pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun Kanisius, 1995.
Kebutuhan bonggol bibit untuk lahan satu hektar sekitar dua ton dengan jarak tanam antara 0,75 x 0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat
kesuburan tanah. Satu lubang tanam dibutuhkan 2-3 bonggol bibit.
2.1.1.2. Penanaman
Tahap pertama yang perlu diperhatikan adalah persiapan lahan. Meskipun akar wangi pada dasarnya kurang membutuhkan pengolahan tanah, namun tanah
yang menjadi media tanam akarwangi perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan tanah tersebut dilakukan dengan pencangkulan. Dengan cara ini, tanah yang
semula berada di bagian bawah akan berada di permukaan dan mendapat cahaya matahari, sekaligus rumput dan tumbuhan pengganggu lainnya akan mati.
Pada fase awal pertumbuhan, tanaman akarwangi membutuhkan air yang cukup. Oleh karena itu, waktu tanam sebaiknya diusahakan pada permulaan
musim hujan, yaitu bulan Oktober-November Penanaman bibit akarwangi dilakukan dengan cara memasukkan bonggol siap tanam ke dalam lubang tanam
yang telah dibuat, kemudian ditutup kembali dan tanah di sekitarnya agak dipadatkan. Jarak tanam pada tanah yang subur adalah 1 x 1 meter, sedangkan
pada tanah yang kurang subur 0,76 x 0,75 meter. Lokasi penanaman akar wangi pada lahan miring perlu dibuat terasering.
2.1.1.3. Pemeliharaan
Pemeliharaan akarwangi meliputi: penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama. Sekitar 2-3
minggu setelah tanam, hendaknya diadakan pemeriksaan ke kebun akarwangi. Hal ini untuk melihat akar wangi yang tidak tumbuh atau bahkan mati agar dilakukan
penyulaman. Kegiatan ini untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya dan akan digunakan untuk memprediksi produk yang dihasilkan Kanisius, 1995.
Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan akarwangi yaitu penyiangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah datangnya hama yang
biasanya menjadikan gulma lain sebagai tempat persembunyian, sekaligus untuk memutus daur hidup hama. Tindakan penyiangan dilakukan pada umur tiga bulan
sejak tanam dan pada awal maupun akhir musim penghujan. Tanaman akarwangi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pembumbunan agar aerasi dan drainase dapat diatur dengan baik. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan.
Setelah dilakukan kegiatan penyiangan, yang perlu diperhatikan adalah kegiatan pemupukan. Pertumbuhan akarwangi akan terganggu apabila kondisi tanah tidak
subur. Pemupukan dilakukan biasanya dilakukan dua kali dalam satu tahun. Pada umur tiga bulan, pupuk yang diberikan untuk lahan seluas satu hektar adalah lima
ton pupuk kandang, 100 kg urea, 50 kg TSP, dan 50 kg KCL. Sedangkan pada bulan ke sembilan dilakukan pemupukan dengan dosis yang berbeda yaitu lima
ton pupuk kandang, 50 kg urea, 25 kg TSP, dan 25 kg KCL. Cara pemberian pupuk adalah dengan memasukan pupuk ke dalam lubang melingkar sedalam 10
cm dan ditutup kembali oleh tanah.
Setelah tanaman berumur + 6 bulan dilakukan pemangkasan daun untuk mendapatkan akar yang rimbun dan panjang. Pemangkasan ini dilakukan tga
bulan atau enam bulan sekali pada daerah dataran tinggi. Sedangkan pada dataran rendah tidak perlu dilakukan pemangkasan karena akan menurunkan hasil
produksi.
2.1.1.4. Pemanenan
Waktu pemanenan akar wangi bergantung pada musim dan penggunaan tanah. Kondisi tanaman dan kandungan minyak masih sedikit apabila dipanen
terlalu dini. Namun apabila panen terlambat akan mengakibatkan akar layu dan mengering sehingga sebagian minyak akan hilang. Oleh karena itu, umur yang
paling baik untuk melakukan pemanenan adalah antara 1,5 -2 tahun Kanisius, 1995.
Pemanenan dilakukan dengan menggunakan cangkul. Pencabutan tanaman harus dilakukan secara hati-hati agar akar tidak putus dan tertinggal di dalam
tanah. Akar yang baru dipanen harus dibersihkan dari tanah yang masih melekat dan dipotong di bawah bonggolnya. Sedangkan daun akar wangi dapat dijadikan
kompos dan bonggolnya sendiri dapat dijadikan bibit untuk penanaman masa berikutnya kemudian hasil panen tersebut disuling.
