investasi. Analisis kelayakan dilakukan pada aspek-aspek kelayakan usaha yaitu aspek teknis, pasar, sosial, dan finansial. Aspek finansial dilakukan lakukan pada
keadaan normal tanpa risiko. Pada keadaan ini, aspek finansial yang akan dianalisis adalah NPV, IRR, Net BC, dan PP. Pada kondisi lain yaitu analisis
risiko dimana kegiatan investasi dengan risiko. Pada kondisi ini, tingkat risiko diperhatikan pada kegiatan investasi sehingga diperoleh nilai NPV yang
diharapkan. Setelah analisis tersebut dilakukan, selanjutnya dapat diketahui apakah
pemanfaatan lahan seluas 667 Ha layak diusahakan atau tidak. Bila tidak layak, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kegiatan budidaya akarwangi yang sedang
berjalan di Kabupaten Garut. Bila analisis tersebut menunjukkan kelayakan, maka upaya pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha
dapat dijalankan. Tahap-tahap analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahap-Tahap Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Akarwangi di Kabupaten Garut
NPV IRR
Net BC PP
Upaya pengembangan usaha akarwangi
Pemanfaatan lahan seluas 667 Ha karena luas lahan yang tersedia mencapai 2400 Ha. Sedangkan luas lahan yang
diusahakan baru mencapai 1.733 Ha Kelayakan Investasi
Aspek-aspek: - Aspek Teknis
- Aspek Pasar - Aspek Sosial dan Lingkungan
- Aspek Finansial
Layak Analisis Risiko
NPV yang diharapkan
Pengembangan usaha akar wangi melalui penggunaan lahan seluas 2.400 Ha secara
optimal Tidak Layak
Lakukan Evaluasi Akarwangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang
potensial untuk dikembangkan
Dalam melakukan kegiatan pengembangan usaha akarwangi melalui pemanfaatan lahan seluas 667 Ha tidak terlepas dari risiko yang akan dihadapi.
Risiko tersebut berupa risiko volume produksi dan risiko harga output. Kegiatan budidaya dan penyulingan akarwangi menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Adanya fluktuasi dari volume produksi dan harga output menyebabkan
adanya risiko volume produksi dan harga output Fariyanti, 2008. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dianalisis kelayakan usaha budidaya dan penyulingan bila
melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi masa yang akan datang. Pada pengukuran tingkat risiko pengembangan usaha akarwangi, tidak
memperhitungkan risiko harga input. Hal ini dikarenakan bibit akar wangi sendiri tidak mempengaruhi tingkat risiko yang signifikan. Bibit tidak secara signifikan
mempengaruhi risiko, dikarenakan penggunaan bibit hanya dilakukan pada tahun pertama saja, selanjutnya bibit yang digunakan pada musim-musim tanam
berikutnya diperoleh dari tanaman akar wangi yang dipanen, dimana hasil panen tersebut disisihkan sejumlah tertentu untuk digunakan kembali sebagai bibit untuk
musim tanam berikutnya. Analisis kelayakan usaha dilakukan pada kegiatan budidaya dan
penyulingan dengan menganalisis aspek-aspek kelayakan usaha seperti aspek teknis, pasar, sosial dan lingkungan, dan finansial. Kriteria kelayakan investasi
yang dianalisis adalah NPV, IRR, Net BC, dan PP. Bila hasil analisis menunjukkan tingkat kelayakan, maka pengembangan usaha akarwangi melalui
pemanfaatan lahan 667 Ha dapat dijalankan. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
Risiko
Layak atau Tidak Layak Diusahakan
Harga Output Volume
Produksi
Kelayakan Usaha Akawangi:
- Budidaya
-
Penyulingan
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang dilakukan pada Bulan Januari hingga Mei 2008 yang mencakup penyusunan proposal hingga penyusunan draft skripsi dilaksanakan di
empat kecamatan di Kabupaten Garut, empat kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya: pertama, sentra
produksi minyak akar wangi Indonesia 89 persen dihasilkan dari Kabupaten Garut Bappeda Kab Garut, 2005. Kedua, kecamatan-kecamatan tersebut merupakan
daerah penanaman akar wangi dari 40 kecamatan di Kabupaten Garut yang merupakan komoditas unggulan tingkat kecamatan BPS KabupatenGarut, 2003.
Ketiga, pengembangan usaha akarwangi di daerah tersebut melalui pemanfaatan
lahan yang masih belum optimal.
Tabel 10 . Daerah Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut Tahun 2005
No Kecamatan Potensi Areal Ha
Realisasi Luas Tanam Ha
Produksi Ton
Produktivitas TonHa
1. Leles 750
683 8.196
12 2. Samarang
1.200 850
10.200 12
3. Bayongbong 250
85 1.020
12 4. Cilawu
200 115
1.380 12
Jumlah 2.400 1.733
20.796 12
Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara
dengan petani dan penyuling. Pada tahap awal wawancara hanya dilakukan pada
petani dan penyuling akarwangi tetapi terungkap bahwa terdapat petani yang merangkap sebagai penyuling dan penyuling yang merangkap sebagai petani.
sehingga informasi yang diperoleh menjadi beragam. Selain itu, wawancara dilakukan dengan stakeholders pengamatan secara langsung di lapangan. Data
sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Horikultura Perkebunan Kabupaten Garut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut,
BAPPEDA Kabuparen Garut, BPS, internet, literatur dan penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan bahan rujukan yang berhubungan dengan
penelitian ini.
4.3. Teknik Pengambilan Responden
Teknik pengambilan responden yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik proportional simple random sampling. Dari empat kecamatan di
Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu diambil sampel secara random acak sesuai
dengan proporsi dari masing-masing kecamatan. Rumus yang digunakan untuk menghitung seluruh jumlah responden
tersebut adalah rumus Solvin 1960.
2
1 .
N n
N
e
= +
Keterangan : n = Ukuran Sampel orang
N = Ukuran Populasi orang e = Nilai Kritis batas ketelitian yang diinginkan 10 persen
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut 2006, petani yang melakukan budidaya
akarwangi secara monokultur di Kabupaten.Garut berjumlah 66 orang. Jumlah populasi ini berdasarkan jumlah petani yang melakukan usahatani pada musim
tanam 20062007. Maka, jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 41 orang, Jumlah tersebut berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
n = 66 1 + 66 10 persen2
= 41 orang Tabel 11 merupakan jumlah pembagian sampel secara proporsional
berdasarkan jumlah subpopulasi. Jumlah sampel terbanyak terdapat di Kecamatan Samarang yaitu sebanyak 19 orang. Hal ini dikarenakan jumlah petani yang
melakukan kegiatan budidaya akarwangi paling banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya.
Tabel 11. Pembagian Responden Secara Proporsional di Kabupaten Garut
No. Kecamatan
Jumlah Petani Monokultut Pada Musim Tanam 20062007 orang
Jumlah Sampel orang
1. Leles 12
7 2. Samarang
29 19
3. Bayongbong 15
9 4. Cilawu
10 6
Total 66 41
Pada kenyataannya di lapangan, tidak semua petani responden menanam akarwangi secara monokultur. Hal ini dikarenakan periode musim tanam yang
berbeda yaitu musim tanam 20072008. Oleh karena itu, proses pengambilan data yang dilakukan tidak hanya pada petani monokultur tetapi juga pada petani
tumpangsari tetapi daftar nama responden masih menggunakan daftar petani dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut.