Payback Period. Pengolahan dan Analisis Data

Penentuan probabllitas diperoleh berdasarkan kemungkinan dari suatu kejadian pada kegiatan budidaya dan penyulingan yang dapat diukur berdasarkan pengalaman yang telah dialami petani dan penyuling dalam mengusahakan akarwangi. Probabilitiy dari masing-masing kegiatan budidaya dan penyulingan pada setiap kondisi tertinggi, normal, dan terendah akan diperoleh. Total peluang dari beberapa kejadian berjumlah satu dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: ∑ = n t 1 pi j = 1 Semakin tinggi NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi semakin besar. Pengukuran peluang p pada setiap kondisi skenario diperoleh dari frekuensi kejadian setiap kondisi yang dibagi dengan jumlah tahun selama umur pengusahaan akarwangi, baik untuk kegiatan budidaya maupun kegiatan penyulingan. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 13. Tabel 13. Peluang Setiap Kondisi Pada Kegiatan Budidaya dan Penyulingan Akarwangi Kegiatan Kondisi Peluang Probablity Budidaya Tertinggi 0,20 Normal 0,62 Terendah 0,18 Penyulingan Tertinggi 0,11 Normal 0,72 Terendah 0,17

4.4.5.2. Standard Deviation

Makna dari ukuran standard deviation dari NPV, artinya semakin kecil nilai standard deviation dari NPV maka semakin rendah risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Secara matematis standard deviation dari NPV dapat dituliskan sebagai berikut: ∑ = − = ∂ n t i NPV E NPV p NPV i 1

4.4.5.3. Coefficient Variation CV

Coefficient variation dari NPV diukur dari rasio standard deviation dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Secara matematis, CVNPV dapat dituliskan sebagai berikut: CVNPV = δNPV E NPV 4.5. Asumsi Dasar Analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut menggunakan beberapa asumsi, yaitu: 1. Analisis kelayakan dibagi menjadi dua yaitu analisis kelayakan budidaya dan penyulingan. Hal ini dikarenakan komponen cashflow yang berbeda dalam proses produksi. 2. Dari masing masing analisis kelayakan terdapat dua kondisi yaitu kondisi I dan kondisi II. Kondisi I merupakan analisis kelayakan tanpa risiko kondisi normal dan kondisi II merupakan analisis kelayakan dengan adanya risiko. Kondisi II memiliki tiga skenario. Skenario I yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi. Skenario II yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi harga output. Skenario III yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi dan harga output. 3. Umur proyek dari analisis kelayakan budidaya yaitu selama tiga tahun. Hal ini didasarkan pada umur bibit bonggol optimal yang dapat ditanam selama 3 kali masa tanam yang diperoleh dari pecahan tunas sebelumnya. Umur proyek dari analisis kelayakan penyulingan yaitu salama delapan tahun. Hal ini didasarkan pada umur teknis aset terpenting dalam kegiatan penyulingan yaitu ketel stainless. 4. Satu kali musim tanam akarwangi yaitu selama 12 bulan. Jadi, tahun yang digunakan adalah tahun pertama karena pada tahun pertama akarwangi sudah dapat dipanen. 5. Dalam kondisi normal, satu hari dilakukan dua kali penyulingan. Dalam satu bulan dilakukan 28 kali penyulingan. 6. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga deposito di Bank Indonesia BI yaitu 8 persen pada bulan Januari tahun 2008. Alasan pemilihan tingkat suku bunga deposito dikarenakan petani dan penyuling menggunakan modal pribadi bukan pinjaman. Oleh karena itu petani dan penyuling dihadapkan pada pilihan akan menginvestasikan modal pada usaha akarwangi atau mendepositokan di bank. 7. Nilai sisa pada kegiatan budidaya diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi akan dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. Nilai sisa motor ditetapkan 60 persen yaitu dari asumsi bahwa pemakaian motor baru empat tahun sedangkan umur teknis motor selama 10 tahun. 8. Nilai sisa pada kegiatan penyulingan diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa dari pabrik, gudang, dan motor ditetapkan 20 persen. Hal ini dikarenakan umur teknisnya selama 10 tahun sedangkan pemakaiannya baru 8 tahun. Perhitungan nilai sisa dari ketel stainless dan blander ditetapkan 30 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi ini akan dapat terjual dengan nilai 30 persen dari nilai beli investasi. Nilai sisa mobil ditetapkan 50 persen dari harga belinya karena umur teknis mobil 15 tahun sedangkan baru digunakan 8 tahun. Sedangkan komponen investasi lainnya memiliki nilai sisa sebesar 10 persen. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. 9. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya dan penyulingan adalah biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun ke-1 dan terdapat biaya reinvestasi yang dikeluarkan untuk peralatan-peralatan yang sudah habis umur ekonomisnya. Biaya operasional adalah semua biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan usaha. Biaya operasional dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. 10. Dalam kegiatan budidaya dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 69,31 persen. Hal ini dikarenakan petani belum memilki pengalaman dalam teknik budidaya akarwang. Namun, pada tahun berikutnya pengetahuan akan budidaya akarwangi meningkat, seiring bertambahnya pengalaman petani dalam membudidayakan tanaman akarwangi tersebut sehingga kapasitas produksi tahun kedua hingga tahun keempat telah optimal. 11. Dalam kegiatan penyulingan dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 91,5 persen. Namun, pada tahun kedua hingga ketujuh kapasitas produksi telah optimal. Tahun kedelapan kapasitas produksi 91,5 persen karena usia mesin yang telah usang dan berpengaruh terhadap jumlah produksi. 12. Harga output dan jumlah produksi yang berlaku adalah berdasarkan pengalaman petani dan penyuling selama melakukan usaha akarwangi.

