banyak menjual hasil minyak akarwanginya kepada pedagang pengumpul, hal ini dapat dimaklumi karena sistem ini telah berjalan bertahun-tahun atas dasar saling
percaya dalam penentuan harga oleh pedagang pengumpul. b. Rendahnya tingkat permintaan namun ketersediaan minyak akarwangi tinggi
Bila permintaan minyak akarwangi rendah namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling tinggi maka akan menurunkan harga jual minyak
akarwangi. Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan yang diterima penyuling.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Aspek Teknis Budidaya dan Penyulingan Akarwangi 6.1.1. Keadaan Geografis
Daerah pertumbuhan akar wangi yang menghasilkan minyak dengan kualitas yang baik yaitu pada ketinggian di atas 700 m 600-1500 m di atas
permukaan laut, dengan suhu optimal 17oC-27oC dan curah hujan antara 200-2000 mm per tahun. Hal ini sesuai dengan karakteristik agroekosistem
Kabupaten Garut yang sangat potensial bagi pengembangan agribisnis akar wangi Selain itu, tanah yang baik untuk pertumbuhan akar wangi adalah tanah yang
gembur atau tanah yang berpasir, seperti tanah yang mengandung abu vulkanis. Penanaman akar wangi dapat dilakukan secara monokultur atau tumpang sari
dengan tanaman sayuran lain yang tidak menaungi, seperti wortel, kol, kacang, dan tomat.
Penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut sebagian besar berada tidak jauh dari daerah penanaman akarwangi. Hal ini dikarenakan untuk memudahkan
proses penyulingan. Akarwangi yang telah dipanen sebagian besar oleh petani langsung dijual ke penyuling. Oleh karena itu, Kabupaten Garut sangat potensial
untuk pengembangan akarwangi ditinjau dari ketinggian, suhu dan curah hujan, dan kondisi lahan yang mendukung.
6.1.2. Sumberdaya Produksi
Luas Kabupaten Garut meliputi areal 306.519 Ha. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Garut secara umum mengikuti potensi serta pembatas alam yang
ada. Potensi alam yang menguntungkan telah dimanfaatkan oleh penduduk untuk
mengembangkan kegiatan usaha pertanian seperti sawah, pertanian lahan kering, dan perkebunan. Dibandingkan dengan luas lahan yang ada, luas pengusahaan
akarwangi hanya mencapai 1.733 Ha atau sebesar 0.57 persen dari total keseluruhan lahan di Kabupaten Garut. Namun, potensi areal tanam akarwangi
mencapai 2.400 Ha sehingga lahan seluas 667 Ha yang tersebar di empat kecamatan masih berpotensi untuk dikembangkan.
Bibit akarwangi atau disebut bonggol tersedia cukup melimpah. Hal ini karena petani yang baru melakukan penanaman pada tahun pertama dapat
memperoleh bonggol dari petani lain dengan harga berkisar antara Rp.800 – Rp.2.000. Sementara petani yang akan melakukan penanaman pada tahun
berikutnya dapat memperoleh bonggol dari tanaman akarwangi yang ditanam pada tahun pertama dalam rumpun yang tidak berbunga lalu dipecah-pecah
sehingga setiap pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun.
Bahan baku untuk kegiatan penyulingan yaitu akarwangi, ketersediannya cukup terjaga sepanjang musim. Dalam luasan satu hektar menghasilkan 11.352kg
akarwangi. Akarwangi dapat tahan hingga dua bulan dalam kondisi lahan kering sangat menguntungkan petani di Kabupaten Garut. Pada umumnya, petani
menanam pada awal musim hujan dan dipanen pada musim kemarau. Agar dapat menjaga kontinuitas dan kestabilan harga akarwangi, petani tidak melakukan
panen secara serempak. Ketersediaan bahan baku cukup berlimpah pada bulan Mei-Agustus dan agak sepi pada bulan Oktober-Januari. Jumlah bahan baku yang
diperlukan dalam satu kali proses produksi sangat tergantung pada kapasitas ketel, namun rata-rata mencapai 1.500 kg. Penyuling memperoleh bahan baku dari
lahannya sendiri atau membeli akarwangi dari petani lain. Persaingan antara penyuling dalam perebutan bahan baku biasanya terjadi pada saat pasokan
akarwangi menurun. Tenaga kerja yang dipakai dalam pembudidayaan akarwangi adalah tenaga
kerja yang berasal dari penduduk sekitar. Tenaga kerja melakukan kegiatan yang meliputi pengolahan tanah dan penanaman, pemeliharaan, serta panen dan pasca
panen. Aktivitas pemeliharaan mencakup penyulaman, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pemangkasan daun, pengendalian hama dan
penyakit. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari tenaga kerja luar dan dalam baik pria maupun wanita.
Rata-rata jam kerja petani akarwangi di Kabupaten Garut mencapai tujuh jam per hari. Waktu kerja dimulai dari pukul enam pagi hingga jam satu siang,
Upah yang diterima oleh pekerja berbeda-beda sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Dalam satu hektar lahan, kegiatan pengolahan tanah dan penanaman
dilakukan oleh petani pria sebanyak 124 HOK dan menerima upah per HOK sebesar Rp. 14.947. Dalam satu hektar lahan, kegiatan pemeliharaan dilakukan
oleh petani pria dan wanita yaitu sebanyak 87 HOK dan upah per HOK sebesar Rp. 14.842. Dalam satu hektar lahan, kegiatan panen dan pasca panen dilakukan
oleh petani pria dan wanita yaitu sebanyak 121 HOK dan upah per HOK sebesar Rp. 24.482..
Alat yang digunakan dalam penyulingan akarwangi ketel. Satu buah ketel dapat menyuling akarwangi sebanyak 1500 kgsuling. Satu kali penyulingan
menghasilkan minyak akarwangi sebanyak 7,43 kilogram.