2002 hingga tahun 2004 terjadi peningkatan produksi akarwangi. Namun, tahun 2004 hingga
2005 terdapat penurunan produksi. Tahun 2005 hingga tahun 2006 terdapat peningkatan produksi meskipun peningkatannya cenderung kecil.
Gambar 3. Perkembangan Produksi Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006
Perkembangan harga akarwangi dan minyak akarwangi, pada dasarnya menunjukkan berfluktuasinya harga dari tahun ke tahun. Harga akarwangi
tertinggi sebesar Rp.425kg dan terendah Rp. 175kg Sedangkan harga minyak akarwangi tertinggi sebesar yaitu Rp. 220.000kg dan harga minyak akarwangi
terendah sebesar Rp. 105.000kg harga terendah. Data terakhir yang diperoleh dari kegiatan survei diperoleh informasi bahwa harga tertinggi pada tahun 2007 yang
Year P
ro d
u k
s i
A k
a rw
a n
g i
t o
n h
a
2006 2005
2004 2003
2002 70
60 50
40 30
20 10
diterima oleh penyuling adalah sebesar Rp.582.000kg dan terendah Rp. 466.923kg.
Kendala-kendala yang dihadapi menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut untuk berupaya mengembangkan tanaman akarwangi.
Hal ini dikarenakan akarwangi menjadi salah satu komoditas unggulan tanaman perkebunan di Kabupaten Garut. Pengembangan usaha akarwangi merupakan
bagian dari strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri Bappeda Kabupaten Garut,1994.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas, maka pengembangan usaha akarwangi, yang terdiri dari kegiatan budidaya dan
penyulingan di Kabupaten Garut dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang belum diusahakan seluas 667 Ha. Hal ini sesuai dengan kebijakan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut yaitu luas areal penanaman maksimal 2.400 Ha yang baru termanfaatkan seluas 1.733 Ha. Lahan yang belum
diusahakan tersebut diharapkan dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kelayakan pengembangan usaha yang memperhatikan aspek
budidaya dan pasca panen yakni kegiatan penyulingan. Penyulingan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan usaha akarwangi.
tanaman akar wangi akan diolah lebih lanjut menjadi minyak akar wangi yang dilakukan oleh beberapa petani penyuling yang memiliki modal yang relatif besar
bila dibandingkan dengan petani lainnya. Perhitungan atau penilaian dilakukan agar menghindari kerugian dalam penanaman modal yang terlalu besar dan
melihat sasaran dari kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha akar
wangi. Selain itu, studi kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut diperlukan untuk meminimalkan risiko dalam pengembangan usaha.
Dengan melakukan analisis kelayakan usaha maka dapat membandingkan antara tingkat keuntungan yang diperoleh pada kondisi normal dengan kondisi
risiko. Dengan demikian, diharapkan hasil studi kelayakan usaha ini dapat memberikan informasi kepada investor untuk menarik minatnya menanamkan
modal pada usaha akarwangi.
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah usaha akarwangi di Kabupaten Garut layak diusahakan? 2. Bagaimana dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap
kelayakan usaha akarwangi?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut
2. Menganalisis dampak adanya risiko volume produksi dan harga output
terhadap kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu :
1. Bagi petani dan penyuling akarwangi, penelitian ini memberikan alternatif dalam meminimalkan risiko yang terjadi dalam pengembangan usaha
akarwangi.
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan
pengembangan usaha akarwangi. 3. Bagi investormasyarakat, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu
referensi dalam mempertimbangkan penanaman modal di usaha akarwangi. 4. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan daya analisis
kelayakan usaha berdasarkan konsep studi kelayakan usaha.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Akarwangi
Tanaman akarwangi Vetiveria zizanioides termasuk keluarga graminae, berumpun lebat, akar tinggal, bercabang banyak, dan berwarna kuning pucat atau
abu-abu sampai merah tua. Tanaman ini ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar, dan sengaja ditanam di berbagai negara yang beriklim tropis dan subtropics
Kanisius, 1995. Tanaman akarwangi diproses melalui penyulingan yang akan
menghasilkan minyak akarwangi minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan salah satu bahan pewangi yang potensial. Biasanya dipakai secara luas untuk pembuatan
parfum, bahan kosmetika, dan sebagai bahan pewangi sabun. Minyak atsiri selain berfungsi sebagai zat pengikat fiksatif, juga memberikan wangi menyenangkan,
tahan lama, dan keras. Pemakaiannya harus memperhatikan dosis karena baunya yang keras. Jika dosisnya berlebihan akan memberikan kesan bau yang tidak enak.
Oleh karena itu, penggunaan minyak akar wangi ini dicampur dengan nilam, minyak mawar, dan minyak “sandalwood”.
Seiring dengan peningkatan kebutuhan terhadap produk-produk wewangian, maka kebutuhan terhadap minyak akarwangi pun cenderung
bertambah. Penghasil utama minyak akarwangi di Indonesia adalah Kabupaten Garut. Minyak akarwangi Indonesia di luar negeri dikenal dengan nama “Java
Vetiver Oil ”. Tanaman ini biasanya diusahakan di hulu Daerah Aliran Sungai
DAS Cimanuk dan di lereng-lereng berbukit dan bergelombang. Akarwangi dapat tumbuh pada ketinggian sekitar 300-2.000 meter di atas permukaan laut.
Akan tetapi, ketinggian optimum yang menghasilkan produktivitas tertinggi adalah sekitar 600-1.500 meter di atas permukaan laut.
Tanah yang sesuai untuk menanam akarwangi adalah di tanah yang berpasir atau pada tanah abu vulkanik. Pada tanah tersebut akar tanaman akan
menjadi lebat dan panjang. Selain itu, tanaman akarwangi masih dapat tumbuh di tanah-tanah liat yang mengandung air. Namun kelemahan tanah ini adalah sulit
dicabut dan pertumbuhan akar menjadi terhambat. Derajat kemasaman tanah pH yang cocok bagi pertumbuhan tanaman
akarwangi sekitar 6-7. Tanah yang terlalu masam atau dibawah 5,5 akan menyebabkan tanaman akarwangi menjadi kerdil sehingga akarnya akan
berbentuk kurus dan berukuran kecil. Penanaman akarwangi sekaligus dapat berfungsi sebagai usaha konservasi tanah dan air, karena kelebatan akarnya
mencapai + 50 cm. maka akarwangi dapat ditanam di pematang-pematang sawah untuk menghindari atau mengendalikan kerusakan pematang-pematang sawah.
Pertumbuhan tanaman akarwangi pun didukung oleh adanya sinar matahari yang jatuh secara langsung. Maka, bila tanaman akarwangi ditanam
ditempat yang teduh akan berpengaruh tidak baik terhadap pertumbuhan sistem akar dan mutu minyak pun akan menurun.
2.1.1. Budidaya Akar Wangi
2.1.1.1. Pembibitan
Tanaman akarwangi dapat diperbanyak secara vegetatif, yaitu menggunakan bonggol-bonggol akarnya. Bonggol tersebut didapatkan dari
tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, lalu dipecah-pecah sehingga setiap
pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun Kanisius, 1995.
Kebutuhan bonggol bibit untuk lahan satu hektar sekitar dua ton dengan jarak tanam antara 0,75 x 0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat
kesuburan tanah. Satu lubang tanam dibutuhkan 2-3 bonggol bibit.
2.1.1.2. Penanaman
Tahap pertama yang perlu diperhatikan adalah persiapan lahan. Meskipun akar wangi pada dasarnya kurang membutuhkan pengolahan tanah, namun tanah
yang menjadi media tanam akarwangi perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan tanah tersebut dilakukan dengan pencangkulan. Dengan cara ini, tanah yang
semula berada di bagian bawah akan berada di permukaan dan mendapat cahaya matahari, sekaligus rumput dan tumbuhan pengganggu lainnya akan mati.
Pada fase awal pertumbuhan, tanaman akarwangi membutuhkan air yang cukup. Oleh karena itu, waktu tanam sebaiknya diusahakan pada permulaan
musim hujan, yaitu bulan Oktober-November Penanaman bibit akarwangi dilakukan dengan cara memasukkan bonggol siap tanam ke dalam lubang tanam
yang telah dibuat, kemudian ditutup kembali dan tanah di sekitarnya agak dipadatkan. Jarak tanam pada tanah yang subur adalah 1 x 1 meter, sedangkan
pada tanah yang kurang subur 0,76 x 0,75 meter. Lokasi penanaman akar wangi pada lahan miring perlu dibuat terasering.
2.1.1.3. Pemeliharaan
Pemeliharaan akarwangi meliputi: penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama. Sekitar 2-3
minggu setelah tanam, hendaknya diadakan pemeriksaan ke kebun akarwangi. Hal ini untuk melihat akar wangi yang tidak tumbuh atau bahkan mati agar dilakukan
penyulaman. Kegiatan ini untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya dan akan digunakan untuk memprediksi produk yang dihasilkan Kanisius, 1995.
Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan akarwangi yaitu penyiangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah datangnya hama yang
biasanya menjadikan gulma lain sebagai tempat persembunyian, sekaligus untuk memutus daur hidup hama. Tindakan penyiangan dilakukan pada umur tiga bulan
sejak tanam dan pada awal maupun akhir musim penghujan. Tanaman akarwangi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pembumbunan agar aerasi dan drainase dapat diatur dengan baik. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan.
Setelah dilakukan kegiatan penyiangan, yang perlu diperhatikan adalah kegiatan pemupukan. Pertumbuhan akarwangi akan terganggu apabila kondisi tanah tidak
subur. Pemupukan dilakukan biasanya dilakukan dua kali dalam satu tahun. Pada umur tiga bulan, pupuk yang diberikan untuk lahan seluas satu hektar adalah lima
ton pupuk kandang, 100 kg urea, 50 kg TSP, dan 50 kg KCL. Sedangkan pada bulan ke sembilan dilakukan pemupukan dengan dosis yang berbeda yaitu lima
ton pupuk kandang, 50 kg urea, 25 kg TSP, dan 25 kg KCL. Cara pemberian pupuk adalah dengan memasukan pupuk ke dalam lubang melingkar sedalam 10
cm dan ditutup kembali oleh tanah.
Setelah tanaman berumur + 6 bulan dilakukan pemangkasan daun untuk mendapatkan akar yang rimbun dan panjang. Pemangkasan ini dilakukan tga
bulan atau enam bulan sekali pada daerah dataran tinggi. Sedangkan pada dataran rendah tidak perlu dilakukan pemangkasan karena akan menurunkan hasil
produksi.
2.1.1.4. Pemanenan
Waktu pemanenan akar wangi bergantung pada musim dan penggunaan tanah. Kondisi tanaman dan kandungan minyak masih sedikit apabila dipanen
terlalu dini. Namun apabila panen terlambat akan mengakibatkan akar layu dan mengering sehingga sebagian minyak akan hilang. Oleh karena itu, umur yang
paling baik untuk melakukan pemanenan adalah antara 1,5 -2 tahun Kanisius, 1995.
Pemanenan dilakukan dengan menggunakan cangkul. Pencabutan tanaman harus dilakukan secara hati-hati agar akar tidak putus dan tertinggal di dalam
tanah. Akar yang baru dipanen harus dibersihkan dari tanah yang masih melekat dan dipotong di bawah bonggolnya. Sedangkan daun akar wangi dapat dijadikan
kompos dan bonggolnya sendiri dapat dijadikan bibit untuk penanaman masa berikutnya kemudian hasil panen tersebut disuling.
2.1.2. Penyulingan Akar Wangi
Minyak atsiri yang berasal dari tanaman akar wangi dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: pengempaan, ekstraksi menggunakan pelarut, dan
penyulingan. Dari ketiga cara tersebut, yang erat kaitannya untuk mendapatkan minyak akar wangi vetiver oil adalah cara penyulingan Kanisius, 1995.
Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam suatu ketel dan
mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air ke dalam ketel penyulingan. Dalam hal ini terdapat tiga jens penyulingan yaitu: 1 penyulingan dengan air,
2penyulingan dengan air dan uap, 3 penyulingan dengan uap
2.1.2.1. Penyulingan dengan air
Prinsip kerja penyulingan dengan air dimulai dengan pengisian air pada ketel penyulingan kemudian dipanaskan. Sebelum air mendidih, bahan baku
dimasukkan ke dalam ketel penyulingan. Dengan demikian penguapan air dan minyak atsiri berlangsung secara bersamaan. Penyulingan ini disebut penyulingan
langsung. Penyulingan ini merupakan cara tertua dan sangat mudah dilaksanakan. Namun, kualitas minyak atsiri yang dihasilkan cukup rendah Kanisius, 1995..
2.1.2.2. Penyulingan dengan air dan uap
Penyulingan ini relatif lebih maju dibandingkan penyulingan dengan air. Prinsip kerja yang dilakukan adalah dimulai dengan ketel penyulingan diisi air
sampai batas saringan. Bahan baku diletakkan di atas saringan sehingga tidak berhubungan langsung dengan air yang mendidih, tetapi akan berhubungan
dengan uap air. Penyulingan ini disebut penyulingan tidak langsung. Air yang menguap akan membawa partikel-partikel minyak atsiri dan dialirkan melalui pipa
ke alat pendingan sehingga terjadi pengembunan dan uap air yang bercampur minyak atsiri tersebut akan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat
pemisah untuk memisahkan minyak atsiri dari air. Kualitas yang dihasilkan cukup baik Kanisius, 1995..
2.1.2.3. Penyulingan dengan uap
Penyulingan dengan cara ini memerlukan modal yang relatif besar dibandingkan cara-cara yang sebelumnya. Namun, kualitas minyak atsiri yang
dihasilkan jauh lebih sempurna. Prinsip kerja penyulingan seperti ini hampir sama dengan cara menyuling dengan air dan uap tetapi antara ketel uap dan ketel
penyulingan harus terpisah. Ketel uap yang berisi air dipanaskan, lalu uap tersebut dialirkan ke ketel penyulingan yang berisi bahan baku, partikel-partikel minyak
pada bahan baku terbawa bersama uap dan dialirkan ke alat pendingin. Di dalam alat pendingin itulah terjadi proses pengembunan, sehingga uap air yang
bercampur minyak akan mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah yang akan memisahkan minyak atsiri dari air Kanisius, 1995..
Mengingat produksi minyak akarwangi di Indonesia hampir seluruhnya diekspor, maka pemerintah telah menetapkan persyaratan ekspor. Warna
akarwangi yang didayaratkan yaitu kecoklat-coklatan sampai kemerah merahan. berat jenis pada suhu 25 derajat celcius,bilangan ester antara 5-25
Umumnya minyak akarwangi yang baik ditandai oleh berat jenis dan putaran optik yang tinggi. Komponen penting lainnya adalah vetiverol. Menurut
Santoso 1993, peningkatan kadar vetiverol di dalam minyak akar wangi akan sekaligus meningkatkan mutu minyak tersebut.
2.2. Studi Kelayakan Proyek
Tahapan pertama dalam kegiatan proyek adalah identifikasi gagasan proyek, yaitu menganalisis gagasan, ide, atau saran-saran mengenai rencana
proyek yang akan dilaksanakan. Setelah analisis pendahuluan dilakukan, maka analisis lebih rinci dilakukan yang disebut dengan istilah studi kelayakan. Studi
kelayakan akan memberikan informasi yang cukup untuk melaksanakan proyek tersebut. Studi kelayakan akan memberikan kesempatan untuk menyusun proyek
agar bias sesuai dengan lingkungan fisik dan sosialnya, serta dapat memastikan bahwa proyek tersebut akan memberikan hasil yang optimal Herjanto, 1999.
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Damanik 2003 di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Data aspek sosial ekonomi diambil dari 120 petani
akarwangi dan 22 pabrik penyuling akarwangi. Percobaan lapangan dilaksanakan pada lahan seluas tiga hektar. Metode penelitian yang digunakan yaitu rancangan
acak kelompok dengan tiga pola tanam dan dua ulangan. Perlakuan yang dicoba adalah pola tanam petani, pola tanam introduksi, dan pola tanam konservasi.
Parameter yang diamati adalah berat akar, kadar minyak, tingkat erosi, tingkat produktivitas, dan kelayakan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
ketiga pola yang diteliti ternyata pola konservasi mempunyai berat akar yang lebih tinggi yaitu 0,74 kg, sedangkan pola petani 0,60 kg dan pola introduksi 0,50 kg.
Hasil analisis kadar minyak ketiga pola menunjukkan bahwa kadar minyak pola konservasi dan pola petani tidak berbeda nyata yaitu 2,60 persen dan 2,25 persen,
sedangkan pola introduksi hanya 1,25 persen. Dari kedua parameter di atas berat akar dan kadar minyak dapat disimpulkan bahwa pola konservasi lebih baik
dibandingkan dengan pola lainnya. Tingkat erosi yang terjadi di pertanaman akarwangi adalah: a pola petani 26,20 tonha, b pola introduksi 19,40 tonha,
dan c pola konservasi 17,80 tonha. Tingkat produktivitas yang dicapai dari ketiga pola usahatani tersebut yaitu a pola petani sebesar 16.000 kg hatahun,
b pola introduksi 15.000kghatahun, dan c pola konservasi 18.000kghatahun. Dari ketiga pola tersebut yang tertinggi adalah pola konservasi, tetapi analisis
kelayakan ekonomi pada ketiga pola adalah : Pola konservasi : BC ratio 3,26, NPV Rp 7.852.000, dan IRR 18,75 persen; Pola introduksi : BC ratio 2,03, NPV
Rp 5.089.000, dan IRR 18,75 persen; Pola petani : BC ratio 3,60, NPV Rp7.130.000, dan IRR 18,50 persen. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
usaha tersebut layak untuk dilaksanakan. Penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisa 2004 mengenai perencanaan
kelayakan pengembangan usaha budidaya lebah madu Apis mellifera di Jawa Timur dilihat tingkat kelayakannya berdasarkan aspek-aspek kelayakan usaha.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pengembangan usaha tersebut layak untuk dikembangkan berdasarkan aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial
dan lingkungan, dan aspek finansial. Pola pengembangan usaha yang dilakukan adalah dengan menetapkan
empat skenario. Skenario pertama yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun 12 bulan dan menggunakan pengemasan
madu. Skenario kedua yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun 12 bulan dan tanpa menggunakan pengemasan madu.
Skenario ketiga yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim 7 bulan, stimulasi pada saat paceklik 5 bulan, dan pengemasan madu.
Skenario keempat yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim 7 bulan, stimulasi pada saat paceklik 5 bulan, dan tanpa pengemasan
madu. Berdasarkan keempat skenario tersebut, skenario pertama paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, nilai Net BC 1, IRR lebih dari
tingkat diskonto 60, dan payback period paling cepat yaitu 1 tahun 10 bulan 6 hari. Selain itu, adanya perubahan tingkat diskonto sebesar 14 persen dari keempat
skenario tidak didapatkan NPV negative sehingga keempat skenario tersebut dapat dijalankan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dolly 2006 mengenai analisis kelayakan investasi pengusahaan pembibitan duria Durio zibhetinus di CV.Milad Perkasa
Rancamaya Bogor menghasilkan beberapa kesimpulan. Analisis dilakukan pada ketiga pola. Pola pertama bahwa bibit dijual seluruhnya untuk proyek gerakan
nasional rehabilitasi hutan dan lahan GNRHL. Pola kedua bibit dijual langsung ke konsumen. Pola ketiga bahwa bibit 50 persen dijual ke GNRHL dan 50 persen
dijual langsung ke konsumen. Dari ketiga pola tersebut, pola kedua paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, Net BC 1, IRR discount rate,
pay back periode paling cepat. Selain itu, switching value dengan parameter
penurunan penjualan dan peningkatan biaya dilakuakn pada ketiga pola. Pola kedua paling sensitif terhadap kedua parameter yang digunakan.
Penelitian yang dilakukan Sukarman 2007 mengenai risk management, suatu kebutuhan bagi pengelolaan perbankan yang sehat menghasilkan beberapa
kesimpulan. Bagi perbankan, penerapan pengelolaan risiko menyebabkan bertambahnya biaya, jumlahn pegawai, waktu, dan mengurangi inisiatif untuk
membuat keputusan. Hal ini banyak dikeluhkan oleh para bankir yang pada
gilirannya akan mempengaruhi performanya. Krisis tahun 1997 yang berdampak hingga sekarang dan berbagai kecurangan menyebabkan trauma akan berulangnya
krisis ini. Namun, penerapan berbagai peraturan termasuk pengelolaan risiko perbankan dan perekonomian nasional akan segera membaik sehingga risiko
bisnis juga berkurang. Hal ini akan mendorong perbankan untuk melanjutkan intermediasinya karena pertumbuhan suatu ekonomi suatu negara memerlukan
kelancaran pemberian kredit bank.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
Pada bagian ini dijelaskan tentang konsep dan teori yang berhubungan dengan penelitian kelayakan pengembangan usaha akarwangi Andropogon
zizanoid pada kondisi risiko di Kabupaten Garut yaitu studi kelayakan usaha,
aspek-aspek studi kelayakan, konsep nilai waktu uang, kriteria kelayakan
investasi, dan risiko dalam investasi.
3.1.1 Studi Kelayakan Usaha
Proyek ialah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber- sumber untuk mendapatkan kemanfaatan benefit atau suatu aktivitas yang
mengeluarkan uang dengan harapan untuk menghasilkan hasil returns di waktu yang akan datang, yang dapat direncanakan, dibiayai, dan dilaksanakan sebagai
satu unit Kadariah et al, 1999. Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat atau tidaknya suatu proyek biasanya merupakan proyek investasi
dilaksanakan dengan berhasil Husnan dan Muhamad.2000. Menurut Kadariah et al 1999, tujuan analisis suatu usaha adalah untuk
memperbaiki pemilihan investasi karena sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas. Oleh karena itu, perlu diadakan pemilihan antara berbagai
macam proyek. Kesalahan dalam memilih proyek dapat mengakibatkan pengorbanan terhadap sumber-sumber yang langka. Studi kelayakan usaha sangat
perlu dilakukan untuk menentukan apakah dan sampai berapa jauhkah proyek tersebut dapat memberikan benefit yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Sejumlah sumber dapat dinikmati pada saat ini dan masa yang akan datang.
Sumber tersebut dapat ditingkatkan dengan cara menginvestasikan sebagian sumber-sumber yang tersedia pada saat ini. Melalui investasi tersebut, sumber-
sumber itu menjadi modal yang merupakan salah satu faktor produksi yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi di waktu yang akan datang.
Secara umum studi kelayakan mencakup aspek pasar, aspek teknik, aspek manajemen, aspek ekonomi dan sosial Husnan dan Muhamad.2000. Menurut
Kadariah et al 1999, bahwa setiap aspek tersebut terdapat suatu macam analisis yang menitikberatkan aspek itu. Tetapi dalam rangka ilmu evaluasi proyek
biasanya hanya ditekankan dua macam analisis yaitu analisis finansial dan analisis ekonomis. Analisis finansial merupakan analisis dimana proyek dilihat dari sudut
badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek. Analisis ekonomis merupakan analisis
dimana proyek dilihat dari sudut perkonomian secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis finansial.
Menurut Kadariah et al 1999, benefit proyek dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: direct benefit, indirect benefit, dan intangible benefit. Direct benefit dapat
berupa kenaikan dalam output fisik atau kenaikan nilai output yang disebabkan oleh adanya perbaikan kualitas, perubahan lokasi, perubahan dalam waktu
penjualan, penurunan kerugian, dan penurunan biaya. Kenaikan dalam nilai output dapat disebabkan oleh kenaikan produk fisik, perbaikan mutu produk, perbaikan
dalam lokasi dan waktu penjualan, dan perubahan dalam bentuk. Sedangkan penurunan biaya dapat berupa keuntungan dari mekanisasi, penurunan biaya
pengangkutan, dan penurunan kerugian. Indirect benefit merupakan benefit yang dirasakan di luar proyek karena adanya realisasi suatu proyek. Indirect benefit
terdiri dari multiplier effect dari proyek, benefit yang disebabkan karena adanya economic of scale
, dari benefit yang ditimbulkan karena adanya dynamic secondary effects
berupa perubahan dalam produktivitas tenaga kerja yang disebabkan oleh perbaikan kesehatan atau keahlian. Intangible benefit suatu
proyek adalah benefit yang sulit dinilai dengan uang, seperti: perbaikan lingkungan hidup, perbaikan pemandangan karena adanya suatu taman, perbaikan
distribusi pendapatan, integrasi nasional, pertahanan nasional, dan lain sebagainya.
Biaya dan manfaat yang dirasakan dalam menjalankan suatu proyek ditentukan oleh laju inflasi. Semakin cepat laju inflasi maka semakin besar pula
ukuran benefit yang dinyatakan dalam uang atas dasar harga yang berlaku. Di lain pihak, terjadinya inflasi akan mempengaruhi ukuran biaya. Namun, biasanya
benefit dari suatu proyek lebih besar daripada biayanya. Jika tidak, maka proyek
tersebut harus ditolak. Oleh karena itu, inflasi akan membesarkan benefit bersih yang diukur atas dasar harga yang berlaku. Selain itu, terdapat beberapa pedoman
untuk menentukan panjangnya umur proyek Kadariah et al, 1999, antara lain: a. Ukuran umum yang dapat diambil suatu periode jangka waktu yaitu sama
dengan umur ekonomis dari proyek. Umur ekonomis suatu aset ialah jumlah tahun selama pemakaian aset tersebut dapat meminimumkan biaya.
b. Proyek-proyek yang mempunyai investasi modal yang besar lebih mudah untuk menggunakan umur teknis daripada umur-umur pokok investasi. Dalam
hal ini untuk proyek-proyek tertentu umur teknis dari unsur-unsur pokok investasi adalah lama tetapi umur ekonomisnya dapat jauh lebih pendek
karena obsolescence ketinggalan zaman karena penemuan teknologi baru
yang jauh lebih efisien. Keadaan ini banyak terdapat dalam proyek-proyek pertanian.
c. Proyek-proyek yang umurnya lebih lama daripada 25 tahun dapat diambil 25 tahun. Hal tersebut dikarenakan tahun-tahun setelah itu jika di discount dengan
discount rate sebesar 10 persen ke atas maka present value nya akan kecil.
3.1.2. Aspek-Aspek Studi Kelayakan
Dalam studi kelayakan usaha terdapat aspek-aspek yang perlu dianalisis. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek pasar, teknis, keuangan, manajemen,
hukum, ekonomi dan sosial Husnan dan Muhamad, 2000.
1. Aspek Pasar
Aspek ini mempelajari tentang permintaan dan proyeksinya baik secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis, konsumen, perusahaan besar
pemakai. Selain itu, aspek pasar mempelajari tentang penawaran baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Bagaimana perkembangan di
masa lalu dan bagaimana perkiraan di masa yang akan datang. Harga, program pemasaran, dan perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan menjadi hal
yang penting untuk dianalisis. 2. Aspek Teknis
Aspek teknis mencakup studi dan pengujian pendahuluan, skala produksi, proses produksi, mesin-mesin dan perlengkapan, perlengkapan-perlengkapan
tambahan dan pekerjaan-pekerjaan teknis tambahan, penanganan limbah produksi, tata letak produksi, pemilihan lokasi, jadwal kerja, dan teknologi yang akan
digunakan.
3. Aspek Keuangan
Aspek keuangan mencakup dana yang diperlukan untuk investasi baik untuk aktiva tetap maupun modal kerja, sumber-sumber pembelanjaan yang akan
digunakan, taksiran penghasilan, biaya, rugi laba pada berbagai tingkat operasi, manfaat dan biaya dalam arti finansial, dan proyeksi keuangan.
4. Aspek Manajemen
Aspek manajemen mempelajari tentang manajemen dalam masa pembangunan proyek dan manajemen dalam masa operasi. Dalam masa
pembangunan proyek, hal yang dipelajari adalah siapa pelaksana proyek tersebut, bagaimana jadwal penyelesaian proyek tersebut, dan siapa yang melakukan studi
masing-masing aspek kelayakan usaha.