2.1.2. Penyulingan Akar Wangi
Minyak atsiri yang berasal dari tanaman akar wangi dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: pengempaan, ekstraksi menggunakan pelarut, dan
penyulingan. Dari ketiga cara tersebut, yang erat kaitannya untuk mendapatkan minyak akar wangi vetiver oil adalah cara penyulingan Kanisius, 1995.
Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam suatu ketel dan
mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air ke dalam ketel penyulingan. Dalam hal ini terdapat tiga jens penyulingan yaitu: 1 penyulingan dengan air,
2penyulingan dengan air dan uap, 3 penyulingan dengan uap
2.1.2.1. Penyulingan dengan air
Prinsip kerja penyulingan dengan air dimulai dengan pengisian air pada ketel penyulingan kemudian dipanaskan. Sebelum air mendidih, bahan baku
dimasukkan ke dalam ketel penyulingan. Dengan demikian penguapan air dan minyak atsiri berlangsung secara bersamaan. Penyulingan ini disebut penyulingan
langsung. Penyulingan ini merupakan cara tertua dan sangat mudah dilaksanakan. Namun, kualitas minyak atsiri yang dihasilkan cukup rendah Kanisius, 1995..
2.1.2.2. Penyulingan dengan air dan uap
Penyulingan ini relatif lebih maju dibandingkan penyulingan dengan air. Prinsip kerja yang dilakukan adalah dimulai dengan ketel penyulingan diisi air
sampai batas saringan. Bahan baku diletakkan di atas saringan sehingga tidak berhubungan langsung dengan air yang mendidih, tetapi akan berhubungan
dengan uap air. Penyulingan ini disebut penyulingan tidak langsung. Air yang menguap akan membawa partikel-partikel minyak atsiri dan dialirkan melalui pipa
ke alat pendingan sehingga terjadi pengembunan dan uap air yang bercampur minyak atsiri tersebut akan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat
pemisah untuk memisahkan minyak atsiri dari air. Kualitas yang dihasilkan cukup baik Kanisius, 1995..
2.1.2.3. Penyulingan dengan uap
Penyulingan dengan cara ini memerlukan modal yang relatif besar dibandingkan cara-cara yang sebelumnya. Namun, kualitas minyak atsiri yang
dihasilkan jauh lebih sempurna. Prinsip kerja penyulingan seperti ini hampir sama dengan cara menyuling dengan air dan uap tetapi antara ketel uap dan ketel
penyulingan harus terpisah. Ketel uap yang berisi air dipanaskan, lalu uap tersebut dialirkan ke ketel penyulingan yang berisi bahan baku, partikel-partikel minyak
pada bahan baku terbawa bersama uap dan dialirkan ke alat pendingin. Di dalam alat pendingin itulah terjadi proses pengembunan, sehingga uap air yang
bercampur minyak akan mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah yang akan memisahkan minyak atsiri dari air Kanisius, 1995..
Mengingat produksi minyak akarwangi di Indonesia hampir seluruhnya diekspor, maka pemerintah telah menetapkan persyaratan ekspor. Warna
akarwangi yang didayaratkan yaitu kecoklat-coklatan sampai kemerah merahan. berat jenis pada suhu 25 derajat celcius,bilangan ester antara 5-25
Umumnya minyak akarwangi yang baik ditandai oleh berat jenis dan putaran optik yang tinggi. Komponen penting lainnya adalah vetiverol. Menurut
Santoso 1993, peningkatan kadar vetiverol di dalam minyak akar wangi akan sekaligus meningkatkan mutu minyak tersebut.
2.2. Studi Kelayakan Proyek
Tahapan pertama dalam kegiatan proyek adalah identifikasi gagasan proyek, yaitu menganalisis gagasan, ide, atau saran-saran mengenai rencana
proyek yang akan dilaksanakan. Setelah analisis pendahuluan dilakukan, maka analisis lebih rinci dilakukan yang disebut dengan istilah studi kelayakan. Studi
kelayakan akan memberikan informasi yang cukup untuk melaksanakan proyek tersebut. Studi kelayakan akan memberikan kesempatan untuk menyusun proyek
agar bias sesuai dengan lingkungan fisik dan sosialnya, serta dapat memastikan bahwa proyek tersebut akan memberikan hasil yang optimal Herjanto, 1999.
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Damanik 2003 di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Data aspek sosial ekonomi diambil dari 120 petani
akarwangi dan 22 pabrik penyuling akarwangi. Percobaan lapangan dilaksanakan pada lahan seluas tiga hektar. Metode penelitian yang digunakan yaitu rancangan
acak kelompok dengan tiga pola tanam dan dua ulangan. Perlakuan yang dicoba adalah pola tanam petani, pola tanam introduksi, dan pola tanam konservasi.
Parameter yang diamati adalah berat akar, kadar minyak, tingkat erosi, tingkat produktivitas, dan kelayakan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
ketiga pola yang diteliti ternyata pola konservasi mempunyai berat akar yang lebih tinggi yaitu 0,74 kg, sedangkan pola petani 0,60 kg dan pola introduksi 0,50 kg.
Hasil analisis kadar minyak ketiga pola menunjukkan bahwa kadar minyak pola konservasi dan pola petani tidak berbeda nyata yaitu 2,60 persen dan 2,25 persen,
sedangkan pola introduksi hanya 1,25 persen. Dari kedua parameter di atas berat akar dan kadar minyak dapat disimpulkan bahwa pola konservasi lebih baik
dibandingkan dengan pola lainnya. Tingkat erosi yang terjadi di pertanaman akarwangi adalah: a pola petani 26,20 tonha, b pola introduksi 19,40 tonha,
dan c pola konservasi 17,80 tonha. Tingkat produktivitas yang dicapai dari ketiga pola usahatani tersebut yaitu a pola petani sebesar 16.000 kg hatahun,
b pola introduksi 15.000kghatahun, dan c pola konservasi 18.000kghatahun. Dari ketiga pola tersebut yang tertinggi adalah pola konservasi, tetapi analisis
kelayakan ekonomi pada ketiga pola adalah : Pola konservasi : BC ratio 3,26, NPV Rp 7.852.000, dan IRR 18,75 persen; Pola introduksi : BC ratio 2,03, NPV
Rp 5.089.000, dan IRR 18,75 persen; Pola petani : BC ratio 3,60, NPV Rp7.130.000, dan IRR 18,50 persen. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
usaha tersebut layak untuk dilaksanakan. Penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisa 2004 mengenai perencanaan
kelayakan pengembangan usaha budidaya lebah madu Apis mellifera di Jawa Timur dilihat tingkat kelayakannya berdasarkan aspek-aspek kelayakan usaha.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pengembangan usaha tersebut layak untuk dikembangkan berdasarkan aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial
dan lingkungan, dan aspek finansial. Pola pengembangan usaha yang dilakukan adalah dengan menetapkan
empat skenario. Skenario pertama yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun 12 bulan dan menggunakan pengemasan
madu. Skenario kedua yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun 12 bulan dan tanpa menggunakan pengemasan madu.
Skenario ketiga yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim 7 bulan, stimulasi pada saat paceklik 5 bulan, dan pengemasan madu.
Skenario keempat yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim 7 bulan, stimulasi pada saat paceklik 5 bulan, dan tanpa pengemasan
madu. Berdasarkan keempat skenario tersebut, skenario pertama paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, nilai Net BC 1, IRR lebih dari
tingkat diskonto 60, dan payback period paling cepat yaitu 1 tahun 10 bulan 6 hari. Selain itu, adanya perubahan tingkat diskonto sebesar 14 persen dari keempat
skenario tidak didapatkan NPV negative sehingga keempat skenario tersebut dapat dijalankan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dolly 2006 mengenai analisis kelayakan investasi pengusahaan pembibitan duria Durio zibhetinus di CV.Milad Perkasa
Rancamaya Bogor menghasilkan beberapa kesimpulan. Analisis dilakukan pada ketiga pola. Pola pertama bahwa bibit dijual seluruhnya untuk proyek gerakan
nasional rehabilitasi hutan dan lahan GNRHL. Pola kedua bibit dijual langsung ke konsumen. Pola ketiga bahwa bibit 50 persen dijual ke GNRHL dan 50 persen
dijual langsung ke konsumen. Dari ketiga pola tersebut, pola kedua paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, Net BC 1, IRR discount rate,
pay back periode paling cepat. Selain itu, switching value dengan parameter
penurunan penjualan dan peningkatan biaya dilakuakn pada ketiga pola. Pola kedua paling sensitif terhadap kedua parameter yang digunakan.
Penelitian yang dilakukan Sukarman 2007 mengenai risk management, suatu kebutuhan bagi pengelolaan perbankan yang sehat menghasilkan beberapa
kesimpulan. Bagi perbankan, penerapan pengelolaan risiko menyebabkan bertambahnya biaya, jumlahn pegawai, waktu, dan mengurangi inisiatif untuk
membuat keputusan. Hal ini banyak dikeluhkan oleh para bankir yang pada