V. GAMBARAN UMUM

5.1. Karakteristik Wilayah 5.1.1. Letak Geografis Luas Kabupaten Garut meliputi areal 306.519 Ha atau sekitar 6,94 persen dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kabupaten Garut terletak di antara 6 5734 - 7 4457 Lintang Selatan dan 107 243 - 108 2434 Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Garut terbagi kedalam 40 kecamatan yang masing-masing mempunyai karakteristik khusus sebagai potensi wilayahnya. Batas-batas administratif wilayah Kabupaten Garut meliputi: • Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. • Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya. • Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia. • Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan fisiografinya, Kabupaten Garut dapat distratifikasikan kedalam 4 empat strata, yaitu wilayah Garut Utara, Garut Tengah, Garut Barat Daya, dan Garut Selatan. Daerah Garut sebelah utara, timur, dan barat, pada umumnya berupa dataran tinggi dengan kondisi alam berbukit-bukit dan pegunungan. Sedangkan kondisi alam daerah Garut sebelah selatan sebagian besar berupa lereng dengan tingkat kemiringan tanah yang relatif curam. Corak alam di daerah Selatan Garut pada umumnya diwarnai oleh segenap potensi alam dan keindahan pantai Samudera Indonesia.

5.1.2. Topografi

Wilayah Kabupaten Garut memiliki ketinggian yang bervariasi, mulai dari 0,5 meter di atas permukaan laut - seperti di daerah sepanjang pantai selatan yang meliputi sebagian Kecamatan Bungbulang, Cibalong, Cikelet, Cisewu, Pakenjeng dan Pameungpeuk - hingga ketinggian 2.830 meter di atas permukaan laut, seperti puncak Gunung Cikurai di Kecamatan Bayongbong. Ketinggian tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Luas Lahan Berdasarkan Ketinggian No Ketinggian Luas Ha Persentase 1. 0 - 25 8.078 2,64 2. 25 - 100 14,007 4,57 3. 100 - 500 63.260 20,64 4. 500 - 1000 122.465 39,95 5. 1000 - 1500 77.409 25,25 6. 1500 - 3000 21.300 6,95 Jumlah 406.519 100 Sumber: Diperta Kabupaten Garut, 2003 Dilihat dari topografinya, sebagian besar Kabupaten Garut bagian utara terdiri atas dataran tinggi dan pegunungan dengan areal persawahan terluas. Pada umumnya pegunungan dan bukit-bukit ini keadaannya sangat kritis, terutama di sepanjang daerah aliran sungai Cimanuk. Sedangkan Garut Selatan sebagian besar permukaan wilayahnya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan bahkan di beberapa tempat tergolong labil. Wilayah selatan ini dialiri 12 buah sungai ke arah selatan yang bermuara ke Samudera Indonesia. Rangkaian pegunungan vulkanik yang mengelilingi dataran antar gunung Garut Utara umumnya memiliki lereng dengan kemiringan 30-45 persen di sekitar puncak, 15-30 persen di bagian tengah dan 10-15 persen di bagian kaki lereng pegunungan. Berbagai potensi komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi dan agribisnis dapat tumbuh baik asal disertai penerapan teknologi, diantaranya padi- padian, palawija sayuran dataran rendah, sayuran dataran tinggi, tanaman perkebunan dan tanaman industri.

5.1.3. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Garut didominasi oleh kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah maupun kering, kegiatan perkebunan dan kehutanan. Di wilayah Kabupaten Garut, 31,58 pesen merupakan kawasan hutan, perkebunan 18,38 persen dan persawahan sekitar 16,14 persen. Secara keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kabupaten Garut Tahun 2004 No. 1. Uraian Luas ha Persentase Sawah 49.477 16,14 - Irigasi 38.026 12,41 - Tadah Hujan 11.451 3,74 2. Darat 252.097 82,25 - Hutan 96.814 31,58 - Kebun dan Kebun Campuran 56.350 18,38 - Tanah Kering SemusimTegalan 52.348 17,08 - Perkebunan 26.968 8,80 - PermukimanPerkampungan 12.312 4,02 - Padang Semak 7.005 2,29 - Pertambangan 200 0,07 - Tanah Rusak Tanus 66 0,02 - Inustri 34 0,01 3. Perairan darat 2.038 0,66 - Kolam 1.826 0,60 - SituDanau 157 0,05 - Lainnya 55 0,02 4. Penggunaan Tanah lainnya 2.907 0,95 Jumlah 306.519 100,00 Sumber: BAPPEDA Kabupaten Garut, 2005