5. Aspek Hukum
Aspek hukum mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan digunakan, jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber
dana yang berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, dan izin.
6. Aspek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Pada aspek ini yang dipelajari adalah pengaruh proyek tersebut terhadap peningkatan pendapatan negara, devisa yang bisa dihemat dan yang bisa
diperoleh. Selain itu, hal yang dipelajari adalah penambahan dan pemerataan kesempatan kerja, bagaimana pengaruh proyek tersebut terhadap industri lain, dan
aspek yang bersifat sosial. Aspek yang bersifat sosial seperti semakin ramainya daerah tersebut, lalu lintas yang semakin lancar, adanya penerangan listrik, dan
lain sebagainya. Aspek sosial merupakan manfaat dan pengorbanan sosial yang
mungkin dialami oleh masyarakat tetapi sulit dikuantifikasikan yang bisa disepakati secara bersama. Tetapi manfaat dan pengorbanan tersebut dirasakan
ada. Aspek lingkungan misalnya kegiatan usahatani akarwangi yang tidak mengakibatkan kerusakan alam.
3.1.3. Konsep Nilai Waktu Uang
Menurut Kadariah et al 1999, bahwa sejumlah sumber yang tersedia untuk dinikmati pada saat ini lebih disenangi orang daripada jumlah yang sama
jika tersedia baru dalam satu tahun. Hal itu yang disebut time preference yang berlaku baik secara perseorangan maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Di
lain pihak, diketahui pula bahwa jumlah mutlak dari sumber yang tersedia untuk konsumsi dapat kita tingkatkan dengan cara menginvestasikan sebagian sumber-
sumber yang tersedia pada saat ini daripada sekaligus mengkonsumsi seluruhnya. Melalui investasi tersebut, sumber-sumber itu menjadi modal yang merupakan
salah satu faktor produksi yang menghasilkan barang dan jasa untuk konsumsi di waktu yang akan datang.
Time preference dan produktivitas atau efisiensi modal berhubungan
timbal balik di dalam pasar modal dimana penawaran merupakan tabungan masyarakat sedangkan permintaan berasal dari pihak yang mencari keuntungan
melalui penanaman modal. Harga yang ditentukan oleh hubungan timbal balik itu ialah harga modal, yaitu tingkat bunga. Oleh karena itu, tingkat bunga
membandingkan arus biaya dan benefit yang penyebarannya di dalam waktu tidak merata maka diterapkan proses discounting. Setiap nilai tingkat bunga
diasumsikan telahakan didapatdibayar, terdapat suatu discount factor yang bermanfaat dalam kegiatan evaluasi proyek.
3.1.4. Kriteria Kelayakan Investasi
Dalam mencari suatu ukuran menyeluruh tentang layak atau tidaknya suatu proyek telah dikembangkan berbagai macam indeks. Indeks-indeks tersebut
disebut investment criteria. Setiap indeks menggunakan present value yang telah di discount dari arus-arus benefit dan biaya selama umur suatu proyek. Setiap
kriteria digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek untuk dijalankan. Selain itu digunakan untuk memberi urutan ranking berbagai usul
investasi menurut tingkat keuntungan masing-masing. Kriteria investasi tersebut antara lain Net Present Value NPV, Internal Rate of Return IRR, Net Benefit-
Cost Ratio Net BC, Gross Benefit Cost Ratio Gross BC, Profitability Ratio
PVK Kadariah et al, 1999.
1. Net Present Value NPV
Menurut Husnan dan Muhamad 2000, metode ini menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas
bersih di masa yang akan datang. Nilai sekarang dapat dihitung dengan menentukan tingkat bunga terlebih dahulu. Pada dasarnya, tingkat bunga tersebut
adalah tingkat bunga pada saat kita menganggap keputusan investai masih terpisah dari keputusan pembelanjaan ataupun waktu kita mulai mengaitkan
keputusan investasi dengan keputusan pembelanjaan. Apabila nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang
akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi, maka proyek ini dikatakan menguntungkan sehingga layak untuk dijalankan. Apabila lebih kecil
NPV negatif proyek dinilai tidak menguntungkan dan tidak layak untuk dijalankan.
2. Internal Rate of Return IRR
Metode ini menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa-masa
mendatang. Apabila tingkat bunga ini lebih besar daripada tingkat bunga relevan tingkat keuntungan yang diisyaratkan, maka investasi dikatakan menguntungkan
dan sebaliknya bila lebih kecil dikatakan merugikan Husnan dan Muhamad, 2000 .
3. Net Benefit-Cost Ratio Net BC
Net BC merupakan angka perbandingan antara nilai sekarang arus manfaat dengan nilai sekarang arus biaya. Kriteria yang digunakan untuk net BC
ratio dari manfaat proyek adalah memilih semua proyek yang nilai BC ratio sebesar satu atau lebih jika arus biaya dan manfaat didiskonto pada tingkat biaya
opportunitas kapital Gittinger, 1986.
4. Gross Benefit Cost Ratio Gross BC
Gross BC merupakan angka perbandingan antara benefit kotor dan cost
kotor. Cost dalam hal ini mencakup segala jenis biaya sosial baik modal maupun rutin. Gross BC bersifat peka terhadap angka perbandingan biaya rutin terhadap
benefit kotor. Maka sebagai kriteria pemilihan proyek, gross BC dapat menghsilkan kesimpulan yang keliru dan hendaknya jangan digunakan dalam
analisis benefit cost Kadariah et al, 1999.
5. Profitability Ratio PVK
Menurut Kadariah et al 1999, metode ini membedakan antara biaya modal dengan biaya rutin. Angka perbandingan ini dianggap mengukur
rentabilitas suatu investasi di atas tingkat discount rate-nya. Biasanya lebih mendekati Net BC daripada Gross BC. Apabila benefit atau biaya rutin mulai
tampak hanya sesudah proses investasi selesai, seperti halnya jika pengeluaran tahun-tahun pertama suatu proyek terbatas pada biaya modal saja ataupun biaya
rutin tidak pernah melebihi benefit kotor dalam suatu tahun tertentu, maka profitability ratio
betul-betul sama-sama dengan Net BC.
6. Payback Period PP
Metode ini mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali. Oleh karena itu, satuan hasilnya bukan persentase tetapi satuan waktu bulan, tahun, dan
sebagainya. Dasar yang dipergunakan adalah aliran kas bukan laba. Bila periode payback ini lebih pendek daripada yang diisyaratkan maka proyek dikatakan
menguntungkan sedangkan bila lebih lama proyek ditolak. Merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan untuk melihat periode waktu yang diperlukan
untuk melunasi seluruh pengeluaran investasi. Semakin pendek periode pengembalian investasi suatu proyek akan semakin baik. Data yang digunakan
untuk menghitung payback period ini menggunakan data yang telah didiskontokan.
3.1.5. Risiko dalam Investasi
Setiap usulan investasi selalu mempunyai risiko Husnan dan Muhamad, 2000. Semakin tinggi risiko suatu investasi, semakin tinggi tingkat keuntungan
yang diminta para pemilik modal yang menanamkan modalnya. Ada beberapa pendekatan yang dipergunakan dalam memasukkan faktor risiko dalam investasi.
Masalah pokok dalam pemasukan faktor risiko dalam investasi antara lain adalah
dalam pendefinisian risiko tersebut. Maka, hubungan yang positif antara resiko dan tingkat keuntungan harus tetap berlaku.
Menurut Husnan dan Muhamad 2000, risiko adalah kemungkinan penyimpangan nilai riil dari nilai yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan
penyimpangan, semakin besar risiko yang dimiliki investasi tersebut. Secara statistik, penyebaran nilai dari apa yang diharapkan diukur dengan deviasi standar
distribusi. Semakin besar deviasi standar tingkat keuntungan, semakin besar kemungkinan menyimpang dari rata-ratanya. Bila risiko suatu investasi bernilai
nol, maka tingkat keuntungan yang disyaratkan seharusnya adalah tingkat keuntungan yang tidak mengandung risiko tingkat keuntungan bebas risiko.
Tetapi bila risiko suatu investasi yang diukur dengan deviasi standar, maka teori yang berlaku adalah teori portofolio dan model penentuan harga aktiva. Teori
portofolio dan metoda penentuan harga aktiva berguna dalam masalah penilaian investasi dengan memasukkan unsur risiko yang diukur dengan deviasi standar
bisa dihilangkan dengan melakukan diversifikasi yaitu dengan memiliki beberapa jenis investasi. Dengan memiliki beberapa jenis investasi portofolio, maka
fluktuasi tingkat keuntungan akan makin berkurang karena saling menghilangkan. Dengan demikian deviasi standar dari sekumpulan investasi akan cenderung lebih
kecil daripada deviasi standar suatu investasi saja. Menurut Weston dan Copeland 1995, terdapat tiga jenis risiko proyek.
Pertama, risiko berdikari dari proyek itu sendiri yaitu risiko yang didasari asumsi bahwa proyek tersebut merupakan satu-satunya aktiva perusahaan dan bahwa
perusahaan tersebut merupakan satu-satunya perusahaan yang dimiliki para investor bersangkutan. Kedua, risiko dalam perusahaan yaitu risiko yang diukur
tanpa mempertimbangkan diversifikasi portofolio dari pemegang saham. Risiko ini diukur dari variabilitas laba perusahaan yang diakibatkan oleh suatu proyek
tertentu. Ketiga, risiko pasar atau beta yaitu bagian dari risiko proyek yang tidak dapat dieliminasi melalui diversifikasi. Risiko ini diukur dengan beta koefisien.
Titik awal untuk menganalisis risiko berdikari dari suatu proyek adalah penentuan ketidakpastian yang terkandung dalam arus kas proyek. Tiga teknik
untuk memperkirakan risiko berdikari proyek: 1 analisis sensitivitas, 2 analisis skenario, dan 3 Analisis Monte Carlo.
1. Analisis Sensitivitas
Menurut Kadariah et al 1999, analisis sensitivitas tujuannya adalah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika ada suatu
kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit. Perubahan yang mungkin terjadi antara lain: kenaikan dalam biaya konstruksi
cost over run, perubahan dalam harga hasil produksi dan terjadi penurunan pelaksanaan pekerjaan. Pada bidang pertanian, proyek sensitif berubah-ubah
akibat empat masalah utama, yaitu, harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya, dan hasil Gittinger, 1986.
2. Analisis Skenario
Analisis skenario adalah teknik analisis risiko yang mempertimbangkan baik sensitivitas NPV terhadap perubahan variabel-variabel kunci maupun
rentangan range dari nilai-nilai variabel yang memungkinkan. Pada umumnya risiko berdikari suatu proyek tergantung pada kedua hal tersebut. Oleh karena itu,
analisis skenario lebih lengkap dibandingkan dengan analisis sensitivitas karena
analisis sensitivitas hanya mempertimbangkan faktor sensitivitas NPV terhadap perubahan variabel-variabel kunci.
Dalam analisis skenario, terdapat keadaan yang buruk dan baik. NPV untuk keadaan buruk dan baik kemudian dihitung dan dibandingkan dengan NPV
yang diharapkan atau NPV dasar. Nilai-nilai skenario terburuk dan terbaik dapat diterapkan pada biaya tetap dan biaya variabel, tarif pajak penghasilan, nilai sisa,
dan sebagainya Weston Copeland,1995.
3. Analisis Monte Carlo
Menurut Weston Copeland, 1995, simulasi Monte Carlo adalah teknik
analisis resiko dimana kejadian yang cukup memungkinkan akan terjadi di masa yang datang disimulasikan dalam komputer sehingga menghasilkan estimasi
tingkat pengembalian dan indeks risiko. Dalam hal ini, simulasi memerlukan komputer dengan daya yang cukup besar dengan disertai paket perangkat lunak
untuk perencanaan keuangan yang efisien, sementara analisis skenario dapat dilakukan hanya dengan menggunakan perangkat komputer PC serta program
Spreadsheet atau bahkan hanya dengan menggunakan kalkulator sekalipun. Keunggulan utama dari simulasi adalah dapat menunjukkan berbagai hasil yang
mungkin sekaligus dengan probabilitasnya.
3.1.5.1. Konsep Expected Return
Weston dan Copeland 1995, menyatakan bahwa terdapat tiga jenis sikap terhadap risiko yaitu yang senang mengambil risiko risk seeker, anti risiko risk
averte r, dan acuh terhadap risiko risk indiference. Kelompok pengambil risiko
apabila dihadapkan pada dua pilihan yaitu investasi yang kurang atau lebih mengandung risiko dengan perkiraan jumlah hasl yang sama, maka seorang
pengambil risiko akan lebih suka memilih jenis investasi yang lebih mengandung risiko. Tetap bagi seorang penghndar riisiko akan cenderung akan menjatuhkan
keputusannya pada jenis investasi yang kurang mengandung risiko. Sementara itu, seorang yang acuh terhadap risiko tidak akan peduli akan jenis investasi mana
yang dipilih. Berdasarkan hal tersebut, semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi maka nilai yang diharapkan semakin besar.
3.1.5.2. Penilaian Risiko
Weston dan Copeland 1995, menyatakan bahwa penilaian risiko dalam investasi diukur dari tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan
koefisien variasi. NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. Koefisien variasi merupakan pembagian
dari standar devasi dan NPV yang diharapkan. Bila nilai dari NPV yang diharapkan, koefisien variasi, dan standar deviasi besar maka tingkat risiko yang
dihadapi tinggi.
. 3.2. Kerangka Operasional
Akarwangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang potensial untuk dikembangkan. Lahan yang tersedia untuk dibudidayakan mencapai 2.400 Ha.
Namun, realisasi lahan yang baru diusahakan mencapai 1.733 Ha Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kab.Garut, 2006. Oleh karena itu,
masih tersedia lahan seluas 667 Ha yang masih belum diusahakan. Upaya pengembangan usaha akar wangi dilakukan melalui pemanfaatan
lahan seluas 667 Ha. Dalam melakukan pengembangan usaha, perlu dilakukan analisis kelayakan agar menghindari kerugian yang terlalu besar dalam hal
penanaman modal, meminimalisasi biaya, dan mempertimbangkan risiko dalam
investasi. Analisis kelayakan dilakukan pada aspek-aspek kelayakan usaha yaitu aspek teknis, pasar, sosial, dan finansial. Aspek finansial dilakukan lakukan pada
keadaan normal tanpa risiko. Pada keadaan ini, aspek finansial yang akan dianalisis adalah NPV, IRR, Net BC, dan PP. Pada kondisi lain yaitu analisis
risiko dimana kegiatan investasi dengan risiko. Pada kondisi ini, tingkat risiko diperhatikan pada kegiatan investasi sehingga diperoleh nilai NPV yang
diharapkan. Setelah analisis tersebut dilakukan, selanjutnya dapat diketahui apakah
pemanfaatan lahan seluas 667 Ha layak diusahakan atau tidak. Bila tidak layak, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kegiatan budidaya akarwangi yang sedang
berjalan di Kabupaten Garut. Bila analisis tersebut menunjukkan kelayakan, maka upaya pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha
dapat dijalankan. Tahap-tahap analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahap-Tahap Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi di Kabupaten Garut
NPV IRR
Net BC PP
Upaya pengembangan usaha akarwangi
Pemanfaatan lahan seluas 667 Ha karena luas lahan yang tersedia mencapai 2400 Ha. Sedangkan luas lahan yang
diusahakan baru mencapai 1.733 Ha Kelayakan Investasi
Aspek-aspek: - Aspek Teknis
- Aspek Pasar - Aspek Sosial dan Lingkungan
- Aspek Finansial
Layak Analisis Risiko
NPV yang diharapkan
Pengembangan usaha akar wangi melalui penggunaan lahan seluas 2.400 Ha secara
optimal Tidak Layak
Lakukan Evaluasi Akarwangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang
potensial untuk dikembangkan
Dalam melakukan kegiatan pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha tidak terlepas dari risiko yang akan dihadapi.
Risiko tersebut berupa risiko volume produksi dan risiko harga output. Kegiatan budidaya dan penyulingan akarwangi menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Adanya fluktuasi dari volume produksi dan harga output menyebabkan
adanya risiko volume produksi dan harga output Fariyanti, 2008. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dianalisis kelayakan usaha budidaya dan penyulingan bila
melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi masa yang akan datang. Pada pengukuran tingkat risiko pengembangan usaha akarwangi, tidak
memperhitungkan risiko harga input. Hal ini dikarenakan bibit akar wangi sendiri tidak mempengaruhi tingkat risiko yang signifikan. Bibit tidak secara signifikan
mempengaruhi risiko, dikarenakan penggunaan bibit hanya dilakukan pada tahun pertama saja, selanjutnya bibit yang digunakan pada musim-musim tanam
berikutnya diperoleh dari tanaman akar wangi yang dipanen, dimana hasil panen tersebut disisihkan sejumlah tertentu untuk digunakan kembali sebagai bibit untuk
musim tanam berikutnya. Analisis kelayakan usaha dilakukan pada kegiatan budidaya dan
penyulingan dengan menganalisis aspek-aspek kelayakan usaha seperti aspek teknis, pasar, sosial dan lingkungan, dan finansial. Kriteria kelayakan investasi
yang dianalisis adalah NPV, IRR, Net BC, dan PP. Bila hasil analisis menunjukkan tingkat kelayakan, maka pengembangan usaha akarwangi melalui
pemanfaatan lahan 667 Ha dapat dijalankan. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
Risiko
Layak atau Tidak Layak Diusahakan
Harga Output Volume
Produksi
Kelayakan Usaha Akawangi:
- Budidaya
-
Penyulingan
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang dilakukan pada Bulan Januari hingga Mei 2008 yang mencakup penyusunan proposal hingga penyusunan draft skripsi dilaksanakan di
empat kecamatan di Kabupaten Garut, empat kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya: pertama, sentra
produksi minyak akar wangi Indonesia 89 persen dihasilkan dari Kabupaten Garut Bappeda Kab Garut, 2005. Kedua, kecamatan-kecamatan tersebut merupakan
daerah penanaman akar wangi dari 40 kecamatan di Kabupaten Garut yang merupakan komoditas unggulan tingkat kecamatan BPS KabupatenGarut, 2003.
Ketiga, pengembangan usaha akarwangi di daerah tersebut melalui pemanfaatan
lahan yang masih belum optimal.
Tabel 10 . Daerah Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut Tahun 2005
No Kecamatan Potensi Areal Ha
Realisasi Luas Tanam Ha
Produksi Ton
Produktivitas TonHa
1. Leles 750
683 8.196
12 2. Samarang
1.200 850
10.200 12
3. Bayongbong 250
85 1.020
12 4. Cilawu
200 115
1.380 12
Jumlah 2.400 1.733
20.796 12
Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara
dengan petani dan penyuling. Pada tahap awal wawancara hanya dilakukan pada
petani dan penyuling akarwangi tetapi terungkap bahwa terdapat petani yang merangkap sebagai penyuling dan penyuling yang merangkap sebagai petani.
sehingga informasi yang diperoleh menjadi beragam. Selain itu, wawancara dilakukan dengan stakeholders pengamatan secara langsung di lapangan. Data
sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Horikultura Perkebunan Kabupaten Garut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut,
BAPPEDA Kabuparen Garut, BPS, internet, literatur dan penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan bahan rujukan yang berhubungan dengan
penelitian ini.
4.3. Teknik Pengambilan Responden
Teknik pengambilan responden yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik proportional simple random sampling. Dari empat kecamatan di
Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu diambil sampel secara random acak sesuai
dengan proporsi dari masing-masing kecamatan. Rumus yang digunakan untuk menghitung seluruh jumlah responden
tersebut adalah rumus Solvin 1960.
2
1 .
N n
N
e
= +
Keterangan : n = Ukuran Sampel orang
N = Ukuran Populasi orang e = Nilai Kritis batas ketelitian yang diinginkan 10 persen
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut 2006, petani yang melakukan budidaya
akarwangi secara monokultur di Kabupaten.Garut berjumlah 66 orang. Jumlah populasi ini berdasarkan jumlah petani yang melakukan usahatani pada musim
tanam 20062007. Maka, jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 41 orang, Jumlah tersebut berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
n = 66 1 + 66 10 persen2
= 41 orang Tabel 11 merupakan jumlah pembagian sampel secara proporsional
berdasarkan jumlah subpopulasi. Jumlah sampel terbanyak terdapat di Kecamatan Samarang yaitu sebanyak 19 orang. Hal ini dikarenakan jumlah petani yang
melakukan kegiatan budidaya akarwangi paling banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya.
Tabel 11. Pembagian Responden Secara Proporsional di Kabupaten Garut
No. Kecamatan
Jumlah Petani Monokultut Pada Musim Tanam 20062007 orang
Jumlah Sampel orang
1. Leles 12
7 2. Samarang
29 19
3. Bayongbong 15
9 4. Cilawu
10 6
Total 66 41
Pada kenyataannya di lapangan, tidak semua petani responden menanam akarwangi secara monokultur. Hal ini dikarenakan periode musim tanam yang
berbeda yaitu musim tanam 20072008. Oleh karena itu, proses pengambilan data yang dilakukan tidak hanya pada petani monokultur tetapi juga pada petani
tumpangsari tetapi daftar nama responden masih menggunakan daftar petani dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut.
Selain itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua petani adalah petani budidaya. Dari pengambilan sampel yang dilakukan secara acak
ternyata terdapat petani yang selain petani budidaya juga sebagai penyuling. Hal ini dimungkinkan, karena beberapa petani yang memiliki modal yang besar dan
memiliki akses pasar terhadap produk minyak akarwangi, berusaha untuk mengelola sendiri atau menghasilkan sendiri minyak akarwangi dan selanjutnya
dijual kepada para pedagang pengumpul ataupun eksportir. Selain terdapat petani murni dan petani yang merangkap sebagai
penyuling, terdapat tiga orang responden penyuling murni. Hal ini disebabkan data responden yang digunakan adalah data yang diperoleh dari musim tanam
20062007. Pengambilan data turun lapang yang dilakukan pada Bulan Maret 2008, menyebutkan ketiga responden tersebut sebagai penyuling murni, walaupun
pada musim tanam tahun 20062007 mereka bertindak sebagai petani dan penyuling, karena beberapa faktor seperti alasan keterbatasan waktu untuk
merawat tanaman akarwangi, maka sejak musim tanam 20072008 responden tersebut memilih untuk menjadi penyuling murni. Faktor kuat lain yang
menyebabkan adalah tingkat keuntungan yang diperoleh ketika melakukan kegiatan penyulingan yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kegiatan
budidaya akarwangi saja. Jumlah dan persentase responden petani dan penyuling akarwangi dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden PetaniPenyuling Akarwangi
Responden Jumlah Orang
Persentase persen
Petani akarwangi 28
68,3 Penyuling akarwangi
3 7,3
Petani dan Penyuling akarwangi 10
24,4
Total 41 100
4.4. Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang telah terkumpul diolah dengan bantuan komputer program Excel Windows XP dan kalkulator. Setelah itu dikelompokkan dan
disajikan dalam bentuk tabel tabulasi kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk mempermudah proses analisis data. Analisis secara kualitatif
dilakukan untuk mendapatkan gambaran usaha dari tiap-tiap aspek dalam studi kelayakan usaha. Aspek-aspek tersebut antara lain: aspek teknis, pasar, serta aspek
sosial.dan lingkungan. Analisis secara kuantitatif dilakukan terhadap aspek finansial dan
menganalisis dampak adanya risiko terhadap perubahan harga output dan volume produksi. Aspek finansial yang dianalisis adalah Net Present Value NPV,
Internal Rate of Return IRR, Ne0t Benefit-Cost Ratio Net BC, dan Payback
Period Husnan dan Muhamad, 2000.
4.4.1. Analisis Aspek Teknis
Aspek teknis ini mencakup lokasi proyek dimana suatu proyek akan didirikan baik untuk pertimbangan pabrik maupun bukan pabrik, seberapa besar
skala operasi yang ditetapkan untuk mencapai skala ekonomis, kriteria pemilihan mesin dan peralatan utama serta alat pembantu mesin, bagaimana proses produksi
dilakukan dan layout pabrik dipilih, dan ketepatan penggunaan teknologi.
4.4.2. Analisis Aspek Pasar
Pada aspek ini terdapat beberapa hal yang perlu dikaji. Pertama, permintaan baik secara total maupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen,
dan proyeksi permintaan. Kedua, penawaran baik berasal dari dalam negeri
maupun impor, bagaimana perkembangannya pada masa lalu dan perkiraan masa yang akan datang. Ketiga, harga meliputi perbandingan dengan barang-barang
impor, produksi dalam negeri, apakah terdapat kecenderungan perubahan harga. Keempat,
program pemasaran mencakup strategi pemasaran, identifikasi siklus produk, dan bauran produk. Kelima, perkiraan penjualan yang bisa dicapai
perusahaan dan market share yang dikuasai perusahaan
4.4.3. Analisis Aspek Sosial dan Lingkungan
Aspek sosial merupakan manfaat dan pengorbanan sosial yang mungkin dialami oleh masyarakat tetapi sulit dikuantifikasikan yang bisa disepakati secara
bersama. Tetapi manfaat dan pengorbanan tersebut dirasakan ada. Misalnya, pengaruh adanya kemitraan petani akarwangi terhadap pengembangan usaha.
Selain itu, analisis ini melihat pengaruh suatu usaha terhadap kelestarian lingkungan sekitar.
4.4.4. Analisis Aspek Finansial
Kriteria penilaian investasi untuk menganalisa aspek finansial antara lain: Net Present Value
NPV, Internal Rate of Return IRR, Net Benefit-Cost Ratio Net BC, dan Payback Period. Setiap kriteria menggunakan Present Value yang
telah di discount dari arus-arus benefit dan biaya selama umur proyek.
1. Net Present Value NPV
Menurut Kadariah et al 1999, NPV merupakan selisih antara Present Value
dan Benefit dan Present Value dari biaya. Dalam evaluasi suatu proyek tertentu, nilai NPV
≥ 0 menandakan bahwa proyek tersebut layak untuk dijalankan. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan tepat sebesar
Social Opportunity Cost of Capital. Jika NPV 0, proyek tersebut tidak layak
untuk dijalankan. Penentuan nilai NPV dapat dituliskan sebagai berikut: NPV =
∑
= n
t 1
t t
t
i C
B 1
+ −
dimana: Bt
= Benefit bruto proyek pada tahun t Ct
= Biaya bruto proyek pada tahun t i
= Tingkat suku bunga n
= Umur ekonomis proyek t
= Tahun ke-t
2. Internal Rate of Return IRR
Menurut Kadariah
et al 1999, IRR merupakan tingkat keuntungan atas
investasi bersih dalam suatu proyek. Setiap benefit bersih yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat
keuntungan suku bunga yang sama yang diberi bunga selama sisa umur proyek. Jika ternyata IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku sebagai
social discount rate, maka NPV dari proyek itu adalah sebesar 0. Jika IRR
social discount rate, berarti NPV 0. Oleh karena itu, suatu nilai IRR yang lebih
besar daripada sama dengan social discount rate menunjukan suatu proyek layak dijalankan, sedangkan IRR kurang dari social discount rate-nya memberikan
tanda tidak layak untuk dijalankan. Penentuan nilai IRR sebagai berikut:
1
1 2
2 1
1
1
i i
NPV NPV
NPV i
IRR i
Ct Bt
NPV
i
n t
− −
+ =
= +
− =
∑
=
dimana: Bt
= Benefit bruto proyek pada tahun t Ct
= Biaya bruto proyek pada tahun t NPV1 = Nilai NPV yang positif
NPV2 = Nilai NPV yang negatif I1
= Tingkat suku bunga pada saat NPV positif I2
= Tingkat suku bunga pada saat NPV negatif
3. Net Benefit-Cost Ratio Net BC,
Menurut Kadariah
et al 1999, Net BC merupakan perbandingan
sedemikian rupa sehingga pembilangnya terdiri atas present value total dari benefit
bersih dalam tahun-tahun dimana benefit bersih tersebut bersifat positif, sedangkan penyebutnya terdiri atas present value total dari biaya bersih dalam
tahun-tahun tertentu dimana biaya kotor lebih besar daripada benefit kotor. Net BC ≥ 1 menandakan bahwa proyek layak untuk dijalankan dan bila Net BC 1
menandakan bahwa proyek tidak layak untuk dijalankan. Penentuan Net BC sebagai berikut:
Net BC =
∑ ∑
= =
+ −
+ −
=
n t
t t
t n
t t
t t
i B
C i
C B
1 1
1 1
atau
dimana: Bt
= Benefit bruto proyek pada tahun t Ct
= Biaya bruto proyek pada tahun t −
+ =
PV PV
C NetB
i = Tingkat suku bunga
n = Umur ekonomis proyek
PV + = Present Value yang bernilai positif PV - = Present Value yang bernilai negatif
4. Payback Period.
Menurut Husnan dan Muhamad 2000, payback period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan untuk melihat periode waktu yang
diperlukan untuk melunasi seluruh pengeluaran investasi. Semakin pendek periode pengembalian investasi suatu proyek akan semakin baik. Data yang
digunakan untuk menghitung payback period ini menggunakan data yang telah didiskontokan.
4.4.5. Penilaian Risiko dalam Investasi
Setiap keputusan investasi menyajikan risiko dan return tertentu. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, semua keputusan penting harus ditinjau dari
return yang diharapkan dan risiko yang dihadapi. Semakin tinggi risiko dari suatu investasi maka semakin tinggi tingkat pengembalian.
Dalam penelitian ini, teknik mengukur risiko yang digunakan adalah analisis skenario. Analisis skenario merupakan teknik untuk menganalisis risiko
dengan membandingkan situasi yang paling memungkinkan atas skenario dasar semacam situasi normal dengan keadaan yang baik dan buruk Weston
Copeland, 1995. Skenario terburuk adalah keadaan dimana untuk semua variabel masukan diberikan nilai terburuk berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario
terbaik adalah keadaan dimana untuk semua variabel masukan diberikan nilai
terbaik berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario dasar merupakan keadaan dimana untuk semua variabel diberikan nilai yang paling memungkinkan.
Fariyanti 2008 menyatakan bahwa nilai-nilai variabel yang digunakan dalam skenario terburuk untuk memperoleh NPV terburuk dan nilai-nilai variabel
dalam skenario terbaik untuk memperoleh NPV terbaik. Oleh karena itu, hasil- hasil dari skenario tersebut digunakan untuk menentukan NPV yang diharapkan,
deviasi standar dari NPV, dan koefisien variasi CV. Dalam hal ini, perlunya mengestimasi probabilitas terjadinya ketiga skenario baik, dasarnormal, buruk
yang dinyatakan dengan P. Dalam analisis skenario terdapat tiga ukuran untuk menilai tingkat risiko dalam investasi yaitu NPV yang diharapkan, deviasi standar
dari NPV, dan koefisien variasi.
4.4.5.1 NPV yang Diharapkan
Weston Copeland 1995, NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. Penentuan nilai
NPV yang diharapkan sebagai berikut:
∑
=
=
n t
i i
NPV p
NPV E
1
dimana: Pi = Probabilitas ke-i
NPVi = Net Present Value ke-i i = 1, 2, 3,.... 1= Kondisi Tertinggi, 2= Kondisi Normal, 3= Kondisi
Terendah E NPV = NPV yang Diharapkan
Penentuan probabllitas diperoleh berdasarkan kemungkinan dari suatu kejadian pada kegiatan budidaya dan penyulingan yang dapat diukur berdasarkan
pengalaman yang telah dialami petani dan penyuling dalam mengusahakan akarwangi. Probabilitiy dari masing-masing kegiatan budidaya dan penyulingan
pada setiap kondisi tertinggi, normal, dan terendah akan diperoleh. Total peluang dari beberapa kejadian berjumlah satu dan secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut:
∑
= n
t 1
pi j = 1 Semakin tinggi NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi
semakin besar. Pengukuran peluang p pada setiap kondisi skenario diperoleh dari frekuensi kejadian setiap kondisi yang dibagi dengan jumlah tahun selama
umur pengusahaan akarwangi, baik untuk kegiatan budidaya maupun kegiatan penyulingan. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 13.
Tabel 13. Peluang Setiap Kondisi Pada Kegiatan Budidaya dan Penyulingan Akarwangi
Kegiatan Kondisi Peluang
Probablity
Budidaya Tertinggi 0,20
Normal 0,62
Terendah 0,18
Penyulingan Tertinggi 0,11
Normal 0,72
Terendah 0,17
4.4.5.2. Standard Deviation
Makna dari ukuran standard deviation dari NPV, artinya semakin kecil nilai standard deviation dari NPV maka semakin rendah risiko yang dihadapi
dalam kegiatan usaha. Secara matematis standard deviation dari NPV dapat dituliskan sebagai berikut:
∑
=
− =
∂
n t
i
NPV E
NPV p
NPV
i
1
4.4.5.3. Coefficient Variation CV
Coefficient variation dari NPV diukur dari rasio standard deviation dari
NPV dengan NPV yang diharapkan. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Secara matematis, CVNPV dapat
dituliskan sebagai berikut: CVNPV = δNPV E NPV
4.5. Asumsi Dasar
Analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut menggunakan beberapa asumsi, yaitu:
1. Analisis kelayakan dibagi menjadi dua yaitu analisis kelayakan budidaya dan
penyulingan. Hal ini dikarenakan komponen cashflow yang berbeda dalam proses produksi.
2. Dari masing masing analisis kelayakan terdapat dua kondisi yaitu kondisi I
dan kondisi II. Kondisi I merupakan analisis kelayakan tanpa risiko kondisi normal dan kondisi II merupakan analisis kelayakan dengan adanya risiko.
Kondisi II memiliki tiga skenario. Skenario I yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi. Skenario II yaitu analisis kelayakan dengan adanya
kondisi harga output. Skenario III yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi dan harga output.
3. Umur proyek dari analisis kelayakan budidaya yaitu selama tiga tahun. Hal ini didasarkan pada umur bibit bonggol optimal yang dapat ditanam selama 3
kali masa tanam yang diperoleh dari pecahan tunas sebelumnya. Umur proyek dari analisis kelayakan penyulingan yaitu salama delapan tahun. Hal ini
didasarkan pada umur teknis aset terpenting dalam kegiatan penyulingan yaitu ketel stainless.
4. Satu kali musim tanam akarwangi yaitu selama 12 bulan. Jadi, tahun yang
digunakan adalah tahun pertama karena pada tahun pertama akarwangi sudah dapat dipanen.
5. Dalam kondisi normal, satu hari dilakukan dua kali penyulingan. Dalam satu
bulan dilakukan 28 kali penyulingan. 6.
Tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga deposito di Bank Indonesia BI yaitu 8 persen pada bulan Januari tahun 2008. Alasan
pemilihan tingkat suku bunga deposito dikarenakan petani dan penyuling menggunakan modal pribadi bukan pinjaman. Oleh karena itu petani dan
penyuling dihadapkan pada pilihan akan menginvestasikan modal pada usaha akarwangi atau mendepositokan di bank.
7. Nilai sisa pada kegiatan budidaya diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang
sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa
jenis investasi akan dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap
tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. Nilai sisa motor ditetapkan
60 persen yaitu dari asumsi bahwa pemakaian motor baru empat tahun sedangkan umur teknis motor selama 10 tahun.
8. Nilai sisa pada kegiatan penyulingan diperoleh dari nilai sisa barang-barang
yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa dari pabrik, gudang, dan motor ditetapkan 20 persen.
Hal ini dikarenakan umur teknisnya selama 10 tahun sedangkan pemakaiannya baru 8 tahun. Perhitungan nilai sisa dari ketel stainless dan
blander ditetapkan 30 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi ini akan dapat terjual dengan nilai 30 persen dari nilai beli investasi. Nilai sisa mobil
ditetapkan 50 persen dari harga belinya karena umur teknis mobil 15 tahun sedangkan baru digunakan 8 tahun. Sedangkan komponen investasi lainnya
memiliki nilai sisa sebesar 10 persen. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan
inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. 9. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya dan penyulingan adalah
biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun ke-1 dan terdapat biaya reinvestasi yang dikeluarkan untuk peralatan-peralatan
yang sudah habis umur ekonomisnya. Biaya operasional adalah semua biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan usaha. Biaya operasional dibedakan
menjadi biaya tetap dan biaya variabel. 10.
Dalam kegiatan budidaya dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 69,31 persen. Hal ini
dikarenakan petani belum memilki pengalaman dalam teknik budidaya akarwang. Namun, pada tahun berikutnya pengetahuan akan budidaya
akarwangi meningkat, seiring bertambahnya pengalaman petani dalam membudidayakan tanaman akarwangi tersebut sehingga kapasitas produksi
tahun kedua hingga tahun keempat telah optimal. 11.
Dalam kegiatan penyulingan dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 91,5 persen. Namun,
pada tahun kedua hingga ketujuh kapasitas produksi telah optimal. Tahun kedelapan kapasitas produksi 91,5 persen karena usia mesin yang telah usang
dan berpengaruh terhadap jumlah produksi. 12.
Harga output dan jumlah produksi yang berlaku adalah berdasarkan pengalaman petani dan penyuling selama melakukan usaha akarwangi.
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Karakteristik Wilayah 5.1.1. Letak Geografis
Luas Kabupaten Garut meliputi areal 306.519 Ha atau sekitar 6,94 persen dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kabupaten Garut
terletak di antara 6 5734 - 7
4457 Lintang Selatan dan 107 243 - 108
2434 Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Garut terbagi kedalam 40
kecamatan yang masing-masing mempunyai karakteristik khusus sebagai potensi wilayahnya. Batas-batas administratif wilayah Kabupaten Garut meliputi:
•
Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.
•
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya.
•
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia.
•
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.
Berdasarkan fisiografinya, Kabupaten Garut dapat distratifikasikan kedalam 4 empat strata, yaitu wilayah Garut Utara, Garut Tengah, Garut Barat
Daya, dan Garut Selatan. Daerah Garut sebelah utara, timur, dan barat, pada umumnya berupa dataran tinggi dengan kondisi alam berbukit-bukit dan
pegunungan. Sedangkan kondisi alam daerah Garut sebelah selatan sebagian besar berupa lereng dengan tingkat kemiringan tanah yang relatif curam. Corak alam di
daerah Selatan Garut pada umumnya diwarnai oleh segenap potensi alam dan keindahan pantai Samudera Indonesia.
5.1.2. Topografi
Wilayah Kabupaten Garut memiliki ketinggian yang bervariasi, mulai dari 0,5 meter di atas permukaan laut - seperti di daerah sepanjang pantai selatan yang
meliputi sebagian Kecamatan Bungbulang, Cibalong, Cikelet, Cisewu, Pakenjeng dan Pameungpeuk - hingga ketinggian 2.830 meter di atas permukaan laut, seperti
puncak Gunung Cikurai di Kecamatan Bayongbong. Ketinggian tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Luas Lahan Berdasarkan Ketinggian
No Ketinggian
Luas Ha Persentase
1. 0 - 25
8.078 2,64
2. 25 - 100
14,007 4,57
3. 100 - 500
63.260 20,64
4. 500 - 1000
122.465 39,95
5. 1000 - 1500
77.409 25,25
6. 1500 - 3000
21.300 6,95
Jumlah 406.519 100
Sumber: Diperta Kabupaten Garut, 2003
Dilihat dari topografinya, sebagian besar Kabupaten Garut bagian utara terdiri atas dataran tinggi dan pegunungan dengan areal persawahan terluas. Pada
umumnya pegunungan dan bukit-bukit ini keadaannya sangat kritis, terutama di sepanjang daerah aliran sungai Cimanuk. Sedangkan Garut Selatan sebagian besar
permukaan wilayahnya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan bahkan di beberapa tempat tergolong labil. Wilayah selatan ini dialiri 12 buah sungai ke arah
selatan yang bermuara ke Samudera Indonesia. Rangkaian pegunungan vulkanik yang mengelilingi dataran antar gunung Garut Utara umumnya memiliki lereng
dengan kemiringan 30-45 persen di sekitar puncak, 15-30 persen di bagian tengah dan 10-15 persen di bagian kaki lereng pegunungan.
Berbagai potensi komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi dan agribisnis dapat tumbuh baik asal disertai penerapan teknologi, diantaranya padi-
padian, palawija sayuran dataran rendah, sayuran dataran tinggi, tanaman perkebunan dan tanaman industri.
5.1.3. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Garut didominasi oleh kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah maupun kering, kegiatan perkebunan dan
kehutanan. Di wilayah Kabupaten Garut, 31,58 pesen merupakan kawasan hutan, perkebunan 18,38 persen dan persawahan sekitar 16,14 persen. Secara
keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kabupaten Garut Tahun 2004
No.
1.
Uraian Luas ha
Persentase
Sawah 49.477 16,14
- Irigasi 38.026 12,41
- Tadah Hujan 11.451
3,74
2. Darat 252.097
82,25 - Hutan 96.814
31,58 - Kebun dan Kebun Campuran
56.350 18,38
- Tanah Kering SemusimTegalan 52.348
17,08 - Perkebunan 26.968
8,80 - PermukimanPerkampungan 12.312
4,02 - Padang Semak
7.005 2,29
- Pertambangan 200 0,07
- Tanah Rusak Tanus 66
0,02 - Inustri 34
0,01 3.
Perairan darat 2.038
0,66 - Kolam 1.826
0,60 - SituDanau 157
0,05 - Lainnya 55
0,02 4.
Penggunaan Tanah lainnya 2.907
0,95 Jumlah
306.519 100,00
Sumber: BAPPEDA Kabupaten Garut, 2005
5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah
Dataran tinggi Garut termasuk dalam zona Pegunungan Selatan, dilihat
dari sejarah geologinya dimulai pada jaman pretersier dengan jenis batuan aluvium, hasil gunung api tak terurai, pliosen fasies sedimen, miosen fasies
sedimen, miosen batu gamping dan andesit basal diabes. Jenis batuan terluas yang ada adalah batuan hasil gunung berapi tak teruraikan yaitu 124.556 Ha atau 40,64
persen dari luas wilayah. Batuan hasil gunung berapi tak teruraikan merupakan batuan dari hasil letusan gunung berapi dan pada umumnya terletak di dataran
tinggi bagian tengah dan utara. Filosen Fasies Sedimen merupakan batuan dari hasil letusan gunung berapi dan terdapat di sekitar wilayah pegunungan sebelah
selatan. Miosen Fasies Sedimen merupakan batuan yang terdapat di seluruh wilayah selatan dan di sepanjang pantai. Alluvium merupakan batuan dari hasil
endapan yang pada umumnya terdapat di sebagian pesisir dan dataran rendah bagian utara. Andesit, Basalt dan Diabes merupakan batuan yang relatif sedikit
berada di wilayah Kabupaten Garut. Kondisi geologis Kabupaten Garut terdiri atas tanah sedimen hasil letusan
Gunung berapi Papandayan dan Gunung Guntur dengan bahan induk batuan tuf dan batuan yang mengandung kwarsa. Di sepanjang aliran sungai pada umumnya
terbentuk jenis tanah Aluvial yang merupakan hasil sedimentasi tanah akibat erosi tanah di bagian hulu atau sekitarnya oleh proses pengikisan dan pencucian
permukaan tanah. Oleh karenanya di bagian hulu sungai dan daerah aliran sungai terbentuk jenis tanah Laterit dan Podsolik Merah Kuning.
Dilihat dari sifat morfologisnya yang didasarkan kepada azas-azas terjadinya tanah dan relasi antara tanah, tanaman dan aktivitas manusia, maka
tanah di Kabupaten Garut bisa dibagi menjadi 6 enam jenis tanah soil group Tabel 16.
Tabel 16. Jenis Tanah di Kabupaten Garut, Tahun 2002
No Jenis Tanah
Luas Ha Persentase
1 Aluvial 18.216
5,94 2 Assosiasi
Podsolik 130.128
42,45 3 Assosiasi
Andosol 97.707
31,88 4 Assosiasi
Latosol 33.781
11,02 5 Assosiasi
Mediteran 5.031
1,64 6. Assosiasi
Ragosol 21.656
7,07
Jumlah 306.519 100,00
Sumber: Diperta Kabupaten Garut,2003
Kabupaten Garut didominasi oleh dua jenis tanah yaitu asosiasi Podsolik dan asosiasi Andosol 74,33 persen. Jenis tanah asosiasi Podsolik yang terluas
terdapat di Kecamatan Pakenjeng yaitu 22.041 Ha, sedangkan jenis tanah asosiasi Andosol yang terluas di Kecamatan cikajang yaitu 12.280 Ha. Sementara itu jenis
tanah asosiasi Mediteran hanya terdapat pada areal tanah sangat sempit yaitu mencakup areal seluas 5.031 Ha dan mencover 1,64 persen dari seluruh luas areal
wilayah Kabupaten Garut. Jenis tanah Alluvial banyak terdapat di wilayah bagian utara dan sebagian
selatan dengan tekstur halus sebagai hasil endapan. Tanah ini cocok untuk kegiatan budidaya pertanian sawah lahan basah. Jenis tanah regosol banyak
terdapat pada bagian selatan. Tanah regosol umumnya berwarna kelabu kekuning- kuningan, sifatnya asam, gembur serta peka terhadap erosi. Tanah ini cocok
digunakan untuk tanaman padi, tembakau dan sayur-sayuran. Jenis tanah Latosol banyak terdapat di sisi barat sebagai hasil endapan dari wilayah yang lebih tinggi.
Tanah ini cocok untuk tanaman kopi, coklat, padi, sayuran dan buah-buahan. Jenis tahan Andosol berwarna hitam karena berasal dari abu vulkanik, banyak terdapat
di daerah utara. Jenis tanah Mediteran berasal dari bahan induk batuan vulkanik muda, berada di sebagian kecil wilayah selatan.
Kemampuan tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah yang dipengaruhi oleh tingkat efektif kedalaman tanah, tekstur tanah, kelerengan tanah
dan drainase tanah. Kelerengan tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah dan khususnya terhadap kemungkinan terjadinya erosi. Berdasarkan derajat
kelerengan tanahnya, wilayah Kabupaten Garut dapat dibagi sebagai berikut : - Wilayah pesisir dan dataran rendah pada umumnya memiliki kemiringan 0-3
persen yaitu meliputi kecamatan-kecamatan yang terletak di sepanjang pantai. Wilayah Kabupaten Garut memiliki wilayah berbukit dan bergunung,
sehingga tingkat kelerengan tanah relative bervariasi, tetapi didominasi oleh tingkat kemiringan 8-40 persen. Daerah dengan tingkat kemiringan diatas 40
terdapat pada wilayah pegunungan seperti Gunung Cikuray. Tanah dengan kelerengan kurang dari 40 persen tingkat kemungkinan terjadi erosi tanahnya
rendah sehingga segala jenis kegiatan budidaya pada dasarnya dapat dilakukan.
- Kelerengan di atas 40 persen merupakan wilayah yang rentan terhadap terjadinya erosi tanah. Kelerengan ini banyak terdapat di wilayah sekitar
pegunungan. Kawasan ini merupakan kawasan yang harus dipertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung karena terkait dengan pengamanan siklus
hidrologi dan menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup. Garut memiliki tingkat kesuburan yang cukup tinggi, karena sebagian
besar wilayahnya memiliki tingkat kedalaman efektif yang cukup besar. Dilihat dari tekstur tanahnya. Tekstur tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian
yaitu tekstur sedang, halus dan kasar. Tanah dengan tekstur haus mempunyai porositas yang rendah sehingga sulit untuk meresapkan air, sedangkan tanah
dengan tekstur kasar cenderung memiliki porositas yang tinggi sehingga dapat dengan mudah meresapkan air. Wilayah Garut sangat bervariasi yaitu dari tekstur
halus sampai dengan kasar. Tanah bertekstur sedang tersebar pada hampir seluruh wilayah Kabupaten Garut yang mencakup areal seluas 278.644 Ha 90,91 persen
dari seluruh wilayah. Tanah bertekstur sedang merupakan kondisi yang menunjang kesuburan tanah yang relatif tinggi. Tanah bertekstur halus mencakup
areal seluas 5.886 Ha 1,92 persen sedangkan tanah bertekstur kasar mencakup areal seluas 21.989 Ha atau 7,17 persen dari keseluruhan wilayah.
Selain itu, kemampuan tanah juga tergantung pada drainase tanah yaitu kemampuan permukaan tanah unuk meresapkan air secara alami. Drainase tanah
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu drainase baik atau tidak tergenang, drainase tergenang secara periodik dan drainase tergenang terus
menerus. Kondisi drainase tanah wilayah Kabupaten Garut relatif baik karena sebagian besar tidak tergenang.
5.1.5. Iklim dan Curah Hujan
Geografis Kabupaten Garut terletak di bagian selatan khatulistiwa, dan termasuk kedalam ikim tropis. Dalam setahun mengalami dua kali pergantian
musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Walaupun demikian, karena topografinya mempunyai variasi cukup besar dengan keadaan orografis yang agak
lebat dengan persentase keadaan hutan masih di atas 30 persen, maka beberapa wilayah tertentu banyak dipengaruhi iklim lokal regional climate, misalnya
daerah Cikajang, Cisurupan, Bayongbong sering terjadi hujan konventif dan hujan
orografis yang memungkinkan dapat bercocok tanam komoditi sayuran dan palawija sepanjang tahun.
Tipe iklim Kabupaten Garut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
•
Menurut Mohr 1933 termasuk golongan Iklim II yaitu rata-rata 1 bulan kering dan 11 bulan basah.
•
Menurut Schmidt dan Ferguson 1951; termasuk dalam tipe iklim C yaitu 3 bulan kering dan 9 bulan basah.
•
Menurut Oldeman 1974: termasuk tipe iklim C, yaitu terdapat 6 bulan basah berturut-turut dan 3 bulan kering berturut-turut.
Dengan demikian iklim dan cuaca di Kabupaten Garut dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: pola sirkulasi angin musiman monsoonal circulation
pattern , topografi regional yang bergunung-gunung di bagian tengah Jawa Barat,
dan elevasi topografi di Bandung. Curah hujan rata-rata tahunan 2002 sampai dengan 2004 berkisar antara 2.589 mm, sedangkan di sekeliling daerah
pegunungan mencapai 3.500 – 4.000 mm. Variasi temperatur berkisar antara 24
C - 29 C.
Daerah daerah yang terletak di sebelah utara mendapat jumlah intensitas hujan yang makin meningkat menjadi lebih dari 4.000 mmtahun, sampai di
daerah sekitar pegunungan yang menghubungkan puncakgunung Papandayan dengan Gunung Mandalawangi. Daerah dengan jumlah rata-rata intensitas hujan
tertinggi adalah Pamegatan di Kecamatan Cikajang yaitu 4.228 mmtahun. Selama musim hujan, secara tetap bertiup angin dari Barat Laut membawa
udara basah dari Laut Cina Selatan dan bagian barat Laut Jawa. Pada musim
kemarau, bertiup angin kering bertemperatur relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di tenggara.
Keadaan hidrologi umumnya cukup baik. Hal ini didukung dengan banyaknya aliran sungai yang mengalir ke utara sebanyak 34 buah dan ke selatan
19 buah. Secara keseluruhan wilayah Kabupaten Garut memiliki kondisi hidrologi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan-kegiatan produksi pertanian dan
kegiatan-kegiatan lainnya.
5.1.6. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut
Garut memiliki berbagai komoditas unggulan yang berpotensial untuk dikembangkan. Komoditas-komoditas tersebut tersebar di beberapa wilayah di
Kabupaten Garut. Komoditas-komoditas tersebut memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah Kabupaten Garut. Tabel 17 merupakan berbagai komoditas
unggulan yang terdapat di Kabupaten Garut.
Tabel 17. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut
No. Komoditas Unggulan Prioritas
1 Potensial Untuk
diunggulkan
1 Pangan Kedele,
Jagung Ubi kayu, kacang tanah,
Kacang merah, ubi jalar. 2
Sayuran Kentang, cabe merah, tomat
Kubis, buncis,Bwg.daun, bw.merah, labu siam,
ketimun, terung, bayam
3 Buah-buahan Jeruk
keproksiam Markisa, Alpukat,duku,
durian, manggis 4 Perkebunan
Teh, Akar wangi, Tembakau, Aren
Cengkeh, Nilam,Kelapa, 5
Perikanan perikanan Laut
Ikan darat nilem 6 Peternakan
Domba, sapi potong,sapi perah
Ayam buras, kerbau Sumber: BAPPEDA Kabupaten Garut, 2005
.
5.1.7.Struktur Perekonomian Kabupaten Garut
Masalah kemiskinan dan ketertinggalan Kabupaten Garut diantara kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Barat menjadi isu utama dalam
pengembangan wilayah Kabupaten Garut. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional dan data Badan Pusat Statistik tahun 2003, Kementerian Negara
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menetapkan Kabupaten Sukabumi dan Garut menjadi daerah tertinggal bersama 188 daerah lain di Tanah Air.
Penetapan tersebut adalah berdasarkan enam kriteria, di antaranya persentase kemiskinan di daerah, kualitas pendidikan masyarakat, kesehatan, lapangan kerja,
infrastruktur, aksesibilitas terhadap dunia luar, dan rawan bencana alam.
Jika dilihat secara internal, Kabupaten Garut juga mengalami ketimpangan yaitu antara Kabupaten Garut bagian selatan dengan Kabupaten Garut bagian
utara. Kabupaten Garut bagian utara yang relatif bersifat kekotaan dapat terlihat kontras jika dibandingkan dengan keadaan eksisting di Kabupaten Garut bagian
selatan. Karakteristik daerah Kabupaten Garut yang sebagian besar merupakan perbukitan merupakan salah satu faktor limitasi perkembangan Kabupaten Garut.
Aksesibilitas yang memegang peranan penting dalam hal hubungan baik internal maupun eksternal wilayah dirasakan sangat kurang, terutama dalam hal kualitas
jalan di Kabupaten Garut bagian selatan. Selain itu, masih rendahnya sumber daya manusia, kurangnya kemampuan keuangan lokal, dan minimnya sarana dan
prasarana berdampak pada lambatnya perkembangan Kabupaten Garut bagian selatan.
5.2. Karakteristik Responden Petani dan Penyuling
Karakteristik responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan terakhir, jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan petani dan penyuling,
pengalaman bertani, luas lahan, status kepemilikan lahan, dan pola tanam akarwangi.
5.2.1. Umur Petani dan Penyuling
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 41 responden petani dan penyuling akarwangi, diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 41
sampai dengan 50 tahun dengan persentase 39,1 persen. Sedangkan elompok petani dan penyulling terendah yaitu kelompok umur 20-30 tahun dengan
persentase seesar 2,5 persen. Tabel 18 menunjukkan bahwa terdapat 5 kelompok umur petani dan penyuling akarwangi.
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Umur di Kabupaten Garut
Kelompok Umur Petani dan Penyuling
Tahun Jumlah
Orang Persentase
20-30 1
2,5 31-40
4 9,6
41-50 16
39,1 51-60
15 36,6
61 5
12,2
Total 41 100
5.2.2.
Pendidikan Terakhir
Sebagian besar petani dan penyuling akarwangi menyelesaikan pendidikannya hingga sekolah dasar SD yaitu sebanyak 28 orang atau 68,3
persen dari total responden. Tingkat pendidikan tertinggi petani dan penyuling adalah hingga perguruan tinggi, sedangkan tingkat terendah adalah tamat dari
sekolah dasar. Tingkat pendidikan petani dan penyuling tidak mempengaruhi kegiatan pengusahaan akarwangi. Jumlah dan persentase responden berdasarkan
tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Garut
Tingkat Pendidikan Jumlah Orang
Persentase
Tamat SD 28
68,3 Tamat SLTP
- Tamat SMU
12 29,3
Tamat Diploma -
Tamat Sarjana 1
2,4 Lainnya -
Total 41 100
5.2.3.
Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga sangat mempengaruhi petani untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan semakin besar
jumlah keluarga yang ditanggung maka semakin besar pula bebanbiaya yang dikeluarkan petani. Dari Tabel 20 , dapat dilihat bahwa 41,4 persen responden
petani memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 5 sampai 6 orang. Semua responden memiliki jumlah tangggungan keluarga minimal satu hingga dua orang
dengan persentase 4,9 persen.
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga di Kabupaten
Garut
Jumlah Tanggungan Responden Orang
Jumlah Orang
Persentase
0 0 1-2
2 4,9
3-4 16 39,0
5-6 17 41,4
7-8 4 9,8
8 2 4,9
Total 41 100
5.2.4. Pekerjaan Petani dan Penyuling
Pekerjaan yang dilakukan oleh ke-41 responden sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani akarwangi yaitu sebesar 68,3 persen atau sebanyak 28
orang dari total responden 41 orang. Sedangkan mata pencaharian sebagai petani dan penyuling sebanyak 24,4 persen. Penyuling akarwangi yang menjadi
responden sebanyak 7,3 persen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pekerjaan di Kabupaten Garut
Pekerjaan Jumlah
Orang Persentase
Petani Akarwangi 28
68,3 Penyuling Akarwangi
3 7,3
Petani dan Penyuling Akarwangi 10
24,4
Total 41 100
5.2.5. Pengalaman Bertani
Pengalaman bertani akan sangat mempengaruhi dalam pembudidayaan dan penyulingan akarwangi. Semakin lama petani memiliki pengalaman bertani,
maka akan lebih mahir dalam membudidayakan akarwangi Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 41 orang responden petani dan penyuling
akarwangi diperoleh kesimpulan bahwa pengalaman bertani akarwangi terbanyak berkisar antara 11 sampai 20 tahun. Jumlah dan persentase responden berdasarkan
pengalaman bertani dan menyuling dapat dilihat pada Tabel 22 .
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pengalaman Bertani di Kabupaten Garut
Pengalaman Tahun
Jumlah Orang
Persentase
1-10 14 34,1
11-20 19 46,3
21-30 6 14,7
31-40 2 4,9
Total 41 100
5.2.6. Luas Lahan
Berdasarkan Tabel 23, luas lahan yang digunakan oleh sebagian besar petani akarwangi atau 26 orang petani dari 38 petani responden yaitu seluas 0,1-5
Ha. Petani akarwangi sebagian besar masih berada pada skala usaha kecil yaitu sebesar 68.4 persen dari 38 responden petani akarwangi. Sedangkan 2,6 persen
petani akarwangi yang luas lahan pengusahaannya mencapai 30 Ha.
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut
Luas Lahan Ha
Jumlah Orang
Persentase
0.1-5 26 68,4
5.1-10 5 13,2
10.1-20 4 10,5
20.1-30 2 5,3
30 1 2,6
Total 38 100
Berdasarkan Tabel 24, sebagian besar penyuling yaitu 38,5 persen
menggunakan lahan seluas 0,051-0.,0 Ha dan 38,5 persen menggunakan lahan seluas 0,11-0.20 Ha untuk melakukan penyulingan akarwangi. Hal ini
dikarenakan, sebagian besar penyuling hanya menggunakan satu buah ketel sebagai alat untuk melakukan penyulingan akarwangi.
Tabel 24. Jumlah dan Persentase Penyuling Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penyulingan Akarwangi di Kabupaten Garut
Luas Lahan Ha
Jumlah Orang
Persentase
0.01-0.05 2 15,4
0.051-0.10 5 38,5
0.11-0.20 5 38,5
0.20 1 7,6
Total 13 100
5.2.7. Status Kepemilikan Lahan
Ditinjau dari status kepemilikan lahan, sebagian besar petani akarwangi memiliki lahan sendiri yang digunakan untuk menanam akarwangi yaitu sebesar
68,4 persen. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 25. Sebagian besar petani akarwangi melakukan tumpangsari pada lahan tersebut. Hal ini dimaksudkan
untuk memanfaatkan lahan di sela-sela tanaman akarwangi.
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Petani Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut
Status Kepemilikan Lahan Jumlah Orang
Persentase
Milik Sendiri 26
68,4 Sewa 2
5,3 Milik Sendiri dan Sewa
10 26,3
Total 38 100
Status kepemilikan lahan yang digunakan untuk melakukan penyulingan akarwangi sebagian besar milik sendiri. Hanya delapan persen yang menyewa
lahan untuk melakukan penyulingan akarwangi. Hal ini menunjukkkan bahwa penyuling akarwangi di Kabupaten Garut memiliki modal yang besar untuk
melakukan usaha tersebut. Hal ini dikarenakan biaya investasi penyulingan akarwangi memerlukan biaya yang besar. Hal ini dapat dilihat pada tabel 26
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Penyuling Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut
Status Kepemilikan Lahan Jumlah Orang
Persentase
Milik Sendiri 12
92 Sewa 1
8 Milik Sendiri dan Sewa
Total 13 100
5.2.8. Pola Tanam Akarwangi
Jarak tanam akarwangi pada tanah subur seluas satu hektar adalah 1x 1 meter. Sedangkan pada tanah kurang subur seluas satu hektar memiliki jarak
tanam 0.75 x 0.75 meter. Pada tanah yang subur, lahan digunakan untuk menanam akarwangi yang ditumpangsarikan dengan tanaman kentang, kol, caisin, kacang,
tomat, dan cabe. Namun untuk tanah yang kurang subur, hanya tanaman akarwangi yang ditanam pada lahan tersebut.
Pada lahan subur, satu petak lahan dapat ditanami akarwangi dan satu jenis tanaman tumpangsari. Tanaman tumpangsari yang dapat ditanam adalah tanaman
yang usianya maksimal empat bulan dan ketinggian pohonnya tidak melebihi tanaman akarwangi. Pertumbuhan tanaman akarwangi pada bulan 1-4 lambat.
Oleh karena itu, pada bulan ini di sela-sela tanaman akarwangi dapat ditanaman tanaman tumpangsari. Namun, pada bulan ke 5-12 pertumbuhan tanaman
akarwangi sangat cepat sehingga pada bulan ini lahan tidak dapat ditumpangsarikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman akarwangi.
Pada lahan yang tidak ditanami tanaman tumpangsari, tanaman akarwangi memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan tanaman akarwangi yang
ditumpangsarikan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan akarwangi pada bulan 1-12 tidak terganggu.
5.3. Risiko Budidaya 5.3.1. Risiko Produksi
Kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan pada risiko baik risiko produksi maupun risiko harga output. Indikasi adanya risiko produksi dalam
pembudidayaan akarwangi yaitu ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi
produksi yang diperoleh petani sampel pada setiap kondisi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Produksi dan Peluang Produksi Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi
Kondisi Peluang Produksi
kg
Tertinggi 0,20 13.014
Normal 0,62 11.352
Terendah 0,18 8.882
Dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi melalui kegiatan budidaya terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya risiko
produksi kondisi tertinggi, normal, terendah budidaya akarwangi. Penyebab munculnya produksi pada kondisi tertinggi yaitu curah hujan rendah, tingkat
kesuburan lahan tinggi, tingkat ketinggian lahan yang optimal, serta serangan hama dan penyakit yang rendah. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Curah hujan rendah Curah hujan yang rendah akan menyebabkan akarwangi yang ditanam
memiliki kadar minyak yang tinggi. Hal ini mengakibatkan pada peningkatan produksi baik pada akarwangi maupun peningkatan produksi minyak akarwangi.
Curah hujan rendah akan mengakibatkan akarwangi menjadi kering dan kadar air yang terkandung didalam akar menjadi sedikit.
b.Tingkat kesuburan lahan tinggi Lahan yang belum digunakan untuk penanaman akarwangi akan memiliki
kesuburan lahan yang tinggi. Jika lahan tersebut diolah dengan menggunakan cangkul dan membalikkan tanah yang berada di bawah maka unsur-unsur hara di
dalam tanah akan semaki baik untuk penanaman akarwangi sehingga akan meningkatkan produksi akarwangi.
c. Tingkat ketinggian lahan yang optimal Ketinggian lahan yang paling baik untuk menanam akarwangi yaitu pada
ketinggian 600-1.500 meter di atas permukaan laut. Hal ini mengakibatkan pada peningkatan produktivitas.akarwangi yang ditanam pada ketinggian ini akan
memperoleh akar yang lebat dan rindang. d. Serangan hama dan penyakit yang rendah
Rendahnya hama dan penyakit yang menyerang tanaman akarwangi akan menyebabkan peningkatan produktivitas. Hal ini dikarenakan, akarwangi yang
dipanen akan yang lebat dan rindang sehingga petani tidak memerlukan furadan yang berlebihan pada tanaman akarwangi.
Selain itu, hal yang menjadi penyebab munculnya produksi terendah yaitu curah hujan yang tinggi, tingkat kesuburan lahan yang rendah, ketinggian lahan
yang tidak optimal, serta serangan hama dan penyakit yang tinggi. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Curah hujan yang tinggi Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan akarwangi yang ditanam
memiliki kadar minyak yang rendah. Hal ini mengakibatkan pada penurunan produksi baik pada akarwangi maupun penurunan produksi minyak akarwangi.
Curah hujan tinggi akan mengakibatkan akarwangi menjadi basah dan kadar air yang terkandung didalam akar menjadi tinggi
b Tingkat kesuburan lahan yang rendah Lahan yang sering digunakan untuk penanaman akarwangi akan memiliki
kesuburan lahan yang rendah. Jika lahan tersebut diolah dengan menggunakan cangkul dan membalikkan tanah yang berada di bawah maka unsur-unsur hara di
dalam tanah akan semakin habis untuk penanaman akarwangi sehingga akan menurunkan produksi akarwangi.
c. Ketinggian lahan yang tidak optimal Akarwangi dapat tumbuh pada ketinggian sekitar 300- 2.000 meter di atas
permukaan laut. Bila akarwangi tidak ditanam pada ketinggian tersebut maka akar yang dihasilkan tidak memiliki akar yang lebat dan rindang. Hal ini
mengakibatkan pada penurunan produktivitas akarwangi. d. Serangan hama dan penyakit yang tinggi.
Tingginya hama dan penyakit yang menyerang tanaman akarwangi akan menyebabkan penurunan produktivitas akarwangi. Hal ini dikarenakan, akarwangi
yang dipanen tidak lebat sehingga petani perlu untuk melakukan pemeliharaan pada tanaman akarwangi.
5.3.2. Risiko Harga Output
Risiko harga output diindikasikan dengan adanya fluktuasi harga output yang diterima petani sampel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 28. Fluktuasi harga
akarwangi mengindikasikan adanya harga tertinggi, harga terendah, dan harga normal yang pernah diterima petani akarwangi sampel selama mengusahakan dan
menjual akarwangi.
Tabel 28. Produksi dan Peluang Harga Output Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi
Kondisi Peluang Harga
Rp
Tertinggi 0,20 2.821
Normal 0,62 1.808
Terendah 0,18 511
Faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya pada kondisi harga output tertinggi disebabkan oleh tingginya tingkat permintaan namun
ketersediaan akarwangi rendah. Tingginya tingkat permintaan akarwangi oleh para penyulng sedangkan ketersediaan akarwangi di petani rendah menyebabkan
harga output akarwangi menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan para penyuling untuk berkompetisi untuk menjamin ketersdiaan akarwangi agar kegiatan
penyulingan terus berjalan Selain itu, faktor faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya
pada kondisi harga output terendah disebabkan oleh ketersediaaan akarwangi yang melimpah. Hal ini dikarenakan terjadinya over supply sebagai akibat musim
panen yang serempak.
5.4. Risiko Penyulingan
5.4.1. Risiko Produksi
Kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko baik risiko produksi maupun risiko harga output. Indikasi adanaya risiko produksi dalam
penyulingan akarwangi yaitu ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi produksi yang diperoleh penyuling sampel pada setiap kondisi. Hal tersebut dapat
dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Produksi dan Peluang Harga Output penyulingan Akarwangi Pada Setiap Kondisi
Kondisi Peluang Produksi
kg
Tertinggi 0,11 5.739
Normal 0,72 4.993
Terendah 0,17 2.587
Faktor penyebab munculnya risiko produksi penyulingan pada kondisi produksi tertnggi disebabkan oleh tingginya ketersediaan akarwangi, kadar
minyak yang tinggi. Risiko produksi mucul akibat adanya fluktuasi produksi pada kegiatan penyulingan. Faktor penyebab tersebut antara lain:
a. Ketersediaan akarwangi tinggi Ketersediaan akarwangi yang tinggi dari petani akan menyebabkan jumlah
produksi minyak akarwangi meningkat. Hal ini dikarenakan penyuling akan memaksimalkan ketel untuk menyuling akarwangi. Hal ini akan meningkatkan
pendapatan mereka. b. Kadar minyak yang tinggi
Akarwangi yang akan disuling dalam keadaan kering akan menghasilkan akar yang memiliki kadar minyak tinggi. Hal ini dikarenakan kadar minyak
akarwangi lebih tinggi bila dibandingkan kadar air yang terkandung didalamnya. Faktor penyebab munculnya risiko produksi penyulingan pada kondisi
produksi terendah disebabkan oleh rendahnya ketersediaan akarwangi dan kadar minyak yang rendah. Risiko produksi mucul akibat adanya fluktuasi produksi
pada kegiatan penyulingan. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain: a. Ketersediaan akarwangi rendah
Ketersediaan akarwangi yang rendah dari petani akan menyebabkan jumlah produksi minyak akarwangi menurun. Hal ini dikarenakan penyuling tidak
bisa memaksimalkan ketel untuk menyuling akarwangi. Hal ini akan menurunkan pendapatan mereka.
b. Kadar minyak yang rendah Akarwangi yang akan disuling dalam keadaan basah akan menghasilkan
akar yang memiliki kadar minyak rendah Hal ini dikarenakan kadar minyak akarwangi lebih kecil bila dibandingkan kadar air yang terkandung didalamnya.
5.4.2. Risiko Harga Output
Risiko harga output diindikasikan dengan adanya fluktuasi harga output yang diterima penyuling sampel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 30. Fluktuasi
harga minyak akarwangi mengindikasikan adanya harga tertinggi, harga terendah, dan harga normal yang pernah diterima penyuling akarwangi sampel selama
mengusahakan dan menjual minyak akarwangi.
Tabel 30. Produksi dan Peluang Harga Output Penyulingan Minyak Akarwangi Pada Setiap Kondisi
Kondisi Peluang Harga
Rp
Tertinggi 0,11 582.000
Normal 0,72 511.692
Terendah 0,17 466.923
Faktor penyebab munculnya risiko harga output pada kondisi harga output tertnggi yaitu mekanisme pasar yang lebih panjang serta tingginya tingkat
permintaan namun rendahnya ketersediaan minyak akarwangi. Risiko harga outpuit terjadi akibat adanya fluktuasi harga output yang diterima penyuling.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Mekanisme Pasar yang lebih panjang
Harga minyak akarwangi ditentukan oleh mekanisme pasar yang terjadi dalam kegiatan penyulingan akarwangi. Berdasarkan analisis yang dilakukan,
bahwa harga minyak akarwangi yang dijual oleh petani langsung ke pedagang pengumpul relatif lebih murah yakni dengan harga Rp. 511.692kg, sedangkan
jika penyuling langsung menjual ke pedagang besar eksportir harga yang diterima relatif lebih mahal yakni pada kisaran Rp. 541.692kg, tapi ketika
penyuling menjual akarwanginya langsung ke eksportir, penyuling tersebut akan
mengeluarkan biaya transportasi tambahan, karena sebagian besar eksportir ada di luar Kota Garut, yakni Jakarta dan Medan.
b. Tingginya tingkat permintaan namun ketersediaan minyak akarwangi rendah Produk akarwangi yakni minyak akarwangi merupakan produk ekspor
yang sebagian besar hasil produksinya ditujukan untuk kegiatan ekspor. Sebagian besar minyak akarwangi yang dihasilkan penyuling dijual ke pengumpul tingkat
kabupaten. Permintaan minyak akarwangi dari pengumpul tingkat kabupaten biasanya disesuaikan dengan permintaan eksportir. Sehingga bila permintaan
minyak akarwangi meningkat namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling sedikit maka akan meningkatkan harga jual minyak akarwangi. Bila
permintaan minyak akarwangi meningkat namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling rendah maka akan meningkatkan harga jual minyak
akarwangi. Faktor penyebab munculnya risiko harga output pada kondisi harga output
terendah yaitu mekanisme pasar yang lebih pendek serta rendahnya tingkat permintaan namun tingginya ketersediaan minyak akarwangi. Risiko harga output
terjadi akibat adanya fluktuasi harga output yang ditrima penyuling. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Mekanisme Pasar yang lebih pendek
Perbedaan nilai jual antara para pedagang pengumpul dan eksportir yang juga ditentukan oleh panjang tidaknya rantai pemasaran, ternyata juga
memberikan pengaruh pada pembentukan risiko yang diterima atau ditanggung oleh penyuling. Namun sebagian besar penyuling, juga tidak mau mengambil
risiko yang lebih besar untuk menanggung biaya transportasi, mereka lebih
banyak menjual hasil minyak akarwanginya kepada pedagang pengumpul, hal ini dapat dimaklumi karena sistem ini telah berjalan bertahun-tahun atas dasar saling
percaya dalam penentuan harga oleh pedagang pengumpul. b. Rendahnya tingkat permintaan namun ketersediaan minyak akarwangi tinggi
Bila permintaan minyak akarwangi rendah namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling tinggi maka akan menurunkan harga jual minyak
akarwangi. Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan yang diterima penyuling.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Aspek Teknis Budidaya dan Penyulingan Akarwangi 6.1.1. Keadaan Geografis
Daerah pertumbuhan akar wangi yang menghasilkan minyak dengan kualitas yang baik yaitu pada ketinggian di atas 700 m 600-1500 m di atas
permukaan laut, dengan suhu optimal 17oC-27oC dan curah hujan antara 200-2000 mm per tahun. Hal ini sesuai dengan karakteristik agroekosistem
Kabupaten Garut yang sangat potensial bagi pengembangan agribisnis akar wangi Selain itu, tanah yang baik untuk pertumbuhan akar wangi adalah tanah yang
gembur atau tanah yang berpasir, seperti tanah yang mengandung abu vulkanis. Penanaman akar wangi dapat dilakukan secara monokultur atau tumpang sari
dengan tanaman sayuran lain yang tidak menaungi, seperti wortel, kol, kacang, dan tomat.
Penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut sebagian besar berada tidak jauh dari daerah penanaman akarwangi. Hal ini dikarenakan untuk memudahkan
proses penyulingan. Akarwangi yang telah dipanen sebagian besar oleh petani langsung dijual ke penyuling. Oleh karena itu, Kabupaten Garut sangat potensial
untuk pengembangan akarwangi ditinjau dari ketinggian, suhu dan curah hujan, dan kondisi lahan yang mendukung.
6.1.2. Sumberdaya Produksi
Luas Kabupaten Garut meliputi areal 306.519 Ha. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Garut secara umum mengikuti potensi serta pembatas alam yang
ada. Potensi alam yang menguntungkan telah dimanfaatkan oleh penduduk untuk
mengembangkan kegiatan usaha pertanian seperti sawah, pertanian lahan kering, dan perkebunan. Dibandingkan dengan luas lahan yang ada, luas pengusahaan
akarwangi hanya mencapai 1.733 Ha atau sebesar 0.57 persen dari total keseluruhan lahan di Kabupaten Garut. Namun, potensi areal tanam akarwangi
mencapai 2.400 Ha sehingga lahan seluas 667 Ha yang tersebar di empat kecamatan masih berpotensi untuk dikembangkan.
Bibit akarwangi atau disebut bonggol tersedia cukup melimpah. Hal ini karena petani yang baru melakukan penanaman pada tahun pertama dapat
memperoleh bonggol dari petani lain dengan harga berkisar antara Rp.800 – Rp.2.000. Sementara petani yang akan melakukan penanaman pada tahun
berikutnya dapat memperoleh bonggol dari tanaman akarwangi yang ditanam pada tahun pertama dalam rumpun yang tidak berbunga lalu dipecah-pecah
sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun.
Bahan baku untuk kegiatan penyulingan yaitu akarwangi, ketersediannya cukup terjaga sepanjang musim. Dalam luasan satu hektar menghasilkan 11.352kg
akarwangi. Akarwangi dapat tahan hingga dua bulan dalam kondisi lahan kering sangat menguntungkan petani di Kabupaten Garut. Pada umumnya, petani
menanam pada awal musim hujan dan dipanen pada musim kemarau. Agar dapat menjaga kontinuitas dan kestabilan harga akarwangi, petani tidak melakukan
panen secara serempak. Ketersediaan bahan baku cukup berlimpah pada bulan Mei-Agustus dan agak sepi pada bulan Oktober-Januari. Jumlah bahan baku yang
diperlukan dalam satu kali proses produksi sangat tergantung pada kapasitas ketel, namun rata-rata mencapai 1.500 kg. Penyuling memperoleh bahan baku dari
lahannya sendiri atau membeli akarwangi dari petani lain. Persaingan antara penyuling dalam perebutan bahan baku biasanya terjadi pada saat pasokan
akarwangi menurun. Tenaga kerja yang dipakai dalam pembudidayaan akarwangi adalah tenaga
kerja yang berasal dari penduduk sekitar. Tenaga kerja melakukan kegiatan yang meliputi pengolahan tanah dan penanaman, pemeliharaan, serta panen dan pasca
panen. Aktivitas pemeliharaan mencakup penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan daun, pengendalian hama dan
penyakit. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari tenaga kerja luar dan dalam baik pria maupun wanita.
Rata-rata jam kerja petani akarwangi di Kabupaten Garut mencapai tujuh jam per hari. Waktu kerja dimulai dari pukul enam pagi hingga jam satu siang,
Upah yang diterima oleh pekerja berbeda-beda sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Dalam satu hektar lahan, kegiatan pengolahan tanah dan penanaman
dilakukan oleh petani pria sebanyak 124 HOK dan menerima upah per HOK sebesar Rp. 14.947. Dalam satu hektar lahan, kegiatan pemeliharaan dilakukan
oleh petani pria dan wanita yaitu sebanyak 87 HOK dan upah per HOK sebesar Rp. 14.842. Dalam satu hektar lahan, kegiatan panen dan pasca panen dilakukan
oleh petani pria dan wanita yaitu sebanyak 121 HOK dan upah per HOK sebesar Rp. 24.482..
Alat yang digunakan dalam penyulingan akarwangi ketel. Satu buah ketel dapat menyuling akarwangi sebanyak 1500 kgsuling. Satu kali penyulingan
menghasilkan minyak akarwangi sebanyak 7,43 kilogram.
Tenaga kerja manusia yang digunakan dalam satu kali penyulingan yaitu sebanyak dua orang dengan upah Rp. 67.692orang dan dalam satu hari dilakukan
dua kali penyulingan. 6.1.3. Letak Pasar
Pasar tujuan utama dari akarwangi adalah para penyuling disekitar lokasi budidaya yaitu penyuling di Kecamatan Samarang, Kecamatan Leles, Kecamatan
Bayongbong, dan Kecamatan Leles. Lahan akarwangi sebagian besar berada jauh dari jalan raya sehingga diperlukan biaya pengangkutan untuk sampai ke pasar
yang dituju yaitu para penyuling yang letaknya dekat dengan jalan raya. Pasar tujuan utama minyak akarwangi yaitu para pengumpul di Garut,
eksportir di Garut, Jakarta, dan Medan. Sebagian besar penyuling di Kabupaten Garut yaitu sebesar 84,6 persen menjual minyak akarwangi ke pengumpul di
Garut. Sedangkan 7,7 persen penyuling menjual minyak akarwangi ke eksportir di Garut dan Jakarta. Perbedaan ini didasarkan pada kepercayaan dan sistem kontrak
para pengumpul dengan penyuling.
6.1.4. Fasilitas Penunjang
Fasilitas penunjang sangat diperlukan baik dalam kegiatan budidaya maupun penyulingan. Fasilitas penunjang ini berupa peralatan budidaya, peralatan
penyulingan, dan fasilitas penunjang lainnya. Di setiap kecamatan banyak dijumpai pelaku agribisnis yang menyediakan peralatan budidaya yang harganya
cukup terjangkau bagi petani seperti cangkul, kored, ember, dan pabonggolan. Sedangkan peralatan penyulingan relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan
peralatan budidaya sehingga peralatan ini tidak mudah dijumpai di pasar, seperti
ketel stainless, alat pendingin, blander, dan boiler. Selain itu, sarana transportasi di setiap kecamatan sudah ada. Namun, tempat menuju ke lahan akarwangi cukup
jauh dan jalannya berbatu sehingga perlu penanganan khusus dari pemerintah untuk memperbaiki jalan yang rusak.
6.1.5. Teknik Budidaya
Sebagian besar petani akarwangi di Kabupaten Garut yaitu 70.3 persen melakukan budidaya secara tumpangsari. Tanaman yang ditumpangsarikan
dengan akarwangi adalah tanaman yang usianya tidak lebih dari empat bulan dan ketinggian pohonnya tidak melebihi tinggi tanaman akarwangi. Contoh tanaman
tumpangsari adalah kentang, kol, caisin, kacang, tomat, dan cabai. Petani melakukan penanaman secara tumpang sari dengan tujuan untuk memperoleh
pendapatan sampingan disamping pendapatan utama dari tanaman akarwangi. Teknik budidaya yang dilakukan oleh petani dibagi menjadi beberapa tahapan,
yaitu:
1. Penyiapan bibit
Petani yang baru menanam pertama kali tanaman akarwangi memeperoleh bibit dengan membeli dari petani lain. Harga bibit untuk satu kilogram seharga
Rp. 1.345. Namun, petani yang telah menanam pada tahun pertama, diperoleh bibit dari perbanyakan bonggol-bonggol akar yang ditanam pada tahun pertama.
Bonggol tersebut didapatkan dari tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, lalu dipecah-pecah sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas.
Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun. Bila bonggol tersebut diperkirakan belum siap melakukan adaptasi dengan lingkungan yang baru,
bonggol akarwangi tersebut disesuaikan terlebih dahulu pada bedengan
persemaian. Setelah 3-4 minggu kemudian, tunas dan akar biasanya sudah tumbuh merata dan bonggol siap dipindahkan ke kebun. Kebutuhan bonggol bibit untuk
lahan satu hektar mencapai 2.020 kg dengan jarak tanam antara 0,75 x 0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat kesuburan tanah. Dalam satu lubang tanam
dibutuhkan 2-3 bonggol bibit.
2. Pengolahan tanah
Pada dasarnya akarwangi tidak membutuhkan pengolahan tanah secara rumit penggunaan alat berat untuk mengolah tanah terutama bagi kondisi tanah
yang keras dan padat. Namun, bila tanah belum pernah terolah, maka perlu dilakukan pencangkulan agar tanah menjadi gembur sepuluh hari sebelum
penanaman. Hal ini bertujuan agar tanah yang berada di bagian bawah akan berada di permukaan dan mendapat cahaya matahari. Setelah pengolahan lahan
selesai, lubang-lubang tanam dipersiapkan dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm, dan kedalaman 10 cm. Bagi tanaman tumpangsari, di sela-sela tanaman
akarwangi dalam satu petak ditanam satu jenis tanaman tumpangsari dan tanaman tumpangsari lainnya dapat ditanam di petak yang yang berbeda.
3. Penanaman
Tanaman tumpangsari sebaiknya ditanam pada musim penghujan yaitu sekitar bulan Okober-November. Namun, tanaman akarwangi dapat ditanam
diluar musim penghujan, asalkan tanaman tersebut disiram setiap pagi dan sore. Penanaman bibit akarwangi dilakukan dengan cara memasukan bonggol siap
tanam ke dalam lubang tanam yang telah dibuat lalu ditutup kembali dan tanah di sekitarnya agak dipadatkan. Jarak tanam pada tanah yang subur adalah 1 x 1
meter, sedangkan pada tanah yang kurang subur adalah 0,75 x 0,75 meter.
4. Pemeliharaan
Agar memperoleh produksi dan mutu yang baik, akarwangi perlu dipelihara dengan baik. Pemeliharaan tanaman akarwangi meliputi: penyulaman,
penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama terpadu.
Penyulaman dilakukan sekitar 2-3 minggu setelah tanam. Bila di kebun akarwangi terdapat pertumbuhan akarwangi yang kurang baik atau bahkan mati,
maka secepatnya harus dilakukan penyulaman. Agar pertumbuhan bibit sulaman tidak jauh tertinggal dari tanaman lain, sebaiknya dipilih bonggol bibit yang baik.
Penyulaman berguna untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya dan dapat memprediksi jumlah produksi tanaman akarwangi.
Penyiangan dilakukan setiap empat bulan sekali dalam satu kali musim tanam selama 12 bulan. Penyiangan dilakukan agar pertumbuhan tanaman
akarwangi tidak terhambat. Selain itu, penyiangan dilakukan untuk mencegah datangnya hama yang biasanya menjadikan gulma sebagai tempat persembunyian
dan sekaligus memutus daur hidup hama. Gulma yang tumbuh liar disekeliling tanaman akarwangi harus dibersihkan agar kemampuan kerja akar dalam
menyerap unsur hara dapat berjalan secara optimal. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan. Pembumbunan
dilakukan karena tanaman akarwangi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air. Oleh karena itu, aerasi dan drainase harus diatur dengan baik. Tanah di
sekeliling rumpun dicangkul tipis dengan jarak ± 15 cm. Pemupukan tanaman akarwangi dalam satu kali musim tanam dilakukan
sebanyak dua kali. Pada umur tiga bulan, pada lahan seluas satu hektar pupuk
yang digunakan adalah 134 kg Za, 78 kg SP-36, dan 75 kg KCl. Pemupukan yang kedua dilakukan pada umur sembilan bulan dengan dosis 67 kg Za, 39 kg SP-36,
dan 37,5 KCl. Cara pemberian pupuk adalah dengan dimasukkan ke dalam lubang melingkar sedalam 10 cm dan ditutup tanah kembali.
Pemangkasan dilakukan bersamaan dengan penyiangan dan pembumbunan. Pemangkasan dilakukan setiap empat bulan sekali atau tiga kali
selama satu kali musim tanam. Pemangkasan berguna untuk mendapatkan akar yang rimbun dan panjang.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan agar hama sejenis ulat yang menyerang akar dapat mati. Selain itu, hama yang menyerang tanaman akarwangi
adalah cacing dan kuuk
1
. Namun, serangan hama ini jarang terjadi dan belum menunjukkan kerugian ekonomis yang berarti. Sebagai langkah preventif,
penggunaan furadan dapat mencegah dan membasmi hama yang timbul di lahan akarwangi. Umumnya penggunaan furadan dalam luasan satu hektar sebanyak dua
liter dan sesuai dengan keadaan lahan yang terjadi.
5. Panen dan pasca panen
Penentuan waktu panen bergantung pada musim dan penggunaan tanah. Panen yang terlalu dini dapat merusak kondisi tanaman dan kandungan
minyaknya masih sedikit. Panen yang terlalu lambat dapat meyebabkan penurunan kadar minyak yang mengakibatkan akar layu dan mengering. Panen
terbaik dan dilakukan oleh sebagian besar petani di Kabupaten Garut adalah berumur 12 bulan karena ketika itu kandungan minyak pada akar dalam keadaan
optimal.
1
Sejenis Serangga, merupakan istilah yang digunakan oleh pertain di Kabupaten Garut Bahasa lokal
Pemanenan akarwangi dapat menggunakan cangkul. Tanah terlebih dahulu dicangkul di sekitar tanaman sampai tanaman mudah dicabut. Pencabutan harus
dilakukan dengan hati-hati agar akar tidak putus dan tertinggal di dalam tanah. Akar yang baru dipanen harus dibersihkan dari tanah yang masih melekat dan
dipotong dibawah bonggolnya. Sedangkan daun akarwangi dapat dijadikan kompos dan bonggolnya dapat dijadikan bibit untuk penanaman masa berikutnya.
Selain itu, akar yang telah dipanen dapat dijadikan kerajinan yang bernilai ekonomis tinggi. Namun, proporsi penggunaan akarwangi untuk penyulingan
masih lebih besar bila dibandingkan dengan kerajinan. Hal ini dikarenakan, kegiatan penyulingan akarwangi masih diutamakan karena harga jual minyak
akarwangi yang tinggi. Akar basah yang sudah bersih tersebut kemudian dikeringkan sekitar 7-10
hari dalam cuaca terang. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan kandungan air di dalam akar. Akarwangi yang kering sangat baik untuk
penyulingan karena menghasilkan kualitas minyak yang bagus dan sebaliknya bila akarwangi basah akan menghasilkan kualitas minyak yang kurang baik. Setelah
melakukan pengeringan, maka akarwangi disimpan dalam gudang penyimpanan. Para petani akarwangi yang bukan sekaligus penyuling biasanya menyimpan akar
kering dalam keranjang berat 100 Kg. Setelah itu, petani menjualnya ke penyuling. Tabel 31 merupakan output dan input budidaya akarwangi.
Tabel 31. Input dan Output Budidaya Akarwangi
Input-Output Fisik
Input Bibit bonggol
Pupuk Za, SP-36, KCl Furadan
Tenaga Kerja Transportasi
Output Akarwangi
6.1.6. Teknik Penyulingan
Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri dalam hal ini minyak akarwangi dengan cara mendidihkan bahan baku yang
dimasukkan ke dalam ketel hingga terdapat uap yang diperlukan. Dengan kata lain, penyulingan adalah proses pemisahan komponen-komponen campuran dari
dua atau lebih cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap dari setiap komponen tersebut
Penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut sebagaian besar menggunakan sistem kukusuap. Proses penyulingan dengan uap dimulai dari pengisian air ke
dalam ketel air. Pengisian air ini tidak sampai penuh. Akarwangi kering yang telah dipotong-potong dimasukkan kedalam ketel penyulingan sebanyak 1.500
Kg. Ketel air berada dibawah ketel penyulingan sehingga kedua ketel tersebut ditutup rapat dan jangan sampai terjadi kebocoran. Api di bawah tungku
dinyalakan dan besarnya api harus terkontrol. Tekanan yang digunakan oleh para penyuling di Kabupaten Garut yaitu 3-5 Bar. Tekanan yang terlalu tinggi akan
menyebabkan minyak gosong namun biaya bahan bakar rendah. Tekanan yang terlalu rendah dapat memperbesar biaya bahan bakar namun kualitas minyaknya
lebih baik bila dibandingkan pada tekanan tinggi. Bahan bakar yang digunakan adalah minyak tanah. Pada Bulan Mei 2008 penggunaan minyak tanah akan
dihapuskan dan diganti dengan batu bara. Hal ini disebabkan biaya batu bara lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah. Pemerintah sedang melakukan uji
coba batu bara pada salah satu penyuling yang memenuhi kriteria uji coba. Setelah api dinyalakan, terjadi penguapan di dalam ketel air. Kemudian
lewat pipa yang berbentuk leher angsa, uap tersebut disalurkan ke ketel
penyulingan. Maka terjadilah penguapan minyak akarwangi, tetapi uap minyak tersebut masih bercampur dengan uap air. Maka campuran tersebut dialirkan lagi
melalui pipa ke alat pendingin. Setelah uap tersebut sampai ke alat pendingin berupa bak permanen berisi air dingin, terjadilah proses pengembunan, yaitu
pencairan kembali campuran uap tersebut. Selanjutnya campuran cairan minyak dan air yang mempunyai suhu sekitar 40o-45o Celcius ini dialirkan ke alat
pemisah. Berat jenis minyak akarwangi lebih berat daipada air, maka minyak
akarwangi tersebut akan mengendap di bagian bawah. Selanjutnya dialirkan melalui lubang bawah alat pemisah ke alat pengumpul minyak. Air kondensor
yang diperoleh dari hasil sulingan dan telah dipisahkan dari minyak tidak dibuang, sebab di dalam air kondensor tersebut kemungkinan besar masih terkandung
minyak. Air kondensor dapat digunakan kembali pada proses penyulingan berikutnya dengan cara memasukkan kembali ke dalam ketel air agar minyak
tersebut dapat diambil lagi. Akarwangi yang diperlukan untuk satu kali penyulingan adalah sebanyak
1.500 Kg dan akan menghasilkan lima kilogram minyak akarwangi. Harga minyak akarwangi per kilogram adalah Rp.466.923-Rp.582.000. Dalam satu hari
dilakukan dua kali penyulingan karena satu kali penyulingan membutuhkan waktu 12 jam. Tabel 32 merupakan input dan output penyulingan akarwangi.
Tabel 32 . Input dan Output Penyulingan Akarwangi
Input-Output Fisik
Input Bahan Baku
Akarwangi Bahan Bakar Minyak
Tenaga Kerja Transportasi
Output Minyak Akarwangi
6.1.7. Produk akarwangi
Penggunaan akarwangi yang utama adalah sebagai bahan baku penyulingan. Hasil penyulingan tersebut akan berupa minyak akarwangi. Di
Kabupaten Garut dan umumnya di Indonesia produk olahan minyak akarwangi belum dapat diproduksi. Hal ini dikarenakan teknologi dan modal yang diperlukan
cukup besar. Sehingga minyak akarwangi hasil penyulingan sebagian besar di ekspor ke luar negeri. Minyak akarwangi digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan parfum, bahan kosmetika, dan sebagai bahan pewangi sabun.
6.2. Analisis Aspek Pasar
Analisis pasar sangat penting untuk meyakinkan bahwa ada suatu permintaan yang efektif pada suatu harga yang menguntungkan Gittinger, 1986.
Aspek pasar yang dianalisis meliputi permintaan, penawaran, harga, dan pemasaran.
6.2.1. Permintaan
Pemakaian kosmetika dan obat-obatan telah meluas di seluruh dunia sehingga penggunaannya sudah merupakan kebutuhan sehari-hari. Salah satu
olahan tanaman akarwangi yaitu minyak wangi, kosmetika, obat-obatan, dan aroma terapi. Konsumen minyak akarwangi Kabupaten Garut adalah para
pengusaha dari kawasan Asia, Eropa, dan Amerika khususnya negara-negara seperti India, Jepang, Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Dengan
berkembangnya berbagai industri di dalam dan luar negeri, maka kebutuhan akarwangi dan produk olahannya semakin meningkat.
Kebutuhan minyak akarwangi dalam negeri cukup besar karena kebutuhan industri juga makin pesat dan berkembang seperti pemanfaatan minyak akarwangi
untuk aroma terapi. Minyak akarwangi tergolong minyak atsiri yang sudah berkembang Ditjenbun, 2004. Maka, permintaan akarwangi terus meningkat
seiring dengan pengembangannya yang diarahkan pada peningkatan mutu dengan menggunakan bibit unggul dan cara pengolahan yang tepat.
6.2.2. Penawaran
Penawaran terhadap akarwangi dapat dilihat dari perkembangan produksi ton selama kurun waktu lima tahun yaitu tahun 2004-2006. Produksi tahun
2004 mencapai 32 ton dalam satu hektar yang merupakan produksi terbesar selama kurun waktu 5 tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33. Perkembangan Produksi Akarwangi Provinsi Jawa Barat Ton, Tahun 2002-2006
Tahun Produksi Ton
Persentase persen
2002 14 -
2003 22 57,1
2004 32 45,5
2005 29 -9,4
2006 30 3,4
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
Selain itu, perkembangan penawaran akar wangi dapat dilihat dari
perkembangan luas lahan tanaman akarwangi di Jawa Barat selama lima tahun terakhir. Perkembangan luas lahan yang paling besar terjadi dari tahun 2002 ke
tahun 2003 yaitu sebesar 52,9 persen. Tahun 2005 ke tahun 2006 mengalami perkembangan luas lahan sebesar 0,49 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
masih adanya permintaan akarwangi baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun
ekspor. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34.Perkembangan Luas Lahan Tanaman Akarwangi ha di Jawa Barat, Tahun 2002-2006
Tahun Luas Lahan Ha
Persentase
2002 1253 -
2003 1917 52,9
2004 2250 17,3
2005 2035 -9,5
2006 2045 0,49
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
6.2.3. Harga
Berdasarkan data primer yang diperoleh yang akarwangi terendah mencapai Rp. 511kg. Sedangkan harga normal akarwangi sebesar Rp.1.808kg.
Harga akarwangi tertinggi mencapai Rp.2.821kg. Data harga tersebut diperoleh berdasarkan pengalaman yang diperoleh petani selama mengusahakan akarwangi.
Harga minyak akarwangi terendah di Kabupaten Garut mencapai Rp.466.923kg sedangkan harga normal minyak akarwangi mencapai
Rp.511.692kg. Harga tertinggi akarwangi mencapai Rp.582.000kg. Harga tersebut diperoleh berdasarkan pengalaman yang pernah dialami penyuling selama
mengusahakan akarwangi.
6.2.4. Pemasaran
Akarwangi merupakan tanaman perkebunan yang membutuhkan pengolahan lanjutan. Hal ini dikarenakan, produk olahan akarwangi yang berupa
minyak akarwangi dipasarkan baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan lembaga pemasaran yang akan memasarkan
akarwangi dan produk olahannya. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA
Kabupaten Garut dalam Penyusunan Rencana Induk Pembangunan Pertanian RIPP tahun 2005, lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran
akarwangi antara lain: petani, pedagang pengumpul dusun, bandar, penyuling, perantara tengkulak tingkat kabupaten, dan eksportir. Saluran pemasaran akar
dan minyak akar wangi di Kabupaten Garut terbagi dalam tujuh saluran
Gambar 6. Saluran Pemasaran Akarwangi di Kabupaten Garut,
BAPPEDA ,2005 6.2.4.1.
Saluran I
Saluran I memiliki rantai pemasaran yang paling panjang dibandingkan dengan rantai pemasaran yang lain. Petani menjual akarwangi ke pedagang
pengumpul dusun. Hal ini dilakukan karena jumlah produksi akarwangi yang sedikit atau lahan yang tersebar dalam areal yang luas sehingga petani
memerlukan jasa pengumpul tingkat dusun PPD untuk menjual produknya.
Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4
Saluran 5
Saluran 6
Saluran 7
Petani Akarwangi
Pengumpul Tingkat Dusun
Pengumpul Tingkat Dusun
Pengumpul Tingkat Dusun
Pengumpul Tingkat Dusun
Eksportir Industri
Penyulingan Industri
Penyulingan Bandar
Industri Penyulingan
Industri Penyulingan
Perantara Tingkat
Kabupaten Eksportir
Bandar Industri
Penyulingan Industri
Penyulingan
Perantara Tingkat
Kabupaten
Eksportir Eksportir
Eksportir Perantara
Tingkat Kabupaten
Eksportir
Eksportir
Bandar merupakan orang yang menerima akarwangi dari PPD dan melakukan penjualan langsung ke penyuling. Setelah akarwangi dijual ke penyuling, tahahp
selanjutnya yaitu melakukan penyulingan yang akan menghasilkan minyak akarwangi. Minyak tersebut kemudian dijual ke tengkulak tingkat kabupaten. Di
Kabupaten Garut terdapat dua orang tengkulak tingkat kabupaten dan menjualnya ke eksportir yang berada di Jakarta dan Medan.
6.2.4.2. Saluran II
Pada saluran II, petani menjual akarwangi ke PPD. Akarwangi yang berada di tangan PPD kemudian dijual kembali ke bandar. Bandar menjualnya
kembali ke penyuling. Dalam hal ini, bandar menjual ke penyuling karena penyuling memberikan bantuan pinjaman kepada bandar sehingga bandar tersebut
harus menjual akarwangi yang ia miliki ke penyuling. Setelah akarwangi berada di tangan penyuling, maka penyulingan dapat dilakukan. Minyak yang dihasilkan
kemudian dijual ke eksportir yang berada di Jakarta dan Medan.
6.2.4.3. Saluran III
Setelah petani memanen akarwangi pada usia 12 bulan, mereka menjual akarwangi ke PPD. Pada saluran ini, PPD langsung menjual akarwangi tersebut ke
penyuling tanpa melalui bandar. Hal ini dikarenakan, penyuling memberikan bantuan modal kepada PPD sehingga PPD akan menjual akarwangi ke penyuling.
Setelah melakukan penyulingan, minyak akarwangi dijual ke tengkulak tingkat kabupaten. Tengkulak kabupaten akan menjualnya kembali eksportir yang ada di
Jakarta dan Medan yang sebelumnya telah melakukan kesepakatan mengenai jumlah produksi dan harga minyak akarwangi.
6.2.4.4. Saluran IV
Pada saluran ini, rantai pemasaran lebih pendek dibandingkan dengan saluran III. Hal ini dikarenakan pada saluran ini setelah penyuling membeli
akarwangi dari PPD dan menyulingnya, mereka tidak menjual minyak ke tengkulak tingkat kabupaten namun langsung menjualnya ke eksportir. Hal ini
berakibat pada keuntungan yang diterima penyuling lebih besar bila dibandingkan dengan menjualnya ke tengkulak. Harga jual akarwangi yang diterima penyuling
lebih besar dibandingkan dijual ke tengkulak. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang diterima penyuling lebih besar bila dibandingkan dijual ke tengkulak.
6.2.4.5. Saluran V
Pada saluran V, petani menjual akarwangi langsung ke penyuling. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang diterima petani lebih besar bila dibandingkan
dijual ke PPD atau bandar. Selain itu, petani dapat memperoleh informasi langsung mengenai perkiraan harga jual minyak akarwangi tahun berikutnya dan
harga jual minyak akarwangi saat itu. Jika perkiraan harga jual akarwangi tahun selanjutnya tinggi, petani akan terus membudidayakan akarwangi. Bila perkiraan
harga jual akarwangi rendah pada tahun selanjutnya maka mereka cenderung untuk mengganti tanaman akarwangi dengan tanaman lainnya yang diperkirakan
memiliki harga jual tinggi. Setelah akarwangi diolah dan menghasilkan minyak, maka minyak tersebut dijual ke tengkulak tingkat kabupaten dan kemudian dijual
kembali ke eksportir.
6.2.4.6. Saluran VI
Pada saluran ini, petani memperoleh informasi mengenai harga minyak langsung ke penyuling yang akan menjadi keputusan bagi mereka untuk terus
membudidayakan akarwangi atau beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Minyak yang telah disuling kemudian dijual ke eksportir di
medan dan Jakarta. Dalam hal ini, penyuling memperoleh informasi langsung dari eksportir tentang harga minyak. Selain itu, petani dapat memperoleh keuntungan
yang lebih tinggi karena memperoleh harga jual minyak yang lebih tinggi bila dibandingkan di jual ke tengkulak tingkat kabupaten.
6.2.4.7. Saluran VII
Pada saluran ini komoditas yang dijual hanya akarwangi yang berasal dari petani. Petani langsung menjualnya ke eksportir. Hal ini biasanya dilakukan
karena adanya permintaan eksportir untuk penyulingan di luar negeri. Selain itu, penjualan akarwangi ke eksportir biasanya untuk dibuat kerajinan dan hiasan
lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 41 responden petani dan
penyuling akarwangi di Kabupaten Garut, petani menjual akarwangi langsung ke penyuling. Harga jual akarwangi lebih tinggi bila dijual ke PPD atau bandar.
Setelah itu, penyuling menjual minyak akarwangi ke tengkulak tingkat kabupaten dan menjualnya ke eksportir di Jakarta dan Medan. Jadi, petani dan penyuling
akarwangi di Kabupaten Garut berada pada saluran V.
6.3. Analisis Aspek Sosial dan Lingkungan
Kabupaten Garut merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan tanaman akarwangi. Adanya permintaan akarwangi yang terus-
menerus setiap tahunnya akan menyebabkan manfaat yang dirasakan oleh pelaku budidaya dan penyulingan akarwangi serta masyarakat sekitar.
Manfaat yang dirasakan adalah terserapnya jumlah tenaga kerja masyarakat sekitar. Jumlah tenaga kerja yang terserap untuk kegiatan budidaya
dalam satu hektar per tahun sebanyak 332 orang. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap untuk kegiatan penyulingan sebanyak 1344 orangtahunsatu
penyulingan. Hal ini dikarenakan tenaga kerja yang digunakan untuk aktivitas budidaya dan penyulingan berasal dari masyarakat sekitar. Hal ini berdampak
pada meningkatnya pendapatan mereka yang sebagian besar sebagai buruh tani. Selain itu, pelaku budidaya lainnya dapat mengurangi angka pengangguran.
Dengan demikian, pelaku kegiatan budidaya dan penyulingan dapat memiliki penghasilan yang dapat meningkatkan mutu hidup mereka.
Analisis aspek sosial yang lain adalah kelompok tani di Kabupaten Garut sebagian besars udah tidak aktif lagi. Hal ini dikarenakan manfaat yang dirasakan
petani dengan adanya kelompok tani tidak jauh berbeda ketika petani masuk dalam kelompok tani. Kelompok tani akarwangi hanya memberikan bantuan bibit
dan bantuan lainnya. Padahal, bantuan yang benar-benar dibutuhkan oleh petani adalah bantuan modal untuk melakukan kegiatan budidaya dan penyulingan
akarwangi. Melalui pengaktifan kembali kelompok tani akarwangi di Kabupaten Garut diharapkan petani dan penyuling dapat memiliki bargaining position yang
tinggi sehingga terdapat iklim usaha yang saling ketergantungan. Selain itu
dengan adanya kelompok tani, petani dan penyuling diharapkan memiliki kemampuan untuk menentukan harga jual akarwangi dan minyak akarwangi
sehingga pendapatan yang mereka peroleh sesuai dengan upaya yang telah mereka lakukan.
Selain itu, manfaat adanya kegiatan penanaman akarwangi yaitu berfungsi sebagai usaha konservasi tanah dan air. Hal ini dikarenakan kelebatan akarnya
yang mencapai ± 50 cm. Maka, penanaman akarwangi di pematang sawah dapat menghindari atau mengendalikan kerusakan pematang sawah. Selain itu,
akarwangi dapat ditanam di tepi jalan untuk melindungi tepi jalan agar tidak terjadi longsor dan erosi. Penanaman akarwangi pun dapat melindungi sekitar
jembatan, irigasi, dan melindungi dam. Jadi, pembudidayaan dan pengolahan akarwangi memiliki pengaruh
positif pada masyarakat sekitar, tidak hanya berdampak pada meningkatnya atau semakin baiknya kondisi lingkungan seperti jalan yang ada di sekitar lahan dan
pabrik penyulingan. Tetapi juga memiliki peranan yang besar dalam pemerataan pembangunan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan petani,
penyuling, masyarakat sekitar, dan terutama peningkatan pendapatan asli Pemerintah Daerah Kabupaten Garut. Melihat segala pengaruh positifnya, maka
pembudidayaan dan penyulingan akarwangi layak untuk dilaksanakan dan juga tidak bertentangan dengan adat istiadat budaya di Kabupaten Garut.
6.4. Risiko Usaha
Produksi akarwangi pada setiap kondisi diperoleh dari data primer. Produksi tertinggi, normal, dan terendah diperoleh petani dan penyuling
berdasarkan pengalaman selama kurun waktu mengusahakan akarwangi. Produksi akarwangi tertinggi dalam satu hektar mecapai 13.014 kg dan produksi minyak
akarwangi tertinggi pada satu penyulingan per tahun mencapai 5.739 kg. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 35
.
Tabel 35. Produksi Akarwangi Dalam 1 Ha dan Minyak Akarwangi Dalam Satu PenyulinganTahun Pada Setiap Kondisi
Kondisi Produksi Akarwangi
Kg Produksi Minyak Akarwangi
Kg
Produksi Tertinggi 13.014
5.739 Produksi Normal
11.352 4.993
Produksi Terendah
8.882
2.587
Harga akarwangi pada setiap kondisi diperoleh dari data primer. Harga tertinggi, normal, dan terendah diperoleh petani dan penyuling berdasarkan
pengalaman selama kurun waktu mengusahakan akarwangi. Harga akarwangi tertinggi sebesar Rp.2.821kg dan harga minyak akarwangi tertinggi sebesar
Rp.582.000Kg. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36. Harga Output Akarwangi dan Minyak Akarwangi Pada Setiap Kondisi
Kondisi Harga Akarwangi
RpKg Harga Minyak Akarwangi
RpKg
Harga Output Tertinggi 2.821
582.000 Harga Output Normal
1.808 511.692
Harga Output Terendah 511
466.923
6.5. Analisis Aspek Finansial
Analisis kelayakan finansial pengembangan usaha akarwangi perlu dilakukan agar mengetahui seberapa layak lahan seluas 667 Ha yang belum
termanfaatkan sehingga dapat memberikan pendapatan yang diharapkan petani dan penyuling. Analisis kelayakan akarwangi dikelompokkan menjadi dua yaitu
analisis kelayakan budidaya akarwangi dan analisis kelayakan penyulingan akarwangi. Masing-masing kelayakan terdapat dua kondisi yaitu kondisi I yaitu
kondisi tanpa memperhitungkan risiko dan kondisi II yaitu kondisi yang memperhitungkan risiko. Kondisi II memiliki tiga skenario yaitu skenario I, II,
dan III. Skenario I yaitu analisis kelayakan dengan adanya risiko produksi. Skenario II yaitu analisis kelayakan dengan adanya risiko harga output. Skenario
III yaitu analisis kelayakan dengan adanya risiko produksi dan harga output.
6.5.1. Analisis Finansial Budidaya Akarwangi Tanpa Risiko 6.5.1.1. Arus PenerimaanInflow
Setiap komponen yang merupakan pemasukan bagi petani selama proyek berjalan akan dimasukkan ke dalam arus penerimaan. Penerimaan pada kegiatan
budidaya akarwangi diperoleh dari penjualan akarwangi dan nilai sisa. Penerimaan akarwangi setiap tahun berbeda sesuai dengan kondisinya.
Pada kondisi ini, petani berada pada kondisi normal yaitu kondisi yang dihadapi yaitu tanpa menghadapi risiko. Satu hektar lahan yang dibudidayakan
dalam satu tahun menghasilkan akarwangi sebanyak 11.352 kg. Hasil tersebut diperoleh dari penanaman bibit sebanyak 2.020 kg. Pada tahun pertama,
penerimaan petani belum maksimal. Hal ini karena pada tahun pertama kapasitas produksi akarwangi belum optimal. Kapasitas produksi tahun pertama mencapai
69,31 persen. Angka ini diperoleh dari pengurangan jumlah produksi rata-rata responden pada kondisi normal dengan jumlah produksi terendah responden pada
kondisi normal dibagi dengan jumlah produksi rata-rata responden pada kondisi normal. Pada tahun kedua dan selanjutnya, kapasitas produksi mencapai optimal
100 persen karena petani telah mendapatkan pengalaman dari tahun pertama.
Hal ini mengakibatkan penerimaan petani pada tahun kedua dan ketiga meningkat dibandingkan tahun pertama. Tahun keempat pun mengalami peningkatan yang
cukup tinggi. Hal ini dikarenakan terdapat nilai sisa yang dihitung pada akhir tahun proyek yaitu tahun keempat. Penerimaan petani pada kondisi ini dapat
dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37. Penerimaan Petani Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Per Hektar
No Tahun 1
2 3
1. Penjualan Akarwangi Rp
14,225.473 20,524,416
20,524.416 2.
Nilai Sisa Rp 13,716.714
Total Inflow 14,225.473
20,524,416 34,241.130
Penerimaan utama petani dari kegiatan budidaya adalah penjualan
akarwangi. Namun, terdapat penerimaan lain yang berada pada akhir tahun proyek yaitu nilai sisa. Nilai sisa diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya
investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi akan
dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen. Hal
ini berdasarkan inflasi tahun 2007 sebesar 6,59 persen. Nilai sisa motor ditetapkan 55 persen yaitu dari asumsi bahwa pemakaian motor baru tiga tahun sedangkan
umur teknis motor selama 10 tahun. Total nilai sisa pada tahun keempat yaitu Rp..13.713.714. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 38.
Tabel 38 . Nilai Sisa Investasi Budidaya Akarwangi per Hektar
Jenis Investasi Jumlah
unit Harga
RpUnit Umur Teknis
tahun Nilai Sisa
Rp
a. Tanah Milik 1 Ha 1
3.532.754 4.013.714
b. Saung 1
970.250 3
c. Motor 1
16.100.000 10
8.894.070 d. Peralatan
Cangkul 5 96.700
3 Kored 7
25.000 2
2.500 Ember 4
10.000 1
Garpu 1 30.000
3 Terpal 10
m2 300.000 2
30.000 Pabonggolan 3
75.000 2 7.500
Keranjang 100 Kg 100
35.000 1
Total Nilai Sisa 13.713.714
6.5.1.2. Arus BiayaOutflow A. Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya yang perlu dikeluarkan petani untuk memulai pengusahaan akarwangi. Biaya investasi dihitung pada tahun pertama. Namun,
pada tahun kedua dan keempat terdapat biaya reinvestasi yang sesuai dengan umur teknis investasi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39 . Biaya Investasi yang Diperlukan Pada Tahun Pertama Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar
Komponen Investasi Umur
Teknis Tahun
Jumlah unit
Harga RpUnit
Total Rp
a. Tanah Milik 1 Hektar -
1 3.532.755
3.532.755 b. Saung
3 1
970.250 970.250
c. Motor 10
1 16.100.000
16.100.000 d. Peralatan
Cangkul 3
5 101.856
509.284 Kored
2 7
24.399 170.794
Ember 1
4 8.800
35.202 Garpu
3 1
30.000 30.000
Terpal 2
10 m2 300.000
300.000 Pabonggolan
2 3
72.108 216.324
Keranjang 100 Kg 1
100 35.000
3.500.000
Total Investasi Tahun 1 25.364.610
Biaya reinvestasi yang diperlukan dalam budidaya akarwangi dapat dilihat pada Tabel 40. Biaya reinvestasi dikeluarkan sesuai dengan umur teknis dari
masing-masing komponen investasi. Biaya reinvestasi paling besar dikeluarkan pada tahun ketiga yaitu Rp 4.222.321. Biaya reinvestasi dikeluarkan pada tahun
kedua dan tahun ketiga.
Tabel 40. Biaya Reinvestasi yang Diperlukan Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar
Komponen Investasi
Umur Teknis
Tahun Jumlah
unit Harga
RpUnit Nilai Rp
Tahun 2 Tahun 3
Cangkul 3
5 101.856
Kored 2
7 24.399
170.794 Ember
4 4
8.800 35.202
35.202 Garpu
1 1
30.000 Terpal
2 10 m2
300.000 300.000
Pabonggolan 2
3 72.108
216.324 Keranjang
1 100
35.000 3.500.000
3.500.000
Total 3.535.202
4.222.321
B. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya keseluruhan yang berhubungan dengan kegiatan operasional dari budidaya akarwangi. Biaya operasional terbagi
menjadi biaya variabel dan biaya tetap.
1. Biaya Variabel
Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan budidaya yaitu bibit, pupuk Za, SP-36, KCl, furadan, tenaga kerja, dan biaya transportasi. Pada tahun
pertama kapasitas produksi yang dihasilkan belum optimal. Hal ini dikarenakan penggunaan input pada tahun pertama yang belum optimal yaitu sebesar 69,31
persen. Pada tahun kedua hingga tahun keempat penggunaan input telah optimal sehingga kapasitas produksi yang dihasilkan telah optimal. Hal ini karena adanya
pengalaman petani pada tahun pertama dalam melakukan kegiatan budidaya.
Biaya variabel merupakan biaya yang diperlukan dalam penggunaan input ketika melakukan kegiatan budidaya akarwangi. Penggunaan input pada kondisi
normal maupun kondisi penuh risiko tidak berbeda. Hal ini karena pada kondisi penuh risiko penggunaan input tetap namun hasil input tersebut pada kondisi
normal dan penuh risiko akan berbeda. Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan budidaya akarwangi dapat dilihat pada Tabel 42.
a. Bibit Bonggol Akarwangi
Bibit merupakan salah satu input yang digunakan dalam kegiatan budidaya akarwangi. Bibit akarwangi biasa disebut dengan bonggol. Petani memperoleh
bonggol pada tahun pertama dengan membelinya ke petani lain sedangkan pada tahun kedua hingga tahun berikutnya petani memperoleh bonggol dari tunas yang
dipecah-pecah dari akarwangi yang ditanam pada tahun pertama. Bibit yang digunakan pada tahun pertama belum 100 persen dari total bibit yaitu 2.020 kg.
Bibit yang digunakan pada tahun pertama yaitu 69,31 persen. Tahun kedua dan ketiga bibit yang digunakan telah mencapai 100 persen.
b. Pupuk
Pupuk yang digunakan dalam kegiatan budidaya akarwangi adalah ZA, SP-36, dan KCl. Dosis penggunaan setiap pupuk berbeda. Pupuk ZA digunakan
paling banyak sebanyak 45 persen yaitu 140 kg., SP-36 sebanyak 28 persen yaitu 83 persen, dan KCl sebanyak 27 persen yaitu 81 persen. Pemupukan yang
dilakukan petani akarwangi di Kabupaten Garut sebanyak dua kali pada satu kali musim tanam. Pemupukan pertama dilakukan pada bulan pertama dan pemupukan
kedua dilakukan pada bulan keenam. Pemupukan yang sesuai dengan dosisnya akan mengakibatkan akar tumbuh dengan lebat.
c. Furadan
Dalam membudidayakan akarwangi, petani tidak hanya dihadapkan pada risiko produksi dan risiko harga output. Adanya kuuk hama dan cacing yang
menyerang tanaman akarwangi dapat menjadi risiko dalam pengusahaan akarwangi. Oleh karena itu, diperlukan pestisida yang dapat memberantas hama
tersebut. Pestisida yang digunakan adalah furadan. Dosis penggunaaan furadan sesuai dengan kondisi tanaman di lapangan. Petani biasanya menggunakan
furadan sebanyak dua liter pada lahan seluas satu hektar.
d. Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan budidaya dilakukan oleh pria dan wanita. Satu HOK dalam kegiatan budidaya yaitu tujuh jam kerja yang dimulai
pukul 06.00-13.00. Kegiatan pengolahan tanah dan penanaman dilakukan oleh pria sedangkan pemeliharaan, panen, dan pasca panen dilakukan oleh pria dan
wanita. Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pengolahan tanah yaitu sebanyak 87 orang, penanaman 37 orang, pemeliharaan 87 orang, sedangkan panen dan
pasca panen sebanyak 121 orang sehingga tenaga kerja terbanyak dilakukan pada kegiatan panen dan pasca panen yaitu 37 persen. Hal ini dikarenakan kegiatan
tersebut membutuhkan lebih banyak orang dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Upah petani ketika melakukan pengolahan tanah dan penanaman yaitu
Rp.14.947 dan upah pemeliharaan sama yaitu sebesar Rp. 14.842HOK. Sedangkan upah panen dan pasca panen sebesar Rp. 24.482HOK.
e. Biaya Pengangkutan
Setelah pemanenan akarwangi, akar yang telah di panen diangkut ke pabrik penyulingan. Sebagian besar petani langsung menjualnya ke pabrik
penyulingan. Biaya pengangkutan akarwangi dari lahan menuju ke pabrik yaitu Rp. 200kg. Akarwangi yang memilik kualitas yang bagus untuk disuling yaitu
akarwangi yang kering. Sehingga pada proses pemanenan sebaiknya petani memanen akarwangi ketika musim kemarau karena harga jual akar yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kualitas akarwangi basah yang dipanen pada musim hujan.
2. Biaya Tetap
Biaya tetap yang dikeluarkan pada budidaya akarwangi hanya biaya pajak bumi dan bangunan PBB per hektar per tahun sebesar Rp. 66.137. Sebagian
besar responden petani merupakan pemilik lahan sendiri, jadi sebagian besar petani tidak mengeluarkan biaya sewa lahan. Biaya variabel dan biaya tetap dapat
dilihat pada Tabel 41.
Tabel 41. Biaya Variabel dan Biaya Tetap yang Diperlukan Pada Kegiatan Budidaya Akarwangi per Hektar
Biaya Variabel Rp
Tahun 1 2 3
Bibit 1.882.715 2.716.368
2.716.368 Pupuk:
. Za 153.244
221.100 221.100
SP-36 92.175 132.990
132.990 KCl 90.969
131.250 131.250
Furadan 103.965 150.000
150.000 Tenaga Kerja:
Pengolahan Tanah 904.496
1.305.000 1.305.000
Penanaman 384.671 555.000
555.000 Pemeliharaan 904.496
1.305.000 1305000
Panen dan pasca panen 2.053.150
2.962.271 2.962.271
Biaya Transportasi 1.445.529
2.085.600 2.085.600
Total Biaya Variabel 8.015.410 11.564.579 11.564.579
Biaya Tetap
Pajak Bumi dan Bangunan 66.137
66.137 66.137
Total Biaya Tetap 66.137
66.137 66.137
6.5.1.3. Kelayakan Finansial Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko
Analisis kelayakan budidaya akarwangi pada kondisi tanpa risiko dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net BC, dan PP.
Bila NPV ≥ 0, IRR ≥ discount rate 8 persen, dan Net BC ≥ 1 menandakan
bahwa kegiatan budidaya akarwangi tanpa risiko layak untuk dijalankan. NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.394.179. Artinya, kegiatan budidaya
akarwangi selama umur proyek yaitu tiga tahun dengan menggunakan tingkat discount factor
8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp. 1.394.179. Jadi, NPV tersebut menunjukkan manfaat bersih yang diterima petani dari kegiatan
budidaya selama umur proyek tiga tahun dengan tingkat discount rate 8 persen. Selain itu, IRR pada kondisi normal mencapai 13 atau IRR
≥ DF 8 persen. Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar 13
persen. Net BC pada kondisi normal mencapai 1,08 atau Net BC ≥ 1. Hal ini
berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur proyek tiga tahun mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp.1,08. Sedangkan
payback period
merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan budidaya akarwangi maka kegiatan
tersebut akan semakin baik. Dengan kata lain, payback periode merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya-biaya yang telah
dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode pada kondisi normal yaitu 2 tahun 5 bulan.
6.5.2. Analisis Finansial Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Risiko 6.5.2.1. Arus PenerimaanInflow
Pada kegiatan budidaya akarwangi dengan memperhatikan risiko, penerimaan petani berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Penerimaan petani terbesar setiap tahunnya terjadi ketika adanya kondisi produksi dan harga output tertinggi sedangkan penerimaan petani terendah ketika berada
pada kondisi produksi dan harga output terendah. Pada tahun keempat terjadi penambahan penerimaan selain dari penjualan akarwangi yang berasal dari nilai
sisa komponen investasi yang masih bernilai. Penerimaan tahun pertama hingga tahun keempat berasal dari penjualan akarwangi. Hal ini dilihat pada Tabel 42.
Tabel 42. Total Penerimaan Petani Akarwangi Pada Berbagai Kondisi Per Hektar
No Kondisi
Total Inflow Rp Tahun ke- 1 2 3
1. Produksi Tertinggi
16.308.166 23.529.312 37.246.026 2. Produksi
Terendah 11.130.254 16.058.656 29.775.370
3. Harga Output Tertinggi 22.195.829
32.023.992 45.740.706
4. Harga Output Terendah 4.020.584
5.800.872 19.517.586
5. Produksi dan Harga Output Tertinggi 25.445.430
36.712.494 50.429.208
6. Produksi dan Harga Output Terendah 3.145.774
4.538.702 18.255.416
6.5.2.2. Arus Biaya Outflowv A. Biaya Investasi
Biaya investasi dan reinvestasi yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya investasi dan reinvestasi pada
kondisi tanpa risiko normal. Total investasi pada tahun pertama yaitu sebesar Rp.25.364.610 sedangkan biaya reinvestasi pada tahun ketiga mencapai
Rp.4.222.321.
B. Biaya Operasional
Biaya operasional terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Pada kegiatan budidaya yang memperhatikan risiko, komponen biaya variabel merupakan input
yang digunakan dalam kegiatan budidaya akarwangi. Pada kondisi risiko tidak terdapat perubahan input sehingga jumlah input yang digunakan dalam kegiatan
budidaya akarwangi pada kondisi yang memperhatikan risiko sama dengan jumlah input pada kondisi normal tanpa risiko. Jadi, biaya variabel yang
digunakan untuk kegiatan budidaya akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya variabel pada kondisi normal tanpa risiko.
6.5.3. Kelayakan Investasi Budidaya Akarwangi Pada Kondisi Risiko
Analisis kelayakan budidaya akarwangi pada setiap kondisi dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net BC, dan PP. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 43. NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate 8 persen, dan
Net BC ≥ 1 menandakan bahwa kegiatan budidaya layak untuk dijalankan. NPV
terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yang mencapai Rp. 38.512.313. Artinya, kegiatan budidaya akarwangi selama umur proyek yaitu
tiga tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp. 38.512.313. Jadi, NPV tersebut menunjukkan manfaat
bersih yang diterima petani dari kegiatan budidaya selama umur proyek tiga tahun dengan tingkat discount rate 8 persen. NPV terendah berada pada kondisi
produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp. 35.259.949. Artinya, kegiatan budidaya akarwangi selama umur proyek yaitu tiga tahun dengan
menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan kerugian sebesar Rp. 35.259.949
Selain itu, IRR tertinggi terdapat pada kondisi produksi dan harga output tertinggi sebesar 202 persen atau IRR
≥ DF 8 persen. Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar 202 persen. IRR terendah
berada pada kondisi produksi terendah yaitu sebesar -19 persen. Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar -19 persen.
Net BC tertinggi berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu sebesar 6,20 atau Net BC
≥ 1. hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur proyek empat tahun mampu menghasilkan penerimaan
sebesar Rp.6,20. Net BC terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0,05 atau IRR 1. Hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang
telah dikeluarkan selama umur proyek empat tahun petani mendapatkan kerugian sebesar Rp. 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan budidaya
tidak layak untuk dijalankan. Payback Period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan.
Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan budidaya akarwangi maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Dengan kata lain, payback periode
merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya- biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode
tercepat ketika berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu 1 tahun 2 bulan.
Tabel 43. Kriteria Kelayakan Investasi Budidaya Setiap Kondisi Pada Tingkat DF 8
Kondisi NPV Rp
IRR Net
BC PP Tahun
LayakTidak
1. Produksi Tertinggi 8.284.195
39 1,52
2 tahun 10 bulan Layak
2. Produksi Terendah -8.845.497
-19 0,57
3 tahun 3 bulan Tidak Layak
3. Harga Output Tertinggi 27.761.905
154 3,67
1 tahun6 bulan Layak
4. Harga Output Terendah -32.365.881
0,08 Tidak Layak
5. Produksi dan Harga Output Tertinggi
38.512.313 202
6,20 1 tahun 2 bulan Layak
6. Produksi dan Harga Output Terendah
-35.259.949 0,05
Tidak Layak
6.5.4. Penilaian dan Perbandingan Risiko Budidaya Akarwangi
Penilaian risiko dalam investasi diukur dengan tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 44. NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. NPV yang diharapkan dari ketiga kondisi yang paling
tinggi adalah NPV yang diharapkan pada kondisi produksi dan harga output yaitu sebesar Rp. 2.220.063 selama umur proyek. Semakin besar NPV yang diharapkan,
maka tingkat risiko yang dihadapi semakin tinggi. Standar deviasi yang paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan
harga output yaitu sebesar 22.427.661 selama umur proyek. Semakin besar nilai
standar deviasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi dalam kegiatan budidaya. Koefisien variasi diukur dari rasio standar deviasi dari NPV dengan
NPV yang diharapkan. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko harga output yaitu 31,02. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin
tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Jadi, dari ketiga jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan
pada risiko produksi.
Tabel 44. Perbandingan Risiko Dalam Investasi Budidaya Akarwangi
Jenis Risiko NPV yang
diharapkan Rp
Standar Deviasi
Koefisien Variasi
Tingkat Risiko
Produksi 929.040
5.253.570 5,65 Rendah Harga Output
590.913 18.330.302
31,02 Tinggi
Produksi dan Harga Output 2.220.063
22.427.661 10,10
Tinggi
Berdasarkan ketiga jenis risiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan budidaya akarwangi, pendapatan petani terendah diperoleh ketika terjadi risiko
harga output yaitu sebesar Rp.16.414bulan sedangkan pendapatan pada kondisi normal sebesar Rp. 38.727bulan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 45.
Tabel 45. Pendapatan Petani Pada Setiap Kondisi
Kondisi Pendapatan PetaniBulan Rp
Tanpa Risiko 38.727
Risiko a. Produksi
25.807 b. Harga Output
16.414 c. Produksi dan Harga Output
61.668
6.5.5. Analisis Finansial Penyulingan Akarwangi Tanpa Risiko 6.5.5.1. Arus PenerimaanInflow
Setiap komponen yang merupakan pemasukan bagi penyuling akarwangi selama proyek berjalan akan dimasukkan ke dalam arus penerimaan. Penerimaan
pada kegiatan penyulingan akarwangi diperoleh dari penjualan minyak akarwangi dan nilai sisa. Penerimaan dari penjualan minyak akarwangi setiap tahun berbeda
sesuai dengan kondisinya. Setiap hari penyuling melakukan penyulingan yang bahan bakunya berasal
dari petani ataupun lahan sendiri. Dalam satu hari penyuling melakukan dua kali penyulingan. Satu kali penyulingan memerlukan waktu 12 jam. Dalam satu kali
penyulingan dibutuhkan 1500 kg akarwangi dan menghasilkan minyak sebanyak 7,43 kg. Petani menjual minyak akarwangi pada harga normal per kilogram yaitu
Rp. 511.692. Dalam satu bulan, kegiatan penyulingan dilakukan selama 28 hari. Hal ini berarti, setiap bulannya terdapat dua hari untuk membersihkan alat yaitu
pada minggu kedua dan minggu keempat. Pada tahun pertama, kapasitas produksi belum optimal. Hal ini
dikarenakan pada tahun pertama penyuling baru pertama melakukan kegiatan penyulingan. Kapasitas produksi pada tahun pertama hanya mencapai 91,5 persen.
Pada tahun kedua hingga tahun ketujuh, kapasitas produksi mencapai 100 persen. Hal ini dikarenakan penyuling telah mendapatkan pengalaman dari tahu
sebelumnya. Pada tahun kedelapan, kapasitas produksi tidak optimal. Hal ini dikarenakan kemampuian mesin yang telah menurun sehingga kapasitas produksi
menjadi 91,5 persen. Berdasarkan hal tersebut, penerimaan penyuling pada kondisi normal tanpa risiko dapat dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46. Penerimaan Penyuling Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko Dalam Satu Penyulingan
No Keterangan Tahun
1 2 8
1. Penjualan Minyak Akarwangi Rp
2.337.696.191 2.554.859.225
2.337.696.191 2.
Nilai Sisa Rp 191.490.615
Total inflow 2.337.696.191 2.554.859.225 2.529.186.806
Keterangan: Penjualan minyak akarwangi tahun 3-7 sama dengan tahun ke-2. Total inflow tahun 3-7 sama dengan Tahun ke-2
Pada tahun kedelapan, penerimaan penyuling bertambah. Hal ini dikarenakan adanya nilai sisa dari komponen investasi yang masih bernilai. Nilai
sisa penyulingan yang dihitung di akhir tahun proyek yaitu sebesar Rp. 191.490.615 Tabel 47 menunjukkan nilai sisa pada kegiatan penyulingan
akarwangi
Tabel 47. Nilai Sisa Investasi Penyulingan Akarwangi Pada Satu Penyulingan
Jenis Investasi Jumlah
unit Harga
RpUnit Umur Teknis
tahun Nilai Sisa Rp
a. Tanah Milik 0,15 0.15
172.847.500 37.887.308
b. Bangunan Pabrik
1 44.386.905 10
6.800.000 Gudang
1 16.684.524
10 3.430.769
c. Alat Transportasi Mobil
1 56.428.600 15
31.000.000 Motor
1 14.823.450
10 3.220.000
e. Baut 31
56.310 5
5.769 f. Ketel Stainless
1 100.773.810
8 33.230.769
h. Bak Pendingin 1
4.232.143 10
450.000 j. Blander
1 262.976.190
5 74.538.462
k.Tungku 1 3.211.310
10 350.000
l. Tangki 1
2.057.738 5
209.231 m. Pipa
3 455.655
3 47.308
n. Timbangan 3
219.821 5
21.000 o. Drum 50 Kg
6 50.000
2 300.000
Total Nilai Sisa 191.490.615
6.5.5.2. Arus BiayaOutflow A. Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya yang perlu dikeluarkan penyuling untuk memulai kegiatan penyulingan akarwangi. Biaya investasi dihitung pada tahun
pertama. Total biaya investasi pada tahun pertama yaitu Rp. 506.060.535. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 48. Ketel merupakan komponen investasi yang paling penting sehingga penentuan umur proyek penyulingan berdasarkan umur teknis
ketel.
Tabel 48. Biaya Investasi yang Diperlukan Dalam Satu Penyulingan Akarwangi Pada Tahun Pertama
Jenis Investasi Umur
Teknis tahun
Jumlah unit
Harga RpUnit Total Rp
a. Tanah Milik 0,15 Ha -
0.15 172.847.500
10.281.600 b. Bangunan
Pabrik 10
1 34.000.000
34.000.000 Gudang
10 1
17.153.846 17.153.846
c. Alat Transportasi Mobil
15 1
56.428.600 56.428.600
Motor 10
1 14.823.450
14.823.450 e. Baut
5 31
56.310 1.864.038.
f. Ketel Stainless 8
1 110.769.230
110.769.230 h. Bak Pendingin
10 1
4.500.000 4.500.000
j. Blander 5
1 248.461.538
248.461.538 k.Tungku
10 1
3.500.000 3.500.000
l. Tangki 5
1 2.092.307
2.092.307 m. Pipa
3 3
455.655 1.310.423
n. Timbangan 5
3 219.821
598.500 o. Drum 50 Kg
2 6
46.166 277.000
Total Investasi 506.060.535
Pada tahun ketiga hingga tahun ketujuh terdapat biaya reinvestasi yang diperlukan dalam usaha penyulingan akarwangi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
49. Biaya reinvestasi dikeluarkan sesuai dengan umur teknis dari masing-masing komponen investasi. Biaya reinvestasi paling besar dikeluarkan pada tahun
keenam yaitu Rp 253.016.385.
Tabel 49. Biaya Reinvestasi yang Diperlukan Dalam Budidaya Akarwangi per Hektar Rp
Jenis Investasi Umur
Teknis tahun
Tahun 3
4 5
6 7
Baut 5
1.864.038 Blander
5 248.461.538
Tangki 5
2.092.308 Pipa
3 1310.423
1.310.423 Timbangan
5 598.500
Drum 50 Kg 2
277.000 277.000
277.000
Total Investasi 277.000
1.310.423 277.000
253.016.385 1.587.423
B. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya keseluruhan yang berhubungan dengan kegiatan operasional dari penyulingan akarwangi. Biaya operasional
terbagi menjadi biaya variabel dan biaya tetap.
1. Biaya Variabel
Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan penyulingan yaitu biaya tenaga kerja, biaya transportasi, biaya bahan bakar, dan biaya bahan baku. Pada
tahun pertama kapasitas produksi yang dihasilkan belum optimal. Hal ini dikarenakan penggunaan input pada kegiatan penyulingan pada tahun pertama
yang belum optimal yaitu sebesar 91,5 persen. Pada tahun kedua hingga tahun ketujuh penggunaan input telah optimal sehingga kapasitas produksi yang
dihasilkan telah optimal yaitu mencapai 100 persen. Hal ini karena adanya pengalaman penyuling pada tahun pertama dalam melakukan kegiatan
penyulingan akarwangi. Namun, pada tahun kedelapan kapasitas produksi menjadi 91,5 persen. Hal ini karena usia ketel yang telah usang.
Biaya variabel merupakan biaya yang diperlukan dalam penggunaan input ketika melakukan kegiatan penyulingan akarwangi. Penggunaan input pada
kondisi normal maupun kondisi penuh risiko tidak berbeda. Hal ini karena pada kondisi penuh risiko penggunaan input tetap namun hasil input tersebut pada
kondisi normal dan penuh risiko akan berbeda. Biaya variabel yang dikeluarkan pada kegiatan penyulingan akarwangi dapat dilihat pada Tabel 52.
a. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang digunakan dalam satu kali penyulingan adalah dua orang. Upahorangsuling adalah Rp. 67.700. Dalam satu hari, ketel dioperasikan
dua kali dengan waktu satu kali penyulingan 12 jam. Penyuling bekerja dalam
satu kali penyulingan yaitu 12 jam. Dalam satu bulan, penyuling bekerja selama 28 hari. Artinya, dalam satu bulan penyuling hanya libur sebanyak dua hari.
Jumlah tenaga kerja tahun pertama hanya 91,5 persen dari total pekerja. Tahun kedua hingga tahun ketujuh tenaga kerja yang dipekerjakan mencapai 100 persen
yaitu 1344. Sedangkan pada tahun terakhir, tenaga kerja yang dipekerjakan sebesar 91,5 persen dari total tenaga kerja.
b. Biaya Transportasi Setelah akarwangi disuling, minyak hasil sulingan dijual ke tengkulak dan
penyuling. Sebagian besar penyuling menjual minyaknya ke tengkulak yang berada Kota Garut. Biaya transportasi yang diperlukan dalam satu kali menjual
minyak hasil sulingan yaitu Rp. 88.100. Frekuensi menjual minyak akarwangi pada tahun pertama dan kedelapan yaitu 22 kali. Pada tahun kedua, frekuensi
penjualan akarwangi yaitu 24 kali. Artinya, dalam sebulan penyuling menjual minyak akarwangi ke Garut sebanyak dua kali. Minyak akarwangi yang dijual
sebanyak 210 kg dengan harga minyak akarwangi Rp. 511.692kg
c. Biaya Bahan Bakar
Pada tahun pertama kapasitas produksi baru mencapai 91,5 persen. Hal ini dikarenakan akarwangi yang tersedia baru mencapai 91,5 persen sehingga
frekuensi penyulingan disesuaikan dengan ketersediaan bahan. Biaya bahan bakar per tahun diperoleh dari perkalian antara kebutuhan bahan bakar dalam satu kali
penyulingan, frekuensi penyulingan per hari, jumlah hari beroperasi dalam sebulan, dan jumlah bulan dalam satu tahun. Kebutuhan bakar bakar dalam satu
kali penyulingan yaitu 244 liter dengan frekuensi penyulingan per hari sebanyak dua kali. Dalam satu bulan, jumlah hari beroperasi sebanyak 28 hari. Bahan bakar
yang digunakan adalah minyak tanah dengan harga minyak tanah per liter yaitu Rp. 2.500.
d. Biaya Bahan Baku
Pada tahun pertama dalam kondisi normal, kapasitas produksi belum optimal yaitu 91,5 persen. Namun, pada tahun kedua kapasitas produksinya telah
mencapai optimal yaitu 100 persen. Tahun kedelapan kapasitas produksi mencapai 91,5 persen. Hal ini dikarenakan umur mesin yang telah usang. Biaya
bahan baku per tahun diperoleh dari perkalian antara jumlah biaya bahan baku
dalam satu kali penyulingan, frekuensi penyulingan dalam satu hari, jumlah hari beroperasi dalam satu bulan, dan jumlah bulan dalam satu tahun. Dalam hal ini,
kebutuhan bahan baku untuk satu kali penyulingan yaitu 1.484 kg. Frekuensi penyulingan per hari adalah dua kali. Sedangkan jumlah hari beroperasi dalam
satu bulan adalah 28 hari. Harga bahan baku penyulingan yaitu akarwangi Rp.1.808kg.
2. Biaya Tetap
Biaya tetap yang dikeluarkan pada penyulingan akarwangi yaitu biaya pajak bumi dan bangunan PBB per hektar per tahun sebesar Rp.90.385.
Sedangkan lahan yang digunakan untuk penyulingan akarwangi hanya seluas 0,15 Ha. Sebagian besar responden penyuling memiliki penyulingan sendiri
sehingga sebagian besar penyuling tidak mengeluarkan biaya sewa lahan. Selain itu, biaya tetap yang dikeluarkan setiap tahunnya yaitu biaya listrik sebesar
Rp.692.308 per tahun. Biaya Tetap dan Biaya Variabel dapat dilihat pada Tabel 50.
Tabel 50. Biaya Variabel dan Biaya Tetap yang Diperlukan Pada Kegiatan Penyulingan Akarwangi Dalam Satu Penyulingan
Biaya Variabel Tahun
1 2 8
Tenaga Kerjasuling 83.245.292
83.973.120 83.245.292
Biaya Transportasitahun 942.450
950.690 942.450
Biaya Bahan Bakarsuling 375.906.888
379.193.505 375.906.888
Biaya Bahan BakuSuling 1.650.456.567
1.803.777.669 1.650.456.567
Total Biaya Variabel 2.110.551.198
2.267.894.985 2.110.551.198
Biaya tetap
Pajak Bumi dan Bangunan 90.385
90.385 90.385
Biaya Listriktahun 692.308
692.308 692.308
Total Biaya Tetap 782.692
782.692 782.692
Keterangan: Biaya variabel tahun ke-3 sd ke-7 sama dengan tahun ke-2 Total Biaya Variabel tahun 3-7 sama dengan Tahun ke-2
6.5.5.3. Kelayakan Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Tanpa Risiko
Analisis kelayakan penyulingan akarwangi pada kondisi tanpa risiko dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net BC, dan PP.
Bila NPV ≥ 0, IRR ≥ discount rate 8 persen, dan Net BC ≥ 1 menandakan
bahwa kegiatan penyulingan akarwangi tanpa risiko layak untuk dijalankan. NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.030.118.304. Artinya, kegiatan penyulingan
akarwangi selama umur proyek yaitu delapan tahun dengan menggunakan tingkat discount factor
8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp.1.030.118.304. Jadi, NPV tersebut menunjukkan manfaat bersih yang diterima penyuling dari kegiatan
budidaya selama umur proyek delapan tahun dengan tingkat discount rate 8 persen.
Selain itu, dalam menentukan layak tidaknya suatu kegiatan usaha dapat dilihar dari IRR, Net BC, dan payback period. IRR pada kondisi normal
mencapai 99 atau IRR ≥ DF 8 persen. Artinya, tingkat pengembalian internal
kegiatan ini sebesar 99 persen. Net BC pada kondisi normal mencapai 4,98. Artinya bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur proyek delapan
tahun mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp.4,98. Sedangkan payback
period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek
periode pengembalian investasi kegiatan penyulingan akarwangi maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Dengan kata lain, payback periode merupakan jangka
waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode pada kondisi normal
yaitu 3 tahun 6 bulan. 6.5.6. Analisis Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Risiko
6.5.6.1. Arus PenerimaanInflow
Pada kegiatan penyulingan akarwangi dengan memperhatikan risiko, penerimaan penyuling berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Penerimaan penyuling terbesar setiap tahunnya terjadi pada kondisi produksi dan harga output tertinggi sedangkan penerimaan petani terendah ketika berada pada
kondisi produksi dan harga output terendah. Pada tahun kedelapan terjadi penambahan penerimaan selain dari penjualan akarwangi yang berasal dari nilai
sisa komponen investasi yang masih bernilai. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 51.
Tabel 51. Total Penerimaan Penyuling Akarwangi Pada Berbagai Kondisi Dalam Satu Penyulingan
No Kondisi Total Inflow RpTahun ke-
1 2 8
1 Produksi Tertinggi
3.056.125.766 3.340.028.160 3.247.616.382 2 Produksi
Terendah 1.105.341.215 1.208.023.186 1.296.831.830
3 Harga Output Tertinggi
2.658.922.290 2.905.926.000
2.850.412.905 4
Harga Output Terendah 2.133.182.083
2.331.346.539 2.324.672.699
5 Produksi dan Harga Output
Tertinggi 3.056.189.670 3.340.098.000
3.247.680.285 6
Produksi dan Harga Output Terendah 1.105.255.768
1.207.929.801 1.296.746.383
6.5.6.2. Arus Biaya Outflow A. Biaya Investasi
Biaya investasi dan reinvestasi yang dikeluarkan untuk kegiatan penyulingan akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya investasi dan
reinvestasi pada kondisi tanpa risiko normal. Total investasi pada tahun pertama yaitu sebesar Rp. 506.060.535 sedangkan biaya reinvestasi terbesar ketika tahun
keenam yaitu sebesar Rp.253.016.385.
B. Biaya Operasional
Biaya operasional terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Pada kegiatan penyulingan yang memperhatikan risiko, komponen biaya variabel merupakan
input yang digunakan dalam kegiatan penyulingan akarwangi. Pada kondisi risiko tidak terdapat perubahan input sehingga jumlah input yang digunakan dalam
kegiatan penyulingan akarwangi pada kondisi yang memperhatikan risiko sama dengan jumlah input pada kondisi normal tanpa risiko. Jadi, biaya variabel yang
digunakan untuk kegiatan penyulingan akarwangi pada kondisi risiko sama dengan biaya variabel pada kondisi normal tanpa risiko.
6.5.7. Kelayakan Finansial Penyulingan Akarwangi Pada Kondisi Risiko
Analisis kelayakan penyulingan akarwangi dari tiap kondisi dapat dilihat dari empat kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net BC, dan PP. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 52. NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate 8 , dan Net BC
≥ 1 menandakan bahwa kegiatan penyulingan layak untuk dijalankan. NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yang mencapai
Rp.5.444.740.425. Artinya, kegiatan penyulingan akarwangi selama umur proyek
yaitu delapan tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan keuntungan sebesar Rp. 5.444.740.425 Jadi, NPV tersebut
menunjukkan manfaat bersih yang diterima penyuling dari kegiatan penyulingan selama umur proyek delapan tahun dengan tingkat discount rate 8 persen. NPV
terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp.6.542.335.597. Artinya, kegiatan penyulingan akarwangi selama umur proyek
yaitu delapan tahun dengan menggunakan tingkat discount factor 8 persen memberikan kerugian sebesar Rp.6.542.335.597. IRR terendah berada pada
kondisi harga output terendah yaitu sebesar -7,3 persen. Artinya, tingkat pengembalian internal kegiatan budidaya sebesar -7,3 persen.
Net BC tertinggi berada pada kondisi normal yaitu sebesar 4,9 atau Net BC ≥ 1. Hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan selama umur
proyek delapan tahun mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp.4,9. Net BC terendah berada pada kondisi produksi terendah dan kondisi produksi dan
harga output terendah yaitu 0 atau IRR 1. Hal ini berarti bahwa setiap Rp.1 biaya yang telah dikeluarkan selama umur proyek delapan tahun penyuling tidak
mendapatkan keuntungan. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan penyulingan tidak layak untuk dijalankan.
Payback periode merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan. Semakin pendek periode pengembalian investasi kegiatan budidaya akarwangi
maka kegiatan tersebut akan semakin baik. Payback period merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua biaya-biaya yang telah
dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi harga output tertinggi yaitu satu tahun sembilan bulan.
Tabel 52. Kriteria Kelayakan Investasi Penyulingan Setiap Kondisi Pada Tingkat DF 8
Kondisi NPV Rp
IRR Net
BC PP Tahun
Layak Tidak
1. ProduksiTertinggi 5.444.347.783
- -
- Layak
2. Produksi Terendah -6.541.810.587
- -
Tidak Layak
3. Harga Output Tertinggi 3.003.820.064
- - 1 tahun 9 bulan
Layak
4. Harga Output Terendah -2.264.727.822
-7,3 0,6 7 tahun 5 bulan
Tidak Layak
5. Produksi dan Harga Output Tertinggi
5.444.740.425
- - -
Layak
6. Produksi dan Harga Output Terendah
-6.542.335.597
- 0 -
Tidak Layak
6.5.8. Penilaian dan Perbandingan Risiko Penyulingan Akarwangi
Penilaian risiko dalam investasi diukur dengan tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 53. NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. NPV yang diharapkan dari ketiga jenis risiko yang
paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada risiko harga output yaitu sebesar Rp. 1.033.605.013 selama umur proyek. Semakin besar NPV yang diharapkan,
maka tingkat risiko yang dihadapi semakin tinggi. Standar deviasi yang paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan
harga output yaitu sebesar 3.382.306.905 selama umur proyek. Semakin besar nilai standar deviasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi dalam
kegiatan budidaya. Koefisien variasi diukur dari rasio standar deviasi dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi
risiko produksi dan harga output yaitu 14,81. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Jadi, dari ketiga jenis risiko
yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko harga outpur.
Tabel 53. Perbandingan Risiko Dalam Investasi Pada Satu Penyulingan Akarwangi
Jenis Risiko NPV yang
diharapkan Rp
Standar Deviasi Koefisien
Variasi Tingkat
Risiko
Produksi 228.455.636 3.376.388.603
14,78 Tinggi
Harga Output 1.033.605.013
820.365.772 0,79
Rendah Produksi dan Harga
Output 228.409.575
3.382.306.905 14,81 Tinggi
Dari ketiga jenis risiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan penyulingan akarwangi, pendapatan petani terendah diperoleh ketika terjadi risiko produksi
dan harga output yaitu sebesar Rp.2.379.266bulan sedangkan pendapatan pada kondisi normal sebesar Rp. 10.750.399bulan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 54.
Tabel 54. Pendapatan Penyuling Pada Setiap Kondisi
Kondisi Pendapatan PenyulingBulan
Rp
Tanpa Risiko 10.730.399
Risiko a. Produksi
2.379.746 b. Harga Output
10.766.718 c. Produksi dan Harga Output
2.379.266
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek meliputi aspek teknis, aspek pasar,
aspek sosial dan lingkungan yang dilakukan menunjukkan bahwa pengembangan usaha akarwangi melalui pembudidayaan dan penyulingan
akarwangi di Kabupaten Garut layak untuk diusahakan. Hal ini mendorong pada pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667
Ha di Kabupaten Garut. Analisis aspek finansial pada kondisi normal baik pada kegiatan budidaya maupun penyulingan layak untuk dijalankan. Hal ini
sesuai dengan kriteria kelayakan investasi NPV ≥ 0, IRR ≥ Discount Rate 8
persen, dan Net BC ≥ 1 menandakan bahwa kegiatan budidaya dan
penyulingan akarwangi tanpa risiko layak untuk dijalankan. Pada kegiatan budidaya dalam kondisi normal NPV mencapai Rp.1.394.179, IRR 13 , Net
BC 1,08 dan 2 tahun 5 bulan. Sedangkan kegiatan penyulingan dalam kondisi normal NPV Rp.1.030.118.304, IRR 99 , Net BC 4,98 dan Payback
periode yaitu 3 tahun 6 bulan.
2. Dampak adanya risiko volume produksi, risiko harga output, dan risiko
volume produksi dan harga output pada kegiatan budidaya dan penyulingan terhadap kelayakan usaha akarwangi yaitu terdapat beberapa kondisi yang
layak dan tidak untuk dijalankan. Kondisi yang layak dijalankan pada kegiatan budidaya dan penyulingan yaitu pada kondisi produksi tertinggi, kondisi harga
output tertinggi, dan kondisi voleme produksi dan harga output tertinggi. Sedangkan kondisi yang tidak layak dijalankan pada kegiatan budidaya dan
penyulingan yaitu pada kondisi produksi terendah, kondisi harga output
terendah, dan kondisi voleme produksi dan harga output terendah. Kegiatan budidaya akarwangi yang memiliki tingkat risiko terbesar yaitu ketika
mengalami risiko harga output sedangkan kegiatan penyulingan yang memiliki tingkat risiko terbesar yaitu ketika mengalami risiko produksi dan
harga output secara bersama.
7.2. Saran
1. Berdasarkan hasil analisis kedua usaha yaitu budidaya dan penyulingan
akarwangi pada kondisi normal, usaha tersebut layak untuk diusahakan meskipun pendapatan yang diperoleh petani sangat rendah. Oleh karena itu,
perlu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui perencanaan produksi dengan pengaturan waktu dan pola tanam. Penanaman akarwangi
dilakukan secara berkala pada lahan yang berbeda sehingga petani tidak mengandalkan pendapatan dari satu musim panen akarwangi. Hal ini
bertujuan agar pendapatan petani secara rutin dapat diterima sesuai dengan waktu tanam dan panen yang berbeda. Selain itu, penanaman akarwangi
hendaknya dilakukan secara tumpangsari agar petani memperoleh pendapatan secara kontinyu.
2. Dalam menghadapi risiko harga output perlu adanya upaya untuk
meningkatkan daya tawar bargaining position bagi petani dan penyuling. Hal ini dimaksudkan agar petani dan penyulingan dapat menentukan harga
jual akarwangi dan minyak akarwangi sehingga pendapatan yang mereka peroleh sesuai dengan usaha yang dilakukannya. Upaya untuk meningkatkan
bargaining position dapat dilakukan dengan mengaktifkan kembali kelompok
tani.
3. Dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut perlu
upaya dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut agar pengembangan usaha tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana strategis Pemerintah Daerah
Kabupaten Garut. Pemerintah Daerah hendaknya memberikan penyuluhan secara intensif kepada petani dan penyuling akarwangi baik dari segi
budidaya, penyulingan, hingga pemasaran akarwangi sehingga petani dan penyuling dapat memperoleh informasi baru yang menyangkut usaha
akarwangi. 4.
Pengembangan usaha akarwangi tidak terlepas dari peranan dan upaya stakeholders.
untuk meningkatkan daya saing akarwangi Kabupaten Garut di Pasar Internasional. Salah satu peran dan upaya penting dari stakeholders
yaitu dengan membuka industri pengolahan akarwangi yang menggunakan mesin modern. Upaya ini dilakukan oleh berbagai pihak yaitu Pemerintah
Daerah yang bekerjasama dengan penyuling dan pengusaha sehingga kualitas akarwangi Kabupaten Garut dapat lebih bersaing dengan produsen utama
lainnya.
5. Bagi investor bila menanamkan modal pada kegiatan budidaya ketika
menghadapi risiko harga output, akan memperoleh pendapatan per bulan sebesar Rp.16.414 meskipun tingkat risiko yang dihadapi paling besar bila
dibandingkan risiko yang lain. Selain itu, bagi investor bila menanamkan modal pada kegiatan penyulingan ketika menghadapi produksi dan risiko
harga output, akan memperoleh pendapatan per bulan sebesar Rp.2.379.266 meskipun tingkat risiko yang dihadapi paling besar bila dibandingkan risiko
yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adtitya, Kurnia Jeihan. 2002. Analisis Efisiensi Pemasaran Akar Wangi. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. 2003. Garut Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Kab. Garut. Garut. Bappeda Kabupaten Garut. 2005. Laporan Penyusunan Rencana Induk
Penbangunan Pertanian RIPP Kabupaten Garut. Tidak Dipublikasikan.Bappeda Garut. Garut.
Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut. 2003. Prospek Pengembangan Agribisnis Minyak Akarwangi Golden
Java Vetiver Oil di Kabupaten Garut
Dolly. 2006. Analisis Kelayakan Investasi Pengusahaan Pembibitan Durian Durio zibhetinus di CV.Milad Perkasa Rancamaya Bogor. Skripsi.
Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Fariyanti, Anna. 2008. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gittinger J Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Gurusinga, Jagatnata. 2003. Kajian Agribisnis dan Studi Kelayakan Usaha Udang Windu. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.
Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Husnan Suad dan Suwarsono M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat.
Unit Penerbit dan Percetakan. Yogyakarta. Kadarian, Lien Karlina, dan Clive Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Khairunnisa. 2004. Perencanaan Kelayakan Pengembangan Usaha Budidaya Lebah Madu Apis mellifera di Jawa Timur. Skripsi. Departemen
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Nasrullah, Ade. 2002. Kelayakan Investasi Usaha Pembenihan Gurami di Unit Pembenihan Kopses, Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu-
Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nur Fathorudin, Ahmad. 2006. . Studi Kelayakan Bisnis Terhadap Rencana
Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Akar Wangi Vetiver Oil
di PT. Pulus Wangi Nusantara. Skripsi. Sekolah Tinggi Manajemen Bisnis Telkom Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan
Informatika Yayasan Pendidikan Telkom. Bandung. Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan. Edisi Keempat. Penerbit BPFE,
Yogyakarta. Umar, Husein. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Kedua. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. Wahyuni, Enda. 2007. Analisis Kelayakan Investasi Pengusahaan Terong Belanda
Kasus Di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis.Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Weston, et al. 1995. Manajemen Keuangan. Edisi Kesembilan. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta
www.disbunjabar.go.id www.itccomtrade. go.id
LAMPIRAN
Lampiran 1. Budidaya Normal Pada Lahan 1 Hektar
No Keterangan Tahun
1 2 3 A
INFLOW 1
Penjualan Akarwangi normal 14225473
20524416 20524416
2 Nilai Sisa
13716714
TOTAL INFLOW 14225473
20524416 34241130
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
3532755 b. Saung
970250 c. Alat Transportasi
Motor 16100000
d. Peralatan Cangkul
509284 Kored
170794 170794
Ember 35202
35202 35202
Garpu 30000
Terpal 300000
300000 Pabonggolan
216324 216324
Keranjang 100 Kg 3500000
3500000 3500000
Total Investasi 25364610
3535202 4222321
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Bibit
1882715 2716368
2716368 Pupuk:
Za 153244
221100 221100
SP-36 92175
132990 132990
KCl 90969
131250 131250
Furadan 103965
150000 150000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
904496 1305000
1305000 Penanaman
384671 555000
555000 Pemeliharaan
904496 1305000
1305000 Panen dan pasca panen
2053150 2962271
2962271 Biaya Transportasi
1445529 2085600
2085600
Total Biaya Variabel 8015410
11564579 11564579
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
66137 66137
66137
Total Biaya Tetap 66137
66137 66137
Total Biaya Operasional 8081547
11630716 11630716
TOTAL OUTFLOW 33446157
15165919 15853037
Net Benefit -19220684
5358497 18388093
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
PV tahun -17796930
4594048 14597061
PV benefit + 19191109
PV biaya - -17796930
NPV 1,394,179
IRR 13 Net BC
1.08 Payback Period
2 tahun 5 bulan
Lampiran 2. Budidaya Risiko Produksi Akarwangi Tertinggi Pada Lahan 1 Hektar
No Keterangan Tahun
1 2 3 A
INFLOW 1
Penjualan Akarwangi normal 16308166
23529312 23529312
2 Nilai Sisa
13716714
TOTAL INFLOW 16308166
23529312 37246026
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
3532755 b. Saung
970250 c. Alat Transportasi
Motor 16100000
d. Peralatan Cangkul
509284 Kored
170794 170794
Ember 35202
35202 35202
Garpu 30000
Terpal 300000
300000 Pabonggolan
216324 216324
Keranjang 100 Kg 3500000
3500000 3500000
Total Investasi 25364610
3535202 4222321
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Bibit
1882715 2716368
2716368 Pupuk:
Za 153244
221100 221100
SP-36 92175
132990 132990
KCl 90969
131250 131250
Furadan 103965
150000 150000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
904496 1305000
1305000 Penanaman
384671 555000
555000 Pemeliharaan
904496 1305000
1305000 Panen dan pasca panen
2053150 2962271
2962271 Biaya Transportasi
1445529 2085600
2085600
Total Biaya Variabel 8015410
11564579 11564579
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
66137 66137
66137
Total Biaya Tetap 66137
66137 66137
Total Biaya Operasional 8081547
11630716 11630716
TOTAL OUTFLOW 33446157
15165919 15853037
Net Benefit -17137991
8363393 21392989
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
PV tahun -15868510
7170262 16982444
PV benefit + 24152706
PV biaya - -15868510
NPV 8,284,196
IRR 39 Net BC
1.52 Payback Period
2 tahun 10 bulan
Lampiran 3. Budidaya Risiko Produksi Akarwangi Terendah Pada Lahan 1 Hektar
No Keterangan Tahun
1 2 3 A
INFLOW 1
Penjualan Akarwangi normal 11130254
16058656 16058656
2 Nilai Sisa
13716714
TOTAL INFLOW 11130254
16058656 29775370
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
3532755 b. Saung
970250 c. Alat Transportasi
Motor 16100000
d. Peralatan Cangkul
509284 Kored
170794 170794
Ember 35202
35202 35202
Garpu 30000
Terpal 300000
300000 Pabonggolan
216324 216324
Keranjang 100 Kg 3500000
3500000 3500000
Total Investasi 25364610
3535202 4222321
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Bibit
1882715 2716368
2716368 Pupuk:
Za 153244
221100 221100
SP-36 92175
132990 132990
KCl 90969
131250 131250
Furadan 103965
150000 150000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
904496 1305000
1305000 Penanaman
384671 555000
555000 Pemeliharaan
904496 1305000
1305000 Panen dan pasca panen
2053150 2962271
2962271 Biaya Transportasi
1445529 2085600
2085600
Total Biaya Variabel 8015410
11564579 11564579
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
66137 66137
66137
Total Biaya Tetap 66137
66137 66137
Total Biaya Operasional 8081547
11630716 11630716
TOTAL OUTFLOW 33446157
15165919 15853037
Net Benefit -22315903
892737 13922333
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
PV tahun -20662873
765378 11051997
PV benefit + 11817375
PV biaya - -20662873
NPV 8,845,498
IRR -19 Net BC
0.57 Payback Period
3 tahun 3 bulan
Lampiran 4. Budidaya Kondisi Harga Output Tertinggi Pada Lahan 1 Hektar
No Keterangan Tahun
1 2 3 A
INFLOW 1
Penjualan Akarwangi normal 22195829
32023992 32023992
2 Nilai Sisa
13716714
TOTAL INFLOW 22195829
32023992 45740706
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
3532755 b. Saung
970250 c. Alat Transportasi
Motor 16100000
d. Peralatan Cangkul
509284 Kored
170794 170794
Ember 35202
35202 35202
Garpu 30000
Terpal 300000
300000 Pabonggolan
216324 216324
Keranjang 100 Kg 3500000
3500000 3500000
Total Investasi 25364610
3535202 4222321
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Bibit
1882715 2716368
2716368 Pupuk:
Za 153244
221100 221100
SP-36 92175
132990 132990
KCl 90969
131250 131250
Furadan 103965
150000 150000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
904496 1305000
1305000 Penanaman
384671 555000
555000 Pemeliharaan
904496 1305000
1305000 Panen dan pasca panen
2053150 2962271
2962271 Biaya Transportasi
1445529 2085600
2085600
Total Biaya Variabel 8015410
11564579 11564579
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
66137 66137
66137
Total Biaya Tetap 66137
66137 66137
Total Biaya Operasional 8081547
11630716 11630716
TOTAL OUTFLOW 33446157
15165919 15853037
Net Benefit -11250328
16858073 29887669
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
PV tahun -10416971
14453081 23725795
PV benefit + 38178876
PV biaya - -10416971
NPV 27,761,905
IRR 154 Net BC
3.67 Payback Period
1 tahun 6 bulan
Lampiran 5. Budidaya Kondisi Harga Output Terendah Pada Lahan 1 Hektar
No Keterangan Tahun
1 2 3 A
INFLOW 1
Penjualan Akarwangi normal 4020584
5800872 5800872
2 Nilai Sisa
13716714
TOTAL INFLOW 4020584
5800872 19517586
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
3532755 b. Saung
970250 c. Alat Transportasi
Motor 16100000
d. Peralatan Cangkul
509284 Kored
170794 170794
Ember 35202
35202 35202
Garpu 30000
Terpal 300000
300000 Pabonggolan
216324 216324
Keranjang 100 Kg 3500000
3500000 3500000
Total Investasi 25364610
3535202 4222321
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Bibit
1882715 2716368
2716368 Pupuk:
Za 153244
221100 221100
SP-36 92175
132990 132990
KCl 90969
131250 131250
Furadan 103965
150000 150000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
904496 1305000
1305000 Penanaman
384671 555000
555000 Pemeliharaan
904496 1305000
1305000 Panen dan pasca panen
2053150 2962271
2962271 Biaya Transportasi
1445529 2085600
2085600
Total Biaya Variabel 8015410
11564579 11564579
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
66137 66137
66137
Total Biaya Tetap 66137
66137 66137
Total Biaya Operasional 8081547
11630716 11630716
TOTAL OUTFLOW 33446157
15165919 15853037
Net Benefit -29425573
-9365047 3664549
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
PV tahun -27245901
-8029018 2909037
PV benefit + 2909037
PV biaya - -35274919
NPV 32,365,882
IRR Net BC
0.08
Lampiran 6. Harga Terendah Dengan Produksi Terendah
No Keterangan Tahun
1 2 3 A
INFLOW 1
Penjualan Akarwangi normal 3145774
4538702 4538702
2 Nilai Sisa
13716714
TOTAL INFLOW 3145774
4538702 18255416
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
3532755 b. Saung
970250 c. Alat Transportasi
Motor 16100000
d. Peralatan Cangkul
509284 Kored
170794 170794
Ember 35202
35202 35202
Garpu 30000
Terpal 300000
300000 Pabonggolan
216324 216324
Keranjang 100 Kg 3500000
3500000 3500000
Total Investasi 25364610
3535202 4222321
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Bibit
1882715 2716368
2716368 Pupuk:
Za 153244
221100 221100
SP-36 92175
132990 132990
KCl 90969
131250 131250
Furadan 103965
150000 150000
Tenaga Kerja: Pengolahan Tanah
904496 1305000
1305000 Penanaman
384671 555000
555000 Pemeliharaan
904496 1305000
1305000 Panen dan pasca panen
2053150 2962271
2962271 Biaya Transportasi
1445529 2085600
2085600
Total Biaya Variabel 8015410
11564579 11564579
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
66137 66137
66137
Total Biaya Tetap 66137
66137 66137
Total Biaya Operasional 8081547
11630716 11630716
TOTAL OUTFLOW 33446157
15165919 15853037
Net Benefit -30300383
-10627217 2402379
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
PV tahun -28055910
-9111125 1907086
PV benefit + 1907086
PV biaya - -37167035
NPV 35,259,950
IRR Net BC
0.05 Payback Period
L ampiran 7. Tingkat Risiko Produksi, Harga, dan Gabungan pada Budidaya
Akarwangi
Budidaya a. Risiko Produksi
Probability NPV
Tertinggi 0.2
8284195.975 Normal
0.62 1394178.827
Terendah 0.18
-8845497.682 NPV yang diharapkan
929040.4849 Deviasi Standar
0.2 7355155
7355155.49 1.02787E+13
0.62 465138
465138.3418 1.36303E+11
0.18 -9774538
-9774538.167 1.71975E+13
2.76125E+13 5253570
Koefisien Variasi 5.6548343
b. Risiko Harga Probability
NPV Tertinggi
0.2 27761905.31
Normal 0.62
1394178.827 Terendah
0.18 -32365881.64
NPV yang diharapkan 590913.24
Deviasi Standar 0.2
27170992 27170992.07
1.4027E+14 0.62
803266 803265.5867
4.06498E+11 0.18
-32956795 -32956794.88
1.95507E+14 3.36183E+14
18330302 Koefisien
Variasi 31.02029326
c.Risiko Produksi dan Harga Output Probability
NPV Tertinggi
0.2 38512313.7
Normal 0.62
1394178.827 Terendah
0.18 -35259949.5
NPV yang diharapkan 2220062.704
Deviasi Standar 0.2
36292251 36292251
2.50254E+14 0.62
-825884 -825883.8768
4.29713E+11 0.18
-37480012 -37480012.2
2.52855E+14 5.03539E+14
22427661 Koefisien
Variasi 10.10226466
Lampiran 8. Penyulingan Kondisi Normal
No Keterangan
Tahun 1
2 3
4 5
6 7
8
A INFLOW
1 Penjualan Minyak Akarwangi
2337696191 2554859225
2554859225 2554859225 2554859225 2554859225 2554859225 2337696191 2
Nilai Sisa 191490615
TOTAL INFLOW 2337696191
2554859225 2554859225
2554859225 2554859225
2554859225 2554859225
2529186806
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
10281600 b. Bangunan
Pabrik 34000000
Gudang 17153846.15
c. Alat Transportasi Mobil
56428600 Motor
14823450 e. Baut
1864038.462 1864038
f. Ketel Stainless 110769230.8
h. Bak Pendingin 4500000
i. Blander 248461538.5
248461538 k.Tungku
3500000 l. Tangki
2092307.692 2092308
m. Pipa 1310423.077
1310423 1310423
n. Timbangan 598500
598500 o. Drum 50 Kg
277000 277000
277000 277000
Total Investasi 506060535
277000 1310423
277000 253016385
1587423
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Tenaga Kerjasuling
83245292.31 83973120
83973120 83973120
83973120 83973120
83973120 83245292.31
Biaya Transportasitahun 942450
950690 950690
950690 950690
950690 950690
942450
Biaya Bahan Bakarsuling 375906888
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
375906888 Biaya Bahan BakuSuling
1650456567 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1650456567
Total Biaya Variabel 2110551198
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
90385 90385
90385 90385
90385 90385
90385 14250
Biaya Listriktahun 692308
692308 692308
692308 692308
692308 692308
579286
Total Biaya Tetap 782692
782692 782692
782692 782692
782692 782692
593536 Total Biaya Operasional
2111333890 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2111144733
TOTAL OUTFLOW 2617394424
2268677677 2268954677
2269988100 2268954677
2521694062 2270265100
2111144733 Net Benefit
-279698234 286181548
285904548 284871125
285904548 33165163
284594125 418042073
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
0.74 0.68
0.63 0.58
0.54 PV tahun
-258979846.3 245354550.4
226960247.7 209388780.7
194581831 20899678.38
166057938.2 225855124.3
PV benefit + 1,289,098,150.76
PV biaya - 258,979,846.25
NPV 1,030,118,304.51
IRR 99
Net BC 4.98
Pay Back Period 3 Tahun 6 Bulan
Lampiran 9. Penyulingan Kondisi Produksi Tertinggi No
Keterangan Tahun
1 2
3 4
5 6
7 8
A INFLOW
1 Penjualan Minyak Akarwangi
3056125766 3340028160
3340028160 3340028160
3340028160 3340028160
3340028160 3056125766
2 Nilai Sisa
191490615
TOTAL INFLOW 3056125766
3340028160 3340028160
3340028160 3340028160
3340028160 3340028160
3247616382
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
10281600 b. Bangunan
Pabrik 34000000
Gudang 17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600 Motor
14823450 e. Baut
1864038 1864038
f. Ketel Stainless 110769231
h. Bak Pendingin 4500000
i. Blander 248461538
248461538 k.Tungku
3500000 l. Tangki
2092308 2092308
m. Pipa 1310423
1310423 1310423
n. Timbangan 598500
598500 o. Drum 50 Kg
277000 277000
277000 277000
Total Investasi 506060535
277000 1310423
277000 253016385
1587423
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Tenaga Kerjasuling
83245292.31 83973120
83973120 83973120
83973120 83973120
83973120 83245292.31
Biaya Transportasitahun 942450
950690 950690
950690 950690
950690 950690
942450 Biaya Bahan Bakarsuling
375906888 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 375906888
Biaya Bahan BakuSuling 1650456567
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1650456567
Total Biaya Variabel 2110551198
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
90385 90385
90385 90385
90385 90385
90385 14250
Biaya Listriktahun 692308
692308 692308
692308 692308
692308 692308
579286
Total Biaya Tetap 782692
782692 782692
782692 782692
782692 782692
593536 Total Biaya Operasional
2111333890 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2111144733
TOTAL OUTFLOW 2617394424
2268677677 2268954677
2269988100 2268954677
2521694062 2270265100
2111144733 Net Benefit
438731342 1071350483
1071073483 1070040060
1071073483 818334098
1069763060 1136471649
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
0.74 0.68
0.63 0.58
0.54 PV tahun
406232724 918510359.2
850252663.3 786511387.7
728954615.3 515689293.4
624196470.7 614000269.9
PV benefit + 5,444,347,783.43
PV biaya - NPV
5,444,347,783.43 IRR
Net BC Pay Back Period
Lampiran 10. Penyulingan Kondisi Produksi Terendah No
Keterangan Tahun
1 2
3 4
5 6
7 8
A INFLOW
1 Penjualan Minyak Akarwangi
1105341215 1208023186
1208023186 1208023186
1208023186 1208023186
1208023186 1105341215
2 Nilai Sisa
191490615
TOTAL INFLOW 1105341215
1208023186 1208023186
1208023186 1208023186
1208023186 1208023186
1296831830
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
10281600 b. Bangunan
Pabrik 34000000
Gudang 17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600 Motor
14823450 e. Baut
1864038 1864038
f. Ketel Stainless 110769231
h. Bak Pendingin 4500000
i. Blander 248461538
248461538 k.Tungku
3500000 l. Tangki
2092308 2092308
m. Pipa 1310423
1310423 1310423
n. Timbangan 598500
598500 o. Drum 50 Kg
277000 277000
277000 277000
Total Investasi 506060535
277000 1310423
277000 253016385
1587423
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Tenaga Kerjasuling
83245292.31 83973120
83973120 83973120
83973120 83973120
83973120 83245292.31
Biaya Transportasitahun 942450
950690 950690
950690 950690
950690 950690
942450
Biaya Bahan Bakarsuling 375906888
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
375906888 Biaya Bahan BakuSuling
1650456567 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1650456567
Total Biaya Variabel 2110551198
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
90385 90385
90385 90385
90385 90385
90385 14250
Biaya Listriktahun 692308
692308 692308
692308 692308
692308 692308
579286
Total Biaya Tetap 782692
782692 782692
782692 782692
782692 782692
593536 Total Biaya Operasional
2111333890 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2111144733
TOTAL OUTFLOW 2617394424
2268677677 2268954677
2269988100 2268954677
2521694062 2270265100
2111144733 Net Benefit
-1512053210 -1060654491
-1060931491 -1061964915
-1060931491 -1313670876
-1062241915 -814312903
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
0.74 0.68
0.63 0.58
0.54 PV tahun
-1400049268 -909340270.4
-842201623.4 -780575914.8
-722052146.3 -827835485.8
-619807954.6 -439947923.7
PV benefit + PV biaya -
6,541,810,587.18 NPV
6,541,810,587.18 IRR
Net BC 0.00
Pay Back
Period
Lampiran 11. Penyulingan Kondisi Harga Output Tertinggi No
Keterangan Tahun
1 2
3 4
5 6
7 8
A INFLOW
1 Penjualan Minyak Akarwangi
2658922290 2905926000
2905926000 2905926000
2905926000 2905926000
2905926000 2658922290
2 Nilai Sisa
191490615
TOTAL INFLOW 2658922290
2905926000 2905926000
2905926000 2905926000
2905926000 2905926000
2850412905
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
10281600 b. Bangunan
Pabrik 34000000
Gudang 17153846.15
c. Alat Transportasi Mobil
56428600 Motor
14823450 e. Baut
1864038.462 1864038
f. Ketel Stainless 110769230.8
h. Bak Pendingin 4500000
i. Blander 248461538.5
248461538 k.Tungku
3500000 l. Tangki
2092307.692 2092308
m. Pipa 1310423.077
1310423 1310423
n. Timbangan 598500
598500 o. Drum 50 Kg
277000 277000
277000 277000
Total Investasi 506060535
277000 1310423
277000 253016385
1587423
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Tenaga Kerjasuling
83245292.31 83973120
83973120 83973120
83973120 83973120
83973120 83245292.3
Biaya Transportasitahun 942450
950690 950690
950690 950690
950690 950690
942450 Biaya Bahan Bakarsuling
375906888 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193506 375906888
Biaya Bahan BakuSuling 1650456567
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1650456567
Total Biaya Variabel 2110551198
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
90385 90385
90385 90385
90385 90385
90385 14250
Biaya Listriktahun 692308
692308 692308
692308 692308
692308 692308
579286
Total Biaya Tetap 782692
782692 782692
782692 782692
782692 782692
593536 Total Biaya Operasional
2111333890 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2111144733
TOTAL OUTFLOW 2617394424
2268677677 2268954677
2269988100 2268954677
2521694062 2270265100
2111144733 Net Benefit
41527866 637248323
636971323 635937900
636971323 384231938
635660900 739268172
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
0.74 0.68
0.63 0.58
0.54 PV tahun
38451727.34 546337725.5
505648372.8 467433340.9
433511979.4 242131297.2
370902030 399403591
PV benefit + 3,003,820,063.63
PV biaya - NPV
3,003,820,063.63 IRR
Net BC Pay Back Period
1 tahun 9 bulan
Lampiran 12. Penyulingan Kondisi Harga Output Terendah No
Keterangan Tahun
1 2
3 4
5 6
7 8
A INFLOW
1 Penjualan Minyak Akarwangi
2133182083 2331346539
2331346539 2331346539
2331346539 2331346539
2331346539 2133182083
2 Nilai Sisa
191490615
TOTAL INFLOW 2133182083
2331346539 2331346539
2331346539 2331346539
2331346539 2331346539
2324672699
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
10281600 b. Bangunan
Pabrik 34000000
Gudang 17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600 Motor
14823450 e. Baut
1864038 1864038
f. Ketel Stainless 110769231
h. Bak Pendingin 4500000
i. Blander 248461538
248461538 k.Tungku
3500000 l. Tangki
2092308 2092308
m. Pipa 1310423
1310423 1310423
n. Timbangan 598500
598500 o. Drum 50 Kg
277000 277000
277000 277000
Total Investasi 506060535
277000 1310423
277000 253016385
1587423
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel Tenaga Kerjasuling
83245292.31 83973120
83973120 83973120
83973120 83973120
83973120 83245292.3
Biaya Transportasitahun 942450
950690 950690
950690 950690
950690 950690
942450 Biaya Bahan Bakarsuling
375906888 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193506 375906888
Biaya Bahan BakuSuling 1650456567
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1650456567
Total Biaya Variabel 2110551198
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
90385 90385
90385 90385
90385 90385
90385 14250
Biaya Listriktahun 692308
692308 692308
692308 692308
692308 692308
579286
Total Biaya Tetap 782692
782692 782692
782692 782692
782692 782692
593536 Total Biaya Operasional
2111333890 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2111144733
TOTAL OUTFLOW 2617394424
2268677677 2268954677
2269988100 2268954677
2521694062 2270265100
2111144733 Net Benefit
-484212341 62668862
62391862 61358439
62391862 -190347523
61081439 213527965
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
0.74 0.68
0.63 0.58
0.54 PV tahun
-448344760.5 53728448.19
49528671.61 45100284.31
42462852.89 -119951227.3
35640432.9 115362516
PV benefit + 341,823,205.59
PV biaya - 568,295,987.78
NPV 226,472,782.19
IRR -7
Net BC 0.60
Pay Back Period 7 Tahun 5 Bulan
Lampiran 13. Penyulingan Kondisi Gabungan Tinggi
No Keterangan
Tahun 1
2 3
4 5
6 7
8
A INFLOW
1 Penjualan Minyak Akarwangi
3056189670 3340098000
3340098000 3340098000
3340098000 3340098000
3340098000 3056189670
2 Nilai Sisa
191490615
TOTAL INFLOW 3056189670
3340098000 3340098000
3340098000 3340098000
3340098000 3340098000
3247680285
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
10281600 b. Bangunan
Pabrik 34000000
Gudang 17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600 Motor
14823450 e. Baut
1864038 1864038
f. Ketel Stainless 110769231
h. Bak Pendingin 4500000
i. Blander 248461538
248461538 k.Tungku
3500000 l. Tangki
2092308 2092308
m. Pipa 1310423
1310423 1310423
n. Timbangan 598500
598500 o. Drum 50 Kg
277000 277000
277000 277000
Total Investasi 506060535
277000 1310423
277000 253016385
1587423
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel
Tenaga Kerjasuling 83245292.31
83973120 83973120
83973120 83973120
83973120 83973120
83245292.31 Biaya Transportasitahun
942450 950690
950690 950690
950690 950690
950690 942450
Biaya Bahan Bakarsuling 375906888
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
375906888 Biaya Bahan BakuSuling
1650456567 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1650456567
Total Biaya Variabel 2110551198
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
90385 90385
90385 90385
90385 90385
90385 14250
Biaya Listriktahun 692308
692308 692308
692308 692308
692308 692308
579286
Total Biaya Tetap 782692
782692 782692
782692 782692
782692 782692
593536 Total Biaya Operasional
2111333890 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2111144733
TOTAL OUTFLOW 2617394424
2268677677 2268954677
2269988100 2268954677
2521694062 2270265100
2111144733 Net Benefit
438795246 1071420323
1071143323 1070109900
1071143323 818403938
1069832900 1136535552
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
0.74 0.68
0.63 0.58
0.54 PV tahun
406291894 918570235.7
850308104.5 786562722.2
729002147.2 515733304.5
624237221.6 614034795
PV benefit + 5,444,740,424.78
PV biaya - NPV
5,444,740,424.78 IRR
Net BC Pay Back Period
Lampiran 14. Penyulingan Kondisi Gabungan Rendah No
Keterangan Tahun
1 2
3 4
5 6
7 8
A INFLOW
1 Penjualan Minyak Akarwangi
1105255768 1207929801
1207929801 1207929801
1207929801 1207929801
1207929801 1105255768
2 Nilai Sisa
191490615
TOTAL INFLOW 1105255768
1207929801 1207929801
1207929801 1207929801
1207929801 1207929801
1296746383
B OUTFLOW
1 Investasi
a. Tanah 1 Ha Milik
10281600 b. Bangunan
Pabrik 34000000
Gudang 17153846
c. Alat Transportasi Mobil
56428600 Motor
14823450 e. Baut
1864038 1864038
f. Ketel Stainless 110769231
h. Bak Pendingin 4500000
i. Blander 248461538
248461538 k.Tungku
3500000 l. Tangki
2092308 2092308
m. Pipa 1310423
1310423 1310423
n. Timbangan 598500
598500 o. Drum 50 Kg
277000 277000
277000 277000
Total Investasi 506060535
277000 1310423
277000 253016385
1587423
2 Biaya Operasional
a. Biaya Variabel
Tenaga Kerjasuling 83245292.31
83973120 83973120
83973120 83973120
83973120 83973120
83245292.31 Biaya Transportasitahun
942450 950690
950690 950690
950690 950690
950690 942450
Biaya Bahan Bakarsuling 375906888
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
379193505.6 379193505.6
375906888 Biaya Bahan BakuSuling
1650456567 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1803777669
1803777669 1650456567
Total Biaya Variabel 2110551198
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2267894985 2267894985
2110551198
b. Biaya Tetap Pajak Bumi dan Bangunan
90385 90385
90385 90385
90385 90385
90385 14250
Biaya Listriktahun 692308
692308 692308
692308 692308
692308 692308
579286
Total Biaya Tetap 782692
782692 782692
782692 782692
782692 782692
593536 Total Biaya Operasional
2111333890 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2268677677
2268677677 2111144733
TOTAL OUTFLOW 2617394424
2268677677 2268954677
2269988100 2268954677
2521694062 2270265100
2111144733 Net Benefit
-1512138657 -1060747876
-1061024876 -1062058299
-1061024876 -1313764261
-1062335299 -814398350
Discount factor 8 0.93
0.86 0.79
0.74 0.68
0.63 0.58
0.54 PV tahun
-1400128386 -909420332.7
-842275755.1 -780644555.3
-722115702.3 -827894333.9
-619862443.6 -439994088
PV benefit + PV biaya -
6,542,335,596.56 NPV
6,542,335,596.56 IRR
Net BC 0.00
Pay Back Period
152
Lampiran 15. Tingkat Risiko Produksi, Harga, Dan Gabungan Pada Penyulingan Minyak Akarwangi
Penyulingan a. Risiko Produksi
Probability NPV
Tertinggi 0.11
5444347783 598878256.2
Normal 0.72
1030118305 741685179.2
Terendah 0.17
-6541810587 -1112107800
NPV yang diharapkan 228455635.6
Deviasi Standar
0.11 5215892148
5215892148 2.72055E+18 0.72
801662669 801662669 4.62717E+17
0.17 -6770266223
-6770266223 8.25057E+18 1.14338E+19
3376388603 Koefisien Variasi
14.77918719 b. Risiko Harga
Probability NPV
Tertinggi 0.11
3003820064 330420207
Normal 0.72
1030118305 741685179
Terendah 0.17
-226472782 -38500373
NPV yang diharapkan 1033605013
Deviasi Standar
0.11 1970215050
1970215050 3.88175E+17 0.72 -3486708.764 -3486708.764 8.75314E+12
0.17 -1260077795
-1260077795 2.85803E+17 6.73987E+17
820365772 Koefisien Variasi
0.793693685 c. Risiko produksi dan harga output
Probability NPV
Tertinggi 0.11
5444740425 598921447
Normal 0.72
1030118305 741685179
Terendah 0.17
-6542335597 -1112197051
NPV yang diharapkan 228409575
Deviasi Standar
0.11 5216330850
5216330850 2.72101E+18 0.72
801708730 801708730 4.62771E+17
0.17 -6770745171
-6770745171 8.25174E+18 1.14355E+19
3382306905 Koefisien Variasi
14.80807848
I. PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Salah satunya
sebagai sumber penerimaan negara. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 1 yaitu besarnya kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
menurut lapangan usaha terhadap Produk Domestik Bruto PDB yang berada pada urutan ketiga pada tahun 2002 sampai 2006 setelah industri pengolahan dan
perdagangan, hotel, dan restoran.
Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 Miliar Rupiah
Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan
Perikanan 231.613,5 240.387,3
3,8 247.163,6
2,8 253.726,0
2,6 261.296,8
0,30 Pertambangan dan
Penggalian 169.932,0 167.603,8
-1,4 160.100,5
-4,5 165.085,4
3,1 168.729,9
2,2 Industri Pengolahan
419.387,8 441.754,9
5,3 469.952,4
6,4 491.421,8
4,6 514.192,2
4,6 Listrik, Gas, dan Air
Bersih 9.868,2
10.349,2 4,9
10.897,6 5,3
11.584,1 6,3
12.263,6 5,9
Konstruksi 84.469,8 89.621,8
6,1 96.334,4
7,5 10.483,7
-89,1 112.762,2
97,57 Perdagangan, Hotel,
dan Restoran 243.266,6 256.516,6
5,4 271.142,2
5,7 293.877,2
8,4 311.903,5
6,1 Pengangkutan dan
Komunikasi 76.173,1
85.458,4 12,2
96.896,7 13,4
109.467,1 13,0
124.399,0 13,6
Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
131.523,0 140.374,4 6,7
151.123,3 7,7
161.384,3 6,8
170.495,6 5,6
Jasa-jasa 138.982,4 145.104,9
4,4 152.906,1
5,4 160.626,5
5,0 170.612,1
6,2 Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 Angka diolah
Dalam jangka panjang, pengembangan lapangan usaha pertanian difokuskan pada produk-produk olahan hasil pertanian yang memberikan nilai
tambah bagi perekonomian nasional, seperti pengembangan agroindustri. Salah satu lapangan usaha pertanian yang berorientasi ekspor dan mampu memberikan
nilai tambah adalah tanaman perkebunan. Hal ini terlihat pada kontribusi tanaman perkebunan menurut lapangan usaha terhadap PDB. Tanaman perkebunan
menurut lapangan usaha tahun 2002 sampai 2006 memberikan kontribusi terbesar kedua setelah tanaman bahan makanan setiap tahunnya. Hal ini ditunjukan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan,
dan Perikanan Tahun 2002-2006 Miliar Dolar
Lapangan Usaha Pertanian,
Peternakan, Kehutanan, dan
Perikanan 2002 2003 2004 2005 2006
Tanaman Bahan Makanan
115.925,5 119.164,8
2,8 122.611,7
2,9 125.801,8
2,6 129.211,2
2,7 Tanaman Perkebunan
36.585,6 38.693,9
5,8 38.849,3
0,4 39.810,9
2,5 41.081,5
3,2 Peternakan dan Hasil-
hasilnya 29.393,5
30.647,0 4,3
31.672,5 3,3
32.346,5 2,1
33.309,9 2,9
Kehutanan 17.986,5 17.213,7
-4,3 17.433,8
1,3 17.176,9
-1,4 16.784,1
-2,3 Perikanan 33.082,3
34.667,9 4,8
36.596,3 5,6
38.589,9 5,4
40.909,8 6,0
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 Angka diolah
Persentase nilai PDB tanaman perkebunan berfluktuasi pada kurun waktu 2002 hingga tahun 2006. Hal ini tidak terlepas dari besarnya persentase ekspor
pada tanaman tersebut. Pada Tabel 3, menjelaskan bahwa volume ekspor untuk
tanaman perkebunan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dari 11.974.201.918 kg pada tahun 2003 menjadi 18.579.806.335 kg pada tahun 2006.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Tanaman Perkebunan, Tahun 2003- 2006
Tahun Volume Kg
Ekspor Impor Neraca
2003 11.974.201.918
2.088.748.566 9.885.453.352
2004 15.556.889.495
299 1.353.601.447
-35,1 14.203.288.048
43,6 2005
18.579.806.335 19,4
2.091.654.011 54,5
16.488.152.324 16,0
2006 15.150.170.864
18,5 1.346.496.425
53,6 13.803.674.439
16,2 Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 Angka diolah Angka Sementara
Minyak aromatik merupakan salah satu olahan tanaman perkebunan. Minyak aromatik memiliki aroma yang kuat karena sifatnya yang mudah
menguap pada suhu ruang. Minyak aromatik banyak digunakan untuk bahan dasar wewangian dan minyak gosok. Salah satu olahan tanaman perkebunan penghasil
minyak aromatik adalah minyak atsiri dan minyak jarak. Minyak jarak yang dimanfaatkan dalam berbagai industri seperti: sabun, pelumas, minyak rem dan
hidrolik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung coating, tinta, malam dan semir, nilon, farmasi, dan parfum. Tahun 2003 sampai 2006, ekspor minyak
atsiri menunjukan trend yang meningkat. Sedangkan volume ekspor minyak jarak menunjukan adanya fluktuasi. Volume ekspor minyak atsiri lebih besar setiap
tahunnya dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini menunjukan permintaan minyak atsiri lebih besar dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini dapat dilhat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Ekspor dan Impor Tanaman Perkebunan Penghasil Minyak Aromatik Indonesia, Tahun 2003-2006 Kg
Tahun Minyak Atsiri
Volume Kg Minyak Jarak
Volume Kg Ekspor
Impor Ekspor
Impor
2003 1.967.736
321.333 200.622
2.489.689 2004
3.230.401 64,1
1.596.474 396,8
1.019.176 408,0
4.504.806 80,9
2005 3.767.561
16,6 942.860
-40,9 16.112
-98,4 3.985.890
11,5 2006
2.945.384 -21,8
1.233.938 30,8
32.856 103,9
2.952.866 -25,9
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 Angka diolah
Termasuk Bahan Baku Minyak Aromatik Angka Sementara
Pasar minyak atsiri sangat potensial bagi Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak atsiri dunia yang berada pada urutan ketiga
di dunia. Ekspor minyak atsiri Indonesia tahun 2002 menghasilkan nilai sebesar US 47.940.000 atau 17,6 persen dari total nilai ekspor minyak atsiri di pasar
dunia. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Negara-Negara Pengekspor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002
Negara pengekspor Nilai Ribuan US
Perancis 93.842 34,5
China 50.517 18,6
Indonesia 47.940 17,6
USA 34.011 12,5
Inggris 24.346 8,9
Singapura 21.090 7,9
Total 271.746 100
Sumber: ITCComtrade Statistic, 2003
Berdasarkan nilai impor tahun 2002, permintaan terhadap minyak atsiri dari semua negara pengimpor cukup tinggi. Indonesia hanya menghasilkan nilai
US 47.940.000 padahal total nilai impor minyak atsiri dari negara- negara pengimpor mencapai US 354.496.000. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Negara-Negara Pengimpor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002
Negara pengimpor Nilai Ribuan US
USA 120.220
33,9 Perancis 87.573
24,7 Inggris 48.149
13,6 Swiss
36.237 10,2
Jerman 32.906 9,3
Spanyol 29.411 8,6
Total 354.496 100
Sumber: ITCComtrade Statistic, 2003
Minyak atsiri dihasilkan dari proses pengolahan secara penyulingan dari tanaman atsiri. Berbagai jenis minyak atsiri dikembangkan di Indonesia salah
satunya minyak akarwangi yang dikembangkan di Provinsi Jawa Barat. Tahun 2004, produktivitas tanaman akarwangi paling rendah bila dibandingkan dengan
jenis tanaman penghasil minyak atsiri lain. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis Minyak Atsiri yang Diusahakan di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2004
No Komoditas Luas Areal Ha Produksi Ton
ProduktivitasKgHa
1. Akarwangi 2.250,00
72,00 32,00
2. Cengkeh 32.549,99
12.683,42 606,59
3. Jahe 4.023,01
30.860,43 11.045,25
4. Kayu Manis 74,50
21,78 792,00
5. Kenanga 231,16
25,89 444,23
6. Lada 3.364,53
1.064,35 778,80
7. Nilam 1.442,75
3.283,52 4.082,68
8. Pala 2.658,39
604,06 309,25
9. Sereh Wangi 492,50
776,54 1.584,78
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2005
Perkembangan luas lahan di Jawa Barat tahun 2000 hingga 2006 berfluktuatif. Tahun 2004 merupakan tahun yang memiliki luas lahan terbesar
yaitu 32 kgHa dan 2.250 Ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Akar wangi sebagai salah satu tanaman perkebunan yang bernllai ekonomis tinggi selayaknya
terus dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan penerimaan devisa.
Tabel 8. Perkembangan Luas Lahan Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006
Tahun Luas Lahan
Ha
2002 1.253 -
2003 1.917 52,9
2004 2.250 17,3
2005 2.035 -9,5
2006 2.045 0,49
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006
1.2. Perumusan Masalah
Akarwangi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Kabupaten Garut yang memiliki arti penting bagi perekonomian daerah. Sekitar
89 persen produksi minyak akarwangi Indonesia dihasilkan dari Kabupaten Garut Bappeda Kabupaten Garut, 2005. Hal ini didukung oleh potensi areal seluas
2.400 Ha dan realisasi luas tanam mencapai 1.733 Ha pada tahun 2006 yang tersebar di empat kecamatan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Penyebaran Luas Tanam Akarwangi di Kabupaten Garut
No Kecamatan Potensi
Areal Ha Realisasi Luas
Tanam Ha Produksi
Ton Produktivitas
TonHa
1. Leles 750
683 8.196
12 2. Samarang
1.200 850
10.200 12
3. Bayongbong 250
85 1.020
12 4. Cilawu
200 115
1.380 12
Jumlah 2.400 1.733
20.796 12
Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006